Sapa sopan dan hangat dari suara lembut dr. Aileen pada Abra membuat beberapa rekan koas Serayu membulatkan mata, mereka sangat menanti reaksi Abra.
Namun, seperti biasanya Abra berlalu tanpa menanggapi. Itu hal yang sudah biasa bagi mereka karena hampir pada semua orang Abra bersikap seperti itu. “Dok, sabar ya. Dokter Abra memang begitu,” celetuk seorang koas membuat Aileen menoleh. “Benarkah?” tanyanya dan yang lain mengangguk membenarkan. Aileen pun ikut mengangguk pelan seolah paham. Pertemuan Serayu dengan Aileen pun berlalu sekilas, tapi cukup meninggalkan gelombang resah di hati Serayu. Sore harinya, Serayu melangkah keluar dari IGD, bersiap untuk pulang. Langkahnya terhenti ketika pandangannya jatuh pada sosok Abra yang berdiri di lorong sepi. Sesaat kemudian, lelaki itu menoleh. Serayu hanya mengangguk hormat lalu kembali melanjutkan langkah. Namun suara berat itu menyusulnya dari belakang. “Pulang dengan saya,” ucap Abra, membuat Serayu berhenti dan menoleh. “Pulang dengan saya, Serayu,” ulangnya, lalu meninggalkan Serayu. Dua kali mengulang ucapan yang sama masih membuat Serayu ragu. Pasalnya beberapa hari terakhir mereka saling diam, mengapa kini Abra tiba-tiba mengajaknya pulang? Bimbang, ia tetap melangkah menuju halte. Siapa sangka, mobil Abra sudah menunggunya di sana. Tanpa banyak pikir, Serayu langsung masuk. Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan yang terjalin. Hening. Bahkan ketika Abra membelokkan mobil ke arah yang berbeda dari jalan menuju apartemen mereka, Serayu tetap diam. Kini mobil berhenti di depan sebuah butik. Baru kali itu Serayu menoleh, tatapan penuh tanya itu bertemu dengan mata Abra. “Malam ini ulang tahun Vera, ada acara makan malam di rumah,” jelas Abra singkat. “Tidak perlu fitting banyak baju. Pilih saja mana yang pantas,” titahnya lagi. Ia menambahkan kalau dirinya juga akan mencari pakaian. Serayu tetap diam, menurut saja. Ia langsung memilih pakaian dengan bantuan staf butik, hingga akhirnya menjatuhkan pilihan pada dress pendek hitam berlengan panjang. Sederhana tapi manis, apalagi ketika dipadukan dengan make-up tipis yang mempertegas kecantikannya. Rambutnya ia biarkan tergerai bergelombang alami. Saat keluar dari ruang rias, matanya langsung bertemu dengan tatapan Abra yang kebetulan sedang mengangkat kepala–lelaki itu duduk di sofa. Keduanya sama-sama terkejut. Tidak janjian, mereka memilih warna pakaian yang sama. “Saya sudah selesai,” ucap Serayu lirih, sementara Abra tetap diam menatapnya. Ia menggigit bibir bawah, takut Abra tidak menyukai pilihannya. “Apa dress-nya tidak bagus?” tanyanya pelan. Abra terdiam sejenak, lalu berkata, “Dress-nya bagus. Orang yang memakainya yang jelek.” Lelaki itu pun beranjak dari duduknya keluar dari butik. Serayu mengejarnya dengan kedua tangan terkepal, menahan kesal. Abra memang tidak pernah menyaring kalimatnya kalau bicara. Sesampai di rumah orang tuanya, suasana sudah ramai. Keluarga besar berkumpul, begitu juga teman-teman Vera. Kedatangan Abra dan Serayu seketika menjadi pusat perhatian karena pakaian mereka yang senada. Padahal dress code malam itu adalah putih. “Mas, kita salah kostum, deh,” bisik Serayu pelan, wajahnya sedikit cemas. Abra hanya mengembuskan napas, lalu meraih tangan Serayu dan melangkah mantap menuju taman. Salahnya memang karena tidak membaca pesan dari sang adik sampai akhir. “Peduli apa. Yang penting kita pakai baju,” jawabnya datar, seolah tak terusik. Namun, dari meja keluarga, rahang Riani mengeras melihat Serayu. Pandangan matanya menusuk penuh kebencian. Beliau mengundang Aileen malam itu, tetapi bertabrakan dengan acara keluarga wanita itu. Acara berlangsung ceria, tawa, dan obrolan memenuhi taman. Para tetua duduk di meja panjang penuh makanan, sementara Abra dan Serayu memilih duduk di meja terpisah dengan hanya dua kursi—tampak bak makan malam romantis. Tatapan Abra beberapa kali jatuh pada pelayan yang membawa segelas jus jeruk. Serayu cepat menangkapnya. “Mau jus itu?” tanyanya lirih. Abra mengangguk singkat. Serayu pun bangkit, menghampiri pelayan. Namun, sebelum tangannya sempat meraih gelas, tiba-tiba cairan dingin menyiram dadanya. Jus jeruk itu tumpah, meninggalkan rasa lengket dan membuat Serayu terpekik tertahan. “Ups, tidak sengaja,” ujar Riani santai, matanya penuh kemenangan. Abra langsung berdiri dari kursinya, langkahnya cepat menghampiri Serayu yang panik meraba bajunya yang basah. “Mama!” protesnya dengan nada tajam. “Tidak sengaja,” ulang Riani dengan enteng. Tak ada sedikit pun permintaan maaf, hanya tatapan dingin sebelum ia berlalu sambil membawa gelas terakhir di nampan. Hening menyelimuti meja kecil itu. Rahang Abra mengeras, menahan amarah, sementara Serayu hanya menunduk, menelan rasa malu. “Kita pulang,” tegas Abra. Melihat acara inti belum dimulai, Serayu memutuskan untuk sekadar mengeringkan bagian yang basah di kamar mandi. Abra mengizinkan, bahkan sempat menuntun sang istri hingga ke depan pintu. Dengan sigap ia membuka pintu, seolah hendak ikut masuk. “Mas,” cegah Serayu cepat, menahan langkahnya. “Tunggu di luar saja,” cicitnya, wajahnya memerah. Abra mendadak salah tingkah, lalu mundur setapak. “Mas Abra kembali saja ke taman. Saya hanya akan mengeringkan ini. Takutnya acara inti keburu dimulai, Mas nggak ada di sana,” ucap Serayu hati-hati. Dengan berat hati, Abra mengangguk. Lalu beranjak pergi. Begitu pintu tertutup, Serayu menarik napas lega. Ia buru-buru merapikan diri. Untung dress hitam yang dipakainya cukup menyamarkan noda, meski rasa lengket masih menempel dan membuatnya tidak nyaman. Serayu buru-buru mengelap dress-nya dengan tisu lalu mengeringkannya menggunakan hair dryer. Belum juga selesai, pintu kamar mandi diketuk keras dari luar. Kaget, Serayu segera membukanya dengan khawatir, menyangka Abra masih menunggu. Namun, begitu pintu terbuka, Riani sudah berdiri di sana. Wanita itu mendorong Serayu ke dalam hingga tubuhnya hampir terhuyung. “Kamu bicara apa pada Abra sampai dia berani menegur ibu kandungnya sendiri dengan nada tinggi?” tuduh Riani dengan mata menyala. “Saya tidak bilang apa-apa—” suara Serayu tercekat ketika rahangnya ditekan kasar oleh tangan Riani. “Menjijikkan! Kamu itu tidak pantas dengan Abra.” “Mama, mo–hon le–pas,” lirih Serayu. “Diam! Apa tujuan kamu datang ke hidup Abra? Kalau kamu butuh uang, saya akan berikan. Sebut saja berapa yang kamu mau, asal kamu tinggalkan Abra. Bercerailah.” “Saya tidak mengharapkan sepeser pun uang Mas Abra, Ma—” Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Riani mendorong wajah Serayu hingga ia mundur beberapa langkah. Amarah yang semakin membuncah membuat Riani meraih jet shower kloset, lalu menyemprotkannya tepat ke wajah Serayu. Wanita malang itu berusaha menahan, tetapi Riani justru semakin menjadi-jadi. Hingga akhirnya sebuah tangan kuat menahan lengan Riani dari belakang. “Mama, kali ini Mama sudah keterlaluan!” suara Abra membelah udara, tegas dan penuh amarah. “Apa? Kamu mau bela dia lagi? Dia marahin Mama, menuduh Mama sengaja menyiramnya. Padahal Mama datang mau membantu. Ya Mama nggak terimalah!” bentak Riani tak kalah keras. Abra menoleh, mendapati Serayu berdiri gemetar dengan mata memerah, menggeleng pelan. Wajahnya basah dan penuh ketakutan. Cepat-cepat Abra meraih handuk, mengusap wajah istrinya, lalu melepas jasnya untuk disampirkan ke bahu Serayu. "Istri kamu ini sudah kurang ajar sama Mama, Abra. Tidak ada sopan santun, seperti Aileen–” “Mama, cukup! Abra dan Serayu pamit pulang.” “Pulang? Ini ulang tahun adikmu! Kalau wanita itu mau pulang, pesankan saja taksi,” bantah Riani keras. Abra tetap membungkuk singkat, pamit sekali lagi membuat Riani kian berang. “Keterlaluan! Kamu lebih memilih wanita itu daripada keluargamu sendiri. Abra!” Serayu hanya bisa menunduk. Ia bahkan tak berani bersuara apalagi melihat rahang suaminya menegang menahan amarah. Di parkiran, mereka berpapasan dengan Sedanu. Lelaki itu melotot kaget melihat keadaan Serayu yang kusut dengan riasan berantakan. “Serayu—” panggilnya refleks. Namun Abra sama sekali tidak menghentikan langkahnya, bahkan tidak melirik sedikit pun. Mobil sudah melaju kencang meninggalkan rumah keluarga besar itu. Keheningan mencekam menyelimuti kabin. Serayu menatap suaminya dengan takut, lalu berbisik pelan. “Maafkan saya, Mas.” Tidak ada jawaban. Abra tetap menatap lurus ke jalan. Begitu sampai apartemen, Serayu melangkah ragu di belakangnya. “Saya sungguh minta maaf, Mas.” “Berhenti minta maaf, Serayu!” potong Abra tajam. “Saya sama sekali tidak menuduh Ibu Riani—” “Kenapa kamu diam saja saat Mama mengobrak-abrik perasaanmu?” tanya Abra, tatapan dalam dan menusuk. Serayu tersenyum kecut, meringis. “Saya tidak apa-apa. Selama ini juga perasaan saya tidak pernah diperhitungkan. Lagi pula, sebentar lagi kita akan berpisah. Ibu Riani pasti senang dengan kabar itu.” Tatapan Abra semakin tajam, sorot matanya menusuk lebih dalam. Ia melangkah mendekati Serayu–yang mundur perlahan hingga tubuh mungilnya terpojok di pintu kamarnya. “Bagaimana dengan kamu? Apa juga senang kalau kita berpisah?”Eh... kok gitu nanyanya? kamu juga senangkan Abra? >_<
Sapa sopan dan hangat dari suara lembut dr. Aileen pada Abra membuat beberapa rekan koas Serayu membulatkan mata, mereka sangat menanti reaksi Abra. Namun, seperti biasanya Abra berlalu tanpa menanggapi. Itu hal yang sudah biasa bagi mereka karena hampir pada semua orang Abra bersikap seperti itu. “Dok, sabar ya. Dokter Abra memang begitu,” celetuk seorang koas membuat Aileen menoleh. “Benarkah?” tanyanya dan yang lain mengangguk membenarkan. Aileen pun ikut mengangguk pelan seolah paham. Pertemuan Serayu dengan Aileen pun berlalu sekilas, tapi cukup meninggalkan gelombang resah di hati Serayu. Sore harinya, Serayu melangkah keluar dari IGD, bersiap untuk pulang. Langkahnya terhenti ketika pandangannya jatuh pada sosok Abra yang berdiri di lorong sepi. Sesaat kemudian, lelaki itu menoleh. Serayu hanya mengangguk hormat lalu kembali melanjutkan langkah.Namun suara berat itu menyusulnya dari belakang.“Pulang dengan saya,” ucap Abra, membuat Serayu berhenti dan menoleh.“Pul
Hubungan yang tak pernah dekat itu kini terasa semakin asing saja. Tidak ada yang berubah dari Abra, lelaki itu tetap saja tenang, dingin, dan penuh jarak. Namun kali ini jarak itu bak jurang yang seolah tak mengizinkan Serayu untuk mendekat. Serayu menelan perih itu dalam diam. Jelas tidak ada pilihan lain, selain tabah menelan luka seorang diri. Lorong rumah sakit hari itu lengang. Serayu yang sedang berdiskusi singkat dengan dokter residen dan beberapa rekannya, sempat menoleh ketika matanya menangkap sosok lelaki yang melangkah dari ujung lorong. Tegap dengan jas putihnya, Abra sempat berhenti— berbincang singkat dengan seorang dokter sebelum kembali melanjutkan langkah. Tanpa menoleh, tanpa senyum, wajah datarnya tetap tak tergoyahkan meski dokter residen dan beberapa koas menyapa sopan saat ia lewat. “Sudah selesai, itu saja. Ada yang mau ditanyakan?” suara Sedanu, dokter residen, terdengar tapi hanya seperti angin lalu di telinga Serayu yang masih terpaku mengikuti punggun
Tidak ada yang istimewa malam itu, tapi Serayu bersyukur sempat bertemu dokter Sedanu. Setidaknya ia bisa pulang dengan selamat dan aman.Pagi ini, seperti biasa, koas selalu datang lebih awal dibanding para dokter. Jadi, pagi-pagi sekali Serayu sudah siap dengan setelan rapi. Namun, matanya membulat saat melihat Abra sudah duduk di meja makan dengan pakaian kerjanya. Biasanya lelaki itu berangkat lebih siang.Ragu-ragu, Serayu melangkah mendekat. Haruskah ia ikut sarapan bersama, apalagi menu di meja tampak disiapkan pas untuk dua orang.Abra mengangkat pandangan, lalu sekadar menggerakkan kepala—memberi isyarat agar Serayu duduk di hadapannya. Apa Serayu bisa menolak? Tentu tidak. Sejauh ini, ia hanya dituntut menurut.Pelan-pelan, Serayu pun duduk. Saat itu juga, Abra mengeluarkan ponselnya, meletakkannya di atas meja, lalu mendorong ke arah Serayu.Mata Serayu membulat. Di layar ponsel itu, jelas terlihat fotonya saat masuk ke dalam mobil Sedanu. Bibirnya baru saja terbuka hendak m
“Katanya dokter Meta mau resign dan penggantinya sudah ada,” ujar salah seorang rekan saat mereka beriringan menuju lobi rumah sakit.Serayu mengangguk pelan. Ia baru saja menuntaskan stase Ilmu Kesehatan Anak, sehingga kabar itu membuatnya ikut merasa kehilangan dokter spesialis anak yang selama ini membimbingnya.“Katanya juga … dokter barunya cantik,” lanjut rekannya, membuat Serayu terkekeh kecil. Tentu saja, karena yang bicara adalah rekan lelaki. Beberapa teman lain ikut bersorak menggoda.“Cewek cantik aja cepat banget tanggapannya, ya!” candaan itu mengundang tawa singkat sebelum akhirnya mereka terpisah di depan pintu utama.Serayu menghentikan langkahnya. Sebenarnya ia malas pulang. Sekilas ia berpikir, apa sebaiknya ia sukarela mengambil jaga tambahan saja supaya tidak perlu kembali ke apartemen malam ini?Larut dalam lamunannya, Serayu tersentak ketika suara tegas menyapanya.“Pulang dengan saya,” titah Abra, berlalu tanpa menoleh.Serayu ingin menolak, tapi lelaki itu suda
Serayu menyembulkan kepalanya, mengintip Abra yang piawai menyiapkan sarapan. Sejak menikah, ia nyaris tak pernah benar-benar menjalankan perannya sebagai seorang istri. Pernah sekali ia mencoba memberanikan diri memasak untuk sang suami, tetapi hasilnya berakhir gagal dan Abra tidak mengizinkannya lagi menyentuh dapur.Sejak kecil, Serayu terbiasa bekerja untuk dirinya sekaligus membantu orang tuanya. Padatnya aktivitas membuatnya jarang menyentuh dapur—selalu ibunya yang menyiapkan makanan untuk keluarga tanpa mengizinkannya membantu karena beliau tahu selelah apa anaknya. Bahkan hingga dewasa, kebiasaan itu berlanjut. Saat kuliah, ia pun mengambil pekerjaan freelance yang menyita waktu dan tenaganya.Serayu menghela napas, lalu menegakkan tubuh dan melangkah keluar kamarnya. Suara langkahnya membuat Abra menoleh. Lelaki itu sempat tertegun melihat Serayu sudah rapi dengan wajah datar.“Duduk. Sebentar, saya siapkan—”“Saya tidak sarapan,” potong Serayu cepat. “Permisi.”Ia melangkah
Pagi-pagi sekali Serayu sudah tiba di rumah sakit. Sebelum memulai aktivitas, denting pesan masuk mengusik perhatiannya. Refleks ia meraih ponsel. Keningnya berkerut begitu layar menampilkan notifikasi dari mertuanya. Seketika jantungnya berdetak tak nyaman saat jemarinya menyentuh layar, membuka pesan itu.[Foto]Dalam bidikan kamera tampak Abra berjalan di halaman rumah sang mertua, tangannya menggenggam tangan seorang wanita. Mereka melangkah beriringan. Meski wajah wanita itu membelakangi kamera, Serayu seolah tahu persis siapa dia.[Sampai rumah jam berapa Abra semalam?]Melihat kedekatan Abra dengan wanita dalam foto itu membuat darah Serayu berdesir. Ingatannya langsung melayang pada pesan Abra semalam yang mengatakan, ia tidak pulang. Bibir Serayu melengkung tertawa getir. Tanpa sadar, rahangnya mengeras menahan rasa yang sulit ia deskripsikan.Ia menutup layar ponsel, memilih untuk tidak membalasnya. Apa yang harus dia katakan? ‘Mas Abra tidak pulang.’ Kalimat itu justru hanya