POV: Alister.
Sebenarnya apa yang kulakukan sekarang? Mengikuti pasangan yang terlihat sedang kasmaran? Kezia dan Fabian sedang bercakap-cakap sambil tertawa. Kami sedang berada di butik Kezia, dia ingin aku menjadi modelnya untuk pakaian item laki-laki. Wajah tampan dan badanku yang atletis membuat Kezia memintaku untuk membantunya. Lagi-lagi aku tidak bisa menolak permintaan Kezia, hanya wanita itu yang mampu membuatku berkata 'Iya'
Aku mendengus kesal, nyatanya bukan hanya aku tapi Fabian juga diminta datang untuk memberikan komentar. Komentar? Aku kan pengacara, jelas ucapanku lebih terpakai daripada pengusaha seperti dia. Mataku terus saja mengawasi mereka sambil bergaya di depan fotografer.
Setelah selesai aku meminta Kezia membayarku dengan mengajakku makan di restoran Jepang. Alih-alih ingin berduaan dengan Kezia, Fabia malah ikut juga.
POV: Mila. Aku tidak tahu takdir seperti apa yang sedang kujalani. Aku anak yatim-piatu, tidak pernah merasakan belaian kasih sayang orangtua sejak kecil. Om Danu dan Tante Gina yang merawatku, jauh sekali dari kata-kata sayang yang mereka lakukan padaku. Hingga akhirnya aku bersyukur, mereka menjualku ke club malam dan bertemu Alister Bagaskara. Orangtuaku pasti bangga karena aku yang tidak tamat sekolah ini bisa menikah dengan pengacara tampan. Meira sudah memperingatkanku supaya tidak membawa perasaan dalam hubunganku dengan Alister, dia satu-satunya yang aku ceritakan tentang pernikahan kami. Tapi yang kutakutkan malah terjadi. Pertama kali melihatnya, aku membencinya. Laki-laki yang membookingku dan berniat mengambil keperawananku di hotel berbintang. Tuhan seperti membolak-balikan kehidupanku, laki-laki itu telah menghala
POV: Alister. Kejadian tadi membuatku merasa bersalah pada Mila, sudah tiga jam wanita itu pingsan. Aku khawatir dengan keadaan Mila, ini semua karena emosiku yang tak terkawal. Semua karena cincin itu, aku benar-benar sudah melukai dia. Dia pasti sangat terkejut dengan perangaiku, apalagi aku sudah mengambil keperawanannya. Entahlah, aku sangat senang bisa menjadikannya seutuhnya milikku. Di saat hatiku terluka oleh keputusan Kezia. Aku takut Mila lari dariku, takut dia trauma melihatku dan membenciku. Aku masih terjaga di sampingnya, menatapnya sambil menggenggam tangannya. "Maafin Mas, Mila. Cepat sadar, sayang." Aku tahu ucapanku sangat melukai Mila, tekanan yang kuberikan membuat pikirannya terbebani. Belum lagi perkerjaan rumah yang dia kerjakan tanpa mengeluh. Aku tidak tahu perasaan apa ini, yang pasti aku belum mau m
POV: Alister. Mungkin ini adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan. Tebak saja aku dimana? Toko perhiasan, aku berniat untuk memberikan Mila cincin yang dia inginkan. Tidak, aku tidak mungkin memberikan cincin yang akan kuberikan pada Kezia untuk Mila. Entahlah, aku lebih bersemangat mencari cincin ini ketimbang mencari cincin Kezia. Aku hanya berpikir, anak itu layak mendapatkan yang terbaik. Ya, karena aku sudah mengambil miliknya yang paling berharga."Ada yang perlu saya bantu Pak?" seorang penjaga toko bertanya. Aku mendongak menatapnya yang ada di depanku."Tolong carikan cincin nikah yang terbaik, gak masalah dengan harganya yang penting carikan yang paling cantik," jawabku, aku melihat wanita itu tersenyum, terserah dia anggap aku lebay. Lalu aku kembali melihat meja kaca di bawahku. Semuanya terlihat indah tapi aku ingin yang terindah menghiasi jemari Mila."Ukuran jarinya?" tanya wanita
Hembusan nafas kasar terdengar. Kezia keluar dari taxi, kini dia sudah ada di bandara. Tangannya menarik koper memasuki bandara. Hari ini dia akan terbang ke Singapure tanpa ada yang mengantarkan. Keputusannya sudah bulat. Kezia berjalan dengan elegan, penampilan yang modis jemarinya sudah di nail art. Wanita ini terlihat sosialita dan fashionable. Tapi wajah sendu terlihat di matanya. Seperti ada yang tertinggal yang membuatnya berat. Kezia menatap pada orang-orang yang disekelilingnya, tidak lama suara berbunyi.PARA PENUMPANG YANG TERHORMATPESAWAT DENGAN NOMOR PENERBANGAN."Kamu gak mungkin datang
POV: Mila. Meira, sahabatku itu sejam lalu menjemputku dengan keadaan yang tidak kalah memprihatinkan. Rambutnya bau sambel, matanya sembab. Bibirnya terlihat bengkak. Tapi Meira tetap tersenyum saat kami bertemu. Aku tidak akan ceramah seperti orang suci, dia mengerti mana yang baik dan buruk untuknya.Jadi aku putuskan membawa Meira ke apartemen Alister, di sini kamar mandinya lengkap dengan bermacam-macam sabun dengan aroma yang harus kelas atas."Aku gak-papa, Mila," kata Meira berjalan ke arahku. Dia baru selesai mandi, semoga saja Mas Ali tidak marah aku membawanya pulang. Mana mungkin aku membiarkan Meira pergi dengan keadaan seperti itu."Untung kamu gak pingsan... kalau ada apa-apa aku bakal minta tolong sama Mas Alister nuntut mereka," omelku seraya mengangkat dua mangkuk mie ke atas meja. "Mulut kamu gakpapa? Masih bisa makan kan?" Tanyaku khawatir. Dia mengangguk. Tadi di pin
POV: Alister.Aku tersentak dari baringanku. Kelopak mataku yang berat terbuka mendengar suara wanita yang menangis, aku menoleh pada sumber suara itu. Mila sedang bermimpi buruk, gadis itu meraung-raung dalam tidurnya. Keringat dan air mata bercampur jadi satu, gadis itu sedang ketakutan.Aku menyentuh pipinya lembut, kulitnya terasa dingin. Raut wajahnya seperti di kejar-kejar hantu."Hmmmmm.... ""Tolong... jangan ganggu Mila, Tante tolongin Mila takut.""Tolong... ibu... Mila takut.""Mila, kamu kenapa?" Aku menggoyangkan pipinya, berusaha membangunkan Mila, kenapa dia ketakutan seperti ini? Aku baru pertama kali melihatnya bermimpi buruk. "Mila... Heii, bangun. ""Mila!!" Mata Mila terbuka tiba-tiba, dia menatap sekeliling dengan wajah bingung, belum sadar sepenuhnya."Kenapa kamu? Mimpi buruk, hm?" Aku mengangkat tubuhnya agar bisa d
Tiba-tiba suara musik terdengar menakutkan. Pemandangan sekitar gelap, di depannya tampak bayangan yang bergentayangan memekik seperti suara kuntilanak. Wanita itu merasa bulu kudunya merinding sekarang. Dia merapatkan tubuhnya mendekati Alister, satu tangannya sudah menutupi matanya tapi karena penasaran sesekali Mila membuka matanya"AHHHH..." Mila melompat ke pangkuan Alister spontan. Laki-laki itu membiarkan saja sambil menahan tawa. Ternyata Mila memang sepenakut ini.Dia meletakkan tangannya di atas kepala Mila. "Ini cuma film Mila, jangan bikin malu." Kata Alister dengan suara beratnya."Tapi gelap Mas, aku takut. Bisa gak lampunya di hidupiin aja," bisik Mila masih dalam posisi di atas Alister. Dimana ada bioskop hidup lampu? Bener-bener kampungan banget."Ini bioskop, bukan di rumah kamu," balas Alister. Mila mengerjap-ngerjapkan matanya. "Turun kamu." Wanita itu tetap dengan posisinya. 
POV: Mila. Aku jadi ambigu dengan sikap Mas Alister, kadang-kadang ngomel tidak jelas tapi semua kebutuhan yang tidak kuminta dia penuhi. Ah, ya... Aku kemarin beres-beres kamar dan menemukan album foto keluarga Mas Alister. Sangking penasaran aku menanyakan pada Mas Alister tentang foto-foto itu. Katanya hanya tinggal nenek dan Tantenya yang masih hidup.Andaikan aku bisa bertemu mereka, keluarga suamiku."Kamu selagi libur jangan keluyuran. Siapkan otak buat tes masuk kuliah." Kata Alister sembari memakai dasinya. Aku yang lagi sibuk merapikan tempat tidur tidak menyahuti ucapannya."Mila, aku lagi ngomong. Kamu denger gak sih?" Kini tubuh tegapnya menoleh padaku."Mila kan lagi beresin tempat tidur lhoo Mas." Jawabku tanpa melihat padanya."Nanti kerjain lagi, ke sini kamu! Aku lagi bicara, kalau orang lagi bicara itu harus dilihat bukan d