Share

Part 6

Kediaman Levent

Pasangan lanjut usia itu menatap cucunya dengan tatapan memohon. “Granny dan Baba mau kamu ikut. Tidak akan lama kok, hanya dua minggu. Setelah pernikahan bibimu selesai, kita beristirahat beberapa hari sebelum kemudian pulang ke Indonesia lagi.” Bujuk Sir Ahmed pada cucunya.

Nyonya Helena turut mengangguk. “Lagipula ujian tengah semester masih lama." Ucapnya dengan lembut.

Ya, kedua paruh baya itu memiliki rencana untuk menghadiri pernikahan keponakan mereka. Mengingat tradisi pernikahan Turki yang membutuhkan waktu berhari-hari dan lamanya perjalanan yang harus mereka tempuh, mereka memang merencanakan untuk pergi lebih awal dan kembali ke Indonesia beberapa hari setelahnya. Hal tersebut mereka lakukan dengan pertimbangan usia mereka yang sudah tak muda lagi. Tapi tampaknya, rencana kepergian mereka selama dua minggu begitu membuat cucunya tidak bersemangat kali ini. Sementara untuk kedua pasang lansia itu, meninggalkan cucunya di Bandung terdengan tampak mengkhawatirkan.

Bukannya mereka tidak percaya pada asisten rumah tangga. Ataupun tidak percaya pada kemandirian Syaquilla. Namun batin mereka sebagai orang tua tetap saja khawatir jika harus meninggalkan anak gadis mereka tanpa pengawasan orang tua. Terlebih, orang yang biasa mereka titipi Syaquilla—siapa lagi kalau bukan paman gadis itu sendiri, Lucas—ikut pergi bersama mereka ke Turki.

“Tapi dua minggu itu lama, Baba, Granny.” Ucapnya dengan nada lesu. “Lagipula, Qilla gak apa-apa kok ditinggalin. Kan disini ada bibi sama mamang juga. Nanti Carina biar Qilla suruh nginap disini selama Baba sama Granny gak ada.” Ucapnya dengan antusias.

Nyonya Helena dan Sir Ahmed saling bertatapan. Bukannya mereka tidak percaya pada Carina. Mereka jelas menyukai sahabat cucunya itu. hanya saja, Carina juga memiliki keluarga, akan tidak pantas rasanya meminta remaja itu menemani cucu mereka selama dua minggu ke depan. Namun untuk meminta Syaquilla tinggal di kediaman sahabatnya itu, justru lebih tidak pantas lagi.

“Granny, dua minggu itu lama. Apalagi menjelang mid-test itu akan ada banyak ulangan latihan. Qilla gak mau nilai Qilla anjlok.” Ucap Syaquilla lagi dengan nada memelas.

“Tapi kamu kan bisa ngajuin ulangan susulan sama guru kamu. Biar nanti Baba yang minta ijin langsung sama wali kelas kamu.” Bujuk Sir Ahmed lagi.

Tapi lagi-lagi Syaquilla menggelengkan kepala. “Qilla lebih gak mau lagi kalo harus ujian di ruang guru sendirian.” Ucapnya lesu. Justru yang menyenangkan bagi Syaquilla adalah menghapal dan berlatih soal dengan Carina. Kalau dia harus belajar sendiri, rasanya kurang menyenangkan.

Sir Ahmed hendak mengatakan sesuatu lagi pada cucunya. Namun dia sadar bahwa sama seperti ayahnya, Syaquilla juga memiliki sisi keras kepala dalam dirinya. Dengan menghela napas panjang, akhirnya Sir Ahmed bangkit dari duduknya dan berjalan menjauh menuju ruang kerjanya.

“Granny, apa Baba marah?” tanyanya ragu pada sang nenek.

Nyonya Helena tersenyum dan membuka tangannya. Syaquilla seketika bergerak mendekat dan masuk ke dalam pelukan wanita yang telah mengasuhnya sejak bayi itu.

“Baba tidak marah. Baba hanya khawatir karena tidak mau ninggalin kamu sendirian disini.” Ucap Nyonya Helena seraya mengusap punggung cucunya untuk menenangkan. “Kalau saja kami bisa menolak undangan pernikahan itu, kamu akan menolaknya.” Lanjut Nyonya Helena lagi. “Tapi itu tidak mungkin.” Tangannya mengusap rambut hitam dan panjang milik cucunya. “Seandainya Uncle kamu gak ikut, Granny bisa nitipin kamu dalam pengawasannya dia. Tapi Uncle Lucas, Oma Karin sama Opa Basir juga pergi kesana.”

Syaquilla menegakkan punggungnya dan memberikan jarak tanpa melepas pelukan sang nenek. “Baba sama Granny tenang aja. Qilla janji Qilla gak akan nakal, Qilla gak akan macam-macam kok selama Baba sama Granny pergi.” janjinya dengan serius.

Nyonya Helena kembali mengusap rambut cucunya. “Granny tahu, kamu anak yang baik dan gak akan nakal. Tapi tetep aja, Granny sama Baba khawatir kalo ninggalin kamu tanpa pengawasan.” Ucap Nyonya Helena lembut.

Sementara di ruangan kerja, Sir Ahmed membuka layar ponselnya dan mencari nama seseorang dalam kontak ponselnya. dalam deringan kedua, panggilannya tersambung.

“Assalamualaikum, Baba.” Sapa pria di seberang sana.

“Waalaikumsalam, Khan. Kau dimana?” tanya Sir Ahmed sekedar basa-basi.

“Di kantor.” Jawab Adskhan singkat. “Ada sesuatu?” tanyanya lagi ingin tahu.

Ahmed mengernyit. Sifat Adskhan memang menurun dari istrinya, Helena. Dia tidak suka berbasa-basi dan tidak suka buang-buang waktu.

“Kamu sudah dengar kalau kami akan pergi ke Turki selama dua minggu?” Tanya Sir Ahmed yang juga memilih tidak berbasa-basi.

“Ya. Lalu?”

“Syaquilla mengatakan kalau dia tidak bisa ikut bersama kami karena tidak mungkin meninggalkan kegiatan sekolahnya.” Lanjut Ahmed lagi. “Jadi, bisakah kau datang kesini dan menemaninya selama kami pergi? Tidak akan lama, Khan. Hanya dua minggu saja, setelahnya kau bisa kembali ke Jakarta.” Ucap Sir Ahmed dengan cepat

Ada jeda sejenak sebelum akhirnya Adskhan memberikan jawaban. "Adskhan bicarakan dulu dengan Lucas, nanti keputusannya Adskhan beritahu Baba.”

"Baiklah, Baba tunggu.” Jawab Sir Ahmed  sebelum menutup sambungan teleponnya dan kembali ke tempat dimana istri dan cucu perempuannya berada. “Qilla, Sayang. Semisal Baba minta Carina nemenin kamu disini selama kami pergi, apa orangtuanya tidak akan keberatan?” tanya Sir Ahmed. Pada akhirnya ia kembali pada pilihan awal. Setidaknya harus ada rencana cadangan semisal Adskhan nantinya menolak untuk tinggal di Bandung selama mereka pergi.

Syaquilla mengedikkan bahu. “Qilla gak tahu, Baba. Tapi Ayah sama Bunda nya Carina juga lagi gak ada di Bandung. Cuma ada Oma sama Itan.” Jawab gadis itu jujur.

“Kalau begitu coba hubungi Carina, dan tanyakan padanya apa Oma nya sedang ada di rumah. Biar Baba sama Granny kesana untuk meminta ijin.” Ucap Sir Basir lagi.

Syaquilla mengangguk antusias dan berlari ke kamarnya untuk mengambil ponselnya. di kamar dia langsung menghubungi Carina. “Rin, apa Oma ada dirumah?” tanyanya tanpa basa-basi.

Carina mengerutkan dahi bingung mendengar pertanyaan sahabatnya itu. tidak biasanya Syaquilla menanyakan keberadaan neneknya. Biasanya kalau Syaquilla mau datang ke rumah, dia tidak peduli neneknya ada atau tidak ada.

“Oma ada, tumben nanyain?”

“Baba sama Granny mau ke rumah kamu Rin.” Ucap Syaquilla lagi.

“Kenapa? mau ngelamar Itan buat Papa kamu?” tanya Carina dengan nada bercanda.

“Bisa gitu?” Syaquilla balik bertanya dengan penuh harap.

Tanpa Syaquilla ketahui, Carina menepuk jidatnya. “Ya enggak dong Qilla, please deh.” Jawab Carina lagi.

“Ih, Carin!” ujar Syaquilla kesal.

“Udah, bilang aja sama Baba sama Granny kalo Oma ada di rumah. Aku bilang sama Oma kalo kalian mau kesini” ucap Carina lagi. Sebelum Syaquilla menyahut, Carina sudah menutup teleponnya.

Tak sampai lima belas menit kemudian, Syaquilla benar-benar datang ke kediaman Carina bersama kakek dan neneknya. Meskipun bingung dengan maksud kedatangan kakek dan nenek dari sahabat cucunya. Nyonya Nurma menyambut mereka dengan senyum ramahnya.

"Saya Ahmed Levent, dan ini istri saya Helena." Keduanya berjabat tangan secara bergantian. "Maaf karena berkunjung secara mendadak." Ucap Sir Ahmed dengan nada penuh penyesalan.

"Tidak apa-apa, Tuan, Nyonya. Syaquilla sangat disambut disini, begitupun keluarganya. Hanya saja saya minta maaf, putra saya dan menantu saya sedang tidak ada di tempat." Nenek Carina memberitahukan kabar yang sudah kedua lansia itu ketahui seraya mempersilahkan ketiga orang itu masuk. "Sebenarnya saya cukup terkejut saat cucu saya mengatakan kalau Tuan dan Nyonya akan berkunjung." Ucap Nyonya Nurma apa adanya.

Sir Ahmed tersenyum. "Sebelumnya, jangan panggil kami Tuan dan Nyonya.” Ucap Nyonya Helena. “Rasanya risih dipanggil seperti itu, Mba. Saya masih orang lokal." Lanjutnya lagi yang diangguki oleh Sir Ahmed.

Nyonya Nurma memandang Nyonya Helena, dia setuju saja memanggil Nyonya Helena dengan panggilan Mbak, namun memandang Sir Basir, rasanya aneh menyebut pria asing tersebuh dengan sebutan lokal.

“Mba bisa panggil suami saya dengan panggilan Baba.” Ucap Nyonya Helena lagi, sadar akan kebingungan yang tersirat di wajah Nyonya Nurma.

Nyonya Nurma kembali mengangguk mengiyakan.

"Sebelumnya lagi-lagi saya ingin minta maaf.” Nyonya Helena kembali memulai pembicaraan. “Kami tanpa tahu malu datang kesini dan malah hendak merepotkan." Lanjutnya. "Begini, Mbak. Saya beserta suami saya hendak  pergi mengunjungi saudara selama dua minggu ke depan. Saudara suami saya sedang sakit keras saat ini, dan disaat bersamaan hendak menikahkan putri bungsunya. Tapi cucu kami, Qilla tidak ingin ikut." Helena memberikan jeda sebentar supaya nenek Carina bisa memahami ucapannya. "Seperti yang mungkin pernah Qilla ceritakan. Dia ini anak tunggal, dan kami juga hanya punya satu putra, dan ia juga tinggal terpisah dari kami. Jadi jika kami meninggalkan Syaquilla sendirian di rumah, kami merasa cemas. Meskipun ada asisten rumah tangga yang bisa kami percayai, tapi tetap saja, sebagai orang tua saya merasa tidak tenang.” Nyonya Nurma mengangguk setuju akan pernyataan tersebut. “Jadi kalau bisa, dan Anda mengijinkan, saya ingin meminta Carina untuk menemani cucu saya di rumah kami." Pintanya di akhir kalimat.

"Iya, Mba. Saya bisa mengerti." Jawab nenek Carina pelan. "Kalau saya sebenarnya tidak keberatan. Tapi maaf sebelumnya, bukannya saya tidak percaya pada asisten di rumah Mba. Hanya saja, saya merasa lebih baik kalau Qilla tinggal saja disini, di rumah kami. Setidaknya disini lebih ramai karena lebih banyak orang." Saran nenek Carina halus. Helena memandang suaminya. Lalu menatap cucunya. "Qilla bagaimana?"

Sebelum pertanyaan neneknya terjawab, terdengar suara dari luar pintu. "Mamsky, we're home..!!" Suara tinggi khas milik Caliana menggema. "Ups..." Ucapnya dengan tangan menutup mulut ketika melihat ada tamu.

"Mama bilang juga bilang Assalamualaikum, bukan teriak gak jelas." Gerutu Nyonya Nurma saat Caliana berjalan mendekat dan mencium punggung tangan ibunya seperti kebiasaannya.

“Maaf, Ana gak tahu kalo di rumah ada tamu.” Ucapnya dengan cengiran di wajahnya. Caliana lantas memandang Carina dengan mata menyipit. “Kamu kenapa gak bilang ada tamu di rumah!" Hardiknya pada keponakannya yang muncul dari belakang.

"Mestinya Itan sadar pas lihat ada mobil asing parkir!" Jawab keponakannya sebelum melakukan ritual yang sama pada neneknya. "Granny! Baba!" Pekik Carina seraya mendekat kepada dua orang yang duduk di sofa kulit panjang. Ia mencium punggung tangan kedua orang itu bergantian.

“Carin? Kamu dari mana?” tanya Syquilla bingung. Awalnya gadis itu menduga Carina ada di rumah saat ia menelepon.. tapi melihat kedatangannya barusan, sepertinya dugaannya salah.

"Tadi pas kamu nelepon, akunya baru sampe di rumah Itan." Umumnya dengan cengiran yang membuatnya tampak mirip dengan sang tante. “Itan, kenalin ini Baba sama Granny nya Qilla. Qilla, ini Itannya Carin.” Carina memperkenalkan tamunya pada sang tante.

Dengan ramah Caliana tersenyum dan mencium punggung tangan keduanya. “Maaf kalau keponakan saya selama ini merepotkan Baba dan Granny.” Ucapnya dengan penuh penyesalan.

“Apaan Itan, Carin ini anak baik, gak pernah repotin. Cuma kadang, iya kan Baba? Granny?” ucap remaja itu pada pasangan lansia di depannya.  Nyonya Helena dan Sir Ahmed hanya tersenyum saja.

“Tapi Baba kalau diperhatikan sangat mirip sama Sir Adskhan, ya?” komentar Caliana begitu saja.

Sir Ahmed jelas tertegun mendengarnya. Tapi kemudian pria lanjut usia itu tersenyum. “Saya anggap itu pujian. Meskipun saya rasa saya lebih tampan dari Adskhan." Canda Ahmed yang dibalas dengan tawa yang lainnya.

"Baru kali ini Granny lihat Tante Ana secara langsung. Bener kata Qilla. Cantik ya putrinya Mba." Puji Nyonya Helena yang mau tak mau membuat Nyonya Nurma dan Caliana tersipu.

“Silahkan dilanjut, Ana pamit ke dalam dulu.” Pamit Caliana yang langsung berjalan masuk ke bagian dalam rumah. Sementara Carina memilih untuk duduk di samping neneknya dan mendengarkan.

Seperginya Caliana, ketiga lansia dan dua remaja itu kembali membahas topik awal mereka. "Jadi, Qilla, gimana keputusannya?" tanya Nyonya Helena pada cucunya.

Syaquilla memandang ketiga lansia itu bergantian. "Qilla terserah Granny

sama Baba saja." Jawab gadis itu polos.

"Granny sama Baba setuju saja, kalau Oma Nurma gak keberatan." Nyonya Helena kini memandang Nyonya Nurma.

Nyonya Nurma tersenyum. "Enggak Mba, saya senang malah." Jawabnya tulus.

"Alhamdulillah, kalau gitu dua minggu kedepan saya titip cucu semata wayang saya ya mba." Ucap Nyonya Helena lagi.

Kini Carina yang dibuat terkejut dengan pernyataan nenek sahabatnya itu. “Dua minggu?” tanyanya sementara wajahnya menghadap Syaquilla. Ia tidak mengerti dengan pembicaraan keempat orang di ruangan itu. “Memangnya Baba sama Granny mau kemana?”

“Granny sama Baba mau pergi ke Turki.” Jawab Syaquilla. “Aku gak bisa ikut, jadi mau numpang disini.” Jawabnya malu-malu.

“Beneran?” tanyanya tak percaya. Syaquilla mengangguk antusias. Tentu saja Carina suka akan ide itu, namun kemudian dia memandang neneknya bingung. “Tapi kan, Oma mau pergi ke Manado?” tanyanya pada sang nenek. “Bukannya selama Oma gak ada Carin juga ngungsi ke rumahnya Itan?” lanjutnya lagi.

Ketiga lansia itu memandang Carina dengan tatapan yang berbeda. “Ya Allah, Oma lupa.” Ucap Nyonya Nurma lirih.

“Maklumin aja ya, Baba, Granny. Faktor U.” ejek Carina dengan kekehannya. Namun kemudian terdiam ketika melihat kekhawatiran di wajah kakek dan nenek Qilla. "Granny sama Baba tenang aja. Ada Carin yang bakal jagain Qilla kok.” Ucapnya seraya mengusungkan dada. Membuat sepasang lansia itu tersenyum.

“Memangnya kamu mau jagain Qilla gimana? Kamu aja masih manja.” Jawab Nyonya Nurma.

Carina melirik kea rah neneknya lalu mencebik. Jempolnya terarah ke belakang dimana ruangan lainnya berada. “Kan Carin punya satpam.” Ucapnya lirih. “Nambah kuota satu gak bakal bikin Itan gelagapan, Baba sama Granny tenang saja.” Ucapnya lebih menenangkan pada kakek dan nenek sahabatnya. Tapi kemudian memandang Syaquilla dan mengedipkan sebelah matanya.

“Yakin gak akan repotin tante kamu?” tanya Sir Ahmed khawatir.

Carina tersenyum seraya menggeleng. “Baba perlu bukti?” tanyanya pada satu-satunya pria di ruangan itu. “Itaaaannnn!” teriak Carina dari ruang tamu.

“Ya?”

“Carin sama Qilla numpang di rumah itan dua minggu ya?”

“Iya!” jawab Caliana dengan lantang di belakang sana.

“Tuh, Baba sama Granny denger sendiri.” ucap Carina dengan senyum jahil di wajahnya. “Baba sama Granny tenang aja, Itan pawang yang baik kok.” Lanjutnya yang dijawab kekehan lansia di ruangan itu.

Jakarta

Lucas memandang sepupunya dengan tatapan tak percaya. “Beneran stay di Bandung?” tanyanya lagi. Adskhan mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen di hadapannya. “Trus disini?” tanyanya lagi, pertanyaan yang akhirnya membuat Adskhan mendongakkan kepala. “Siapa yang akan mimpin disini?” tanyanya lagi. “Kan tiga hari lalu aku dah bilang kalo aku pergi juga sama Amma sama Abba.”

Adskhan menatap Lucas dengan tajam. "Aku gak minta kamu batalin cuti, Luke. Aku cuma minta kamu kabarin cabang sana kalau aku mau stay disana selama dua minggu."

"Iya, tapi kalo kamu di Bandung, yang handle disini siapa?" lagi-lagi Lucas mengulangi pertanyaan yang sama.

"Bisa diurus via telepon. Kalo ada dokumen penting, tinggal mereka yang datang."

"Gak semudah itu, Khan."

"Terus harus gimana lagi? Gak mungkin aku ninggalin Qilla sama asisten rumah tangga, Luke. Setidaknya mungkin kali ini aku harus berperan sebagai ayah buat dia.” Lanjutnya lagi yang membuat Lucas memandangnya terpana. Adskhan tidak peduli dengan isi kepala Lucas, dia memilih kembali fokus pada pekerjaannya. “Dan kali ini, bawa Erhan kembali. Kita butuh bantuannya kalo kamu mau cepat-cepat merealisasikan impian kamu itu, Luke.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status