LOGINTidak ada yang istimewa malam itu, tapi Serayu bersyukur sempat bertemu dokter Sedanu. Setidaknya ia bisa pulang dengan selamat dan aman.
Pagi ini, seperti biasa, koas selalu datang lebih awal dibanding para dokter. Jadi, pagi-pagi sekali Serayu sudah siap dengan setelan rapi. Namun, matanya membulat saat melihat Abra sudah duduk di meja makan dengan pakaian kerjanya. Biasanya lelaki itu berangkat lebih siang.
Ragu-ragu, Serayu melangkah mendekat. Haruskah ia ikut sarapan bersama, apalagi menu di meja tampak disiapkan pas untuk dua orang.
Abra mengangkat pandangan, lalu sekadar menggerakkan kepala—memberi isyarat agar Serayu duduk di hadapannya. Apa Serayu bisa menolak? Tentu tidak. Sejauh ini, ia hanya dituntut menurut.
Pelan-pelan, Serayu pun duduk. Saat itu juga, Abra mengeluarkan ponselnya, meletakkannya di atas meja, lalu mendorong ke arah Serayu.
Mata Serayu membulat. Di layar ponsel itu, jelas terlihat fotonya saat masuk ke dalam mobil Sedanu. Bibirnya baru saja terbuka hendak menjelaskan, tapi suara dingin Abra lebih dulu terdengar.
“Seberapa dekat kalian?” tanyanya datar.
“...Hanya sebatas dokter residen yang membantu koas,” jawab Serayu lirih.
“Kalau begitu, ini akan jadi kali terakhir kalian berinteraksi di luar rumah sakit,” tegas Abra sambil meraih kembali ponselnya. Ia bangkit berdiri, menambahkan dengan nada titah, “Jangan membuat skandal apa pun yang hanya akan merusak personal branding-ku.”
Serayu terdiam di tempat. Setiap kata yang keluar dari mulut Abra selalu berupa perintah yang tak bisa dibantah, meninggalkan perih tersendiri di hatinya.
***
Serayu melemah saat melihat daftar rotasi berikutnya ditempel di papan pengumuman, jantungnya berdegup tak karuan. Matanya menelusuri nama kelompok, lalu berhenti tepat di baris bertuliskan: Stase Bedah – Konsulen: dr. Abra Wijaya Utomo, Sp.BTKV.
Tubuhnya mendadak terasa ringan, seolah mudah sekali goyah. Semua rasa lega yang sempat ia rasakan lenyap begitu saja. Bagaimana ia bisa bertahan di stase ini? Pembimbing yang harus ia hadapi setiap hari adalah suaminya sendiri—lelaki yang dingin, tegas, dan membuatnya kecil hati setiap kali berhadapan.
“Kenapa wajahmu pucat begitu?” bisik seorang rekan di sampingnya.
Serayu hanya tersenyum kaku, pura-pura tidak apa-apa, sementara dadanya semakin sesak. Jadwal yang tertera menunjukkan mereka akan sering bertemu: ward round pagi, operasi, bahkan jadwal jaga yang hampir serupa.Tangannya gemetar meremas map, pikirannya bergejolak.
‘Habislah kau, Serayu,’ batinnya.
Ponsel Serayu berdenting membuatnya tersentak, layar yang menyala menampilkan satu pesan singkat dari Abra.
[Kita pulang bersama.]
Tulis lelaki itu singkat. Kening Serayu berkerut seketika. Jemarinya sempat mengetuk di atas buku catatan, menatap layar itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Kalau dihitung-hitung, dalam beberapa hari terakhir mereka kerap pulang bersama.
Ada sesuatu yang membuat Serayu bingung. Ia menarik napas pelan, mencoba menepis pikiran yang melantur. Dengan mantap, ia mengetik balasan singkat.
[Baik, saya tunggu di halte.]
Pesan terkirim. Sesaat kemudian, Serayu hanya bisa menatap ponselnya, merasa aneh pada dirinya sendiri. Mengapa hatinya berdebar hanya karena sebuah ajakan pulang dari lelaki yang selama ini dingin padanya?
Cepat Serayu menggeleng membuang pikiran tak seharusnya.
***
Sore itu, Serayu melangkah lunglai keluar dari ruangan. Pandangannya kosong, tubuhnya lelah. Tanpa sengaja, ia menabrak seseorang—dan seketika tubuh mungilnya oleng ke belakang. Refleks, dua tangan kuat menahannya.
Serayu mendongak, terkejut saat mendapati wajah dingin Abra tepat di hadapannya. Kedua lengannya masih berada dalam genggaman pria itu.
“Ma—maaf, Dok,” ucapnya gugup.
Abra hanya menatap singkat dengan sorot datar, lalu segera melepaskan pegangan. Tanpa sepatah kata pun, ia melangkah pergi, meninggalkan Serayu yang berdiri kaku.
“Maaf, Dok,” ulang Serayu lirih, meski pria itu sudah tak lagi menoleh.
Seorang rekan koas yang menyaksikan kejadian itu dari dekat ikut terdiam sejenak, lalu berseru pelan.
“Serayu, ya ampun! Kamu kenapa, melamun? Eh, gimana rasanya dipegang-pegang dokter Abra?” godanya, disertai tawa kecil yang membuat wajah Serayu memanas.
Serayu tidak menanggapi malah menjeling jengah. Namun, rekannya justru terkekeh geli. Tidak bisa dipungkiri, sosok dokter tampan yang dingin itu memang sering jadi bahan bisik-bisik. Abra, dokter bedah yang tak tersentuh, meski begitu tetap saja menjadi dambaan banyak perempuan di rumah sakit itu.
Menahan gejolak yang sulit dijelaskan, Serayu melanjutkan langkahnya menuju halte berusaha menata kembali hatinya yang bergetar entah karena apa.
Lama menunggu, akhirnya sebuah mobil hitam berhenti tak jauh dari tempat Serayu berdiri. Jendela sisi pengemudi perlahan diturunkan, menampilkan wajah dingin yang sangat dikenalnya. Tanpa pikir panjang, Serayu segera melangkah masuk ke dalam mobil itu.
Seperti biasa, keheningan menyelimuti perjalanan mereka. Hanya suara deru mesin dan sesekali klakson dari jalanan padat yang terdengar. Serayu menatap keluar jendela, mencoba mengabaikan degup jantungnya yang belakangan selalu berantakan setiap kali berada di dekat Abra.
Tiba-tiba, ponsel Abra berdering, tersambung dengan layar mobil. Nama ‘Mama’ tertera di sana. Dengan santai, satu tangan Abra menekan tombol hijau. Suara lembut sang ibu langsung terdengar, disambut sapaan singkat dari Abra.
“Iya, Ma?”
Serayu diam saja, matanya tetap lurus ke luar jendela, meski telinganya tak bisa tidak menangkap setiap kata. Hatinya mengeras, menahan sesuatu yang tak mampu ia ungkapkan tiap kali mendengar suara mertuanya.
“Kamu sudah selesai di rumah sakit?” suara lembut Riani terdengar dari speaker.
“Ya, Ma. Baru selesai,” jawab Abra singkat.
“Perfect! Kamu ke sini ya. Sekarang lagi di mana?”
“Di jalan pulang dengan—” Abra terhenti. Sesaat ia menoleh ke arah Serayu dan refleks Serayu pun ikut menatapnya. Ada hening sekejap di antara mereka.
“Langsung ke sini aja ya,” potong Riani cepat. “Mama tunggu. Sendirian saja. Jangan bawa istrimu itu. Mood Mama lagi bagus, jangan sampai rusak karena keberadaannya.”
Serayu menegang. Pandangannya tetap lurus menatap jalanan, tapi hatinya tercekat mendengar dirinya begitu terang-terangan tidak diharapkan. Rasanya seperti ditampar tanpa pernah bisa membela diri.
“Ada yang mau ketemu kamu,” lanjut Riani dengan nada penuh rahasia.
“Baik, Ma,” balas Abra datar.
Jawaban itu justru membuat dada Serayu terasa dicubit. Ada sesuatu yang perih menjalar tanpa bisa ia bendung. Pikiran-pikiran buruk bermunculan, mengaburkan kesadarannya. Siapa yang ingin bertemu suaminya? Kenapa hanya dia seorang?
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar, meninggalkan rasa sesak.
Pembicaraan selesai, tidak ada penjelasan. Tidak ada permintaan maaf. Hanya kesunyian yang semakin menekan.
Serayu menggenggam erat tas di pangkuannya, menahan perasaan yang sulit diuraikan. Bibirnya terkunci rapat. Akhirnya ia hanya terdiam, menelan semua yang menyesakkan dadanya. Abra memang sudah terbiasa mengesampingkan perasaan Serayu.
Alih-alih larut dalam sakit hati, Serayu menyiapkan diri kalau-kalau Abra kembali menurunkannya di pinggir jalan seperti malam itu. Namun, mobil tetap melaju tanpa tanda-tanda berhenti. Berbeda dari sebelumnya, kali ini Abra mengarahkan kendaraannya hingga benar-benar tiba di depan apartemen.
“Turunlah, saya harus—Serayu!” panggil Abra, nada suaranya meninggi ketika Serayu keburu keluar sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya. Entahlah, tiba-tiba saja Serayu muak. Cepat-cepat ia menahan wanita itu. “Saya belum selesai bicara!”
Serayu berbalik, rahangnya mengeras. Tatapannya menembus ke arah Abra, penuh gejolak yang tak bisa ditahan lagi.
“Ada apa dengan kamu?” tanya Abra, heran dengan sikap Serayu yang sulit ditebak belakangan ini dan justru membuatnya resah.
Serayu menarik napas, mengumpulkan keberanian hingga suaranya lirih terdengar. “Kalau saya minta, Mas, untuk tidak pergi… apa Mas Abra mau mendengarkan saya?”
Untuk sesaat waktu seperti membeku. Abra terdiam, tidak mampu menebak maksud wanita itu yang belakangan kian banyak menuntut.
Namun, dinginnya tetap mengalahkan segala kemungkinan. “Turun,” titah Abra akhirnya, nadanya datar. “Kamu tidak perlu menunggu saya pulang.”
Maafkan dr. Abra yang tidak peka ~_~
Aileen pulang dari pesta ulang tahun temannya. Dalam keadaan frustrasi, ia meneguk alkohol—tidak banyak, tapi kadar toleransinya memang rendah, sehingga mudah mabuk. Ia bahkan tak sadar bagaimana akhirnya bisa berada di apartemen Abra. Memang belakangan ini dalam pikirannya kalut, hanya Abra dan Abra saja—berharap lelaki itu kembali padanya karena sungguh ia mencintainya. Aileen mengikuti seseorang ke dalam lift—meminta bantuan karena tidak mempunyai kartu akses lalu menyebutkan lantai tempat unit Abra berada. Langkahnya terhuyung, matanya sedikit kabur mencari nomor unit lelaki itu. Hingga seseorang melangkah mendekat ke arahnya. Aileen tersenyum melihat Abra berdiri di hadapannya. Dalam hatinya ia yakin, takdir memang selalu menuntun Abra padanya, pikirnya. Seperti dini hari ini, tangan Aileen terulur mengusap lembut pipi lelaki di hadapannya. Sentuhan hangatnya membuat si lelaki menggeliat pelan dan membuka mata. Ia mengerang kecil, menoleh ke arah lain—meraih ponsel di atas naka
Serayu bertemu dengan Amalia dalam briefing siang itu. Wanita itu mengangkat dua jarinya membentuk tanda peace sambil meringis kecil. Amalia sudah menduga, Serayu pasti sudah tahu kalau dirinya mata-mata Abra. Serayu hanya membalas ringisan itu dengan senyum dan mata memicing dari kejauhan.Usai briefing, Amalia menghampiri Serayu dan duduk di sampingnya. Serayu menoleh kanan-kiri, memastikan sekitar yang sepi, lalu berbisik pelan, “Duh, takut banget dilaporin,” sindirnya, bercanda. Amalia refleks memeluk Serayu dari samping.“Maafkan aku…,” lirihnya penuh rasa bersalah. Amalia akhirnya mengakui semuanya—permintaan Abra hari itu. Ia juga yakin kedatangan Abra tempo hari karena ia tak sengaja mengirim kebersamaan Serayu dan Ryan.Serayu hanya mengangguk kecil. “Mas Abra memang nggak suka saya terlalu dekat sama laki-laki lain. Takut istrinya dicuri, kayaknya,” katanya bercanda, Serayu terkekeh geli sendiri. Sementara Amalia terdiam.Ia tak menanggapi. Sepertinya ada hal yang Serayu belu
Sampai keesokan harinya, Abra masih enggan berpisah dari Serayu. Entah mengapa, menjelang hari keberangkatannya, suasana terasa begitu berat. Besok pagi Abra akan berangkat lebih dulu bersama beberapa tim, sementara Serayu dijadwalkan pulang seminggu kemudian.Ada rasa syukur, karena jarak hanya akan memisahkan mereka selama seminggu saja. Namun, dengan keterbatasan sinyal di lokasi, waktu yang singkat itu tetap terasa seperti ujian panjang karena rindu yang tak bisa disampaikan setiap saat.Malam itu, udara di luar terasa lebih dingin dari biasanya, seolah tahu bahwa esok dan beberapa hari ke depan mereka tak lagi terlelap di bawah atap yang sama. Abra masih belum juga melepaskan pelukannya.“Saya nggak mau pisah dari kamu,” bisiknya lirih, suaranya serak karena emosi yang ditahan.Serayu menoleh sedikit menatap wajah suaminya dari jarak sedekat itu hanya mampu mengangguk. “Saya juga, Mas… makin berat rasanya,” aku Serayu membuat Abra tersenyum karena apa yang ia rasakan, Serayu juga
Pagi itu udara lebih segar dari biasanya dan langit mulai menampakkan rona cerah menyapa pasangan muda yang menyempatkan diri olahraga bersama—jogging mengitari desa. “Istirahat di situ, Sayang,” tunjuk Abra pada sisi sungai. Meski sudah sering dipanggil ‘sayang’ tetap saja hati Serayu dagdigdug mendengarnya. Dan wanita itu belum pernah memanggil Abra dengan sebutan yang sama. Keduanya melakukan pendinginan ringan usai berolahraga. Semilir suara aliran air menjadi latar yang menenangkan. “Sini, Sayang,” panggil Abra meminta Serayu mendekat. Ia memberikan ponselnya memperlihatkan surat tugas pulang ke rumah sakit asal mereka. “Lusa saya harus kembali,” katanya pelan, menatap Serayu dalam. Tak terasa dua minggu sudah Abra bertugas, sementara Serayu masuk minggu keempat. Jadwal kepulangan mereka berbeda, Abra lebih dulu. “Saya bisa minta tambahan waktu, biar kita pulang bareng.” Serayu mengangkat pandangannya menggeleng tidak setuju. “Tidak perlu, Mas. Ini penugasan. Harus p
Serayu meremang saat Abra berbisik nakal di telinganya, “Kenapa harus?” Kini bibir nakal itu ikut menggerayangi lehernya. “Saya salah apa sampai wajah kamu ditekuk begitu?”“Salah. Pokoknya Mas selalu salah,” sahut Serayu kesal.Abra mengerutkan kening. Ia memutar tubuh wanitanya membuat Serayu menelan ludah. Menatap dada bidang Abra saja sudah salah, apalagi saat mata mereka akhirnya bertemu. Serayu benar-benar tak kuasa.“Tolong jelaskan. Saya tidak bisa menebak hanya dari raut wajah kamu,” ucap Abra sambil mencubit lembut dagu Serayu, menggerakkannya ke kiri dan ke kanan.“Kalau mau dijelasin, pakai baju dulu minimal,” gumam Serayu, menatap ke arah lain sambil memegangi ponsel di depan dadanya.Abra tidak mengindahkan. Tangannya terulur meraih ponsel itu dan pandangannya langsung jatuh pada layar yang masih terbuka pada ruang obrolan—pesan berisi beberapa foto. Tatapannya terangkat, menelusuri wajah Serayu.“Setelah saya jauh-jauh ke sini, kamu masih percaya hal beginian?” tanyanya
“Kamu istri saya, Rayu,” ujar Abra mengingatkan. “Semua orang juga sudah tahu kalau saya istri Mas Abra,” sahut Serayu. “Sangat tahu, bahkan sampai ke masa lalu—” “Sayang…,” panggil Abra tatapannya seolah tak setuju, membuat Serayu spontan menghentikan kalimatnya. Tangan lelaki itu terulur, menggenggam jemari Serayu, lalu menggeleng perlahan—tak ingin istrinya kembali menyinggung masa lalu wanita itu yang sudah lama dikubur. Abra menunduk, mengecup punggung tangan Serayu. Panggilan itu ‘sayang’ kali ini Serayu dapatkan bukan lagi bagian dari sandiwara. Jangan tanyakan bagaimana jantung Serayu berdetak saat mendengarnya. Kali ini, sebutan itu nyata bukan bagian dari drama. Abra menuntun Serayu duduk. Ia membuka kotak nasi dan meletakkannya di hadapan wanita itu. “Mas,” panggil Serayu pelan. “Hmm,” sahut Abra tanpa menoleh, masih sibuk menyiapkan makanan mereka. “Panggil lagi,” ucap Serayu malu-malu. Nada suaranya kecil, hampir tak terdengar. Malu tapi mau. Abra mengangkat pandan







