Furqon tengah bersiap-siap. Malam itu, dia hendak pergi berkumpul dengan teman-temannya sekaligus mengantarkan undangan pernikahannya yang akan dilaksanakan seminggu lagi.
Dengan mengendarai avanza hitamnya, Furqon meluncur ke salah satu cafe yang biasa mereka kunjungi. Cafe untuk kalangan muda mudi, dengan background lautan serta tidak jauh dari tempat mereka, hamparan pasir dan batuan karang yang jika siang hari, begitu indah dipandang.
"Wow, lihat, calon pengantin datang nih," teriak Aldo melihat kedatangan Furqon, lalu merangkul sobatnya itu. "Ciee, akhirnya ada yang nggak jomblo lagi nih. Jomblo sampai halal ternyata berhasil juga yah," ledek Cindy, sahabat sekaligus tetangganya. Furqon hanya tersenyum. Dan memilih duduk di bangku yang membelakangi pintu masuk. Dia pun memesan makanan pada pelayan. "Oh ya Furqon, dengar-dengar calon istri kamu itu junior kita yah? Siapa namanya? Cantik nggak orangnya?" tanya Cindy penasaran. "Nanti kalian bakalan tahu juga siapa orangnya. Sekarang, kita senang-senang dulu. Karena setelah ini aku bakal dipingit," kekeh Furqon, mengingat kata sang ibu yang melarang dia untuk tidak lagi keluar rumah 4 hari sebelum pernikahan berlangsung. "Idihh, yang dipingit itu kan biasanya pengantin cewek, bukan cowok lah. Kalau pengantin cowok rasanya dibebasin deh," jawab Cindy kesal. Furqon hanya diam saja. Mereka bertiga pun asyik bercerita, sembari menunggu teman-teman mereka yang lain. "Furqon. Hai," sapa Nada, gadis itu pun duduk di sebelah pria tampan itu. Furqon hanya mengangguk pelan dan tersenyum, sementara matanya terus menatap layar ponselnya, menyebarkan undangan digital pada teman-teman. "Periksa ponsel kalian, aku kirim undangan," ucap Furqon. Nada terdiam sesaat mendengarnya. Dan ikut mencek ponselnya, di mana Furqon mengirim pesan padanya. "Hah, Syifa? Syifa ini calon istri kamu!! Kamu serius? Dia kan junior yang disukai sama Arsyil? Kamu menikah dengan dia?" tanya Cindy yang kebetulan mengetahui jika sahabatnya, Arsyil juga menyukai gadis itu. "Iya, memang Syifa pernah disukai Arsyil, dia cerita sendiri sama aku. Tapi, Arsyil bilang kalau Syifa suka sama aku. Yah, jadi karena itu dia merelakan Syifa untuk aku nikahi," jawab Furqon santai.Nada terdiam sesaat. Lalu, meraih ponselnya dan memperlihatkan sebuah foto yang dia screenshot sekitar sebulan lalu. "Kalau memang kamu akan menikah dengan Syifa, lalu gadis ini siapa?" tanya Nada memperlihatkan foto itu pada Furqon. Pria itu terdiam dan melihat pada Nada. "Kapan kamu dapat foto ini?" tanyanya heran. Sementara itu, di tempat lain, Syifa berdiri di tepi jalan. Dia menunggu rombongan teman-temannya datang menjemput. Beberapa menit kemudian, sebuah sedan berhenti tepat di depannya. Syifa langsung menaiki mobil itu. "Cieee, cieee yang bakalan dinikahi senior terhebat kita," ledek Fatimah yang tengah mengendarai mobilnya. "Iya nih, ternyata do'a sepertiga malam itu memang dahsyat yah kekuatannya," lanjut Tania, sahabatnya yang duduk di bangku belakang. Syifa senyum-senyum sendiri. Dia pun merasa bahagia sekali, salah satu keinginan terbesarnya, menikah dengan Furqon, sebentar lagi akan terwujud.Cinta yang selama 5 tahun ini bersemayam di hatinya, dijaga dengan baik, berharap suatu saat Tuhan mengabulkan do'anya. Dan sekarang, akhirnya semua terwujud. Di mana, dengan bantuan Arsyil, seniornya sekaligus sahabat dekat Furqon, Syifa bisa berkenalan dengan pria itu. Hingga sekarang, mereka pun akan segera menikah. Memasuki sebuah cafe, Syifa melangkah mengekori teman-temannya. Namun, langkahnya terhenti, melihat sosok yang paling dikenalnya dalam hidup. Dia pun meninggalkan temannya dan melangkah untuk menyapa pria itu. "Jadi, Viana menolak lamaran kamu?" tanya Cindy, semakin penasaran dengan awal mula niat Furqon menikahi Syifa. "Iya, Viana menolak aku tanpa alasan yang jelas. Aku yang benar-benar frustasi, apalagi bunda sudah tahu aku bakalan bawa calon istri ke rumah. Yah, membuat aku nggak mungkin mengecewakan beliau. Jadi, yah aku cerita deh sama Arsyil," jelas Furqon. Syifa yang juga penasaran dengan kisah Furqon, justru semakin mendekat, bahkan duduk di bangku yang bersebelahan dengan pria itu dan lantas menunda niatnya untuk menyapa calon suaminya. Beruntung, gadis itu memakai masker, hingga Furqon tidak menyadari bahwa dirinya ikut menguping pembicaraan para seniornya.Furqon menghempas nafas kasar. Dia sendiri enggan untuk melanjutkan kisah cintanya yang tragis itu. Dia memilih bungkam, dan tidak ingin lagi mengingat hal yang telah dia kubur dalam-dalam. "Fur," sentak Nada yang juga kepo tentang Viana.Furqon masih belum bersuara. Dia memejamkan matanya, mengingat kembali beberapa waktu lalu, ketika dirinya ditolak oleh Viana. "Maaf, Mas. Aku, aku nggak bisa menerima lamaran kamu. Aku belum mau menikah," jawab Viana ketika Furqon tengah berlutut di depannya, sembari memberikan cincin berlian untuk dia sematkan di tangan gadis cantik yang telah mencuri hatinya itu. "Ke-kenapa, Vi? Bukannya kamu juga mencintai mas kan? Kenapa nggak mau menikah?" tanya Furqon, tidak menyangka dirinya ditolak demikian. Viana tidak menjawab lagi, dia hanya menggeleng pelan. "Maaf, Mas. Aku, tetap tidak mau menikah dengan kamu saat ini. Aku belum siap untuk menikah. Tolong, jangan paksa aku, dan jangan juga datang ke rumah, Mas. Karena aku tetap menolak untuk menikah dengan kamu dalam waktu dekat ini," ujar Viana lantas memilih pergi. "Fur, Furqon." Lamunan pria itu buyar, ketika Nada menggoyangkan tubuhnya. Nada, dan ketiga temannya, termasuk Syifa yang menguping, masih penasaran apa alasannya secepat itu berubah pikiran dan menikahi Syifa. "Yah, sebenarnya Syifa hanya menjadi pelarian aku saja. Aku berniat menikahi dia karena pelarian dari Viana saja," jawabnya. Di tempat duduknya, Syifa yang mendengarnya, lantas terkejut bukan main. Air matanya seketika meleleh, dia pun bangkit dan menghampiri Furqon dan teman-temannya. "Owhh, jadi Bang Furqon menikahi aku bukan karena cinta yah. Aku hanya menjadi pelarian kamu saja yah. Wahhh, hebat." Syifa bertepuk tangan, sembari menatap Furqon yang menganga, terkejut dengan kehadiran calon istrinya. "Syi-syifa, ka-kamu kenapa ada di sini?" tanya Furqon terkejut dengan kedatangan gadis itu."Itu nggak penting, Bang. Kamu jahat, kamu pikir aku wanita yang nggak punya perasaan, teganya kamu menjadikan aku sebagai pelarian kamu saja," bentak Syifa yang terus menyeka air matanya."Bu-bukan begitu Syifa. Abang belum selesai bicara. Ma-maksud abang bukan gitu, tapi ...." Belum sudah Furqon menjelaskan ucapannya, Syifa yang terlanjur sakit hati, keburu pergi dengan emosi yang membludak dalam dadanya. "Syifa, Syifa tunggu," teriak Furqon mengejar gadis itu. Mengabaikan teman-temannya yang masih penasaran dengan kelanjutan kisahnya. "Semoga saja pernikahan kamu dan Syifa batal, Furqon." Nada berucap dalam hati, sembari tersenyum tipis berharap do'anya diijabah Yang Maha Kuasa.Syifa dengan langkah lebarnya, sedang berlari dari cafe menuju tepian pantai. Sepanjang jalan, Syifa terus menumpahkan air matanya, tidak peduli dengan tatapan heran oleh orang-orang yang melihatnya. Dia pun memilih duduk dan bersandar pada batuan karang yang ada di sisinya. Terdengar isakan pilu dari bibir Syifa, luapan dari hatinya yang kini tengah terluka. Hati telah tergores karena mendengar perkataan calon suaminya, tanpa dia sengaja."Aku menikahi Syifa hanya sebatas pelarian dari Viana saja," ucap Furqon yang masih terngiang-ngiang di benak Syifa.Pria itu dengan mudah melontarkan kata-kata demikian, saat para sahabat terdekatnya bertanya, apa tujuannya menikahi gadis yang tidak lain baru dikenalnya sebulan terakhir ini."Pelarian! Dia hanya menjadikan aku pelariannya saja. Menikahi aku karena lamarannya ditolak oleh Viana, gadis yang dia cinta! Apa-apaan ini. Ya Tuhan! Dia pikir aku tidak punya perasaan hah!!" Syifa kembali terisak, kenyataan pahit baru diketahuinya sekaran
Syifa masih menempelkan punggungnya di bebatuan karang. Dia ingin segera pergi dari tempat itu. Namun, Furqon terus-terusan memanggil namanya. Syifa yang telah muak dengan semua itu pun, akhirnya memilih keluar dari tempat persembunyiannya. "Aku tidak akan pernah lagi percaya ucapan kamu, Bang Furqon. Tidak akan!! Semua yang keluar dari mulutmu palsu," teriak Syifa yang muncul dari balik bebatuan karang.Melangkah keluar dari tempat persembunyiannya, Syifa mengangkat sedikit gamisnya yang terulur untuk mempermudah dia melangkah. Tatapannya tajam menghunus pada Furqon yang diam membisu, karena tidak tahu apa yang akan dia ucapkan. "Aku tidak akan percaya lagi semua yang kamu ucapkan, semua hanya kebohongan. Seorang Furqon yang selama ini aku anggap baik luar dan dalam, ternyata kebusukan yang ada dalam diri kamu," ucap Syifa menusuk tajam jantung pria itu dengan kata-kata yang dai lontarkan. "Syifa, Syifa tunggu dulu! Kamu salah paham!! Semua yang kamu dengar itu belum sepenuhnya y
Furqon terdiam di tempatnya kini berpijak, mengikhlaskan kepergian Syifa yang ikut serta membawa amarah dalam dadanya, tanpa mau lebih dulu mendengarkan apa alasan yang sebenarnya. Tangannya mengepal kuat di kedua sisi badannya, ketika teringat permintaan Syifa yang ingin membatalkan pernikahannya yang akan terlaksana seminggu lagi. “Heh.” Furqon tersenyum nyeringai, lalu menoleh ke samping, di mana terlihat ombak saling bersahutan menerjang kokohnya bebatuan karang.“Membatalkan pernikahan? Heh, tidak semudah itu, Syif!” ucapnya mengeja kembali permintaan gadis yang seminggu lagi akan disandingkan dengannya di pelaminan.“Tidak Syifa, kamu itu milikku. Kamu sudah memilih untuk berada di dalam genggamanku. Dan kamu harus tahu, Syifa. Kalau aku, tidak akan semudah itu untuk melepaskan apa yang telah aku genggam, kamu harus tahu itu.” Furqon bermonolog, dia bercakap dengan angin malam, berharap akan menyampaikan pesan itu pada calon istrinya.Berjalan dengan langkah gontai menuju cafe,
Syifa tengah bersiap untuk pergi ke kampung halaman Furqon. Ingin menyatakan langsung pada kedua orang tua lelaki itu untuk membatalkan pernikahan yang akan terlaksana seminggu lagi. "Bismillah, aku ikhlas untuk membatalkan pernikahan ini. Semoga ini yang terbaik. Ya Allah, mudahkanlah," monolog Syifa yang tengah mematut dirinya di cermin.Hari ini adalah hari senin. Dan di hari ini pulalah, Syifa telah memiliki jadwal dengan dosen pembimbingnya untuk bimbingan skripsi. Namun, segera dia izin untuk membatalkannya dengan alasan sakit. Beruntung dosen itu menyetujuinya. Kediaman keluarga Wais Al-Furqon ialah di Pariaman. Dengan bermodalkan motor yang dia pinjam dari teman kosnya, Syifa akan menemui calon mertuanya. Melihat dengan jelas rumah megah yang ada di depannya, Syifa mendadak gugup. "Kok aku jadi gugup begini yah!" gumamnya pelan, lalu memegang dadanya. Di mana jantungnya berdegup begitu kencang.Memberanikan diri, Syifa pun menekan bel rumah tersebut. Tidak beberapa lama, M
"Loh Syifa," sapa Gusnita yang baru saja masuk ke ruang tamu dengan Arman yang mengekor di belakangnya. Syifa menoleh pada sumber suara. Jantungnya berdegup kencang melihat dua orang yang telah dia anggap sebagai orang tuanya sendiri. "Tumben pagi begini kamu main ke sini?" Wanita yang berusia 55 tahun itu tersenyum lebar mendapati calon menantunya berada di rumahnya pagi itu. Syifa yang tidak lagi bisa berkata apa-apa setelah mendengar ancaman Furqon, hanya membalas wanita itu dengan senyuman canggung."Iya, Bun. Pengen main ke sini aja. Bunda apa kabar?" tanya Syifa sedikit kikuk, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, setelah menyalami kedua calon mertuanya. Syifa mendadak salah tingkah. Niatnya untuk membatalkan pernikahan, seketika harus terhalang mendengar ancaman dari Furqon, calon suaminya sendiri."Alhamdulillah, bunda baik. Ayo ke belakang, kita sarapan dulu yuk sayang. Kamu tadi berangkat ke sini pasti belum makan kan!" Tanpa jawaban dari Syifa, Gusnita menarik pela
Acara pesta pun telah selesai, para tamu undangan pun telah pulang, yang tertinggal hanyalah para staf catering serta beberapa anggota keluarga lainnya yang ikut berkemas.Sementara kedua pengantin telah berada di kamar hotel yang telah disewakan untuk mereka selama beberapa hari.Syifa terduduk di tepi ranjang, sorot matanya menatap pintu kamar mandi di mana sang suami berada di sana."Ya Tuhan, aku takut sekali," ucapnya sembari meremas bukul tangannya.Saat memasuki kamar tadi, Furqon dan Syifa memang berjalan beriringan. Namun, mereka saling diam dan sesekali hanya melempar senyum ketika berpapasan dengan orang-orang. Ceklek! Pintu kamar mandi terbuka, sosok tinggi, bertubuh atletis muncul dari balik pintu dengan hanya memakai handuk putih yang melilit tubuhnya bagian bawah."Syifa," panggil Furqon dan berjalan mendekati istrinya. "I-iya, Bang," jawabnya. Syifa pun segera beranjak dengan ekspresi sedikit takut dan canggung. Dia berusaha memalingkan wajahnya agar tidak melihat k
Di tempat lain, Nada masih mengurung diri di kamarnya sejak pagi. Pernikahan Furqon dan Syifa, membuat dia patah hati. Berharap pertengkaran Syifa dan Furqon seminggu yang lalu akibat lelaki itu yang salah berucap, berujung batalnya pernikahan mereka. Justru, harapan itu sirna dengan berita bahwa keduanya bahagia melaksanakan pesta pernikahan. Berulang kali teman-temannya mengajak Nada untuk ikut menghadiri acara pernikahan Furqon dan Syifa. Namun, berbagai alasan pula dia berikan. Nada memberi alasan pasti pada para temannya untuk tidak bisa menghadiri acara sakral itu. "Kenapa Fur? Kenapa harus Syifa? Kenapa harus dia yang kamu nikahi?" teriak Nada tidak terima dengan takdir yang terjadi padanya. Seharusnya dia yang dilamar Furqon, bukan Syifa. Seharusnya dia yang menjadi istri dan pendamping hidupnya, bukan Syifa. "Andai aku tahu kalau saat itu lamaran kamu ditolak gadis itu. Aku siap, Fur. Aku siap menjadi pelarianmu," lirihnya. Dalam benak Nada, tidak apa jika dirinya dinik
"Jadi kalian pindah sore ini?" tanya Gusnita pada Furqon dan Syifa yang tengah menyantap sarapannya. "Jadi, bun. Furqon sudah suruh orang untuk bereskan semua keperluan di sana. Jadi kami hanya tinggal menempati rumah kontrakan itu tanpa harus beberes lagi," jelas Furqon kemudian. Gusnita menatap Arman. Dia merasa keberatan jika anak dan menantunya harus tinggal pisah darinya. Apalagi, mereka akan tinggal di rumah kontrakan sederhana yang hanya memiliki 2 kamar saja. "Kenapa kalian nggak tinggal di sini saja sih? Kan rumah ini juga tidak terlalu jauh dari kampus. Paling 1 jam sudah sampai, itu kalau lambat," jelas Gusnita. Furqon dan Syifa saling tatap. Sebenarnya, Syifa juga setuju dengan ibu mertuanya. Dia takut untuk tinggal hanya berdua saja di rumah itu. Syifa takut jika nantinya Furqon menyakiti dirinya. Melukai kembali perasaannya yang telah terkoyak. "Ya Allah, hamba berharap jika rumah kontrakan itu tidak layak untuk kami huni berdua saja, ya Allah" do'a Syifa dalam hat