Share

Permintaan Ara

Setelah dirasa kakinya baik-baik saja. Intan memilih untuk masuk kekamar, sungguh hari sangat melelahkan untuknya, bagaimana tidak? Seharian dia harus keliling untuk mencari pekerjaan. Intan seorang lulusan sarjana Akuntansi justru sulit mendapatkan pekerjaan dikota kelahirannya. Sedangkan dikota lain, Intan bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan itu. 

"Ya, Allah. Mengapa sesulit ini mencari pekerjaan disini," lirih Intan dalam hatinya. 

Intan menyesal. Seandainya saja dia tak pernah menuruti egonya, maka saat ini dia masih bekerja di kota dengan gaji yang tetap. 

"Aku tidak boleh lemah, aku harus kuat! Demi Ayah dan Bunda, aku harus kuat! Ini semua belum berakhir," ujar Intan mantap meyakinkan dirinya sendiri. 

Dia mengambil ponselnya dan mulai mencari info lowongan kerja disana, tapi sampai tengah malam belum ada satupun lowongan yang menarik minatnya. Dia meletakkan gawai nya dengan asal, dia mencoba memejamkan matanya, tapi tak bisa. 

"Aaarrgggghhhh!"

Intan berteriak dengan kesal, untung saja Ayah dan Bundanya masih di bawah, jika tidak mereka akan mendengar teriakan Intan. Intan kembali mengambil ponselnya, kali ini dia tak akan menyerah, dia berjanji akan mendapatkan pekerjaan kembali. 

*******

"Kalau kerja itu yang benar! Tuh, lihat! Lantai nya basah seperti itu. Kau sengaja, ingin membuatku jatuh, iya? Agar kau bisa menggantikan posisiku sebagai Nyonya Dirgantara," omel Aida pada Asisten rumah tangga nya. 

Sari-- Asisten rumah tangga Aida, yang kini berusia 24 tahun itu, hanya diam saja tak menanggapi perkataan Aida. Dia memang seperti itu, selalu saja mencari-cari kesalahan dirinya, Sari sendiri tak tau apa yang Aida inginkan. Selama ini Sari selalu melakukan perintah Aida, dan tak ada niat sedikitpun untuk merebut suami Aida. 

"Hey! Diajak ngomong itu jawab! Bukannya ngelamun. Lagi mikirin suami saya, iya? Awas saja kalau apa yang dibilang tetangga itu benar, kalau kamu dan Mas Ihsan ada main dibelakang. Maka, aku tidak segan-segan untuk membunuh mu disini," ujar Aida. Lalu, melangkah pergi dari sana. 

"Sabar, Cah Ayu. Bu Aida kan memang seperti itu orangnya. Sudah, jangan diambil hati," ujar Mbok Darmi yang kebetulan lewat. Beliau mencoba menenangkan Sari yang terlihat terbawa emosi. 

"Kenapa sih, Mbok? Dia selalu seperti itu sama Sari. Kan, Sari tidak punya hubungan dengan Pak Ihsan. Hubungan kami hanya sebatas majikan dan pembantu saja. Tidak lebih. Hanya karena waktu, saya pernah satu mobil dengan Pak Ihsan, tapi bukan berarti saya ada main kan, Mbok?" omel Sari, seraya tangannya terus saja mengepel lantai yang basah itu. 

"Nduk, sudah. Lupakan saja semua yang diomongin Bu Aida. Lebih baik, kamu selesaikan pekerjaan mu. Mbok mau kebelakang mau menyiapkan makan malam," Mbok Darmi mengelus punggung Sari. 

"Iya, Mbok."

*****

Aida sedang berada dikamarnya, dia terlihat sedang merias diri. Karena dia yakin, bahwa suaminya akan pulang malam ini. Karena sebelumnya, Aida meminta suaminya untuk tidak menginap disana. Aida yakin, Ihsan tak akan mampu menolak permintaan nya itu. Aida tak rela, jika Ihsan menghabiskan waktu dan uangnya untuk Ibunya. 

"Enak saja, mau menikmati uang Mas Ihsan. Mereka pikir, mereka itu siapa?" 

Aida meraih ponselnya, dan mengirimkan pesan untuk Ihsan. 

[Mas, kamu dimana? Kenapa sampai sekarang belum sampai dirumah? Ingat ya, Mas. aku tidak mau kamu menginap disana, apalagi sampai memberikan uangmu pada mereka!] send.

Pesan itu bercentang dua, tak lama berwarna biru yang artinya sudah dibaca oleh Ihsan. 

[Maaf, Aida. sepertinya aku akan menginap disini, besok pagi aku akan pulang. Disini sedang hujan deras, seluruh jalanan banjir, kemungkinan kemacetan juga terjadi di mana-mana.]

Aida membanting ponselnya hingga hancur, Aida sangat marah karena baru kali ini Ihsan menolak keinginannya. 

*****

"Ada apa, Mas?" tanya Ara. 

Dia membawa secangkir kopi untuk kakaknya, dan juga beberapa camilan. Dia melihat kakaknya tengah mengusap wajahnya gusar, Ara tau saat ini kakaknya tengah gelisah. 

"Tidak apa-apa, Dek. Kau belum tidur? Dimana Mama?" tanya Ihsan mencoba mengalihkan pembicaraan. 

"Mama sudah tidur."

"Kak! Apa Mas sedang memikirkan tentang Mbak Aida?" Ihsan hanya mengangguk saja. "Apa lagi ulahnya sekarang? Dia tidak memberikan Mas ijin untuk menginap disini?" tanya Ara dengan sorot mata tajam. 

"Aida tidak mengatakan apapun. Hanya saja, Mas yakin saat ini pasti dia sedang marah." ujar Ihsan. 

"Ceraikan saja dia, Mas!"

Deg ... 

Ucapan Ara bagai petir yang menyambar hati Ihsan. Dia berpikir, bagaimana mungkin adiknya mengatakan hal seperti itu. Bagi Ihsan, pernikahan bukanlah untuk main-main saja, pernikahan hanya satu kali dalam seumur hidupnya. 

Sementara Ara, gadis hanya menatap kakaknya dengan malas. Dia tahu dengan persis seperti apa kakaknya. Ini bukan kali pertama Ara mengatakan hal yang sama, tapi Ihsan tak mendengarkannya sama sekali. Terkadang Ara merasa heran, apa yang sudah kakak iparnya itu lakukan, sehingga membuat kakaknya mempertahankan nya hingga saat ini. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status