Share

5. Terlalu Lancang

Author: Dinis Selmara
last update Huling Na-update: 2025-09-13 11:52:52

Tidak ada yang istimewa malam itu, tapi Serayu bersyukur sempat bertemu dokter Sedanu. Setidaknya ia bisa pulang dengan selamat dan aman.

Pagi ini, seperti biasa, koas selalu datang lebih awal dibanding para dokter. Jadi, pagi-pagi sekali Serayu sudah siap dengan setelan rapi. Namun, matanya membulat saat melihat Abra sudah duduk di meja makan dengan pakaian kerjanya. Biasanya lelaki itu berangkat lebih siang.

Ragu-ragu, Serayu melangkah mendekat. Haruskah ia ikut sarapan bersama, apalagi menu di meja tampak disiapkan pas untuk dua orang.

Abra mengangkat pandangan, lalu sekadar menggerakkan kepala—memberi isyarat agar Serayu duduk di hadapannya. Apa Serayu bisa menolak? Tentu tidak. Sejauh ini, ia hanya dituntut menurut.

Pelan-pelan, Serayu pun duduk. Saat itu juga, Abra mengeluarkan ponselnya, meletakkannya di atas meja, lalu mendorong ke arah Serayu.

Mata Serayu membulat. Di layar ponsel itu, jelas terlihat fotonya saat masuk ke dalam mobil Sedanu. Bibirnya baru saja terbuka hendak menjelaskan, tapi suara dingin Abra lebih dulu terdengar.

“Seberapa dekat kalian?” tanyanya datar.

“...Hanya sebatas dokter residen yang membantu koas,” jawab Serayu lirih.

“Kalau begitu, ini akan jadi kali terakhir kalian berinteraksi di luar rumah sakit,” tegas Abra sambil meraih kembali ponselnya. Ia bangkit berdiri, menambahkan dengan nada titah, “Jangan membuat skandal apa pun yang hanya akan merusak personal branding-ku.”

Serayu terdiam di tempat. Setiap kata yang keluar dari mulut Abra selalu berupa perintah yang tak bisa dibantah, meninggalkan perih tersendiri di hatinya.

***

Serayu melemah saat melihat daftar rotasi berikutnya ditempel di papan pengumuman, jantungnya berdegup tak karuan. Matanya menelusuri nama kelompok, lalu berhenti tepat di baris bertuliskan: Stase Bedah – Konsulen: dr. Abra Wijaya, Sp.BTKV.

Tubuhnya mendadak terasa ringan, seolah mudah sekali goyah. Semua rasa lega yang sempat ia rasakan lenyap begitu saja. Bagaimana ia bisa bertahan di stase ini? Pembimbing yang harus ia hadapi setiap hari adalah suaminya sendiri—lelaki yang dingin, tegas, dan membuatnya kecil hati setiap kali berhadapan.

“Kenapa wajahmu pucat begitu?” bisik seorang rekan di sampingnya.

Serayu hanya tersenyum kaku, pura-pura tidak apa-apa, sementara dadanya semakin sesak. Jadwal yang tertera menunjukkan mereka akan sering bertemu: ward round pagi, operasi, bahkan jadwal jaga yang hampir serupa.

Tangannya gemetar meremas map, pikirannya bergejolak.

‘Habislah kau, Serayu,’ batinnya.

Ponsel Serayu berdenting membuatnya tersentak, layar yang menyala menampilkan satu pesan singkat dari Abra.

[Kita pulang bersama.]

Tulis lelaki itu singkat. Kening Serayu berkerut seketika. Jemarinya sempat mengetuk di atas buku catatan, menatap layar itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Kalau dihitung-hitung, dalam beberapa hari terakhir mereka kerap pulang bersama.

Ada sesuatu yang membuat Serayu bingung. Ia menarik napas pelan, mencoba menepis pikiran yang melantur. Dengan mantap, ia mengetik balasan singkat.

[Baik, saya tunggu di halte.]

Pesan terkirim. Sesaat kemudian, Serayu hanya bisa menatap ponselnya, merasa aneh pada dirinya sendiri. Mengapa hatinya berdebar hanya karena sebuah ajakan pulang dari lelaki yang selama ini dingin padanya?

Cepat Serayu menggeleng membuang pikiran tak seharusnya.

***

Sore itu, Serayu melangkah lunglai keluar dari ruangan. Pandangannya kosong, tubuhnya lelah. Tanpa sengaja, ia menabrak seseorang—dan seketika tubuh mungilnya oleng ke belakang. Refleks, dua tangan kuat menahannya.

Serayu mendongak, terkejut saat mendapati wajah dingin Abra tepat di hadapannya. Kedua lengannya masih berada dalam genggaman pria itu.

“Ma—maaf, Dok,” ucapnya gugup.

Abra hanya menatap singkat dengan sorot datar, lalu segera melepaskan pegangan. Tanpa sepatah kata pun, ia melangkah pergi, meninggalkan Serayu yang berdiri kaku.

“Maaf, Dok,” ulang Serayu lirih, meski pria itu sudah tak lagi menoleh.

Seorang rekan koas yang menyaksikan kejadian itu dari dekat ikut terdiam sejenak, lalu berseru pelan.

“Serayu, ya ampun! Kamu kenapa, melamun? Eh, gimana rasanya dipegang-pegang dokter Abra?” godanya, disertai tawa kecil yang membuat wajah Serayu memanas.

Serayu tidak menanggapi malah menjeling jengah. Namun, rekannya justru terkekeh geli. Tidak bisa dipungkiri, sosok dokter tampan yang dingin itu memang sering jadi bahan bisik-bisik. Abra, dokter bedah yang tak tersentuh, meski begitu tetap saja menjadi dambaan banyak perempuan di rumah sakit itu.

Menahan gejolak yang sulit dijelaskan, Serayu melanjutkan langkahnya menuju halte berusaha menata kembali hatinya yang bergetar entah karena apa.

Lama menunggu, akhirnya sebuah mobil hitam berhenti tak jauh dari tempat Serayu berdiri. Jendela sisi pengemudi perlahan diturunkan, menampilkan wajah dingin yang sangat dikenalnya. Tanpa pikir panjang, Serayu segera melangkah masuk ke dalam mobil itu.

Seperti biasa, keheningan menyelimuti perjalanan mereka. Hanya suara deru mesin dan sesekali klakson dari jalanan padat yang terdengar. Serayu menatap keluar jendela, mencoba mengabaikan degup jantungnya yang belakangan selalu berantakan setiap kali berada di dekat Abra.

Tiba-tiba, ponsel Abra berdering, tersambung dengan layar mobil. Nama ‘Mama’ tertera di sana. Dengan santai, satu tangan Abra menekan tombol hijau. Suara lembut sang ibu langsung terdengar, disambut sapaan singkat dari Abra.

“Iya, Ma?”

Serayu diam saja, matanya tetap lurus ke luar jendela, meski telinganya tak bisa tidak menangkap setiap kata. Hatinya mengeras, menahan sesuatu yang tak mampu ia ungkapkan tiap kali mendengar suara mertuanya.

“Kamu sudah selesai di rumah sakit?” suara lembut Riani terdengar dari speaker.

“Ya, Ma. Baru selesai,” jawab Abra singkat.

“Perfect! Kamu ke sini ya. Sekarang lagi di mana?”

“Di jalan pulang dengan—” Abra terhenti. Sesaat ia menoleh ke arah Serayu dan refleks Serayu pun ikut menatapnya. Ada hening sekejap di antara mereka.

“Langsung ke sini aja ya,” potong Riani cepat. “Mama tunggu. Sendirian saja. Jangan bawa istrimu itu. Mood Mama lagi bagus, jangan sampai rusak karena keberadaannya.”

Serayu menegang. Pandangannya tetap lurus menatap jalanan, tapi hatinya tercekat mendengar dirinya begitu terang-terangan tidak diharapkan. Rasanya seperti ditampar tanpa pernah bisa membela diri.

“Ada yang mau ketemu kamu,” lanjut Riani dengan nada penuh rahasia.

“Baik, Ma,” balas Abra datar.

Jawaban itu justru membuat dada Serayu terasa dicubit. Ada sesuatu yang perih menjalar tanpa bisa ia bendung. Pikiran-pikiran buruk bermunculan, mengaburkan kesadarannya. Siapa yang ingin bertemu suaminya? Kenapa hanya dia seorang?

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar, meninggalkan rasa sesak.

Pembicaraan selesai, tidak ada penjelasan. Tidak ada permintaan maaf. Hanya kesunyian yang semakin menekan.

Serayu menggenggam erat tas di pangkuannya, menahan perasaan yang sulit diuraikan. Bibirnya terkunci rapat. Akhirnya ia hanya terdiam, menelan semua yang menyesakkan dadanya. Abra memang sudah terbiasa mengesampingkan perasaan Serayu.

Alih-alih larut dalam sakit hati, Serayu menyiapkan diri kalau-kalau Abra kembali menurunkannya di pinggir jalan seperti malam itu. Namun, mobil tetap melaju tanpa tanda-tanda berhenti. Berbeda dari sebelumnya, kali ini Abra mengarahkan kendaraannya hingga benar-benar tiba di depan apartemen.

“Turunlah, saya harus—Serayu!” panggil Abra, nada suaranya meninggi ketika Serayu keburu keluar sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya. Entahlah, tiba-tiba saja Serayu muak. Cepat-cepat ia menahan wanita itu. “Saya belum selesai bicara!”

Serayu berbalik, rahangnya mengeras. Tatapannya menembus ke arah Abra, penuh gejolak yang tak bisa ditahan lagi.

“Ada apa dengan kamu?” tanya Abra, heran dengan sikap Serayu yang sulit ditebak belakangan ini dan justru membuatnya resah.

Serayu menarik napas, mengumpulkan keberanian hingga suaranya lirih terdengar. “Kalau saya minta, Mas, untuk tidak pergi… apa Mas Abra mau mendengarkan saya?”

Untuk sesaat waktu seperti membeku. Abra terdiam, tidak mampu menebak maksud wanita itu yang belakangan kian banyak menuntut.

Namun, dinginnya tetap mengalahkan segala kemungkinan. “Turun,” titah Abra akhirnya, nadanya datar. “Kamu tidak perlu menunggu saya pulang.”

Dinis Selmara

Maafkan dr. Abra yang tidak peka ~_~

| 2
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (7)
goodnovel comment avatar
Ovy Azza
halah personal branding apa, lha dirimu sendiri jalan ma wanita lain tnpa memikirkan personal branding itu Abra. palingan yg mau ketemu jg jangan nget"an
goodnovel comment avatar
Mbak Nana
personal branding lagi kalau nama baik mu tak mau jelek ya kamu jangan seenaknya saja menurun kan istri di jalan dong .
goodnovel comment avatar
Kania Putri
ini lagi emak tua bangkotan astaga demi apa sih aq baca cerita ini kudu sedia timun emosi mulu tiap bab bacanya kak Dinis tanggung jawab gak
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   7. Siap Berpisah?

    Sapa sopan dan hangat dari suara lembut dr. Aileen pada Abra membuat beberapa rekan koas Serayu membulatkan mata, mereka sangat menanti reaksi Abra. Namun, seperti biasanya Abra berlalu tanpa menanggapi. Itu hal yang sudah biasa bagi mereka karena hampir pada semua orang Abra bersikap seperti itu. “Dok, sabar ya. Dokter Abra memang begitu,” celetuk seorang koas membuat Aileen menoleh. “Benarkah?” tanyanya dan yang lain mengangguk membenarkan. Aileen pun ikut mengangguk pelan seolah paham. Pertemuan Serayu dengan Aileen pun berlalu sekilas, tapi cukup meninggalkan gelombang resah di hati Serayu. Sore harinya, Serayu melangkah keluar dari IGD, bersiap untuk pulang. Langkahnya terhenti ketika pandangannya jatuh pada sosok Abra yang berdiri di lorong sepi. Sesaat kemudian, lelaki itu menoleh. Serayu hanya mengangguk hormat lalu kembali melanjutkan langkah.Namun suara berat itu menyusulnya dari belakang.“Pulang dengan saya,” ucap Abra, membuat Serayu berhenti dan menoleh.“Pul

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   6. Wanita Dari Masa Lalu

    Hubungan yang tak pernah dekat itu kini terasa semakin asing saja. Tidak ada yang berubah dari Abra, lelaki itu tetap saja tenang, dingin, dan penuh jarak. Namun kali ini jarak itu bak jurang yang seolah tak mengizinkan Serayu untuk mendekat. Serayu menelan perih itu dalam diam. Jelas tidak ada pilihan lain, selain tabah menelan luka seorang diri. Lorong rumah sakit hari itu lengang. Serayu yang sedang berdiskusi singkat dengan dokter residen dan beberapa rekannya, sempat menoleh ketika matanya menangkap sosok lelaki yang melangkah dari ujung lorong. Tegap dengan jas putihnya, Abra sempat berhenti— berbincang singkat dengan seorang dokter sebelum kembali melanjutkan langkah. Tanpa menoleh, tanpa senyum, wajah datarnya tetap tak tergoyahkan meski dokter residen dan beberapa koas menyapa sopan saat ia lewat. “Sudah selesai, itu saja. Ada yang mau ditanyakan?” suara Sedanu, dokter residen, terdengar tapi hanya seperti angin lalu di telinga Serayu yang masih terpaku mengikuti punggun

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   5. Terlalu Lancang

    Tidak ada yang istimewa malam itu, tapi Serayu bersyukur sempat bertemu dokter Sedanu. Setidaknya ia bisa pulang dengan selamat dan aman.Pagi ini, seperti biasa, koas selalu datang lebih awal dibanding para dokter. Jadi, pagi-pagi sekali Serayu sudah siap dengan setelan rapi. Namun, matanya membulat saat melihat Abra sudah duduk di meja makan dengan pakaian kerjanya. Biasanya lelaki itu berangkat lebih siang.Ragu-ragu, Serayu melangkah mendekat. Haruskah ia ikut sarapan bersama, apalagi menu di meja tampak disiapkan pas untuk dua orang.Abra mengangkat pandangan, lalu sekadar menggerakkan kepala—memberi isyarat agar Serayu duduk di hadapannya. Apa Serayu bisa menolak? Tentu tidak. Sejauh ini, ia hanya dituntut menurut.Pelan-pelan, Serayu pun duduk. Saat itu juga, Abra mengeluarkan ponselnya, meletakkannya di atas meja, lalu mendorong ke arah Serayu.Mata Serayu membulat. Di layar ponsel itu, jelas terlihat fotonya saat masuk ke dalam mobil Sedanu. Bibirnya baru saja terbuka hendak m

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   4. Bersandiwara

    “Katanya dokter Meta mau resign dan penggantinya sudah ada,” ujar salah seorang rekan saat mereka beriringan menuju lobi rumah sakit.Serayu mengangguk pelan. Ia baru saja menuntaskan stase Ilmu Kesehatan Anak, sehingga kabar itu membuatnya ikut merasa kehilangan dokter spesialis anak yang selama ini membimbingnya.“Katanya juga … dokter barunya cantik,” lanjut rekannya, membuat Serayu terkekeh kecil. Tentu saja, karena yang bicara adalah rekan lelaki. Beberapa teman lain ikut bersorak menggoda.“Cewek cantik aja cepat banget tanggapannya, ya!” candaan itu mengundang tawa singkat sebelum akhirnya mereka terpisah di depan pintu utama.Serayu menghentikan langkahnya. Sebenarnya ia malas pulang. Sekilas ia berpikir, apa sebaiknya ia sukarela mengambil jaga tambahan saja supaya tidak perlu kembali ke apartemen malam ini?Larut dalam lamunannya, Serayu tersentak ketika suara tegas menyapanya.“Pulang dengan saya,” titah Abra, berlalu tanpa menoleh.Serayu ingin menolak, tapi lelaki itu suda

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   3. Terusik

    Serayu menyembulkan kepalanya, mengintip Abra yang piawai menyiapkan sarapan. Sejak menikah, ia nyaris tak pernah benar-benar menjalankan perannya sebagai seorang istri. Pernah sekali ia mencoba memberanikan diri memasak untuk sang suami, tetapi hasilnya berakhir gagal dan Abra tidak mengizinkannya lagi menyentuh dapur.Sejak kecil, Serayu terbiasa bekerja untuk dirinya sekaligus membantu orang tuanya. Padatnya aktivitas membuatnya jarang menyentuh dapur—selalu ibunya yang menyiapkan makanan untuk keluarga tanpa mengizinkannya membantu karena beliau tahu selelah apa anaknya. Bahkan hingga dewasa, kebiasaan itu berlanjut. Saat kuliah, ia pun mengambil pekerjaan freelance yang menyita waktu dan tenaganya.Serayu menghela napas, lalu menegakkan tubuh dan melangkah keluar kamarnya. Suara langkahnya membuat Abra menoleh. Lelaki itu sempat tertegun melihat Serayu sudah rapi dengan wajah datar.“Duduk. Sebentar, saya siapkan—”“Saya tidak sarapan,” potong Serayu cepat. “Permisi.”Ia melangkah

  • (Bukan) Istri Kontrak Dokter Arogan   2. Bayangan Masa Lalu

    Pagi-pagi sekali Serayu sudah tiba di rumah sakit. Sebelum memulai aktivitas, denting pesan masuk mengusik perhatiannya. Refleks ia meraih ponsel. Keningnya berkerut begitu layar menampilkan notifikasi dari mertuanya. Seketika jantungnya berdetak tak nyaman saat jemarinya menyentuh layar, membuka pesan itu.[Foto]Dalam bidikan kamera tampak Abra berjalan di halaman rumah sang mertua, tangannya menggenggam tangan seorang wanita. Mereka melangkah beriringan. Meski wajah wanita itu membelakangi kamera, Serayu seolah tahu persis siapa dia.[Sampai rumah jam berapa Abra semalam?]Melihat kedekatan Abra dengan wanita dalam foto itu membuat darah Serayu berdesir. Ingatannya langsung melayang pada pesan Abra semalam yang mengatakan, ia tidak pulang. Bibir Serayu melengkung tertawa getir. Tanpa sadar, rahangnya mengeras menahan rasa yang sulit ia deskripsikan.Ia menutup layar ponsel, memilih untuk tidak membalasnya. Apa yang harus dia katakan? ‘Mas Abra tidak pulang.’ Kalimat itu justru hanya

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status