LOGINHubungan yang tak pernah dekat itu kini terasa semakin asing saja. Tidak ada yang berubah dari Abra, lelaki itu tetap saja tenang, dingin, dan penuh jarak. Namun kali ini jarak itu bak jurang yang seolah tak mengizinkan Serayu untuk mendekat.
Serayu menelan perih itu dalam diam. Jelas tidak ada pilihan lain, selain tabah menelan luka seorang diri. Lorong rumah sakit hari itu lengang. Serayu yang sedang berdiskusi singkat dengan dokter residen dan beberapa rekannya, sempat menoleh ketika matanya menangkap sosok lelaki yang melangkah dari ujung lorong. Tegap dengan jas putihnya, Abra sempat berhenti— berbincang singkat dengan seorang dokter sebelum kembali melanjutkan langkah. Tanpa menoleh, tanpa senyum, wajah datarnya tetap tak tergoyahkan meski dokter residen dan beberapa koas menyapa sopan saat ia lewat. “Sudah selesai, itu saja. Ada yang mau ditanyakan?” suara Sedanu, dokter residen, terdengar tapi hanya seperti angin lalu di telinga Serayu yang masih terpaku mengikuti punggung Abra yang kian menjauh. “Tidak ada, Dok!” jawab yang lain serempak. “Serayu, ada yang ingin kamu tanyakan?” tegur Sedanu. Punggung Abra memang sudah tak lagi terlihat, tetapi pikiran Serayu justru kian larut, tenggelam memikirkan lelaki itu yang terasa semakin jauh dan tak tersentuh. “Serayu?” panggil Sedanu lagi. “Iya, Mas?” sahut Serayu buru-buru, menoleh cepat. Bibir bawahnya langsung tergigit saat ia sadar mereka masih berdiskusi. Beberapa rekannya sudah menahan tawa, mengulum senyum geli. “Maaf, Dok,” koreksinya terburu-buru. “Baik, jika tidak ada pertanyaan lagi silahkan siapkan materi presentasinya. Kita ketemu lagi sore nanti.” Serayu mengangguk pelan, menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memanas. Dari sudut matanya, ia masih bisa menangkap senyum mengejek Sedanu sebelum lelaki itu benar-benar pergi. ‘Sangat memalukan sekali kamu, Serayu,’ batinnya. Sepanjang perjalanan menuju ruangan, Serayu terus saja digoda karena salah memanggil Sedanu, meski sudah ia klarifikasi. “Apa tadi? ‘Iya, Mas’,” ledek salah seorang rekannya, membuat yang lain tertawa. Serayu menghentikan langkahnya sebelum masuk ke ruangan, lalu memicingkan mata pada rekannya itu. “Maaf, Serayu, aku masih ngakak. Untung dokter Sedanu orangnya easy going. Coba bayangkan kalau yang kamu salah panggil itu dokter Abra—” ia sengaja menjeda untuk sekedar tertawa, membuat yang lain bergidik ngeri membayangkannya namun tetap tertawa. “—bumi bisa gonjang-ganjing.” “Mana suara Serayu manja sekali tadi, ‘Iya, Mas Sedanu,’” timpal rekan lain sambil cekikikan. “Cieee….” Namun tawa riang itu seketika lenyap ketika suara dingin nan tajam menyambar telinga mereka. “Apa kalian tidak ada kerjaan selain ngerumpi?” Semua sontak menoleh. Begitu melihat Abra berdiri di belakang mereka, mereka pun langsung menunduk, wajah penuh rasa bersalah. Sementara Serayu hanya menatap datar lelaki itu. “Bukankah sebentar lagi jam poli akan dimulai?” “Benar, Dok. Kami permisi kalau begitu,” jawab mereka hampir bersamaan, terburu-buru berlalu dengan wajah pucat. Serayu yang tertinggal paling belakang mengangguk sopan tanpa berkata-kata. Baru saja hendak berbalik langkahnya tertahan oleh suara Abra. “Apa keahlianmu hanya mencari perhatian dan menggoda dokter di rumah sakit ini saja, hmm?” Darah Serayu berdesir. Kalimat itu menusuk begitu saja ke relung hatinya. “Kalau tidak bisa berkata baik, sebaiknya dokter diam saja seperti biasa. Itu jauh lebih membantu daripada melukai hati orang lain.” Serayu menunduk, mengangguk sopan sekali lagi, lalu melangkah pergi. Abra berdiri mematung, tanpa ia sadari rahangnya mengeras menatap punggung Serayu yang sudah menjauh. Malam harinya, begitu sampai di apartemen, Serayu mendapati ruangan itu dalam keadaan kosong. Bukan hal baru baginya. Ia menepikan segala rasa dan prasangka, memilih melangkah ke kamar untuk membersihkan diri. Usai mandi, tubuhnya terasa segar, pikirannya pun sedikit lebih tenang. Serayu lalu merangkak naik ke atas ranjang, meraih ponselnya, berniat sekadar berselancar ria di medsos. Namun, tumpukan pesan suara dari sang mertua yang dikirim sejak tadi membuat keningnya berkerut. Baru saja pikirannya sedikit lebih tenang, sudah ada saja gebrakan wanita itu untuk memporak-porandakan hatinya. Dipenuhi rasa penasaran, Serayu menekan salah satu pesan itu. ‘Makanlah, Bibi masak banyak hari ini. Mama tahu kamu pasti belum makan. Istrimu kan tidak pandai memasak. Abra … Abra … lelaki itu paling senang dimanja dengan masakan. Bilang kalau Mama salah?’ suara mertuanya terdengar jelas. Tak lama, ada balasan dari Abra. ‘Serayu masih ada kegiatan di rumah sakit, Ma.’ ‘Oh, ternyata lelaki itu ada di rumah keluarganya,’ batin Serayu. Lalu, suara sang mertua kembali terdengar. ‘Kamu tidak bisa membohongi Mama, Abra. Mama bisa lihat, tidak ada cinta di matamu untuk wanita itu. Berbeda dengan dia yang kecintaan setengah mati. Kapan kamu sadarnya Abra? Wanita itu menikah dengan kamu tidak lain dan bukan hanya karena uang.’ Senyum getir menghiasi wajah Serayu. Pesan berikutnya kembali memukul batinnya. ‘Kamu tidak pernah melewatkan Serayu. Ke mana-mana mesti selalu membawa istri kecilmu itu. Malam ini kamu datang sendiri ke sini, Mama sudah bisa tebak kalau kamu bosan melihatnya di rumah. Atau jangan-jangan kamu berharap ketemu Aileen lagi ya di sini?’ goda Riani. ‘Oh, ya, bagaimana pertemuanmu dengan Aileen kemarin? Kamu antar dia sampai apartemennya, kan?’ Percakapan itu terputus di sana, menyisakan segudang pertanyaan dalam hati Serayu. Rasa penasaran kian membuncah di hati Serayu. Ada apa sebenarnya dengan masa lalu Abra? Apakah kini lelaki itu menyesali pernikahan mereka? Ataukah kehadirannya menjadi penghalang bagi Abra untuk kembali pada seseorang dari masa lalunya? “Apa yang sebenarnya kamu pikirkan, Serayu,” tegurnya pada diri sendiri. Ia menggeleng pelan, tak ingin terjebak dalam dugaan yang tak berujung. Serayu memilih keluar kamar, berniat ke dapur untuk sekadar menenangkan diri dengan minuman hangat. Namun baru saja pintu terbuka, langkahnya terhenti. Di ambang pintu, ia berpapasan langsung dengan Abra yang baru pulang. Tatapan mereka bertemu—hanya beberapa detik, tapi entah kenapa begitu menenangkan. Tanpa sepatah kata pun, Abra berlalu, melangkah masuk ke kamarnya dan menutup pintu begitu saja. Serayu berdiri kaku di tempatnya. Dengan tidak tahu malunya ia malah menoleh, menatap punggung sang suami sampai hilang di balik pintu. Ada sesuatu dalam sorot mata itu yang mengusik hatinya. “Apa maksud tatapannya tadi?” gumamnya lirih. *** Serayu baru saja melangkah masuk ke ruangan setelah ikut visit pasien bersama dokter pembimbing. Belum sempat ia menarik kursi, telinganya sudah menangkap celoteh rekan-rekannya yang tampak antusias karena kedatangan dokter baru. “Cantik parah sih dokter spesialis anaknya,” salah seorang berkomentar sambil terkagum. Serayu yang masih menaruh berkas di meja refleks menoleh. Ia meraih botol minumnya, lalu bertanya santai, “Sudah datang dokter barunya?” “Sudah. Dokter Aileen Nafisa, Sp.A(K) Neonatologi,” jawab rekannya dengan semangat, membanggakan gelar yang menarik perhatian semua orang. Serayu membeku sesaat mendengar nama yang tak biasa. ‘Aileen’ kenapa nama itu terdengar tidak asing, seperti nama yan selalu diagung-agungkan oleh mertuanya. “Sp.A(K) Neonatologi, lho. paling bergengsi di dunia anak, spesialis banget di bidangnya. Pantas saja aura dan wawasannya beda,” bisik salah seorang perawat, penuh kekaguman. Serayu menelan ludahnya, pikirannya jatuh pada wanita yang dulu menjadi masa lalu Abra. Apakah dokter baru ini adalah orang yang sama? Mantan kekasih Abra? Jika benar, membayangkan betapa piawainya Aileen sepertinya sesuai dengan apa yang dikatakan mertuanya. Bagaimana tidak, spesialis itu tak luput dari bayi. Pasti kalau punya anak, Aileen akan jauh lebih sigap darinya. Darinya? Serayu buru-buru menggeleng, menepis bayangan yang tak seharusnya menguasai pikirannya. Lalu menertawai dirinya sendiri. “Waktunya kembali bekerja,” katanya penuh semangat dan beberapa rekannya ikut beranjak. Namun, saat melangkah keluar dari ruangan suara kaki bergema dari arah koridor, Serayu menoleh melihat sekelompok dokter berjalan. “Itu dr. Aileen,” bisik rekannya. Aileen yang dimaksud berjalan di sana, anggun dalam balutan blouse sederhana, ditemani salah seorang dokter senior yang sedang memberikan tur rumah sakit. lalu berhenti tepat di hadapan mereka memperkenalkan dokter baru itu. Serayu membeku saat berhadapan dengan dokter baru yang wajahnya serupa dengan yang beberapa kali terpampang di layar ponsel Abra. Namun, ia tahu ini saatnya bersikap profesional. Ia berdiri tegap menyambut sekilas dengan senyum sopan. Abra yang baru keluar dari ruangannya, secara kebetulan berpapasan di lorong yang sama. Sekilas tatapan itu membuat dada Serayu kembali mengencang—seolah waktu berhenti sesaat—melihat tatapan Abra. “Dokter Abra,” panggil Aileen, menyapa sopan.Hi... salam kenal dari sang mantan hihi ... disapa tuh dr. Abra senang tah?
Aileen pulang dari pesta ulang tahun temannya. Dalam keadaan frustrasi, ia meneguk alkohol—tidak banyak, tapi kadar toleransinya memang rendah, sehingga mudah mabuk. Ia bahkan tak sadar bagaimana akhirnya bisa berada di apartemen Abra. Memang belakangan ini dalam pikirannya kalut, hanya Abra dan Abra saja—berharap lelaki itu kembali padanya karena sungguh ia mencintainya. Aileen mengikuti seseorang ke dalam lift—meminta bantuan karena tidak mempunyai kartu akses lalu menyebutkan lantai tempat unit Abra berada. Langkahnya terhuyung, matanya sedikit kabur mencari nomor unit lelaki itu. Hingga seseorang melangkah mendekat ke arahnya. Aileen tersenyum melihat Abra berdiri di hadapannya. Dalam hatinya ia yakin, takdir memang selalu menuntun Abra padanya, pikirnya. Seperti dini hari ini, tangan Aileen terulur mengusap lembut pipi lelaki di hadapannya. Sentuhan hangatnya membuat si lelaki menggeliat pelan dan membuka mata. Ia mengerang kecil, menoleh ke arah lain—meraih ponsel di atas naka
Serayu bertemu dengan Amalia dalam briefing siang itu. Wanita itu mengangkat dua jarinya membentuk tanda peace sambil meringis kecil. Amalia sudah menduga, Serayu pasti sudah tahu kalau dirinya mata-mata Abra. Serayu hanya membalas ringisan itu dengan senyum dan mata memicing dari kejauhan.Usai briefing, Amalia menghampiri Serayu dan duduk di sampingnya. Serayu menoleh kanan-kiri, memastikan sekitar yang sepi, lalu berbisik pelan, “Duh, takut banget dilaporin,” sindirnya, bercanda. Amalia refleks memeluk Serayu dari samping.“Maafkan aku…,” lirihnya penuh rasa bersalah. Amalia akhirnya mengakui semuanya—permintaan Abra hari itu. Ia juga yakin kedatangan Abra tempo hari karena ia tak sengaja mengirim kebersamaan Serayu dan Ryan.Serayu hanya mengangguk kecil. “Mas Abra memang nggak suka saya terlalu dekat sama laki-laki lain. Takut istrinya dicuri, kayaknya,” katanya bercanda, Serayu terkekeh geli sendiri. Sementara Amalia terdiam.Ia tak menanggapi. Sepertinya ada hal yang Serayu belu
Sampai keesokan harinya, Abra masih enggan berpisah dari Serayu. Entah mengapa, menjelang hari keberangkatannya, suasana terasa begitu berat. Besok pagi Abra akan berangkat lebih dulu bersama beberapa tim, sementara Serayu dijadwalkan pulang seminggu kemudian.Ada rasa syukur, karena jarak hanya akan memisahkan mereka selama seminggu saja. Namun, dengan keterbatasan sinyal di lokasi, waktu yang singkat itu tetap terasa seperti ujian panjang karena rindu yang tak bisa disampaikan setiap saat.Malam itu, udara di luar terasa lebih dingin dari biasanya, seolah tahu bahwa esok dan beberapa hari ke depan mereka tak lagi terlelap di bawah atap yang sama. Abra masih belum juga melepaskan pelukannya.“Saya nggak mau pisah dari kamu,” bisiknya lirih, suaranya serak karena emosi yang ditahan.Serayu menoleh sedikit menatap wajah suaminya dari jarak sedekat itu hanya mampu mengangguk. “Saya juga, Mas… makin berat rasanya,” aku Serayu membuat Abra tersenyum karena apa yang ia rasakan, Serayu juga
Pagi itu udara lebih segar dari biasanya dan langit mulai menampakkan rona cerah menyapa pasangan muda yang menyempatkan diri olahraga bersama—jogging mengitari desa. “Istirahat di situ, Sayang,” tunjuk Abra pada sisi sungai. Meski sudah sering dipanggil ‘sayang’ tetap saja hati Serayu dagdigdug mendengarnya. Dan wanita itu belum pernah memanggil Abra dengan sebutan yang sama. Keduanya melakukan pendinginan ringan usai berolahraga. Semilir suara aliran air menjadi latar yang menenangkan. “Sini, Sayang,” panggil Abra meminta Serayu mendekat. Ia memberikan ponselnya memperlihatkan surat tugas pulang ke rumah sakit asal mereka. “Lusa saya harus kembali,” katanya pelan, menatap Serayu dalam. Tak terasa dua minggu sudah Abra bertugas, sementara Serayu masuk minggu keempat. Jadwal kepulangan mereka berbeda, Abra lebih dulu. “Saya bisa minta tambahan waktu, biar kita pulang bareng.” Serayu mengangkat pandangannya menggeleng tidak setuju. “Tidak perlu, Mas. Ini penugasan. Harus p
Serayu meremang saat Abra berbisik nakal di telinganya, “Kenapa harus?” Kini bibir nakal itu ikut menggerayangi lehernya. “Saya salah apa sampai wajah kamu ditekuk begitu?”“Salah. Pokoknya Mas selalu salah,” sahut Serayu kesal.Abra mengerutkan kening. Ia memutar tubuh wanitanya membuat Serayu menelan ludah. Menatap dada bidang Abra saja sudah salah, apalagi saat mata mereka akhirnya bertemu. Serayu benar-benar tak kuasa.“Tolong jelaskan. Saya tidak bisa menebak hanya dari raut wajah kamu,” ucap Abra sambil mencubit lembut dagu Serayu, menggerakkannya ke kiri dan ke kanan.“Kalau mau dijelasin, pakai baju dulu minimal,” gumam Serayu, menatap ke arah lain sambil memegangi ponsel di depan dadanya.Abra tidak mengindahkan. Tangannya terulur meraih ponsel itu dan pandangannya langsung jatuh pada layar yang masih terbuka pada ruang obrolan—pesan berisi beberapa foto. Tatapannya terangkat, menelusuri wajah Serayu.“Setelah saya jauh-jauh ke sini, kamu masih percaya hal beginian?” tanyanya
“Kamu istri saya, Rayu,” ujar Abra mengingatkan. “Semua orang juga sudah tahu kalau saya istri Mas Abra,” sahut Serayu. “Sangat tahu, bahkan sampai ke masa lalu—” “Sayang…,” panggil Abra tatapannya seolah tak setuju, membuat Serayu spontan menghentikan kalimatnya. Tangan lelaki itu terulur, menggenggam jemari Serayu, lalu menggeleng perlahan—tak ingin istrinya kembali menyinggung masa lalu wanita itu yang sudah lama dikubur. Abra menunduk, mengecup punggung tangan Serayu. Panggilan itu ‘sayang’ kali ini Serayu dapatkan bukan lagi bagian dari sandiwara. Jangan tanyakan bagaimana jantung Serayu berdetak saat mendengarnya. Kali ini, sebutan itu nyata bukan bagian dari drama. Abra menuntun Serayu duduk. Ia membuka kotak nasi dan meletakkannya di hadapan wanita itu. “Mas,” panggil Serayu pelan. “Hmm,” sahut Abra tanpa menoleh, masih sibuk menyiapkan makanan mereka. “Panggil lagi,” ucap Serayu malu-malu. Nada suaranya kecil, hampir tak terdengar. Malu tapi mau. Abra mengangkat pandan







