Share

Part 5

Bandung

Hari Senin datang kembali. Namun entah kenapa, hari Senin ini tak seperti hari Senin biasanya yang diisi dengan wajah masam dan sedikit keluh kesah para karyawan karena merasa bosan dengan rutinitas. Senin kali ini tampak lebih ramai.

Caliana yang berjalan dari pintu depan sudah melihat betapa para OB dan OG tampak hilir mudik kesana kemari dengan alat pembersih di tangan. Dan tidak hanya itu, bahkan para satpam pun tampak membersihkan pos mereka.

Caliana mengabaikan mereka dan terus menuju ruangannya. Dan disana pun tak kalah ricuhnya. Ia meletakkan tasnya ke dalam bagian bawah meja kerjanya dan menatap Gita dengan bingung. “Ada apa ini?” bisiknya pada sahabatnya itu. Matanya memandang berkeliling kepada teman-temannya yang sedang sibuk mempercantik diri.

Gita balik memandang Caliana dengan tatapan “Loe gak tahu?” Gita balik bertanya. Caliana balik mengangkat sebelah alisnya memandang Gita. “Owner katanya mau berkunjung. Dan ini untuk pertama kalinya dia datang ke cabang kita, An. Biasanya kan Sir Lucas aja yang datang kesini.” Gita balas berbisik.

Caliana berjengit. “Trus kalo misalkan owner datang kesini, emang mesti ya serepot ini? Pas gue pergi ke pusat aja, orang pusat gak seheboh ini.” Jawaban Caliana malah mendapatkan pukulan di lengannya.

“Ya kalee, orang pusat udah biasa ketemu sama owner, kita mah kan baru kali ini, An. Loe sendiri, udah dua tahun kerja disini, loe pernah ketemu sama owner? Pernah dia berkunjung?” Caliana menggelengkan kepalanya pelan.

“Lagian ngapain juga gue mesti ketemu sama owner? Yang penting buat gue, gaji ngalir tiap bulan. Kenal sama owner juga belum tentu bikin gaji gue naik dua kali lipat.” Jawabnya acuh. Meskipun dalam hati Caliana membenarkan ucapan Gita. Selama dua tahun masa kerjanya, dia memang tidak pernah melihat pemilik perusahaan secara langsung. Yang mereka tahu dan kenali sampai sejauh ini hanyalah Sir Lucas. Dan lagipula, sejak kapan pemilik perusahaan harus terjun langsung menemui karyawan rendahan? Urusan mereka sudah diwakili oleh para pemegang jabatan tertinggi.

Caliana kembali memandang teman-temannya dan hanya bisa menggelengkan kepala. Mereka jelas tidak berusaha menutupi kesenangan mereka. Berbisik –bisik tentang bayangan mereka mengenai fisik sang owner dan bahkan sampai ke area pribadi tentang status owner yang saat ini lajang. Mereka benar-benar tampak sedang berusaha mencari perhatian. Tampaknya sindrom Cinderella kini tengah mewabah di Coskun Company. Tak ingin terkena virus itu, Caliana memilih beranjak berdiri. Mengambil gelas mug nya dan berjalan menuju pantry.

Iten, salah satu OB yang masuk di tahun yang sama dengannya tampak sedang membersihkan dapur. Pria yang masih berusia belasan tahun itu menyapanya dengan ramah. “Ngopi, Teh?” (Teh/Teteh adalah panggilan sopan orang Sunda pada wanita.) Caliana menjawab pertanyaan Iten dengan anggukan. Ia berjalan mengambil panci kecil dan mengisinya dengan sedikit air sebelum meletakkannya ke atas kompor gas dan menyalakannya. “Hari ini lebih ramai, ya?” ucap pemuda itu, mencoba membuka pembicaraan.

“Lebay.” Jawab Caliana seraya membuka bungkus kopi instannya.

“Kemarin pas ada pengumuman di grup, saya jadi panas dingin sendiri Teh.” Jawab pemuda itu lagi.

Caliana menuang air panas itu ke dalam mug nya dan mengaduknya. “Memangnya kalian disuruh standby jam berapa?”

“Jam 6 pagi, Teh. Bu Jojo sendiri yang ngasih kita instruksi. Katanya gak boleh ada debu nempel sedikitpun.” Ucap Iten seraya mencontoh gerakan Bu Jojo, kepala OG di kantor. Caliana mengangkat sudut mulutnya dan tersenyum. “Emang beneran ya, pemilik perusahaan ini galaknya minta ampun?”

Caliana menatap Iten dari balik mug nya dan mengedikkan bahu. “Mana kutahu. Kenal juga enggak. Ketemu apalagi.” Jawabnya jujur. “Aku sama kayak kalian, tahunya sama Sir Lucas aja.”

Iten balik memandang Caliana dengan dahi berkerut. “Tapi kan Teteh mah sering anterin Bu Shelly ke kantor pusat?” tanyanya bingung. “Masa iya gak pernah ketemu?” tanyanya lagi masih dengan ekspresi dan nada tak percaya.

Caliana kembali mengangkat bahunya. “Aku ke pusat Cuma jadi supri alias supir pribadi karena Bu Shelly gak mau dianter sama supir cowok. Biar gak timbul fitnah katanya. Lagian, sejak kapan supir ikut ramat direksi?” jawab Caliana datar. “Kalo udah sampai pusat, kerjaan aku itu Cuma minum kopi sama makan, enak kan?”

“Udah ngegosipnya?” teguran itu berasal dari depan pintu. Baik Caliana maupun Iten dibuat terkejut karenanya. Keduanya bersamaan menoleh dan tersenyum malu. “Untung ya saya gak denger kamu jelek-jelekin saya. Kalo sebaliknya, saya potong gaji kamu.” Tegur Bu Shelly dengan nada galak namun dengan senyum di wajahnya. Mengejutkan sebenarnya bagi Iten, karena wanita di hadapannya ini sebenarnya terkenal galak dan jutek, namun tak tampak demikian di hadapan Caliana.

“Yah, Bu. Kalo gaji saya dipotong, saya gak bisa beli kuota buat nonton drama Korea dong.” Rengek Caliana.

“Loh, bukannya buat beli skincare?” tanya Bu Shelly dengan dahi berkerut.

Caliana tersenyum. “Gak butuh skincare Bu, saya udah cantik dari lahir.” Jawabnya seenaknya yang membuat Iten terkekeh. Bu Shelly hanya bisa menggelengkan kepala seraya berjalan masuk menuju pantry. “Emang hari ini ada acara apa Bu? Sampai owner katanya datang sendiri. Ada meeting penting ya?” Caliana memberanikan diri untuk bertanya.

Bu Shelly hanya menggelengkan kepala. Meraih mug yang ada di atas meja pantry dan memasukkan satu bungkus teh ke dalamnya sebelum menuang air panas dari dispenser ke dalamnya. “Saya juga kurang tahu. Itu urusan Kacab kita sama dua Sir Levent. Mungkin mereka mau langsung terjun ke lapangan buat nge cek proyekan. Biasanya juga kayak gitu kan?” Bu Shelly balik memandang Caliana setelah menuang gula putih ke dalam gelasnya dan kini tengah mengaduknya dengan santai. Aroma melati samar-samar tercium ke udara.

“Tapi kok, aura kali ini beda?” Caliana kembali bertanya. “Iten sendiri katanya disuruh buat beres-beres maksimal sama Bu Jody. Apa jangan-jangan bakal ada audit internal?”

Bu Shelly mengedikkan bahu seraya mencicipi teh manisnya. “Bisa jadi.” Jawabnya santai. “Tapi lagi, itu urusan yang diatas. Kita mah fokus aja sama kerjaan.” Matanya kemudian melirik Caliana dan sebelah alisnya terangkat. “Kamu gak make-up an?” tanyanya dengan tatapan meneliti.

“Yah, Ibu. Kan saya udah bilang, kalo saya udah cantik dari lahir. Jadi gak perlu di apa-apain.” Selorohnya. “Lagian emangnya harus ya?” tanyanya seraya memegang pipinya.

Bu Shelly terkekeh karena jawaban dan pertanyaan gadis itu. “Kali aja kamu juga mau daftarin diri.”

“Jadi?” tanya Caliana dengan dahi berkerut.

“Bos kita itu lajang loh, Na.” ucap Bu Shelly.

“Oh, jadi itu bener ya? Emang berapa sih umurnya? Masih muda?” tanyanya lagi.

“Umurnya udah gak muda. Dia itu duren. Duda keren, punya anak satu kalo gak salah.” Jawab Bu Shelly lagi. “Kali aja bener apa yang orang bilang kalo beliau kesini mau cari jodoh plus cari ibu buat anaknya.” Bu Shelly mengedipkan sebelah matanya pada Caliana. Caliana berjengit. Namun ia mengikuti saja ketika atasannya itu meninggalkan pantry.

“Segala sesuatunya itu sesuai sama hukum alam, Bu. Mana ada pangeran yang mau sama rakyat jelata. Cinderella aja anak saudagar, bukan anak pembantu.” Jawab Caliana datar. “Lagian emang bujangan diluar sana itu kurang?” lanjutnya lagi.

“Kali aja kamu suka sama yang udah berpengalaman.” Jawab Bu Shelly lagi.

“Mening sama-sama pemula deh bu. Biar sama-sama belajar.” Jawab Caliana lagi. Mereka berdua berjalan bersisian di lorong menuju ke ruangan mereka. Namun saat hendak berbelok, Bu Shelly mematung dan Caliana pun turut terdiam di sampingnya. Inilah yang menjadi pembicaraan mereka tadi. Di hadapan mereka, baru saja keluar dari lift, berjalan sekelompok orang dengan setelan jas yang rapi dan jelas tampak mahal.

Namun diantara kelompok orang itu, yang bisa Caliana kenali hanya Sir Lucas dan juga kepala cabang mereka. Kedua pria itu berjalan mengapit sosok tinggi besar yang menjulang diantara keduanya. Caliana sejenak mengerutkan dahi, ia merasa mengenal wajah pria itu, tapi lupa dimana pernah melihatnya.

Lantas matanya terbelalak seketika saat ingatan di kantor pusat masuk kembali ke kepalanya. Saat itu, pria itu bersama seorang wanita berpakaian seksi. Dan Caliana menduga dia adalah rekanan perusahaannya. Bahkan untuk kedua kalinya bertemu di ruangan rapat kala itu, Caliana masih tidak memikirkan kemungkinan pria itu adalah pemilik kekuasaan tertinggi. Dan

ternyata, ia kini dibuat terkejut karena pria itu adalah pemilik perusahaan itu sendiri. Ya Tuhan, Caliana telah bersikap tak sopan pada pemilik perusahaannya.

Caliana masih memandangi sosok pria tinggi besar berwajah dingin dengan alis melengkung tebal membingkai matanya yang tajam yang dihiasi bulu mata yang lentik. Hidungnya yang mancung lurus dan wajahnya yang berhias jambang dan kumis yang hampir menutupi bibirnya yang berwarna kemerahan.

Caliana hanya bisa terdiam, dahinya sejenak mengerut kala rombongan itu melewatinya dan atasan mereka melirik ke arahnya. Mata itu, entah kenapa Caliana merasa mengenalinya. Bukan dalam versi dingin dengan tatapan tajamnya, tapi versi yang lebih sendu dan ramah. Dan saat rombongan itu menghilang pada belokan selanjutnya, mata Caliana tiba-tiba terbelalak lebar.

‘Ya Tuhan!’ pikiran Caliana berteriak seketika. Kesadaran seolah meresap dalam kepalanya. Jika Sir Lucas merupakan sepupu dari sang Owner, dan sahabat keponakannya adalah keponakan pria itu. maka si owner itu sendiri bisa jadi adalah ayah dari sahabat keponakannya. Jadi, Syaquilla adalah anak pria itu? caliana kembali mengerutkan dahi.

Bu Shelly yang masih berdiri di sampingnya kini menyenggol lengan Caliana dengan sikunya. “Kenapa? kamu terpesona sama owner kita? Berubah pikiran tentang mau sama yang belum berpengalaman?” ejek Bu Shelly dengan senyum di wajahnya.

Caliana memandang Bu Shelly dengan alis yang masih menyatu, lalu menggelengkan kepalanya pelan. Jelas yang ada di pikiran Caliana dan Bu Shelly jauh berbeda.

Caliana kembali berjalan ke kubikelnya sementara atasannya kembali ke ruangannya. Ia bahkan tidak menyadari kericuhan yang kembali terdengar saat rekan-rekannya saling berbisik membicarakan owner mereka yang baru saja lewat. Dan kericuhan itu baru terhenti saat sang owner kembali melewati ruangannya bersama rombongannya.

Menjelang makan siang, bisikan-bisikan yang tadi senyap saat semua orang sibuk bekerja kini terdengar kembali. Topik kali ini adalah ‘Dimana sang owner makan siang?’. Dan Caliana hanya bisa menggelengkan kepala atas obsesi rekan-rekannya itu. apa mereka hendak menjadi stalker yang akan mengikuti kemanapun atasan mereka pergi? lagi-lagi Caliana menggelengkan kepala.

Jam dua belas pun akhirnya datang. Caliana sedang merogoh dompet dari dalam tasnya saat telepon mejanya berbunyi. “Dari Bu Shelly.” Ucap Gita seraya menyerahkan telepon pada Caliana.

“Iya Bu?” tanya Caliana langsung.

“Bisa ke ruangan saya sebentar?” perintah halus Bu Shelly Caliana sanggupi. Ia meletakkan dompetnya ke dalam laci sebelum berjalan menuju ke ruangan atasannya itu.

“Ada masalah dalam proyek yang tadi dikunjungi para atasan.” Bu Shelly langsung bersuara. “Kecelakaan kerja, owner menjanjikan kompensasi. Tolong kamu cairkan cek ini setelah makan siang." Caliana meraih selembar kertas pipih di hadapannya dan mengangguk. "Dan sekalian beli kuitansi dan materai dalam perjalanan pulang."

"Berapa banyak bu?"

"Beli saja 30pcs, sisanya buat stock. Kamu mau diantar atau bagaimana?"

"Saya pergi sendiri saja, Bu." Shelly menjawab dengan anggukan.

"Telepon dulu pihak bank, supaya kamu tidak dipersulit." Caliana kembali mengangguk dan meninggalkan ruangan.

Ia melihat Gita masih duduk manis di kubikelnya. Ia kembali meletakkan buku catatannya. Memasukkan cek dengan hati-hati ke dalam dompetnya dan kemudian mengajak Gita keluar bersama.  

Tempat pertama yang mereka tuju adalah mushola. Ya, bukan bersikap so' alim atau ingin dipuji. Tapi baik Caliana dan Gita, merupakan orang yang belajar untuk taat kepada Tuhan mereka. Meskipun penampilan keduanya belum tertutup hijab sebagaimana kewajiban seorang muslimah. Tapi setidaknya mereka tidak lupa akan kewajiban mereka untuk bertemu Tuhannya sehari lima waktu.

Mushola yang dibuat oleh Coskun Company memang tidak bisa dikatakan biasa. Bukan mushola sebenarnya, tapi lebih cocok disebut masjid. Beradadi lantai paling atas gedung dan bahkan memiliki tempat istirahat yang nyaman untuk mereka karena tersedia kursi dengan payung peneduh di depan terasnya. Mirip seperti rest area yang tempatnya ada di rooftoop gedung.

Daya tampung Masjid sendiri bisa sampai 200 orang. Dan itu memudahkan mereka jika para karyawan mereka ingin sholat berjamaah ataupun melaksanakan sholat jumat disana. Dan masjid itu terbuka untuk umum, karena di bagian samping gedung ada tangga yang memperbolehkan orang luar keluar masuk ke dalam masjid. Sementara khusus karyawan, pintu masuk keluarnya langsung dari bagian dalam gedung yang berkunci khusus sehingga tidak bisa membuat orang luar kantor masuk seenaknya.

Ketika Caliana dan Gita selesai sholat dan hendak turun lewat tangga luar, mereka dibuat terkejut dengan kehadiran dua petinggi perusahaan yang juga tampak baru saja selesai dengan kewajiban mereka.

"Ketemu disini kita." Lucas menyapa Caliana dengan ramahnya. Caliana hanya bisa menjawab sapaan itu dengan senyuman. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status