"Apa maksudmu, Ara? Kau ingin Kakakmu ini bercerai? Bagaimana bisa kau memberikan saran seperti itu?" tanya Ihsan dengan nafas memburu. Sungguh, Ara telah membuatnya sedikit kesal.
"Apa yang salah dari saran yang aku berikan, Mas? Apa yang ingin Mas pertahankan dari Mbak Aida? Dia sudah tidak pernah menghormati Mama, buktinya dia tidak pernah sekalipun menemui Mama, atau sekedar menelpon untuk menanyakan keadaan Mama.
Baiklah, mungkin saja Mbak Aida sedang sibuk. Jika, Mbak Aida tak ingin menemui Mama, seharusnya dia tak menghalangi Mas untuk menemui Mama. Mbak Aida juga tak mau punya anak, kan Mas?" tanya Ara.
Ihsan hanya terdiam. Karena, apa yang dikatakan Ara benar adanya. Berapa kali Ihsan mengutarakan keinginannya untuk punya anak, tapi Aida selalu menolak dengan alasan kalau dia hamil dia tak akan bisa jadi model lagi.
"Aida adalah seorang model. Kalau dia hamil, dia dikeluarkan dari dunia model," jawab Ihsan. Sementara Ara, gadis itu hanya tertawa, membuat Ihsan semakin bingung.
"Mas, menjadi model bukan alasan untuk tak punya anak. Temanku banyak yang model, tapi mereka tetap punya anak. Semuanya kembali pada diri mereka sendiri, mau tidaknya mereka memiliki anak. Bilang saja, Mbak Aida tidak mau punya anak, karena dia tidak mau mengurusi nya," ucap Ara dengan ketusnya.
Ara mengambil camilan yang ia bawa. Gadis itu memandang kearah bintang-bintang yang dilangit.
"Ara!" panggil Ihsan.
Ara menghentikan aktivitasnya memakan camilan itu, dia menoleh kearah Ihsan. Matanya memberikan isyarat apa.
"Apa kau masih membenci Aida, Ra?" tanya Ihsan. Entah mengapa, pikiran nya tertuju pada kejadian dua tahun yang lalu.
"Tidak. Mengapa mas menanyakan hal itu?" jawab Ara dengan santainya.
"Mas hanya takut, kau masih memikirkan kejadian dua tahun yang lalu. Karena Aida, acara pernikahan mu dibatalkan." ujar Ihsan ragu-ragu, takut menyinggung perasaan Ara.
"Lupakan saja, Mas! Jika diingat, hati ini terasa sangat sakit. Mbak Aida dengan kejamnya memfitnah diriku, sehingga membuat pernikahan ku dibatalkan." Ara terlihat menghapus air matanya dengan kedua tangannya. Kejadian dua tahun yang lalu sungguh menyakitkan baginya.
*******
Intan terbangun dari tidurnya, karena deringan ponselnya. Gadis itu bingung, entah sejak kapan dia tertidur. Intan mengambil ponselnya, tapi ternyata itu cuma peringatan alarm saja. Intan menggurutu kesal, bagaimana dia bisa lupa kalau memasang alarm.
"Jam berapa sekarang?" Intan mengambil kembali ponselnya, dan melihat jam. "Jam 10.35. Masih jam 10, tapi perutku sudah lapar. Sebaiknya, aku turun kebawah. Mungkin bunda menyisakan sedikit makanan untukku,"
Intan berjalan menuju dapur, dia mengambil makanan menggunakan senter dari hpnya. Dia tak ingin menyalakan lampu, takut menganggu Ayah dan Bundanya yang sedang tidur. Tapi, tiba-tiba lampu dapur menyala, Intan membalikkan badannya, ternyata yang menyalakan nya adalah Bundanya sendiri.
"Astagfirullahaladzim, Bunda. Bunda, membuat Intan terkejut saja," Intan mengelus dadanya.
"Maafkan Bunda, Sayang! Lagian, kamu ngapain di dapur malam-malam seperti ini? Bukannya istirahat. Kamu kan seharian cari kerja, tidak capek?" tanya Bu Irma seraya matanya terus mengamati apa yang putrinya lakukan.
"Intan lapar, Bun. Tadi, kan, Intan tidak ikut sarapan, karena kaki Intan sakit." ujar Intan seraya meletakkan piring dimeja makan. Intan pun mulai duduk dan makan.
"Bunda, kembali saja kekamar. Intan bisa makan sendiri, kok." pintanya.
"Tidak, Nak. Bunda mau nemenin Intan makan saja."
"Terserah Bunda saja."
******
"Bagaimana, Nak? Apakah kau sudah mendapatkan pekerjaan lagi?" tanya Bu Irma.
Saat ini mereka tengah berada di ruang tamu, Bu Irma ingin mendengarkan curhatan putrinya itu. Sementara Intan, gadis itu haya bisa menggelengkan kepala.
"Belum, Bun. Intan sudah capek seharian keliling tapi belum ketemu yang pas," ujar Intan dengan lesu.
"Sabarlah, sayang. Mungkin, belum rejeki kamu."
Intan mengangguk, "Bun, bagaimana jika Intan membuka usaha kecil-kecilan saja."
"Usaha apa, Nak?" tanya Bu Irma.
"Entahlah, Bun. intan juga bingung. Intan sih, inginnya buka usaha aja. Daripada, capek-capek cari kerja," tutur Intan.
"Tapi, buka usaha itu juga butuh modal, Nak."
Disaat mereka tengah berbincang-bincang, terdengar suara pintu diketuk. Bu Irma dan Intan saling melemparkan pandangan. kemudian, Bu IIrma melangkah menuju pintu.
'Siapa yang datang malam-malam seperti ini?' batin Intan.
Pintu telah terbuka lebar. Menampakkan sosok laki-laki dengan perawakan tegas. Bu Irma sangat terkejut melihat siapa yang datang. Intan yang melihat Ibunya terkejut segera menghampiri Ibunya. Intan juga ikut terkejut.
"Apa kabar, Mbak?" tanya Pria itu.
Sementara, Pak Ridho menuruni anak tangga untuk melihat siapa yang datang, karena ia juga mendengar suara ketukan. Pak Ridho juga merasa terkejut melihat siapa yang datang.
Tapi, seketika bibirnya melengkung membentuk senyuman. Orang yang dinantikan nya selama beberapa tahun, akhirnya datang menemuinya
Hari ini Intan kembali bekerja, dia berharap hari ini dia tak bertemu dengan Ihsan. Jujur saja, dirinya masih dilanda rasa canggung. Dia berjalan masuk ke ruangannya, ternyata disana sudah ada Ihsan menunggu nya. Rasa canggung ada diantara mereka. Intan mendekati Ihsan dan menanyakan apa yang Ihsan inginkan.Ihsan hanya melihat sekilas pada Intan, lalu beralih pada map berwarna merah itu."Aku ingin kau merevisi lagi surat laporan itu. Sepertinya, Andika membuat kesalahan," titah Ihsan.Andika adalah anak baru, dia mendapatkan tugas dari Pak Ibra untuk membuat laporan. Tapi, sepertinya laporan itu sedikit ada kesalahan. Intan mengangguk dan mengambil map itu. Sementara itu, Ihsan pergi dari ruangan Intan."Surat laporan ini benar dan tidak ada kesalahan. Tapi, mengapa Pak Ihsan memintaku untuk merevisi nya?" tanya Intan dalam hati.Dia beranjak dari kursinya dengan membawa map itu. Dia mengetuk pintu ruangan Ihsan, tap
"Apa maksudmu? Video apa, Andra?" tanya Ara dengan suara bergetar.Rupanya, rencananya berjalan lebih cepat dari yang aku bayangkan. Ku lihat, wajah-wajah panik memenuhi wajah mereka. Aku meletakkan minuman dan camilan untuk tamu. Aku harus memainkan akting ku sekarang."Sudahlah, Ara! Kau tidak perlu membela diri lagi. Aku sudah tau semua kebusukanmu itu!" Andra menunjuk wajah Ara. Sedangkan, yang ditunjuk menunjukkan ekspresi kebingungan.Bagaimana, Bu? Permainan ini sangat seru 'kan? Ini baru permulaannya saja. Aku akan membuat api ini semakin besar."Aku benar-benar tidak mengerti apa maksudmu," ujar Ara.Andra mengeluarkan ponselnya, dan menunjukkan video itu kesemua orang. Ibu menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang dia lihat, sedangkan Mas Ihsan hanya terdiam.Andra terlihat sangat marah, dan memasukkan ponselnya kedalam saku celananya. Dia memandang wajah Ara dengan merah padam."
04 November 2018Hari ini adalah hari yang berarti untukku. Karena, kandungan ku sudah mencapai usia 7 bulan. Acara 7 bulanan pun dilakukan dengan sangat meriah, banyak tamu yang datang untuk memberikan ucapan selamat padaku dan Mas Ihsan. Semuanya berjalan dengan sangat lancar.Tapi, kebahagiaanku tak bertahan lama. Karena, setelah aku meminum minuman yang diberikan oleh Ibu mertuaku, perutku terasa sangat panas. Aku berteriak karena aku tak bisa menahan rasa sakit ini yang kian menyiksa."Aida!" Mas Ihsan yang tadinya sedang bercengkrama dengan temannya berlari menghampiriku. "Apa yang terjadi? Aida!""Perutku sakit sekali, Mas."Dengan sigap Mas Ihsan mengangkat tubuh mungilku, dan segera membawa kerumah sakit. Mama dan Ara juga ikut. Sesampainya dirumah sakit, aku segera dilarikan keruang IGD, karena mengalami pendarahan yang hebat. Seorang suster menyuntikk
Ara menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati. Saat ini, suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana bisa sang Mama memintanya untuk memaafkan Aida, seseorang yang sudah dengan teganya menghancurkan masa depannya itu. Sungguh, jika saja yang memintanya bukanlah sang mama, maka Ara pasti akan menolaknya mentah-mentah.Ara kembali teringat dengan permintaan maaf Andra, Ara kembali menangis. Jujur, dia masih mencintai Andra. Tapi, keputusan Andra yang memilih untuk meninggalkan dirinya karena desakan sang mama, membuat hatinya sangat terluka."Jangan mengujiku lagi, Ya Allah. Aku mohon! Biarkan aku bahagia," lirih Ara dalam hati."Maafkan aku, Ma. Untuk pertama kalinya aku menolak permintaan Mama. Bukan maksudku untuk menyakiti Mama, tapi semua ini berat untukku. Sangat berat!" Air mata kembali mengalir di pipinya. "Tuduhan itu! Hinaan itu! Pengkhianatan itu! Tidak bisa Ara lupakan, Ma. Tidak bisa!"Ara menghapus air matanya de
Mobil yang dikendarai oleh Ihsan memasuki pekarangan rumah. Tepatnya, rumah yang ia dan Aida tempati selama 3 tahun itu. Ihsan memasuki rumah dan langsung menuju kamarnya. Saat sampai dikamar, dia tak menemukan sosok Aida. Ihsan merasa bersalah, karena telah berpikir untuk mengkhianati Aida.Ihsan sadar! Perubahan Aida terjadi sejak kematian anak mereka dalam kandungan saat itu. Dimana, saat itu Aida benar-benar berada di titik terendah dalam hidupnya. Tapi, Ihsan dengan tega malah ikut menyalahkan nya atas kematian anaknya. Sejak saat itu, Aida berubah dingin. Dan, sejak saat itu pula, Aida memilih terjun ke dunia model."Jika Aida tau apa yang terjadi kantor. Maka, apa yang akan dia lakukan?" gumam Ihsan.Tok!Tok!Ihsan menoleh kearah pintu, "Masuk!"Mbok Darmi masuk kedalam untuk mengantarkan kopi. Mbok Darmi meletakkannya dimeja. Saat Mbok Darmi akan pergi, Ihsan mencegahnya. Selama ini dia selalu menceritakan masa
Intan dan Ihsan sama menuju kantin kantor dari arah yang berbeda. Intan berjalan sambil meminum cappucino nya tak menyadari Ihsan juga berjalan mendekatinya. Karena keduanya sama-sama tak menyadari, karena sama-sama sibuk. Pada akhirnya tabrakan diantara keduanya tak dapat dihindari. Ihsan dengan sigap menangkap tubuh Intan yang akan terjatuh. Tanpa sengaja, bib*r mereka saling menempel satu sama lain.Mereka saling pandang dalam waktu yang cukup lama, sampai tak menyadari ada begitu banyak pasang mata yang memperhatikan mereka."Ehem!"Derheman dari seseorang berhasil membuat mereka tersadar. Mereka segera memperbaiki posisi mereka. Tanpa mengatakan apapun, Ihsan pergi begitu saja, begitupun dengan Intan.Ihsan berbalik menuju ruangannya. Didalam ruangan itulah Ihsan terdiam, ingatannya kembali berputar tentang kejadian beberapa menit yang lalu. Entah mengapa dia seperti menemukan kedamaian saat menatap mata Intan, kedamaian yang