Ilma terisak di sudut kamar sambil memeluk tubuhnya yang polos. Dika bergeming sambil berusaha mengingat apa yang terjadi malam tadi. Namun, baru saja dia hendak beranjak dari ranjang sosok Arya menerobos masuk ke kamar. Tatapan mereka beradu, dan detik itu juga Dika sadar jika dirinya tengah masuk ke dalam perangkap Arya. "Astaga, apa yang kalian lakukan?!""To-tolong saya, Pak Arya," isak Ilma, air matanya terus berlinang. Mendengar keributan, Risa bergegas menghampiri paviliun. Matanya membelalak kala mendapati Ilma yang telanjang tengah meringkuk di sudut kamar. Tanpa menunggu perintah ia berlari menghampiri Ilma lalu menyelimuti tubuh polos itu. Risa menatap iba ke arah Ilma, lalu menatap tajam ke arah Dika, "Haruskah kamu melakukan ini kepada, dia?" Risa bertanya dengan nada dan tatapan sinis. Sadar tengah berada dalam perangkap, Dika mencoba untuk lebih mengontrol emosi. Dia meraih celana serta baju yang berserakan di lantai, lalu kembali mengenakannya. "Apakah tidak cuku
"Kalian sangat menjijikan! Terlebih, Anda!" umpatnya kasar, sambil memutar tubuh menatap ke arah Arya. Lelaki bertubuh tegap, dan berparas tampan tersebut menggerakkan giginya kuat. Tatapan ke duanya tampak begitu mengintimidasi. Namun, akhirnya Dika memilih untuk memutuskan pandangan terlebih dahulu kemudian berjalan meraih ponsel yang berada di atas nakas. "Tidak ada satu orang pun yang boleh keluar dari paviliun ini!" tegas Arya, ketika Dika hendak pergi dari kamar itu. Jantung Risa tiba-tiba berdebar lebih kencang mendengar suara bariton Arya. Dan ketika ia mencuri pandang ke arah kekasihnya itu, wajahnya pun merona. "Dia semakin gagah dan tampan jika sedang marah seperti ini," batin Risa, sambil terus menatap ke arah Arya dengan penuh kekaguman. Sadar tengah diperhatikan diam-diam, Arya pun menoleh. Dia berdeham guna mengusir perasaan canggung karena terus diperhatikan Risa. "Risa!"Risa terperanjat, hampir saja ia salah menyebut Arya dengan nama kesayangan. Beruntung logik
"Sebenarnya, apa yang terjadi terhadap, Ilma?" tanya Nazwa dengan raut wajah sendu. Risa masih bergeming, ia menatap tanpa berkedip ke arah Ilma. "Aku pun bingung harus memulai cerita dari mana." Risa menatap Nazwa, dan kini air matanya berlinang, selang beberapa isakan itu pun menjelma menjadi tangisan. "Aku kira, Mas Dika hanya mencintaiku. Tapi, rupanya dia berperilaku buruk terhadap wanita lain." Risa mulai bercerita, dan isakannya terdengar sangat menyakitkan bagi siapa saja yang mendengar. "Lalu, sekarang aku harus bagaimana, Nazwa? Pertama kali jatuh cinta, tapi aku langsung menerima kenyataan menyakitkan ini."Nazwa terdiam, ia menatap lekat wajah sendu sang sahabat. Ia merentangkan kedua tangan sebagai isyarat agar Risa mendekat ke arahnya. Tangisan Risa pun meledak dalam dekapannya. "Apa aku memang tidak ditakdirkan untuk, bahagia?""Hei, omong kosong apa yang kamu ucapkan?" Nazwa mengurai dekapannya, hatinya begitu tercabik melihat sahabat yang selalu ada bersama dir
"Sekarang menyerahlah, pergi dan jangan pernah usik hidupku." Risa merengkuh tubuh Dika kemudian berbisik sambil mengelus lembut kepala lelaki tersebut. Tubuh lelaki itu bergetar, ke dua tangannya mengepal kuat, amarah yang belum padam pun semakin tersulut dengan ucapan Risa. "Akan kubuktikan semua kebusukan kalian!" Ancam Dika sembari mendorong tubuh Risa kasar hingga tubuh wanita itu terjatuh setelah sebelumnya membentur sebuah meja yang terdapat vas bunga. Prang! vas bunga itu pun terjatuh lalu menimpa kepala Risa. Darah segar pun mengalir bersamaan dengan hilangnya kesadaran Risa. Nazwa histeris, ia berteriak, memaki, bahkan berusaha untuk bangkit dari kursi rodanya demi menolong Risa. Beruntung, Arya sigap menahan tubuh Nazwa agar tak terjatuh. Dika bergeming menatap pemandangan di depan matanya, saat Arya dengan sigap memeluk dan menenangkan Nazwa di situ hatinya kembali bekeping-keping. "Selamatkan, Risa. Aku mohon selamatkan sahabatku!" pekik Nazwa sambil terus memohon k
Sekelebat bayangan Risa yang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit kembali mengobarkan amarah Arya kepada Dika. Dia mengayunkan pukulan tepat di wajah tampan Dika, dan saat itu juga Dika tersungkur karena tak siap menerima serangan tiba-tiba. Darah mengucur dari sudut bibir Dika, "Seharusnya saya yang menghajarmu!" ujar Dika sambil menyeka darah lalu kembali bangkit berhadapan dengan Arya. "Kamu telah menyebabkan, Risa terluka!" Arya mencengkram kuat kerah kemeja Dika, tapi tak ada balasan darinya. Lelaki tampan itu hanya terbahak melihat tingkah Arya yang terlihat konyol di matanya. "Kamu terlihat sangat konyol, Tuan Arya!" Dika tersenyum sinis. "Berhenti tersenyum bajingan!" Bugh! Satu pukulan kembali Arya layangkan ke wajah Dika. Namun, bukannya membalas dia justru pasrah menerima setiap pukulan demi pukulan yang dilayangkan Arya. Napas Arya mulai tersenggal, dan dia pun menghentikan pukulannya terhadap Dika. Dia terduduk sambil sesekali mengatur napas. "Jika terjadi
Waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam. Arya masih saja terjaga, bayangan wajah Risa yang tengah terluka terus menari-nari dalam benaknya. Sore tadi, selepas kepergiannya dari rumah Dika dia hendak langsung ke rumah sakit. Namun, saat berada dalam perjalanan, perawat yang selalu menemani Nazwa menghubunginya. Wanita itu berkata jika Nazwa mulai cemas dan beberapa kali meracau tak karuan, mendengar hal itu Arya berputar arah dan memilih untuk kembali ke rumah. "Apa kamu baik-baik saja?" batin Arya cemas. Hatinya begitu menggebu untuk segera menghampiri Risa dan menemani wanita tersayangnya itu, tapi apalah daya dia pun tak mungkin meninggalkan Nazwa dalam keadaan yang seperti saat ini. ***"Sayang, hari ini aku ingin menemui, Risa. Apakah kamu mau menemaniku?" tanya Nazwa antusias saat ke-duanya tengah menikmati hidangan sarapan. Arya hampir tersedak mendengar pertanyaan Nazwa. Buru-buru dia meraih segelas air lalu meminumnya hingga tandas. "Apa kamu serius?"Nazwa mengang
Langkahnya gontai meninggalkan rumah sakit, meskipun tubuhnya masih lemas tapi Risa memaksa untuk segera meninggalkan rumah sakit. Sepanjang malam ia terus termenung, hatinya hancur tak terrsisa saat mengetahui kenyataan jika Arya bahkan tak menghubungi dirinya walau hanya sekadar pesan singkat. Ponsel berdering. Risa hanya menatapnya sekilas tanpa niatan untuk menjawab panggilan itu. "Aku benci kamu, Mas," batin Risa sedih. ***Sebelum tengah hari, Risa tiba di rumah yang memang sengaja Arya belikan untuknya. Tak ingin membuang-buang waktu, Risa bergegas untuk mengemas baju dan segala keperluan pribadi. Namun, belum sempat Risa membereskan semuanya, pintu kamar terbuka dengan kasar. Tubuh jangkung itu terpaku dengan pandangan tajam menatap Risa. "Jika ingin pergi setidaknya beritahu aku!" tegas Arya sambil berjalan mendekati Risa. Risa masih terdiam, bahkan ia menunduk saat Arya terus menatapnya intens. "Risa, kita sudah berhasil menyingkirkan, Dika. Jadi kamu tak perlu lagi
Malam ini, bulan tampak malu-malu untuk menampakkan sinarnya. Langit terlihat lebih kelam dari biasanya, hanya ada beberapa bintang saja yang masih setia berkelip menghiasi malam. "Sepi sekali malam ini," gumam Risa sambil menengadah menatap langit. Sendiri, dan terbelenggu sepi. Hanya itulah kata yang pas menggambarkan kondisi Risa saat ini. Jiwanya haus akan kasih sayang dan cinta yang tak pernah ia rasakan sekalipun dari ke dua orang tuanya. Risa masih termenung di beranda kamarnya, sesekali ia menatap potret dirinya bersama Arya. Seulas senyum terbit di wajah cantiknya itu. "Aku tak pernah bosan untuk terus berharap agar kamu selalu jadi lelakiku satu-satunya," gumam Risa penuh harap. Ponsel berdering. Risa hampir menjatuhkan ponsel itu dari genggamannya, beruntung ia masih bisa menguasai ponsel itu agar tak jatuh. "Nazwa?" Setelah berdeham beberapa kali, Risa langsung menerima panggilan suara itu. "Halo, Nazwa?" sapa Risa dengan suara serak. "Apa kamu baik-baik saja, Ri