Share

Tukang gosip

     

POV: Mila.

Sepagi ini aku sudah bangun, sengaja supaya punya waktu banyak untuk memandangi laki-laki  yang masih nyenyak tidur di sampingku. Bulu matanya lentik, bibirnya merah pucat tidak seperti kebanyakan laki-laki yang merokok. Walaupun dia dingin dan ketus, tapi aku senang sekarang punya seseorang dalam hidupku. Tanganku berhenti menyentuh keningnya, alis matanya naik tiba-tiba untung saja Omku masih terlelap.

       Aku tersenyum lalu bergegas turun dari tempat tidur, pagi ini aku akan membuat sarapan spesial untuk Om. Omelet sayur, masakan pertama kesukaan Om yang berhasil kupelajari. Kocok telur, bumbui dengan bawang putih, garam, dan merica. Lalu kurebus bayam sampai layu, kemudian peras airnya dan iris hingga halus.  kucampur wortel, brokoli, dan bayam ke dalam telur. Tambahkan tepung terigu yang sudah dilarutkan dengan sesendok makan air.

     Setelah minyak panas baru kumasak telur dengan api kecil. Senyumku mengembang melihat omelet hasil karyaku. Mantab pokoknya, tidak sia-sia aku menonton acara masak-memasak di TV.

  "Kamu kenapa senyum-senyum? Salah makan ya?" ucap Om Alister baru keluar dari kamar, pakaiannya sudah rapih dengan setelan kemeja dan dasi.

  "Om... Mila buatin sarapan." Kubawa hasil karyaku dengan senyum bangga pada suamiku.

 "Ini kamu yang masak?" Aku mengangguk.  Kutarik bangku dan duduk di hadapannya. Mataku tak berkedip menunggunya mencoba masakanku.

   "Itu omelet paling sehat Om, banyak sayurannya." Ucapku tersenyum lebar. Aku pastikan Om tidak akan kekurangan gizi kalau aku yang masak.

   "Ngapain lihatnya gitu banget? Kamu kasih racun ya?" ujarnya membuatku ingin menarik piring itu dari depannya. "Kalau nggak dikasih racun, kenapa buatnya cuma satu? Kamu nggak makan? Disangka orang aku jahat lagi nggak kasih kamu makan."

  "Aku nggak suka Om masakan kayak gitu. Enakan aku makan ikan asin, tempe, sayur asem sama sambel terasi..." jawabku tanpa jeda, terserah dia mau bilang selera kampung.

    Dia sangat lahap memakannya, melihat mimik wajahnya menikmati makanan itu membuatku senang. Sepertinya sesuai selera lidahnya. Lagi makan saja wajahnya begitu tampan, jadi penasaran siapa wanita yang ingin dia lamar? Dadaku tiba-tiba terasa sesak memikirkan itu.

        "Enak Om?" tanyaku.

        "Em." Hanya itu yang kudengar.

        "Kamu kalau mau ketawa, ketawa aja. Semalam kamu ngintip aku kan di ruang tamu?" Kata Alister menatapku dengan wajah datarnya.

        "Aku nggak sengaja, Om. Sumpah deh." Tidak ada balasan Alister.  "Om jangan marah ya," sambungku melihat Om belum merespon ucapanku. Siapa coba yang mau ketawa lihat suaminya mau ngelamar perempuan lain, saraf kepala si Om agak kelipat kayaknya.

  "Bisa nggak sih kamu jangan panggil aku Om, Om. Emang aku pendofil, nikahin anak-anak." Ucapnya dengan ketus, kali ini aku yakin dia benar-benar marah. Lalu aku harus panggil apa dong? Di kampung panggil Mas, apa bisa aku sebut itu.

   "Mas--Mas Alister," ucapku ragu-ragu lalu dia meluruskan matanya padaku. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Tatapannya seolah menghipnotisku. "Nggak papa Mila manggil Om Mas?" tanyaku.

   "Itu lebih bagus daripada Pak," ucapnya, tanpa melihatku. Aku tersenyum. Apa ini berarti hubungan kami semakin dekat. "Udah sana ambil makanan kamu, dari pada liatin aku terus."

        Eh, masa Mas Alister salah tingkah aku liatin makan, mukanya merah gitu kayak pakek blush on. Apa ini mata aku saja yang rabunan. Aku menggeleng. "Aku belum laper Mas, liatin makan kamu aja aku udah kenyang." Aku menatap piring Omelet yang tinggal sedikit lagi. Nyesel bikinnya cuma satu.

   "Aku udah kenyang, abisin sayang dibuang." Mas Alister mendorong piringnya ke depanku, lalu mengalihkan pandangannya pada gelas air putih sebelum meminumnya.

        "Iya Mas mubazir kalau dibuang, tak bantu habisin ya," ucapku, tanpa mengganti sendok langsung menyendoki omelet ke mulutku. Ini toh Omelet? Rasa telur juga kok campur sayuran.  Beberapa detik berlalu, hening... Aku meliriknya yang sedang mengutak-atik hapenya.

    "Mas, aku mau nanya, boleh nggak?" tanyaku memberanikan diri. Sesuatu yang mengganggu pikiranku.

   "Tergantung. Kalau pertanyaan kamu menyangkut privasi aku. Aku nggak jamin bisa jawab." Jawab Mas Alister tanpa melihatku.

     "Sebenarnya, Mila denger Mas soal yang semalam. Emangnya Mas Alister sudah punya pacar ya? Hubungannya sudah serius ya Mas, sampe mau lamar-lamar gitu." Okeh, aku sudah pasrah kalau dia mau marah karena pertanyaanku. Aku tahu posisiku tidak ada hak untuk kehidupan Mas Alister, tapi setidaknya aku ingin tahu wanita seperti apa wanita yang disukai suamiku.

   "Iya aku serius sama dia." Ucapan itu seperti menyayat hatiku, sudah tahu sakit tapi masih ingin tahu. "Tapi dia bukan pacar aku, bukan pacar bukan berarti nggak bisa ngelamar kan?" tambahnya melihatku.

   Entah harus senang atau sedih mendengar itu, apa maksudnya dia  ngajak ta'aruf? Aku jadi semakin penasaran dengan wanita itu. Wanita yang mampu membuat Alister seperti orang lain. Dari wajahnya terlihat dia bersemangat mengucapkan kata-kata itu.

  "Kalau Mas udah nikah, terus Mila gimana?" ucapku pelan, sekali lagi aku tidak sadar diri dengan posisiku. Aku pikir dia akan marah, tapi malah terlihat berpikir keras.

       "Memang kamu maunya gimana?" tanyanya. Mata kami saling bertatapan, pagi-pagi jantungku tidak karuan begini. "Kamu tetap sama aku, sampe aku bosen dan lepasin kamu." Aku terenyak, harusnya aku senang bukan? "Kenapa kamu nanya-nanya? Pengen banget aku lepasin."

      "Eh, enggak Mas. Cuma nanya aja, semoga perempuannya terima lamarannya ya Mas," ucapku tersenyum, tapi ada yang sakit tak bernanah.

      "Ini terakhir kamu nanya masalah pribadiku, karena kamu terlanjur dengar makanya aku kasih tahu. Aku nggak suka kehidupan pribadiku dicampuri orang." Ucap Alister penuh penekanan. Aku tertunduk, mengerti dengan ucapannya. Aku hanyalah rempahan rempeyek yang tidak berarti di hidupnya. Wanita yang akan menjadi partner di atas ranjangnya saat umurku sudah 17 tahun nanti. Kapan saja dia bisa meninggalkanku.

       Lalu Mas Ali melanjutkan dengan peraturan-peraturan rumah yang harus aku ikuti. Satu peraturan yang membuatku senang, dia tidak akan menyentuhku sampai umur 17 tahun, padahal itu kan beberapa bulan lagi.

      "Jadi nggak boleh melakukan hubungan seksual saat umur Mila 17 tahun kan, Mas," ucapku memastikan.

       "Hm." Dia mengangguk. "Seks ya Mila, bukan berarti kita nggak bisa kontak fisik."

       Aku melotot tidak mengerti, maksudnya gimana? Dia boleh menyentuhku tapi tidak sampai melakukan hubungan intim itu? Aku jadi teringat dengan kecupannya semalam. Dasar laki-laki tidak mau rugi.

       "Sentuhan fisik itu nggak selalu mengarah ke seks, kecuali aku buka baju kamu semua dan----" Dia terdiam. "Kamu ngerti kan? Aku males nerangin. Jangan jadi cewek bodoh-bodoh bangetlah Mila."

       "Iya Mas, ngerti. Jadi aku nggak perlu melayani Mas di atas ranjang kan Mas?"

  "Jangan seneng dulu kamu, ulang tahun kamu tinggal beberapa bulan lagi. Abis itu nggak ada lagi alasan dan bantahan," ujarnya. Sepertinya dia ingin sekali meniduriku, kenapa nggak sama perempuan itu saja.

  "Mas, kenapa masuk ke club malam? Kenapa nggak sama perempuan yang Mas mau lamar aja melakukan itu?" tanyaku penasaran.

     Sudut bibirnya naik, Alister menatapku sambil menggeleng. "Mila...Mila polos itu jangan dipelihara. Menurut kamu pria-pria yang booking perempuan malam nggak punya pasangan? Laki-laki bisa melakukan seks tanpa cinta. Tinggal tutup mata dan berimajinasi orang yang kita sayangin, kelar dah."

      Aku tahu teori itu, Meira pernah menceritakan hal seperti itu. Berimajinasi dengan tubuh orang yang kita sayangi, dan menjadikannya objek kemesuman mereka. Tapi kenapa aku merasa tidak rela jika itu terjadi padaku, aku ingin dia melihatku dan sadar akulah yang bersamanya saat melakukan itu.

         "Mas, aku masih banyak kerjaan. Kalau mau berangkat kerja pergi aja," dengan kurang ajarnya aku mengusirnya dengan halus, dia terdiam dengan wajah cengonya.

      "Aku belum selesai bicara Mila!"

       "Aku paham kok Mas, nggak usah diulang-ulang lagi." Teriakku.

     Iya aku paham Mas, tugasku di sini dan siapa diriku. Aku menoleh saat mendengar gesekan kursi. Aku memandangi punggungnya yang semakin menghilang di balik pintu.

       Aku menahan sesak di dadaku, ucapan Alister melukai harga diriku. Harga diri yang harusnya sudah kubuang jauh-jauh setelah menikah dengannya. Aku menutup mataku, menarik nafasku dalam-dalam. Pasrah dengan apa yang akan terjadi nanti.

🌹🌹🌹

      Aku mulai menikmati rutinitas di rumah ini.

     Membersihkan rumah, menyusun pakaian Mas Alister. Katanya dia hanya sekali-kali datang ke sini tapi nyatanya dia selalu pulang ke sini. Lihat saja pakaiannya sudah penuh di lemari. Aku tersenyum menyusun pakaian yang sudah kuseterika.

    Yang membuatku bingung, dia meletakkan uang di atas meja tanpa bicara. Apa dia sengaja mau ngetes apakah aku pencuri atau bukan. Tapi melihat isi kulkas kosong, aku berpikir untuk menggunakannya.

      Pengamatanku setelah lama tinggal di sini, di ujung blok rumah ini ada warung. Daripada harus ke pasar yang aku tidak tahu dimana letaknya lebih baik aku belanja di sana.

      "Bu, gula ya sekilo."

      "Bayar ya, jangan hutang. Nggak balik modal kalau yang beli hutang-hutang."

       Aku tersenyum mendengar gerutuan pemilik warung ini. Tempatnya tidak terlalu besar tapi sudah banyak pelanggannya. Aku memilah-milah sayur yang masih segar, di kampung aku sudah terbiasa dengan sayuran segar. Namanya ibu-ibu  tidak lihat tempat mau ngerumpi. Masih saja mereka ghibah. Kupingku sampai panas dengerinnya.

      "Eh, eh... tahu nggak tetangga saya ada yang kumpul kebo, baru tadi malam digerebek sama Pak RT."

      "Ih, masa Bu... Yang mana itu orangnya?"

     "Alahh, yang sering ngeborong sayuran di sini. Anaknya masih muda, masih bau kencur. Lakinya udah tuir. Apa orangtuanya nggak ngajarin etika ya sama dia?"

      "Hussst... Kalau ngomong jangan kuat-kuat nanti ada yang ngadu pula sama dia."

     "Ceweknya kok mau sama cowok yang tua, kurang stok laki tah, atau mau morotin uangnya doang." Aku melirik wanita berambut cepol itu tertawa dengan sinis.

      "Namanya laki-laki Bu, dikasih ikan asin juga mau. Yang penting mah bisa digrepek-grepek. Entar kalau sudah hamil palingan gugurin, udah kayak perempuan nggak bener aja. Amit-amit punya anak perempuan saya kayak gitu."

       Jantungku seakan berhenti berdetak mendengar obrolan ibu-ibu itu. Tanganku terhenti di sayur kangkung yang sudah layu, mataku memanas. Entah mengapa ucapan itu menusuk hatiku.

    "Ada apa Neng? Kok diem aja. Jadi mau beli sayurnya?" tanya wanita di depanku, pemilik warung itu. Wanita yang di sampingku ikutan menoleh, obrolan mereka pun terhenti.

  "Ng--Nggak papa kok Bu, ini sayurnya berapa harganya?" ucapku ingin buru-buru pergi dari situ.

        "2000 aja Neng, cuma itu aja?" Aku mengangguk dan memberikan uangku, kakiku melangkah lebar tanpa mendengarkan teriakan ibu tadi.

         "Neng kembaliannya..."

      Aku takut mereka juga menghinaku. Takut mereka tahu siapa aku, takut mereka akan menggunjingku dan Mas Alister. Tapi kan kami tidak salah. Kenapa aku jadi sensitif begini sih! Seluruh tubuhku semakin bergetar, rasanya tidak kuat berdiri lama. Aku melangkah lemas ke rumah dan duduk di ruang makan, kedua tanganku mengusap air mataku yang sudah menetes.

      Mereka menceritakan orang lain tapi aku yang merasa marah, kesal, dan malu. Andaikan orangtuaku masih ada mungkin aku tidak akan diposisi seperti ini. Harusnya aku masih menikmati hari-hariku di sekolah. Mengejar cita-citaku, bukan menikah dengan Mas Alister. Walaupun dia tidak terlalu tua. Hanya saja umur kami jauh. Apakah Mas Alister akan menyuruhku menggugurkan anak jika aku hamil?

       Segala macam pertanyaan berkecamuk di hatiku, bagaimana kalau wanita itu menerima lamaran Mas Alister? Dan aku siapa? Simpanan kah?

     "Neng, kenapa nangis?"

     Aku mendongak melihat seorang pria paruh baya berdiri di depanku. Pak Udin, supir Mas Alister. Kenapa dia di sini? Aku mengusap air mataku, mencoba tersenyum.

       "Nggak pa-pa Pak, kenapa pulang lagi?" tanyaku, mataku melirik ke belakang Pak Udin, laki-laki itu tidak ada.

       "Neng yakin? Siapa yang bikin nangis."

       "Nggak papa Pak, cuma kena debu jadi kelilipan," jelasku berdusta. Pak Udin menautkan kedua alisnya, mana mungkin dia percaya karena aku menangis sesenggukan.

      Aku melirik kedua tangan Pak Udin yang menenteng dua pelastik hitam besar. Aku semakin mengerutkan keningku melihat barang-barang itu adalah kebutuhan dapur yang ingin kubeli, loh bukannya Mas Alister meletakkan uang di atas meja. Uangnya sudah aku pakai.

      "Kata Pak Alister, nggak usah belanja. Ini sudah Bapak belikan di suruh Pak Alister, untuk stok katanya," ucap Pak Udin sebelum aku sempat bertanya. "Tadi pagi katanya ada uang di atas meja, itu untuk beli kebutuhan pribadi Neng," sambung Pak Udin.

       Aku bernafas lega, "Iya Pak, bilang makasih. Uangnya sudah aku pakai," ucapku dengan wajah menahan malu.

      "Yaudah Bapak balik kerja lagi ya Neng." Pak Udin melangkah ke arah pintu, aku mengantarnya ke depan. Tapi langkahnya terhenti dan menatapku serius. Kerutan di wajahnya terlihat jelas. "Kalau boleh tahu Neng siapa ya?"

  "Maaf Pak, saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Karmila Pak, panggilannya Mila." Aku menyalam pria tua itu.

 "Oh Mila, terus neng ini siapanya Pak Alister?" tanyanya. Aku tercekat di tempatku berdiri. Alister bilang tidak satu orangpun boleh tahu tentang pernikahan kami. "Gak papa kalau gak mau jawab... saya cuma pesan. Kalau ada apa-apa Neng bisa ngomong sama Bapak." Aku mengangguk pelan, bibirku kaku untuk bisa tersenyum.

     

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status