Share

Part 4

Jakarta

Ruangan itu dipenuhi rak-rak tinggi yang mencapai langit-langit dan dipenuhi buku-buku dari berbagai macam genre. Entah itu buku akademik ataupun novel. Cerita romantis maupun horror ada di dalam sebagian buku yang tersusu rapi di sana. Adskhan memasuki ruangan itu karena sang ayah memanggilnya.

“Ada apa Baba memanggilku kesini?” tanyanya seraya duduk di sofa kulit mewah yang ada dalam perpustakaan pribadi ayahnya itu.

“Hanya ingin melihat wajah anakku, apa itu salah?” Ayahnya balik bertanya. Adskhan idak menjawab. Semenjak pernikahan pertamanya gagal, ia memilih untuk tinggal di tempat terpisah dari orangtuanya. Meskipun sesekali ia datang ke rumah itu saat orangtuanya datang dari Bandung. Atau keluarga orangtuanya datang untuk berkumpul.

“Tidak ada. Tapi jika Baba memanggil Adskhan kesini, pasti ada sesuatu yang yang serius yang ingin Baba bicarakan, bukan?” Adskhan memandang ayahnya dengan ekspresi datar.

Tuan Ahmed tersenyum. Seringai di wajahnya menunjukkan sudut matanya yang sudah berkeriput dalam.

“Sampai kapan kau akan seperti ini, Khan?” tanya ayahnya dengan nada datar. Pria awal enam puluh tahun itu meninggalkan kursinya dan berjalan mendekat, menghampiri putranya satu-satunya. “Kau tidak muda lagi. Syaquilla sebentar lagi menginjak dewasa. Meskipun selama ini dia tidak pernah mengatakannya, tapi Baba tahu bahwa anakmu itu membutuhkan figure seorang ibu. Kehadiran Baba dan Mama tidak cukup untuknya.”

Adskhan tahu arah pembicaraan ini. Namun dia hanya diam saja.

“Bukankah seharusnya kau memikirkan untuk menikah lagi?” tegur ayahnya lagi.

Adskhan terdiam, sebelum akhirnya menggelengkan kepala.

“Tidak, Baba. Aku belum memikirkannya.” Jawab Adskhan halus.

“Lalu kapan kau akan memikirkannya? Apa kau hanya akan memberikan Baba dan Mama mu itu seorang cucu? Tidakkah kau ingin memberikan kami cucu laki-lai untuk meneruskan nama keluarga kita? Nama keluargamu?” tanya ayahnya lagi. Masih dengan suaranya yang lemah lembut. “Putrimu, Syaquilla pada akhirnya akan menikah dan dibawa suaminya. Lantas, jika Baba sudah tiada. Jika kau nanti tiada, tidak akan ada lagi nama keluarga kita yang akan dikenal oleh dunia bisnis. Semuanya akan tenggelam, hilang dan terlupakan.” Lanjut ayahnya.

Adskhan terdiam. Walau bagaimanapun ayahnya memang benar. Nama baik yang selama ini dibangun oleh keluarganya tidak boleh berakhir di dirinya. Semuanya harus terus berlanjut. Harus terus ada keturunan Ahmed Levent yang akan melanjutkan usaha yang sudah dirintis puluhan tahun itu.

“Sebenarnya, Baba tidak ingin mempermasalahkan ini. Kau memiliki anak laki-laki ataupun perempuan itu adalah takdir yang sudah diberikan Tuhan padamu. Hanya saja, Baba memikirkan Syaquilla.

Kau tidak pernah tahu betapa anak itu membutuhkan kasih sayang orangtuanya. Sudah cukup kau merasa tersakiti karena apa yang dilakukan wanita itu. Tapi tidak lantas kau menghukum anakmu yang tak berdosa atas dosa yang ibunya lakukan.

Baba menerima sikapmu di tahun-tahun awal perpisahan kalian. Tapi ini sudah berlangsung terlalu lama, Khan. Kau tidak tahu bagaimana anakmu mengigaukan namamu saat dia sakit. kau tidak tahu bagaimana dia sering menangis di pelukan ibumu karena merindukanmu. Dia tidak pernah mengatakannya padamu. Tapi sebanyak apapun kasih sayang yang kami beri padanya, itu semua tidak akan cukup. Karena yang dia inginkan adalah kasih sayangmu.”

“Aku menyayanginya.” Jawab Adskhan dengan tegas.

“Sayang macam apa yang kau berikan padanya? Jika hanya mengabulkan apa yang dia mau dari segi finansial, kami pun bisa melakukannya tanpa perlu dia memintanya padamu. Dia ingin kau memperhatikannya. Menyayanginya. Memeluknya. Sesulit itukah, Khan?”

“Baba..”

“Kalau kau memang tidak bisa menyayanginya. Setidaknya berikan dia ibu yang bisa menyayanginya.” Jawab Tuan Ahmed. Satu nama terpikir dalam benak pria itu. Sebuah nama yang sering cucunya itu sebut belakangan ini. Gadis yang Ahmed tahu merupakan sosok yang tidak hanya dibutuhkan cucunya, namun juga oleh putra semata wayangnya. Caliana. Meskipun pada akhirnya yang Ahmed tahu hanya data tertulis tentangnya. Tapi ia tahu seperti apa seluk beluk keluarga gadis itu.

Harapan Ahmed sebagai seorang ayah hanya ingin agar putranya bisa kembali mencintai seseorang dan berakhir memiliki hidup yang bahagia. Satu kali gagal bukan berarti selamanya dia akan gagal. Selalu ada langkah selanjutnya yang akan membawa seseorang pada keberhasilan, bukan?

“Tidak aka nada ibu tiri yang akan benar-benar menyayangi anak tiri.” Ketus Adskhan. Tubuh putranya itu menegak kaku, sekaku rahangnya yang mengeras.

Ahmed memijit pelipisnya perlahan. Orangtua mana yang tidak ingin melihat anaknya bahagia. Ia tahu luka di masa lalu Adskhan masih belum sembuh. Entah apakah akan sembuh atau tidak. Setidaknya luka hati ditinggal mati masih lebih baik daripada di khianati.

Ahmed kembali menghela napas panjang. Bagaimana caranya ia bisa membahagiakan cucu kesayangannya. Gadis itu jelas sangat membutuhkan sosok seorang ibu, sementara ayahnya tampak tidak akan mengabulkannya. Sosok istri seperti apa yang harus dicarinya? Tidak akan ada wanita berpikiran waras yang akan mencintai anak suaminya tanpa dicintai oleh sang suami sendiri. Tidak akan ada pula seorang wanita yang menginginkan anak tanpa menginginkan suami. Kecuali mungkin seorang wanita yang tidak bisa memberikan keturunan. Lantas apa bedanya dengan mencari babby sitter. Syaquilla tidak memerlukan itu.

“Bagaimana hubunganmu dengan model itu?” Ahmed kembali menyuarakan pikirannya.

“Anastasia?” Adskhan balik bertanya. Ayahnya menganggukkan kepala. “Dia tidak punya hubungan apa-apa denganku. Semuanya hanya urusan bisnis. Salah satu strategi marketing untuk menaikan nama perusahaan kita.” Jawabnya datar.

“Berhenti menemuinya, Khan. Kau tidak akan tahu apa yang akan dilakukan wanita saat dia terobsesi pada sesuatu”

“Baba tenang saja. Aku tidak pernah melakukan hal apapun padanya. Jadi kemungkinan untuk itu tidak pernah ada.”

“Berhati-hatilah, Khan. Kau tidak akan pernah tahu apa yang ada dalam pikiran wanita.” Ahmed memperingatkan. Adskhan hanya memandang ayahnya dalam diam.

Ahmed masih memandangi putranya. Semisal pun jika memang Adskhan mencintai wanita itu dan menikahinya, Ahmed tidak akan menolaknya. Tapi ia jelas tahu bahwa sosok seperti Anastasia bukanlah wanita yang akan bisa menjadi sosok ibu yang dibutuhkan cucunya. Wanita seperti Anastasia adalah wanita yang mementingkan harta dan status sosial. Dia wanita yang selalu ingin dipuja. Ingin diperhatikan, bukan memberi perhatian, apalagi memberi kasih sayang. Dia hanyalah tipe wanita yang lebih mementingkan dirinya sendiri. Menyayangi dirinya sendiri. Sementara Syaquilla, gadis itu butuh sosok ibu yang bisa sepenuhnya memerhatikannya dan menyayanginya.

Samar suara tawa cucunya terdengar dari kejauhan. Ahmed bangkit dari duduknya dan meninggalkan Adskhan. Berjalan keluar hanya melihat Syaquilla berjalan dalam rengkuhan Lucas.

“Kalian dari luar?” tanya Ahmed pada cucunya.

Syaquilla dan mata keemasaannya yang berbinar tampak mengangguk ceria.

“Uncle, apa kabar?" Lucas mendekat dan mencium punggung tangan Ahmed sebelum kemudian mencium pipi kiri dan kanannya.

"Alhamdulillah." Jawab Ahmed senang. "Lama tidak melihatmu." Keluhnya pelan.

"Belakangan masih sibuk di kantor pusat. Jadi belum sempat berkunjung ke cabang Bandung." Jelasnya singkat. "Dimana aunty?" Lucas celingukan mencari sosok wanita paruh baya.

"Mungkin di dapur." Sahut Ahmed lagi. Lalu tanpa pamit Lucas berjalan mencari bibi nya ke arah dapur. “Jalan-jalanmu menyenangkan?” tanyanya pada sang cucu. Syaquilla mengangguk antusias dan berjalan dalam rengkuhan kakeknya menuju kea rah yang sama kemana Lucas pergi.

Namun beberapa langkah menuju dapur, ponsel gadis itu berbunyi. Di layar perseginya tampak foto gadis yang selama ini Ahmed kenali.

"Carina, Qilla angkat dulu ya Ba." Pintanya halus yang dijawab dengan anggukan pelan sang kakek. Berjalan terus melewati dapur dan sekedar melambai pada nenek dan pamannya, Syaquilla mengarahkan kakinya menuju gazebo yang ada di bagian belakang rumah sambil mengangkat video call dari sahabatnya.

"Lama amat, ngapain aja?" Sapaan pertama yang keluar berupa keluhan.

"Lagi jalan.” Jawab Syaquilla polos. “Kamu jadi kalan sama Itan?" Tanyanya ingin tahu. Jawaban di seberang sana berupa anggukan.

"Coba aja kamu disini, pasti gak akan bete." Keluh Carina lagi.

"Kenapa, nongkrong di cafe lagi?" Kembali dijawab Carina dengan anggukan. Syaquilla tertawa mengejek. "Masih mendingan aku dong, baru pulang sama Uncle Luke. Dibeliin banyak juga.” Ucapnya dengan sengaja memanas-manasi.”

“Sombong, mentang-mentang punya Uncle kaya.” Cebiknya.

Syaquilla tertawa mendengar keluhan Carina. Saat didengarnya suara langkah mendekat, Syaquilla menoleh dan melihat pamannya berjalan menghampirinya. “Rin, kenalin, cowok jomblo akut." Ucapnya seraya menarik Lucas mendekat dan mengarahkan kamera sehingga wajahnya tampak jelas di layar.

Lucas mengernyit sejenak pada sepupunya sebelum mengalihkan tatapannya pada layar. "Hai!" Lucas melambaikan tangan dengan ramah.

Carina tampak terbelalak memandang paman sahabatnya itu. mereka memang tidak pernah bertemu secara langsung, tapi Syaquilla sudah sering menunjukkan foto-foto pamannya padanya. Namun tetap saja, berbicara secara langsung dengan pria tampan itu tetap membuatnya terkesima. "Uncle, beneran jomblo?” tanyanya setelah kesadarannya kembali. Lucas mengangguk di belakang kepala Syaquilla. “Kok ganteng-ganteng jomblo sih Uncle?" tanya Carina lagi dengan nada mengejek.

Lucas terkekeh. "Bukan jomblo,” ralatnya. “Uncle itu single. Single itu pilihan." Jawab Lucas datar. Tapi kemudian dahinya berkerut memandang Carina dengan tatapan menyelidik. "Wajah kamu kok gak asing ya?" Gumam Lucas pelan.

Carina mendecih. "Gak usah gombalin Carin. Carin masih kecil, masih di bawah umur.” Lanjutnya dengan lagak sok dewasanya. Lucas menjawab dengan kekehan pelan.

"Kalo ketus kayak gitu, kok malah makin gak asing ya." Lanjutnya lagi.

"Emang mirip siapa, Uncle?" Kali ini Syaquilla yang bertanya karena penasaran.

"Udah makannya?" Tanya suara lain yang tidak tampak kamera.

"Itaannn... !!" Pekik Syaquilla kemudian. Lalu layar berputar dan menampakkan sosok Carina dalam versi yang lebih tua.

"Ana?!" Suara terkejut itu keluar begitu saja dari mulut Lucas.

"Uncle kenal?" Syaquilla balik memandang pamannya dengan mimik terkejut. Meskipun penampilannya terlihat berdeda dengan penampilan yang biasa Lucas lihat, tapi sudah jelas wanita yang tidak sadar sedang di kamera itu adalah Caliana. Salah satu anak buahnya di cabang Bandung.

Caliana, dengan rambut hitam panjang bergelombang yang tergerai indah tampak berbincang serius dengan sosok laki-laki. Ia yang biasa terlihat mengenakan kemeja rapi dengan celana atau rok sopan, kini tampak mengenakan sweater kebesaran berwarna merah terang, dengan celana skinny skirt berwarna hitam. Tampak casual, cantik, dan seperti remaja.

"Itan!" Panggil Carina. Orang yang dipanggilnya menoleh. Wajahnya tampak segar tanpa riasan kecuali warna cherry di bibirnya yang penuh dan terlihat menggemaskan. Tangannya terangkat meminta jeda sejenak dan kembali berbicara dengan pria di hadapannya. Lalu kemudian perhatiannya benar-benar teralih pada Carina, masih tanpa sadar bahwa dia diperhatikan oleh kedua orang yang ada di seberang panggilan."Itan kenal sama Uncle Lucas?"

Lucas bisa melihat kedua alis itu menyatu. "Lucas? Lucas siapa?" Tanyanya bisa bingung. Lalu kamera tampak berputar dan kembali menunjukkan wajah Caliana versi muda. Sebelum ponsel yang diputar ke arah Caliana sehingga Caliana bisa melihat sosok yang dimaksud keponakannya. "Loh, Sir. Ngapain, kok sama Qilla?" Tanyanya bingung saat melihat Lucas dan Syaquilla melambai bersamaan ke arahnya.

"Kamu kenal Qilla?” Lucas balik bertanya. Caliana mengangguk. “Dia keponakan aku.” Jawabnya seraya merangkulkan tangannya yang besar di bahu Syaquilla. “Jadi dia keponakan kamu?” tanyanya pada Caliana. Kali ini Caliana yang mengangguk. “Pantes aja tuh anak juteknya sama, taunya turun temurun dari tantenya ya?" Ledek Lucas dengan senyuman tersungging di wajahnya. Caliana tertawa renyah, namun Carina malah mencebik sambil memicingkan mata kepada Lucas.

Jauh setelah video call berakhir, Lucas memandang Syaquilla penuh tanya.

"Kamu udah lama kenal sama Ana?"

"Ana?" Qilla mengernyitkan dahi. "Ohh, Itan." Ia akhirnya mengangguk mengerti. "Ya, sejak kenal sama Carina. Itan orangnya baik loh, uncle. Udah cantik, baik juga. Sering traktir Qilla juga."

"Dunia emang sempit ya. Emang Qilla tau gak kalo  Itan itu salah satu karyawannya Papa?" Pertanyaan Lucas bersamaan dengan masuknya Adskhan dan Ahmed ke ruang makan. "Dia kerja di perusahaan Papa yang ada di Bandung."

"Siapa?" Tanya Ahmed penasaran.

"Itu, ternyata tantenya temen Qilla salah satu karyawannya Adskhan, Uncle. Namanya Caliana, anak buahnya bu Shelly.”

“Caliana tantenya Carina?” Ahmed bertanya pada cucunya. Syaquilla mengangguk antusias. “Ayahnya dulu kerja sama Uncle. Sekarang usahanya dipegang sama kakak tertuanya. Memangnya kamu gak tahu sama Rafka?”

Lucas mengerutkan dahi. “Maksud Uncle, supplier semen, bata sama genteng itu?” Ahmed mengangguk. “Ya Allah. Bener-bener dunia memang sempit ya. Mungkin ini memang jalan dari Allah buat Uncle, La.” Lucas memandang keponakannya lagi.

“Jalan buat apa?” Syaquilla memandang pamannya bingung.

“Jalan buat uncle supaya bisa deket sama dia.” Jawab Lucas dengan senyum di wajahnya. “Nanti, kalo Uncle ke Bandung lagi, Uncle bakal lebih gencar deketin dia.”

“Gak boleh!” pekik Syaquilla dengan lantang dan mengejutkan orang-orang yang ada di ruang makan. Termasuk neneknya yang baru saja masuk dengan membawa sajian makan malam.

“Kenapa?” tanya Lucas heran.

Dengan malu-malu Syaquilla melirik pada ayahnya. “Itu.. mmm… anu…” ucapnya terbata. 

“Udah, kamu tenang aja. Kamu suka kan sama Itan?” tanya Lucas lagi. Syaquilla mengangguk antusias. “Kalo dia jadi sama Uncle, nanti dia juga bakal jadi Aunty nya kamu. Jadi nanti Uncle bagi-bagi dia sama kamu.” Celetuk Lucas dengan kedua alis terangkat naik turun dengan gaya menggoda.

Syaquilla malah mencebik karenanya

Sementara di waktu bersamaan, Lucas hanya memperhatikan kedua orang itu dalam diam.

Caliana? Itan?

Nama itu membuatnya kembali membayangkan gadis berkemeja hitam, rok hitam dengan tatapan cueknya yang membuat Adskhan tertarik.

Sudah beberapa minggu nama itu menghilang dari pikirannya. Dan sekarang ketika nama itu kembali disebut, sosok itu kembali terbayang, entah bagaimana Adskhan bisa kembali menghirup wangi tubuh gadis itu dan tiba-tiba celananya terasa kembali menyempit. Satu kata, satu nama, satu bayangan, membuat pikirannya melanglang buana pada hal yang hanya ada dalam pikiran pria dewasa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status