Share

Kucingku

POV: Alister.

"Mila! Bangun... sudah pagi kamu masih tidur aja. Jangan jadi pemalas kamu... " Aku mengguncang tubuh Mila yang masih terbungkus selimut. Aku tahu dia ini pura-pura tidur, pasti mau menghindar dari tugasnya.

"Mila!"

"Om, udah pagi ya," gadis itu akhirnya menjawab. Perlahan matanya terbuka. Apa dia lupa semalam pingsan hanya karena tersentuh juniorku yang menegang? Megang saja pingsan apalagi melihatnya. Belum lagi di masukin. Sepertinya aku harus punya strategi panjang, supaya Mila cepat bertubuh dewasa pikirannya.

Aku menarik selimut yang menutupi tubuh Mila, balas dendam karena dia aku jadi main solo sambil mandangin dia tidur. Pingsan apa pura-pura tidur, jadi curiga.

"Malah tidur lagi! Nggak usah pura-pura tidur Mila, jangan karena aku nikahin kamu jadi ngerasa nyonya besar. Kamu ngaca, tinggal disini harus tahu diri." Aku menendang kakinya pelan, matanya terbuka lagi dengan wajah bantalnya.

"AAAA! Om kenapa Mila telanjang?!" jeritnya histeris melihat tubuh nakednya. Sengaja kubiarkan terbuka supaya dia murka. Padahal tuh anak masih virgin. Sama sekali belum kena sentuh, cuma kiss doang, itu pun sebentar. Dia melihatku tajam, persis seperti aku pelaku pendofil. Matanya seakan aku tercyduk melakukan prostitusi terhadap anak dibawah umur.

"Om, jahat banget! Ngelakuin itu waktu aku nggak sadarkan diri," dia mendorongku kuat, berani banget dia main dorong-dorong. Dia benar-benar ngira kami sudah melakukan itu. Aku menutup tanganku ke mulut yang hampir tertawa geli.

"Heh, Mila. Aku bukan cowok yang mau begituan dengan robot. Iya kali berhubungan tanpa timbal balik. Otak aku masih waras. Dasar perempuan tolol!" bentakku emosi. Pagi-pagi dia sudah membuat tekanan darah tinggiku mendidih.

"Beneran belum kejadian, Om?"

"Mau aku buktiin?"

Mila bangun dengan kepala tertunduk, mungkin ucapanku sedikit kasar padanya. Tapi jelas disituasi seperti ini aku yang harusnya marah. Dimana janji dia yang akan menuruti kemauanku setelah kami nikah, dikira uang sedikit yang aku keluarkan untuknya.

Mila turun dari tempat tidur dengan selimut menutupi tubuhnya, aku tidak peduli. Setelah dia berpakaian lengkap dia mengambil ranjang pakaian kotor yang berserak di lantai.  Bener-bener tuh perempuan jiwa pembantu. Naluri bersih-bersihnya langsung keluar. Aku kira pagi-pagi gini bisa ngebayar yang tadi malam. Kulihat dia mengambil pakaian digantungan yang sudah bekas pakai. Aku menghela nafas. Langsung saja membuka boxerku lalu melemparnya tepat di depan wajahnya.

"Aku mau mandi, sediain baju sama handuk," perintahku geram. Tanpa perduli matanya yang kaget, aku berjalan dengan pedenya ke kamar mandi. Belum puas aku mengerjai dia, langkahku terhenti.

"Mila! Aku mau mandi air hangat. Cepetan buatin!"

Wanita itu meletakkan keranjang yang dia pegang lalu berlari keluar. Pembantu yang seperti ini yang harusnya dicari, cekatan dan sigap. Tidak lama Mila datang membawa air hangat. Aku memandang sinis melihat wajah Mila, supaya dia tidak melakukan kesalahan lagi.

"Pegang coba airnya. Kepanasan atau nggak ada rasa panas," suruhku. Terlihat keningnya mengkerut mengikuti perintahku.

"Pas kok Om. Nggak kepanasan. Sedang Om," jawabnya tersenyum. Aku suka wajahnya yang cantik, terutama saat dia tersenyum. Aku berdehem.

"Aku kira kamu robot, mati rasa," sindirku seperti anak kecil tanpa memandang wajahnya. Sepertinya dia malas berlama-lama denganku di kamar mandi. Dengan cepat dia keluar dari kamar mandi.

🌹🌹🌹

"Om, aku udah siapin sarapan. Sebelum berangkat makan dulu ya," ucap Mila, seakan berharap banget aku cepat-cepat keluar dari rumah ini. Aku pura-pura tidak mendengar, berharap dia kesal. "Masakan Mila enak lhoo Om... nyesel nanti gak nyobain."

Aku berjalan ke ruang makan, penasaran dengan rasa masakan dia. Mataku sedikit melirik Mila yang sedang mengelap lemari di ruang TV. Berasa pembantu banget dia ya.

Kucoba dulu satu suap, rasanya lumayan. Jarang sekali aku menikmati sarapan di rumah. Sepertinya lidahku sedang melakukan kesepakatan dengan masakan Mila. Perempuan itu berhasil merubah seleraku.

"Om, gimana masakan Mila? Enak nggak, suka nggak?" tanyanya setelah berulang kali aku memasukkan nasi goreng ke mulutku.

"Biasa aja, ya rasa nasi goreng campur telur," jawabku tanpa melihat wajahnya. Tuh perempuan nggak tahu muka orang lagi marah ya.  Sudut mataku meliriknya, sepertinya dia kecewa dengan jawabanku.

"Mila, lain kali sebelum aku berangkat kerja usahakan kamu sudah mandi. Udah wangi. Urusan pekerjaan rumah belakangan. Aku nggak suka masakan pedas, apalagi yang masak masih kusut, bau asem," ucapku. Dengan kaku dia mengangguk.

"Masakannya bersih kok Om, tadi pas Om mandi aku cuci muka sama gosok gigi. Cuma bajunya aja nggak ganti." Dia mendekat, berdiri di samping meja makan.

"Masa? Coba sini aku cium, masih bau apa nggak? Mana aku tahu kamu udah cuci muka, aku nggak lihat."

"Kok dicium-cium Om, aku nggak bohong kok Om. Beneran udah bersih-bersih di wastafel tadi cuci mukanya." Dia menunjuk tempat cuci piring. Astaga, dibilang di wastafel? Dikira tempat tucian piring tempat bersihin muka.

"Jangan bohong, masih kecil udah bohong mau jadi apa kamu." Nih cewek harus diajak mesum pagi-pagi. Dicicil biar nggak pingsan lagi kalau mau berhubungan. Aku memberi kode dengan tangan agar dia mendekat padaku.

Dia mengamati wajahku, seakan aku sedang mencari kesempatan untuk menyentuhnya. Aku menggeser piringku yang kosong sambil melihatnya yang mendekat padaku. Tiba-tiba suara bel berbunyi membuat gadis itu berbalik arah membelakangiku.

Pak Udin masuk, supirku yang kusuruh datang untuk menjemputku. Aku sedang malas menyetir, perjalanan cukup jauh ke kantorku. Pak Udin datang di saat yang kurang tepat. Aku menghela nafas melihatnya di depanku, terlihat Mila gugup dibelakang Pak Udin. Ini pertama kalinya Mila bertemu dengan orangku.

"Pak, mobil sudah siap. Kita bisa berangkat sekarang," ucap pria dengan peci ini, aku mengangguk. Lalu melirik Mila yang masih berdiri. Sepertinya aku harus jaga jarak sebelum dia benar-benar siap. Berada di dekatnya beneran nyiksa banget.

"Mang Udin tunggu aja di mobil nanti." Perintahku, melihat wajah pria tua itu mengkerut  pasti dia penasaran dengan gadis disebelahnya. Aku tidak pernah membawa pulang seorang perempuan apalagi ke vila ini.

Setelah pria itu keluar, aku berkata. "Kalau lewat jam sepuluh aku belum pulang, itu tandanya aku gak pulang. Kamu kunci pintu." Mila mengangguk lemah. "Jangan takut di sini aman kok."

"Iya. Aku gak takut kok." Ucapnya tersenyum.

"Nanti kalau aku sudah pulang. Kamu harus sudah siap ya... Aku gak mau nunggu lama." Kataku dengan suara serak. Aku kan menikahinya hanya untuk pemuasku dari pada jajan di luar.

🌹🌹🌹

Sampai di mobil aku membuka ponselku, tebak apa yang aku lakukan? Rumah itu sudah kupasang CCTV. Aku harus tahu apa yang dilakukan Mila, jangan-jangan dia mencoba untuk kabur.

Mila berjalan ke belakang dapur membawa ranjang pakaian kotornya yang tadi. Ia merendam pakaian kami dengan tempat yang terpisah. Bagus, aku juga jijik kalau harus satu tempat dengan bajunya. Aku mengerutkan dahiku melihat Mila mencuci baju dengan tangannya. Apa dia nggak bisa menggunakan mesin cuci?

Aku memegang daguku, memperhatikan layar ponselku. Sekarang Mila sedang menjemur pakaian. Sungguh mataku dan pikiran mesumku menyatu melihat pakaian basah gadis itu. Mungkin aku harus bersabar padanya, menunggu hingga Mila genap 17 tahun.

"Tuan, siapa gadis itu? Belum pernah Mang Udin melihatnya?" tanya Pak Udin dengan lancang.

"Tutup mata aja Mang  Udin, pura-pura nggak lihat. Jangan cerita sama Oma juga tanteku tentang Mila. Itu urusan pribadi aku." Ucapku menegaskan. Dia mengangguk dan tidak bersuara lagi.

Tidak ada yang boleh tahu siapa Mila, gadis itu hanya sekedar perempuan simpananku.  Aku tidak perlu menganggapnya sebagai istri. Toh, setelah aku bosan dengannya aku akan menceraikannya.

Setelah beberapa lama mobilku telah sampai di baseman kantorku, seorang wanita cantik langsung menyambutku. Dia Jovanka, sekertarisku. Sengaja aku mencari sekertaris yang cantik dan hot sekalian untuk cuci mata.

"Selamat pagi Pak," ucap Jovanka sambil membuka tombol lift. Aku mengangguk sebentar, lalu kembali melihat layar ponselku. Kenapa jadi ketagihan melihat rutinitas Mila di rumah?

"Maaf Pak, Mbak Kezia menelpon saya kemarin, menanyakan keberadaan Bapa. Hari ini dia ada peragaan fashion show di gedung sebelah. Dia ngirim undangan untuk Bapa."

Aku menyimpan ponselku lalu mengalihkan pikiranku pada gadis yang disebutkan Jovanka.

🌹🌹🌹

Sengaja kupercepat jam pulangku, bukan ke rumah tapi ke tempat peragaan busana. Kezia Dewinta--dia si pembuat insomiaku. Setiap kali dia tidak menjawab panggilan dan membalas pesanku, aku pasti kepikiran terus dengan dia.

Sebenarnya dia bukan disainer berbakat. Malah terbilang salah jurusan, pekerjaan dan pendidikan yang dia tempuh bertolak belakang. Well... orangtuanya berduit jadi dia bebas menentukan usaha apa yang dia geluti.

"Hei Alister... Akhirnya kamu dateng, aku pikir kamu nggak akan datang," gadis itu memeluk dan menciumku. Aku tersenyum menyambutnya.

"Mana mungkin aku nggak dateng ke acara penting kamu," ucapku gugup. Hanya gadis ini yang mampu membuatku tersipu. Merasakan kupu-kupu di dalam perutku.

"Aku terharu jadinya, aku pikir kamu marah. Telpon aku nggak kamu angkat. Kemana aja kamu seminggu ini, ngilang gak jelas." Dia merajuk dengan wajah dibuat-buat cemberut. Harusnya aku yang merajuk, karena satu hal.

"Zia, kamu tahu kan. Aku selalu menomor satukan kamu di atas segalanya," ucapku menyentuh tangannya. Melihat wajahnya tidak nyaman kulepas tanganku cepat-cepat. Ya, hanya aku yang merasakan perasaan ini. Sedangkan dia tidak.

"Fabian bilang dia juga dateng, tapi belum juga kelihatan batang hidungnya. Harusnya kita bisa nongkrong bareng habis ini." Fabian? Dia juga datang, moodku langsung rusak oleh nama itu.

Aku tahu betul tidak ada setitikpun cinta untukku. Kezia hanya menganggapku sebagai temannya. Tapi, aku tidak akan menyerah. Sebelum janur kuning melengkung. Masih ada kesempatanku meraih Kezia. Aku terlalu mencintainya, kenangan-kenangan kami membuatku tidak bisa melupakan Kezia.

Katanya jodoh itu cerminan dari diri kita, aku merasa banyak kesamaan antara aku dan Kezia. Sama-sama ingin sukses dan ambisius. Dulu aku, Kezia, dan Fabian sering ke club dan pulang pagi. Tapi yang paling aku ingat dan bikin kesal mereka pernah berduaan meninggalkan aku di club sendirian.

Dan sekarang kita bertiga sama-sama di Jakarta, sama-sama sukses. Fabian itu patner nongkrong yang paling manteb, tapi aku masih tidak berani membayangkan Kezia akan memilih siapa antara kami. Sejak itu aku menganggap Fabian rival dalam hal asmara.

Dari arah pintu aku melihat laki-laki itu tersenyum lebar, sambil melambaikan tangan pada kami. Dia laki-laki yang diagungkan Kezia. Padahal dilihat dari sebelah mana pun aku jauh lebih baik dari Fabian, iyakan? Iyalah...

"Sorry aku telat, tadi mampir sebentar beli ini." Fabian memberi sebuket bunga pada Kezia, sialan. Aku lupa membawa hadiah untuk Kezia. Ini karena aku terburu-buru tadi.

"Gimana kabar kamu, Ali?" Fabian basa-basi. Aku setengah hati menyambut kedatangan Fabian.

"Seperti yang kamu lihat, aku sehat walafiat. Hidupku cemerlang. Dan kamu gimana? Masih suka ke club cari perempuan malam?" ucapku sengaja di depan Kezia. Cowok rata-rata sebejat itulah kalau sudah banyak uang. Pengalaman kami berdua dulu.

"Sesama pecinta dunia malam gak usah saling nyela lah." Jawabnya. "Kamu gimana? Udah ada yang ngasih bayi diantara mereka." Lanjutnya dengan sinis. Parah nih orang...

"Ehem." Kezia tidak nyaman dengan obrolan kita. "Gimana kalau kita minum aja. Aku traktir. Acara udah selesai jadi kita bisa nongkrong di cafe sebentar." Kezia menengahi kami sebelum terjadi peperangan. Nyatanya tidak pernah terjadi peperangan. Hanya aku yang selalu ketus pada Fabian, sedangkan dia selalu tersenyum dengan sabarnya yang dibuat-buat.

"Ide bagus." Fabian menyetujui. Dan aku bisa dengan jelas melihat mata Kezia yang berbinar melihat Fabian brengsek ini. Nyesek banget Kezia lebih suka melihat ke arah Fabian ketimbang aku.

"Kalian aja ya. Aku harus pulang... kucingku belum dikasih makan kasian dia nungguin." Ucapku seraya berdiri.

"Sejak kapan kamu pelihara kucing. Kamu kan gak suka kucing, Ali?" Kezia menatapku heran.

Aku berdehem. "Baru-baru ini... kucingnya cakep banget makanya aku suka. Bulunya lembut, matanya--"

Kezia memotong ucapanku. "Ali? Serius ini... " Dia menatapku. Andai dia tahu jantungku tidak pernah aman ditatapnya seperti itu.  Tapi kalau aku ikut bisa-bisa jadi penjaga nyamuk mereka.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status