Syifa dengan langkah lebarnya, sedang berlari dari cafe menuju tepian pantai. Sepanjang jalan, Syifa terus menumpahkan air matanya, tidak peduli dengan tatapan heran oleh orang-orang yang melihatnya. Dia pun memilih duduk dan bersandar pada batuan karang yang ada di sisinya.
Terdengar isakan pilu dari bibir Syifa, luapan dari hatinya yang kini tengah terluka. Hati telah tergores karena mendengar perkataan calon suaminya, tanpa dia sengaja.
"Aku menikahi Syifa hanya sebatas pelarian dari Viana saja," ucap Furqon yang masih terngiang-ngiang di benak Syifa.Pria itu dengan mudah melontarkan kata-kata demikian, saat para sahabat terdekatnya bertanya, apa tujuannya menikahi gadis yang tidak lain baru dikenalnya sebulan terakhir ini."Pelarian! Dia hanya menjadikan aku pelariannya saja. Menikahi aku karena lamarannya ditolak oleh Viana, gadis yang dia cinta! Apa-apaan ini. Ya Tuhan! Dia pikir aku tidak punya perasaan hah!!" Syifa kembali terisak, kenyataan pahit baru diketahuinya sekarang. Di mana pernikahannya tinggal menghitung hari. Mengapa tidak jauh-jauh waktu Syifa tahu bahwa Furqon menikahinya tidak dasar cinta. Melainkan karena terlanjur berjanji membawa calon istri menghadap sang bunda, sementara gadis yang dipinang justru menolak lamarannya. Sekarang, Syifa bingung harus berbuat apa? Bagaimana tidak, pernikahan yang tinggal seminggu lagi, terkoyak sebelum akad itu terucap. Untuk membatalkan pernikahan, serasa mustahil baginya. Syifa hanya bisa melampiaskan segala kekesalannya dengan menangis, agar emosi dalam dada bisa tersalurkan."Ya Tuhan. Tunjukkan jalan terbaikmu. Hamba tahu, engkau sebaik-baik pembuat skenario takdir hamba," lirih Syifa di tengah isak tangisnya. Pernikahan yang disangka As-Syifa, berdasarkan atas nama cinta, ternyata bualan belaka. Furqon, pria yang banyak disukai para wanita akan ke solehannya, justru berdusta padanya. Di tengah heningnya malam, yang hanya terdengar deburan ombak, sayup-sayup terdengar suara memanggil namanya. "Syifaaaa!" Sadar ada yang memanggilnya, gadis itu menoleh ke arah suara."As-Syifaaa! kamu di mana?" Suara teriakan itu, terus berulang memanggilnya. Syifa sadar Furqon mencarinya. Dia tahu, jika pria itu ingin menjelaskan semua perkataan yang tadi tidak sengaja terdengar olehnya."Untuk apa kamu mencari aku, Bang? Kalau kamu sudah menggores hatiku. Untuk apa lagi mencariku? Hanya untuk menjelaskan semua yang telah jelas. Lebih baik tidak usah. Aku tidak percaya omonganmu itu!!" monolog Syifa merasa jengkel pada pria itu. Untuk malam ini, Syifa rasa tidak butuh lagi mendengar apapun. Sudah jelas, kalau dia hanya seorang istri yang dinikahi karena pelarian semata, bukan istri yang dinikahi karena rasa cinta di dalam hatinya. Percuma jika Furqon menjelaskan apapun sekarang. Karena hatinya, telah tegores belati tajam yang membagi hatinya menjadi dua. Tangan kanan Syifa, segera mengusap pipinya yang sudah basah oleh air mata, rasanya sulit untuk percaya, jika calon suaminya bisa mengatakan hal yang membuatnya rendah diri dan insecure seperti sekarang. Tapi, bukankah itu nyata? Bahkan, kecantikannya pun tidak menjamin seseorang bisa jatuh cinta padanya. Lelaki berpeci hitam itu, terus berteriak memanggil nama gadis yang dicarinya. Furqon merasa bersalah telah berkata demikian. Berulang kali dia merutuki dirinya sendiri. "Dasar kamu nih Furqon. Hati-hati kalau bicara. Lihat sekarang. Dia marah besar kan? Kamu juga yang pusing," umpatnya lantas melepas pecinya. Dan menjambak rambutnya frustasi. Namun, apalah daya. Semua sudah terjadi. Sekarang, Furqon hanya harus meluruskan semuanya. Mencari Syifa segera, dan menjelaskannya agar kesalahpahaman itu tidak semakin melebar. Tetapi, setelah berkeliling di tepian pantai. Furqon tidak bisa menemukannya. Suaranya pun seperti tertelan ombak yang saling bersahutan."Ya ampun Syifa, kamu di mana sih? Abang minta maaf. Abang akan jelaskan semuanya. Tolong, keluarlah Syifa," teriak Furqon pada batuan karang. Dia sangat yakin jika Syifa, sang calon istri berada di balik bebatuan itu. Sementara yang dicari, mendengar harapan Furqon untuk bertemu dengannya malam itu juga. Syifa menggeleng ke kiri dan kanan. Tidak akan pernah dia memunculkan dirinya sekarang, dia tidak rela memaafkan orang yang dengan sengaja, menorehkan luka di hatinya. "Tidak semudah itu, Bang. Kata maaf yang kamu ucapkan tidak akan pernah mengobati luka di hati ini," balas Syifa pelan. Yang pasti tidak akan terdengar oleh pria itu. "Syifaa!!" Furqon kembali memanggil. Namun, tetap saja Syifa tidak ingin dirinya dilihat pria itu dan semakin menyembunyikan tubuhnya di balik bebatuan karang. Beberapa menit kemudian. Suara yang terdengar lantang memanggil namanya, kini senyap. Syifa diam sejenak. Dia ingin segera pergi dari sana, menghilang dari pandangan Furqon. Dia pun memutuskan untuk segera pergi, karena merasa yakin pria itu telah pergi jauh. "Bismillah, aku harus segera pergi. Biarkan saja dia panik sendiri mencari aku sampai pagi di sini. Itu deritanya," gerutu Syifa kesal. Saat hendak melangkah keluar, Syifa sayup-sayup mendengar kembali suara Furqon memanggil namanya. Dan suara yang jauh itu makin mendekat sebelum dia sempat melangkah keluar. "Hish, bisakah kamu pergi menjauh. Aku muak mendengar suara kamu," ujar Syifa kesal. Syifa sedikit menggeser tubuhnya, dan bersembunyi kembali di balik batu karang berukuran besar yang ada di sampingnya itu."Teriak terus, Bang. Teriak. Aku tidak akan pernah mau bertemu kamu," lanjutnya penuh dendam. Syifa enggan menemui Furqon, dikala hatinya benar-benar terluka. Dia hanya ingin sedikit waktu untuk menjauh dan menenangkan diri, karena ucapan Furqon selalu terngiang-ngiang di telinganya, jika pernikahannya dengan Syifa hanya untuk pelarian semata. Dan bodohnya lagi, Furqon berucap demikian tanpa tahu bahwa gadis yang akan dinikahinya itu berada di belakangnya sendiri. Tersenyum getir setelah mendengarnya. Perih jelas sangat perih. "Syifa, kamu di mana, Sayang? Abang yakin kamu pasti ada di sekitar sini. Jawab dong Syif," teriak Furqon frustasi.Syifa tersenyum sinis dalam tangisnya, mudah sekali lisan Furqon berucap sayang setelah apa yang didengar tadi, sangat mengoyak hatinya. Drama apalagi yang akan dibuat pria itu untuk meluluhkan kepercayaannya yang sudah goyah. "Syifa, keluarlah. Kita bicarakan ini baik-baik. Abang juga minta maaf, tapi semua yang kamu dengar itu hanya setengahnya Syifa. Abang menikahi kamu benar karena cinta. Please percaya." Furqon terus berucap pada angin malam, menjajaki kakinya berjalan mengitari pantai itu. Instingnya mengatakan jika Syifa tengah memperhatikan dirinya dikegelapan malam. Oleh karenanya, Furqon terus saja berkata demikian, berharap hati Syifa luluh dan mau menemuinya. "Aku tidak akan pernah percaya ucapan kamu lagi, Bang Furqon. Tidak akan!!" Syifa yang telah lelah untuk bersembunyi, pun muncul menampakkan wajahnya pada Furqon.Syifa masih menempelkan punggungnya di bebatuan karang. Dia ingin segera pergi dari tempat itu. Namun, Furqon terus-terusan memanggil namanya. Syifa yang telah muak dengan semua itu pun, akhirnya memilih keluar dari tempat persembunyiannya. "Aku tidak akan pernah lagi percaya ucapan kamu, Bang Furqon. Tidak akan!! Semua yang keluar dari mulutmu palsu," teriak Syifa yang muncul dari balik bebatuan karang.Melangkah keluar dari tempat persembunyiannya, Syifa mengangkat sedikit gamisnya yang terulur untuk mempermudah dia melangkah. Tatapannya tajam menghunus pada Furqon yang diam membisu, karena tidak tahu apa yang akan dia ucapkan. "Aku tidak akan percaya lagi semua yang kamu ucapkan, semua hanya kebohongan. Seorang Furqon yang selama ini aku anggap baik luar dan dalam, ternyata kebusukan yang ada dalam diri kamu," ucap Syifa menusuk tajam jantung pria itu dengan kata-kata yang dai lontarkan. "Syifa, Syifa tunggu dulu! Kamu salah paham!! Semua yang kamu dengar itu belum sepenuhnya y
Furqon terdiam di tempatnya kini berpijak, mengikhlaskan kepergian Syifa yang ikut serta membawa amarah dalam dadanya, tanpa mau lebih dulu mendengarkan apa alasan yang sebenarnya. Tangannya mengepal kuat di kedua sisi badannya, ketika teringat permintaan Syifa yang ingin membatalkan pernikahannya yang akan terlaksana seminggu lagi. “Heh.” Furqon tersenyum nyeringai, lalu menoleh ke samping, di mana terlihat ombak saling bersahutan menerjang kokohnya bebatuan karang.“Membatalkan pernikahan? Heh, tidak semudah itu, Syif!” ucapnya mengeja kembali permintaan gadis yang seminggu lagi akan disandingkan dengannya di pelaminan.“Tidak Syifa, kamu itu milikku. Kamu sudah memilih untuk berada di dalam genggamanku. Dan kamu harus tahu, Syifa. Kalau aku, tidak akan semudah itu untuk melepaskan apa yang telah aku genggam, kamu harus tahu itu.” Furqon bermonolog, dia bercakap dengan angin malam, berharap akan menyampaikan pesan itu pada calon istrinya.Berjalan dengan langkah gontai menuju cafe,
Syifa tengah bersiap untuk pergi ke kampung halaman Furqon. Ingin menyatakan langsung pada kedua orang tua lelaki itu untuk membatalkan pernikahan yang akan terlaksana seminggu lagi. "Bismillah, aku ikhlas untuk membatalkan pernikahan ini. Semoga ini yang terbaik. Ya Allah, mudahkanlah," monolog Syifa yang tengah mematut dirinya di cermin.Hari ini adalah hari senin. Dan di hari ini pulalah, Syifa telah memiliki jadwal dengan dosen pembimbingnya untuk bimbingan skripsi. Namun, segera dia izin untuk membatalkannya dengan alasan sakit. Beruntung dosen itu menyetujuinya. Kediaman keluarga Wais Al-Furqon ialah di Pariaman. Dengan bermodalkan motor yang dia pinjam dari teman kosnya, Syifa akan menemui calon mertuanya. Melihat dengan jelas rumah megah yang ada di depannya, Syifa mendadak gugup. "Kok aku jadi gugup begini yah!" gumamnya pelan, lalu memegang dadanya. Di mana jantungnya berdegup begitu kencang.Memberanikan diri, Syifa pun menekan bel rumah tersebut. Tidak beberapa lama, M
"Loh Syifa," sapa Gusnita yang baru saja masuk ke ruang tamu dengan Arman yang mengekor di belakangnya. Syifa menoleh pada sumber suara. Jantungnya berdegup kencang melihat dua orang yang telah dia anggap sebagai orang tuanya sendiri. "Tumben pagi begini kamu main ke sini?" Wanita yang berusia 55 tahun itu tersenyum lebar mendapati calon menantunya berada di rumahnya pagi itu. Syifa yang tidak lagi bisa berkata apa-apa setelah mendengar ancaman Furqon, hanya membalas wanita itu dengan senyuman canggung."Iya, Bun. Pengen main ke sini aja. Bunda apa kabar?" tanya Syifa sedikit kikuk, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, setelah menyalami kedua calon mertuanya. Syifa mendadak salah tingkah. Niatnya untuk membatalkan pernikahan, seketika harus terhalang mendengar ancaman dari Furqon, calon suaminya sendiri."Alhamdulillah, bunda baik. Ayo ke belakang, kita sarapan dulu yuk sayang. Kamu tadi berangkat ke sini pasti belum makan kan!" Tanpa jawaban dari Syifa, Gusnita menarik pela
Acara pesta pun telah selesai, para tamu undangan pun telah pulang, yang tertinggal hanyalah para staf catering serta beberapa anggota keluarga lainnya yang ikut berkemas.Sementara kedua pengantin telah berada di kamar hotel yang telah disewakan untuk mereka selama beberapa hari.Syifa terduduk di tepi ranjang, sorot matanya menatap pintu kamar mandi di mana sang suami berada di sana."Ya Tuhan, aku takut sekali," ucapnya sembari meremas bukul tangannya.Saat memasuki kamar tadi, Furqon dan Syifa memang berjalan beriringan. Namun, mereka saling diam dan sesekali hanya melempar senyum ketika berpapasan dengan orang-orang. Ceklek! Pintu kamar mandi terbuka, sosok tinggi, bertubuh atletis muncul dari balik pintu dengan hanya memakai handuk putih yang melilit tubuhnya bagian bawah."Syifa," panggil Furqon dan berjalan mendekati istrinya. "I-iya, Bang," jawabnya. Syifa pun segera beranjak dengan ekspresi sedikit takut dan canggung. Dia berusaha memalingkan wajahnya agar tidak melihat k
Di tempat lain, Nada masih mengurung diri di kamarnya sejak pagi. Pernikahan Furqon dan Syifa, membuat dia patah hati. Berharap pertengkaran Syifa dan Furqon seminggu yang lalu akibat lelaki itu yang salah berucap, berujung batalnya pernikahan mereka. Justru, harapan itu sirna dengan berita bahwa keduanya bahagia melaksanakan pesta pernikahan. Berulang kali teman-temannya mengajak Nada untuk ikut menghadiri acara pernikahan Furqon dan Syifa. Namun, berbagai alasan pula dia berikan. Nada memberi alasan pasti pada para temannya untuk tidak bisa menghadiri acara sakral itu. "Kenapa Fur? Kenapa harus Syifa? Kenapa harus dia yang kamu nikahi?" teriak Nada tidak terima dengan takdir yang terjadi padanya. Seharusnya dia yang dilamar Furqon, bukan Syifa. Seharusnya dia yang menjadi istri dan pendamping hidupnya, bukan Syifa. "Andai aku tahu kalau saat itu lamaran kamu ditolak gadis itu. Aku siap, Fur. Aku siap menjadi pelarianmu," lirihnya. Dalam benak Nada, tidak apa jika dirinya dinik
"Jadi kalian pindah sore ini?" tanya Gusnita pada Furqon dan Syifa yang tengah menyantap sarapannya. "Jadi, bun. Furqon sudah suruh orang untuk bereskan semua keperluan di sana. Jadi kami hanya tinggal menempati rumah kontrakan itu tanpa harus beberes lagi," jelas Furqon kemudian. Gusnita menatap Arman. Dia merasa keberatan jika anak dan menantunya harus tinggal pisah darinya. Apalagi, mereka akan tinggal di rumah kontrakan sederhana yang hanya memiliki 2 kamar saja. "Kenapa kalian nggak tinggal di sini saja sih? Kan rumah ini juga tidak terlalu jauh dari kampus. Paling 1 jam sudah sampai, itu kalau lambat," jelas Gusnita. Furqon dan Syifa saling tatap. Sebenarnya, Syifa juga setuju dengan ibu mertuanya. Dia takut untuk tinggal hanya berdua saja di rumah itu. Syifa takut jika nantinya Furqon menyakiti dirinya. Melukai kembali perasaannya yang telah terkoyak. "Ya Allah, hamba berharap jika rumah kontrakan itu tidak layak untuk kami huni berdua saja, ya Allah" do'a Syifa dalam hat
"Wahhh, rumahnya besar banget." Syifa terkagum pada rumah yang telah dibeli sang suami. Mereka memutuskan untuk pindah meski baru semalam menghuni rumah kontrakannya. Syifa dan Furqon memutuskan untuk tinggal pisah dari orang tuanya. Meski Arman dan Gusnita bersikekeuh meminta keduanya untuk tinggal bersama mereka. "Alhamdulillah, rezeki abang cukup untuk membeli rumah ini," jawabnnya enteng lalu meletakkan 2 buah koper miliknya dan sang istri.Furqon pun mendekat pada Syifa yang masih berdiri, terpana melihat rumah tempat dia dan suaminya akan tinggal. "Kita akan tinggal di sini bersama anak-anak kita nantinya," bisik Furqon kemudian. Syifa berbalik. "Ingat ya, Bang. Jangan pernah abang kecewakan Syifa lagi. Syifa sudah beri abang kesempatan, untuk merubah semuanya," ujar wanita cantik itu, dan Furqon mengangguk pelan."Iya, abang janji tidak akan mengecewakan kamu lagi." Furqon mengecup kening sang istri mesra, lalu memeluknya. ***Setelah berkemas barang, Syifa yang sudah mem