Share

Om namaku Karmila

POV: Alister.

 Malam ini aku mendatangi club malam langgananku, atas undangan khusus dari Tanaka. Dia si pemilik Club itu, dia selalu memberiku service VVIP. Ya, karena aku mampu membayar untuk harga yang ia berikan dengan persyaratan yang aku ajukan.

     Mendengar penuturannya di telpon membuatku bergairah. Mana ada laki-laki yang menolak wanita masih virgin dan polos. Apalagi dia cantik. Katanya sih cantik...

  "Inget ya, saya nggak mau kecewa. Kalau ternyata barangnya nggak sebagus ucapan kamu, tahu kan akibatnya?"

 Wanita itu mengangguk lalu tertawa lebar. Si penyalur wanita malam ini berkata. "Barangnya asli masih ori, banyak bonusnya lagi. Jamin deh sesuai harga. Aku tahu kamu kan suka yang virgin. Umurnya juga masih muda."

Banyak bonusnya, yang kayak gini nih yang aku suka. Tanaka paling tahu selera aku, apalagi daun muda. Aku hanya booking wanita yang masih virgin, untuk jaga kesehatan saja. Paling nggak suka yang udah bekas orang.

"Sengaja aku simpen dia buat kamu. Banyak banget pelanggan yang minta dia, tapi cuma aku kasih sama kamu." Kata perempuan bermake-up tebal ini. Itu karena aku pengacara, setiap dia punya masalah ngadunya sama aku.

  "Good, cek sudah aku sediain. Kirim dia ke hotel yang aku pesan," ucapku tertawa sambil menaikan wine di tanganku lalu meneguknya. Wanita di depanku terlihat senang, mungkin membayangkan nominal di dalam cek yang akan aku berikan.

  Tanpa sadar aku meneguk habis minuman bening di gelasku. Semakin panas mendengar ucapan Tanaka.

  Aku membawa mobil hitam mewahku, membelah kota Jakarta. Lumayan jauh dari club malam tadi hotel yang kupesan. Walaupun dia seorang pekerja malam, aku akan menghargai dia sebagai teman semalamku. Memberinya kamar mewah yang tidak akan bisa ia dapatkan dengan gajinya.

  Tenang saja wajahku tampan dan banyak yang mengagumi. Gadis belia itu tidak akan menyesal bertemu denganku sebagai yang pertama membelah durennya. Aku mempercepat setiran mobilku. Setelah memarkirkan mobil, lalu masuk ke lift  menuju kamar 402.

🌹🌹🌹

    Mataku berbinar-binar, sesuai dengan ekspektasi. Gadis itu terlihat bening dan polos. Mataku sibuk memperhatikan satu-persatu yang ada pada dirinya. Alisnya natural tanpa pensil alis, rambut panjangnya bergelombang dibawah dibiarkan terurai. Tubuhnya gemetaran, gadis itu tertunduk dengan jari-jarinya saling beradu. Kelihatan sekali ini yang pertama untuknya.

 "Kamu udah siap? Mau buka sendiri apa perlu aku bantu." Aku melepas jas hitamku lalu duduk di tepi ranjang, menumpukkan kaki kanan ke atas kaki kiri. Masih setia menatapnya yang berdiri di depanku. "Kamu sudah tahu kan tugas kamu apa?" Sedikit kesal karena dia tidak memberikan respon.

"Angkat kepala kamu, aku mau liat jelas muka kamu."

     Wanita itu masih diam saja tanpa mengangkat kepalanya melihatku. Aku masih berbaik hati tidak langsung menerkamnya, dia terlihat masih terlalu muda untuk pekerjaan ini. Aku berjalan ke arahnya, menyentuh lengannya. Tubuh gadis ini bergidik gugup. Aku suka menjadi yang pertama menyentuh wanita. Ekpresi dan sikapnya natural... pasti akan mendesah dengan nikmat.

"Nama kamu siapa? Punya mulut kan?" Tunggu aku bernada tinggi dia baru mendongak melihat ke arahku.

      "I--iya Om."

 Aku berdehem kuat, dia manggil apa tadi? Om? Dikira setua itu muka aku ini. Aku menarik kemeja putihku keluar dari celana denimku, sengaja dua kancing kemejaku dari atas terbuka. Terdengar dari suara dia lemas sekali, kayak nggak makan dua hari. Apa nanti dia kuat mengimbangi aku di atas ranjang.

"Aku suka perempuan yang malu-malu begini," bisikku padanya. Dia kembali tertunduk. "Secara keseluruhan fisik, well... ideal aku juga." Sengaja kusentuh talu satu dressnya hingga mengendur dengan tatapan mesum. Sekali sentuh saja kulitnya sangat terasa halus. Dia cantik menawan alami.

   Kedua tangannya menahan baju dibagian dada. Padahal mataku sudah ingin mengintip di sela-sela itu.

  "Tolong Om, le-lepasin saya." Aku mengernyit mendengarnya memohon. "Saya ndak mau tidur sama om-om."

  Suara wanita itu membuatku tersentak, apalagi dia berjongkok di depanku, satu tangannya memegang lenganku. Air matanya tumpah. Matanya memelas memandangku.

 "Om saya bukan perempuan seperti itu. Saya nggak bisa ngelakuin ini Om, saya janji akan lakuin apa saja selain ini."

"Kalau kamu nggak mau ngapain kamu datang ke hotel ini?!" bentakku hingga dia terlonjak.

     "Teman saya, Meira di sekap Om. Saya nggak punya pilihan." Gadis itu menangis dengan tangannya yang masih memegang lenganku.

  "Saya nggak perduli masalah kamu, yang jelas saya sudah bayar mahal untuk tubuh kamu. Kecuali kamu bayar kembali uang yang sudah saya keluarkan," ucapku menghempaskan tangannya kuat, lalu kembali duduk di atas ranjang melihatnya. "100 juta, kamu ada uang ?" aku sengaja mengucap nominal itu.

     Dia diam sebentar, wajahnya terlihat berfikir. Huh, mana ada dia uang sebesar itu. Aku membuka kancing bajuku semua dan melepaskannya, seketika itu dia menjerit dengan menutup mata.  Membuat satu alis mataku naik, biasanya para hawa akan menjerit terkagum melihat badanku yang sixpack dan roti sobek di perutku. Dia malah ketakutan. Sial gadis ini membuatku emosi.

 "Om tolong jangan buka bajunya, saya mohon Om," teriaknya dan masih menyebutku dengan Om. "Saya nggak bisa bayar uang Om, saya nggak punya uang. Saya lakuin ini untuk menyelamatkan teman saya, tapi saya nggak bisa lakuin ini Om."

    "Heh, jangan nangis kamu! Saya nggak suka perempuan nangis! Dan jangan panggil saya Om! Saya bukan Om kamu!" Aku tidak tahan mendengar tangisannya, begitu meremas jantungku. Tidak mungkin aku termakan air mata buaya itu? Aku menarik tubuh kurusnya dan memeluknya, menghirup wangi baby oil dari tubuhnya seperti anak bayi, tangannya berusaha mendorongku kuat-kuat sayangnya tidak akan berhasil.

 "Om lepasiin Om. Lepasin tolong."

  "Berhenti berteriak, ikuti saja apa mauku," bentakku penuh nada perintah. Aku merasakan kukunya mencabik tubuhku, memukul dadaku berulangkali.

  Detak jantungku berdetak hebat. Aku ingin menyentuh setiap jengkal tubuhnya, aku ingin melihat di balik baju yang ia pakai. Memikirkannya saja darahku ingin meledak.

   "Kamu tahan aja kalau kesaktian, nggak akan lama percayalah." Aku pun sudah tidak tahan lagi dengan suhu yang mencekam dalam tubuhku. Kudorong tubuhnya  ke atas ranjang. Lalu menarik gaunnya turun dari bawah, mataku memuja tubuh nakednya sekarang.

 "Om... tolong jangan paksa saya. Jangan perkosa saya..." suaranya gemetar, tubuhnya dingin  seperti es saat aku menindihnya. Air matanya mengalir deras di pipi.

"Perkosa?!"

 Satu tamparanku melayang ke pipinya, mataku tajam dan dingin memandang wajahnya. Tidak ada di kamus Alister Bagaskara untuk melakukan itu. Wanita ini benar-benar membuatku naik darah.

      "Saya itu sudah bayar kamu mahal, supaya kamu tahu! Dasar perempuan malam gak tahu diri!" Makiku, salahkan dia membuatku sudah turn on. Jika moodku rusak susah untuk membuatnya bangun. Dengan begini dia harus bekerja keras membuat juniorku bangun, karena aku tidak mau rugi.

 "Lepasin daleman kamu, cepat!" bentakku. "Kita nggak mungkin melakukan itu kalau kamu masih berpakaian!" kataku. Tapi tanganku sudah tidak sabaran lagi dan menyentuh kulitnya. Meraba pakaian pribadinya yang masih menempel.

  Tangannya mencengkram ku kuat. Walaupun dia perempuan bayaran, tapi kepribadiannya tidak menunjukkan itu.   "Kalau Om memang ingin melakukan hubungan layaknya suami istri sama saya, tolong nikahi saya dulu," ucapnya membuatku tertekeh, lalu duduk di salah satu kursi.

  "Kamu ini penipu ya, mau main-main dengan saya! Perempuan malam seperti kamu jangan bermimpi untuk dinikahi." Kataku geram, tapi mataku tetap memandang pada tubuhnya yang indah.

 Dia menunduk, mungkin menyadari kata-katanya yang tidak masuk akal atau malu dengan keadaan tubuhnya yang tanpa pakaian. Kedua tangannya bersilang menutupi bagian dadanya. Terlihat dia tidak nyaman.

  "Saya nggak perlu dianggap sebagai istri Om, yang penting saya sah dan nggak berbuat zina. Orangtua saya pasti sedih kalau saya jadi perempuan malam."

       Lalu apa hubungannya denganku perasaan orangtuamu. "Aku lagi nggak cari istri, kalaupun aku cari istri yang jelas selevel dengan aku. Kasta kamu itu beda dengan aku. Tahu diri dikitlah." Aku melihat dia menaikan kakinya dan menyentuh lututnya.

 "Anggap saja saya pelihara Om, jadi Om nggak perlu cari perempuan malam lagi. Kan lebih aman kalau dipelihara. Om bisakan keluarin saya dari club malam itu? saya bersumpah Om masih perawan. Saya belum pernah disentuh siapa-siapa," katanya membuat mataku tak berkedip.

 Aku meneliti dirinya, dari ujung kaki hingga kepala. Sangat sempurna, polos dan matanya ada ketulusan. Harusnya dia bisa jadi istri pejabat, nasibnya saja yang tidak berpihak.

 "Untuk nembus kamu sama Tanaka nggak sedikit uangnya. Kamu kira kamu berharga sampe aku ngeluarin uang sebanyak itu. Mimpi."

 "Saya bisa bersih-bersih Om, masakan saya juga enak. Semua orang di tempat tinggal saya suka dengan masakan saya. Saya bisa nyuci, masak, nuci mobil Om juga. Jadi Om nggak perlu lagi pembantu di rumah Om."

  Aku hampir tidak percaya dia berucap itu.  "Kamu kira aku lagi cari pembantu? Disangka ini wawancara asisten rumah tangga," gerutuku. "Kamu itu tinggal puasin aku... nanti aku kasih tips buat kamu." Kataku mulai kesal. Ini yang bawah udah nyiksa banget, apalagi keseluruhan dia

  "Om, Om satu-satunya kesempatan saya untuk keluar dari sana. Nanti setelah Om, saya yakin nasib saya akan sama seperti yang lain. Menjadi pekerja malam," isaknya. Tubuhnya berguncang.

  "Kamu diam! Saya nggak mau dengerin curhatan kamu!" Aku menghela nafas dalam-dalam. Ucapannya sedikit mengganggu hati nuraniku.

        Aku terdiam, berfikir sebentar. Bahkan aku tidak mengenal gadis itu. Lalu keluargaku bagaimana? Bisa menjadi bencana kalau mereka tahu, kemana aku sembunyikan wanita ini? Sebenarnya yang dia katakan ada benarnya. Memelihara lebih aman, terhindar dari penyakit. Lagipula dia cantik dan masih muda, polos lagi. Uang sebanyak apa pun tidak masalah buat aku.

 "Baiklah," jawabku membuat senyumnya merekah. Baru kali ini dia tersenyum. "Aku akan menikahimu, tanpa pesta dan layaknya pernikahan." Dia langsung mengangguk tanpa berfikir. "Ingat pernikahan kita hanya di atas kertas, di rumah kamu hanya wanita bayaranku."

 Gadis itu menatapku lama, setelah itu ia berucap. "Nama aku Karmila Om. Om bisa panggil aku Mila. Setelah kita menikah Om boleh menyetubuhi aku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status