Share

Pekerjaan Baru

        

Pov: Mila

Kulangkahkan kakiku mengikuti Om-ku, laki-laki bedebah itu. Aku bahkan tidak tahu kemana dia membawaku, untuk pertama kalinya aku pergi dari kampung halamanku. Aku terus mengikuti Omku yang berjalan di depanku. Melewati kerumunan orang-orang yang sedang menari dengan alunan music yang hampir memecah gendang telingaku.

       Tanteku memaksaku untuk pergi, orang-orang di kampung mengecapku sebagai gadis liar. Untuk itu aku memutuskan mengikuti kemauan mereka. Kata Omku, aku tidak perlu khawatir tentang tempat tinggal dan isi perutku. Semua sudah tersedia, aku semakin penasaran dengan apa perkerjaanku nantinya.

        "Tunggu di sini, saya mau cari bosnya," ucap pria brengsek ini memberi tunjuk kursi kosong. Entah aku ingin sekali memakinya, dia tidak pantas aku sebut pamanku. Tapi ucapan itu tersangkut di tenggorokanku.

"SIALAN! Perempuan murahan ngabisin uang aja." Seorang laki-laki mengumpat di belakangku.

"Yaudahlah... lo kan udah pakek berulang-ulang kali. Ikhlasin ajalah. Dimana-mana gak ada yang namanya free."

   Tubuhku gemetar, jantungku seperti berlomba ingin loncat. Suara alunan music semakin kuat, lampu kelap-kelip membuatku pusing. Mataku dari tadi memperhatikan  orang-orang di sekelilingku. Ah, inikah tempat terkutuk itu? Yang menawarkan surga dunia.

"Ini bayaranmu, jangan lupa makan pil KB. Lain waktu aku datang lagi. Sama yang dibawah bersihin ya biar harum." Aku tercekat mendengar ucapan laki-laki itu, lalu mengalihkan mataku saat wanita yang menerima uang melirikku. Tapi tetap saja aku penasaran dengan apa yang mereka lakukan di sampingku. Sudut mataku nakal melirik lagi, dan sialnya itu adegan dewasa.

  Bagaimana ini, gimana caranya aku bisa kabur dari sini. Aku mulai gusar. Kepalaku menoleh kanan-kiri. Om Danu belum kembali, ini kesempatanku untuk lari.

   Aku bangkit dari kursiku, melangkah lebar ke arah pintu yang tadi aku lewati dengan Omku. Persetan dengan Tanteku, aku tidak ingin menjadi wanita pekerja di sini. Saat sudah dekat dengan pintu, suara teriakan mengangetkanku.

 "Hei! Mau kemana, jangan kabur kamu!" suara itu milik Om Danu, aku semakin mempercepat gerakannku.

  "Karmila! Tangkap dia."

  Dengan sekuat tenaga aku berlari kencang, sesekali menoleh kebelakang. Dua orang laki-laki berbadan tegap mengejarku bersama Om Danu, kami seperti sedang main film action. Aku berlari kuat dengan terisak, semoga saja aku tidak tertangkap. Aku pernah berdoa untuk terlepas dari Om dan Tenteku. Tapi kenapa aku malah jatuh ke jurang yang lebih dalam.

 "Kena kamu! Mau lari kemana?" seorang laki-laki berkepala botak menangkapku dari depan.  Kali ini tamatlah riwayatku.

 "Bawa dia ke ruang Tanaka," seorang laki-laki lagi yang tadi mengejarku berucap. Om Danu membiarkan saja aku digeret-geret.

  "Om, tolong Mila... aku nggak mau di sini Om!" teriakku dan berharap dia masih punya hati.

        

     "Udah ikutin aja, kamu bakal senang di sini," kata Om Danu, dan aku menoleh mendapati wajahnya tersenyum sambil mencium amplop di tangannya.

  🥀🥀🥀

"Barang bagus, tapi sayangnya dia masih bau ikan," ucap seorang wanita berjongkok di depanku dan mendapati mataku menatapnya tajam. Lalu dia menghempaskan kepalaku kasar setelah mengelus pipiku.

 "Untuk saat ini suruh dia bantu-bantu dibelakang, sampai dia terbiasa dengan tempat ini," lanjut wanita bermake-up agak tebal itu.

  Aku tebak dia adalah pemilik tempat ini, terlihat semua orang tertunduk saat bicara dengannya. Aku masih berlutut, dengan mata berkaca-kaca. Setidaknya dia bilang aku bantu-bantu di belakang. Aku tidak tahu pasti apa itu, tidak ada yang bisa aku perbuat.

 "Ayo ikut," laki-laki bertato menarikku kasar. Membawaku keluar dari ruang itu.

 "Pak tolong lepasin saya, saya nggak mau tinggal di sini." Aku menyatukan tanganku, memohon padanya. Tapi laki-laki itu semakin keras mencekam lenganku hingga sampai di depan kamar. Tangannya membuka pintu lalu mendorongku ke dalam.

 "Pak tolong lepasin saya!" Teriakku terisak.

 "Percuma kamu teriak-teriak, nggak akan bisa kamu keluar dari sini. Karena kamu itu sudah dijual," suara gadis di belakang mengejutkanku. Dijual? Laki-laki bedebah itu menjualku.  Saat aku menoleh pada wanita itu, ternyata gadis yang di sampingku tadi. Yang menerima uang bayaran.

 "Kamu masih beruntung nggak langsung disuruh melayani tamu, malah dijadiin pesuruh. Pasrah aja, ini tempat kamu sekarang. Kalau kamu bersikap baik dan penurut. Tanaka pasti nggak maksa kamu." Wanita berbaju teng top itu menghisap rokoknya, membuat awan putih dari asap rokok.

 Aku mengelap air mataku, tapi tetap saja tangisku tak henti malah semakin sesenggukan. "Mbak siapa?" Tanyaku.

   "Panggil aku Meira. Kamu kelihatannya masih muda." Dia memandangku dari atas sampai bawah lalu tertawa suram.

 Aku menggigit bibirku, berusaha menahan tangisku. Umurku sudah 16 tahun, apa bisa dibilang masih muda. Perempuan ini tertawa seakan pekerjaannya tidak membuatnya malu. Dan inilah tempatku sekarang. Aku terduduk lemas di dekat pintu, bajuku sudah basah karena air mata dan keringat karena main kejar-kejaran dengan algojo tadi.

"Namaku Mila, Mbak. Masih 16 tahun," setelah beberapa detik aku berucap. Dia tersenyum datar. Aku meneliti wajahnya,  pembicaraan wanita ini dan pria tadi mengusik pikiranku.

 "Ada apa? Kamu mau nanya sesuatu?" Ujar Meira. Dia tahu isi kepalaku? Apa dia paranormal.

   "Ta--Tadi," aku ragu-ragu. "Kok Mbak di kasih uang terus disuruh makan pil KB?" tanyaku mengingat peristiwa tadi.

  Dia malah tertawa. Lalu bangkit dari duduknya di tepi ranjang. Dan menatapku yang masih bingung dengan pertanyaanku. Apa dia tersinggung? Tapi kenapa dia tertawa?  Aku menatapnya terus, dia cantik dan aku pikir dia ramah.

 "Nanti juga kamu akan tahu, kalau udah lama tinggal di sini," ucapnya masih tertawa. "Aku masih ada job, ini cuma istirahat bentar. Kamu tidur aja, kalau mau mandi pakai bajuku yang ada di lemari."

 Dan aku terharu hingga ingin menangis lagi, dia tahu aku tidak membawa baju. Aku memperhatikannya yang sedang berkaca, menata rambut dan memoles bedak ke wajahnya.

 Setelah dia pergi, aku kembali menangis. Air mataku tumpah tanpa bisa kubendung lagi.  Aku tidak mau menjadi seperti mereka. Tuhan tolong aku...

🥀🥀🥀

   Tidak terasa sudah sebulan aku tinggal di sini, pagi hari aku bersih-bersih di club malam. Mengepel, menyapu, mengelap meja. Bahkan aku jadi tahu merk minuman alkohol, penciumanku sudah terbiasa dengan aromanya. Kalau soal bersih-bersih aku jagonya, tidak perlu dimentor. Aku suka rela mengerjakannya asal di kasih makan dan tempat tinggal. Asrama mereka seperti tempat kost-kostan. Banyak wanita-wanita berlalu-lalang dengan baju kurang bahan.

   Terkadang aku dipanggil untuk mengurut wanita-wanita yang bekerja di sini. Jangan panggil mereka pelacur, karena mereka juga tidak mau dengan keadaan seperti ini. Sama sepertiku. Kata mereka pijitanku enak, malah mereka ngasih tips. Lumayan buat beli pembalut dan bakso. Meira sering membawakanku makanan, dia paling banyak jobnya. mereka selalu bilang job kalau dapat pelanggan.

   "Mila, kerjaan kamu di kampung tukang pijit ya. Enak banget tahu."

   Aku tertawa sambil memijit bahu Meira, gadis itu ternyata masih 20 tahun. Dan dia yang minta sama pemilik pub ini supaya aku tinggal di kamarnya. Aku sangat berterimakasih mendengar itu, mungkin dia melihatku saat dikejar-kejar oleh laki-laki bedebah itu.

 "Aku sering mijit Tanteku pas di kampung. Jadi udah terbiasa, Mei." Dia tidak suka kalau aku panggil Mbak, nama saja biar kelihatan seumuran katanya. Meira sama sepertiku dari kampung, bedanya dia mengadu nasib di ibukota. Sedangkan aku dijual.

 "Dek, mau bakso nggak. Biar sekalian tak beliin." Aku menoleh ke arah pintu. Melihat Nia lalu mengangguk cepat. Mereka semua baik padaku, karena semua yang mereka suruh aku kerjakan dengan senang hati. Mencuci baju mereka, mijit, bahkan terkadang memasak untuk para hunian.

 "Mila pedas ya Mbak, tambahin baksonya," pesanku tak tahu malu. Kedua tanganku masih memikit bahu Meira.

  "Aku juga Nia, pedas juga," teriak Meira. "Entar malam aku ada double job jadi butuh banyak tenaga," lanjut Meira. Aku meneguk salivaku. Gila aja double job, dua cowok dong. Nia menaikkan jempolnya tanda mengiyakan pesanan Meira.

   "Mei, emang nggak sakit ya? Harus dobule job? Kamu nggak bisa nolak satu aja," ucapku penasaran dan merasa kasihan.

   "Udah biasa Mil, mereka maunya aku.  Mana bisa aku nolak. Bisa-bisa Tanaka marah. Lagian uangnya lumayan Mil," ujarnya. Aku berpikir sambil tanganku tetap menekan-nekan bahunya. Nih anak cepat kayak dong, pikirku.

 "Tapi bayaran aku nggak seberapa Mil dibanding yang masih virgin. Anak perawan kayak kamu bisa puluhan juta, apalagi cakep mulus bisa dilelang sampe ratusan juta," lanjut Meira, aku menggigil mendengarnya. Manusia dilelang?

  Semoga saja itu tidak pernah terjadi padaku, aku rela jadi babu di sini seumur hidup asal jangan menjadi pemuas nafsu laki-laki hidung belang.

  "Mila...Mila! Kamu denger nggak sih?!"

  "I--iya. Aku denger kok Mei."

  Aku terdiam sejenak, ragu menanyakan ini. "Kamu nggak menderita ngelakuin perkerjaan ini? Kamu kan punya kesempatan untuk lari dari tempat ini Mei."

  Meira menaikan bahunya terasa di tanganku. Lalu aku duduk di sampingnya. Ingin mendengar perasaannya. "Awalnya aku kayak kamu, tapi lama-kelamaan terbiasa. Lumayan hasilnya, Mil. Aku bisa nabung dan ngirim buat bantu adikku sekolah."

"Tapi kan jijik bersentuhan sama orang yang gak kita suka." Mulutku terlalu lancang, untung dia tidak tersinggung. Malah tertawa.

"Gak seburuk itu... kadang aku dapet pelanggan masih muda, ganteng lagi. Kalau kayak gitu kan sama-sama puas." Kata Meira dengan tawa tengilnya. Akupun ikut tertawa dengan gaya cerita Meira. Pemandangan club malam membuatku lebih terbuka, tidak semua di dunia ini indah.

   Krekkk

   Suara bukaan pintu mengagetkanku juga Meira. Aku pikir Nia dengan baksonya. Ternyata Tanaka. Ia memandangku lalu melihat ke arah Meira. Jarang-jarang Tanaka mendatangi asrama kalau bukan hal penting.

  "Meira nanti malam bawa Mila, pinjamkan dia pakaianmu yang bagus," ucap Tanaka lalu pergi tanpa berucap padaku. Tidak pernah dia menyuruhku datang dengan pakaian bagus

      Meira menatapku sejenak. Bahasa tubuhnya membuatku tidak nyaman. Tapi aku berfikir positif, selama ini aku tidak pernah dipaksa untuk melayani laki-laki. Teman-temanku di sini bersedia menggantikanku jika ada tawaran itu dari Tanaka. Bagi mereka mendapatkan job sama artinya mengisi pundi-pundi.

  "Aku tahu apa yang kamu pikirkan."

 "Aku mau berkerja apa pun itu asalkan nggak menjual diri. Tolong Mei, aku nggak mau ngelakuin itu," ucapku dengan bibir gemetar. Meira diam saja tanpa ekspresi. Aku tahu sulit bagiku untuk mencari pekerjaan tanpa mengantongi ijasah apalagi di ibukota.

"Kamu percaya aku, kan? Dateng aja, kalau kamu nggak dateng Tanaka bisa marah. Tenang aja aku bakal gantiin kalau urusannya udah sampai sana." Meira memegang tanganku hangat, aku percaya Meira. Dia satu-satunya yang paling terbuka padaku. Begitu juga sebaliknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status