"Abah, cegah Viana, Bah," pinta Sarah, tidak ingin melihat putri semata wayangnya menjadi perusak rumah tangga orang lain. Handoko hanya diam saja. Dia mendukung apapun keputusan yang diambil Viana. Toh, putrinya sudah dewasa, dia pasti mengetahui mana yang baik dan buruk untuknya."Abah," teriak Sarah kesal. "Biarkan saja dia begitu, sayang. Dia sudah dewasa. Dan lelaki yang dia pertahankan juga lelaki hebat, apa salahnya dia berjuang." Sarah hanya bisa menghempas nafas kasar mendengar jawaban sang suami. Dia pun memijit pelipisnya, mendadak kepalanya pusing. "Ya Tuhan, semoga putriku segera sadar bahwa tindakannya itu salah," harapnya dalam hati. Viana telah sampai di kampus. Dia tanpa sengaja bertemu dengan Fahri, meminta di mana alamat rumah Furqon. "Aku nggak tahu di mana, Vi. Kamu tanyakan sendiri saja pada orangnya langsung," jawab Fahri. "Ri, kalau nomor aku tidak di blokir sama Furqon, sudah dari kemarin aku bisa bicara dengannya. Cepat lah, Ri. Aku mau tahu dia ada di
Syifa menghubungi suaminya untuk segera di jemput di taman gedung A. Tubuhnya yang lelah, hanya bisa tertunduk lesu, sembari bersender di bangku taman sembari sesekali melirik area parkir berharap sang suami segera datang. "Hah." Menghela nafas berat, Syifa masih terngiang-ngiang ucapan Nada yang mengatakan dirinya hanya seorang istri pelarian. Syifa yakin, sang suami lah yang memberitahu tentang hal itu. Karena, siapa lagi yang akan mengetahuinya jika bukan Furqon sendiri. "Sedekat itu kah bang Furqon sama kak Nada, sampai menceritakan alasannya menikahi aku," lirih Syifa lemah. Tidak berapa lama, sepasang tangan menutupi kedua matanya. Tangan kekar namun lembut itu sudah bisa ditebak oleh siapa orangnya. "Bang Furqon," ucap Syifa dan sang pemilik tangan pun tertawa karenanya. "Sayang," sapa Furqon kemudian dan duduk di samping Syifa, lalu mengecup kening istrinya lama. Syifa yang hatinya semula galau, lantas luluh mendapat perlakuan romantis suaminya itu. Sekejap, masalah yan
Furqon kembali ke dalam kamarnya. Dia masih mendapati Syifa yang masih fokus dengan skripsinya. Dia pun memperhatikan bagaimana Syifa yang terlihat begitu cantik malam itu. Dengan memakai pakaian tidur dress tanpa lengan, membuatnya sangat cantik. Furqon pun terkekeh sendiri karenanya. "Walaupun aku nggak mendapatkan Viana yang cantik, berpendidikan, banyak incaran para lelaki dan pastinya sekufu dengan keluargaku. Setidaknya, Allah pun telah menghadiahkan aku, memberikan bidadari seperti Syifa," ucapnya dalam hati. Furqon pun kembali bersender di tempat tidur, setelah membereskan berkas-berkasnya ke dalam map kecil. Sembari memainkan gawainya, Furqon dengan setia menunggu istrinya itu selesai."Hoamm." 2 jam berlalu, Syifa menguap, merasakan kantuk yang sudah menjalar di kedua matanya. Dia pun melirik ke arah tempat tidur, di mana Furqon masih setia menunggu dirinya. "Loh, abang belum tidur? Kenapa abang nggak tidur duluan saja?" tanyanya lalu melirik benda bundar yang menghiasi
Syifa keluar dari ruangan dengan wajah berseri. Dia melompat kegirangan karena skripsinya telah Acc untuk bisa diagendakan. Tangannya lekas meraih benda pipih, segera menghubungi sang suami yang sekarang tengah berada di kantornya."Abang, Syifa acc, Syfia acc," ucapnya kegirangan.Furqon yang di sebrang sana tersenyum mendengarnya. Betapa dia ikut bahagia melihat istrinya bahagia."Alhamdulillah sayang. Selamat ya, perjuangan kamu sebentar lagi hampir selesai. Ya sudah, sekarang kamu segera agenda, biar jadwal munaqasahnya cepat keluar," jawab Furqon dan langsung dituruti olehnya.Syifa pun menuju akademik, dan tanpa sengaja bertemu dengan Nada kembali. Dia yang sudah beberapa hari terakhir tidak lagi bertemu gadis itu, lantas merasa muak sekarang."Ck, ngapain lagi sih dia di sini." Syifa pun mengurungkan niatnya untuk ke akademik. Dari pada dia mencari perkara dengan bertemu Nada, Syifa lebih baik menghindar.Lan
Turun dari taksi. Syifa telah melihat mobil sang suami terparkir di sana. Dia menunduk takut ketika hampir mendekati pintu masuk setinggi 2 meter itu."Hufft, deg degan banget," ucap Syifa ketika membuka pintunya."Assalamu'alaikum." Syifa melangkah masuk. Namun, dia tidak mendapati Furqon ada di ruang tamu."Wa'alaykumussalam, nyonya muda di tunggu tuan di kamar," jawab Bi Ami, ART di rumah mereka."Iya, Bi Ami, Terima kasih," jawabnya.Sesampainya di atas, Syifa membuka pintu kamar dengan hati-hati dan menutupinya juga dengan hati-hati. Dilihatnya Furqon tengah berdiri di tepi kaca, menatap ke arah luar."Assalamu'alaikum abang," ucap Syifa.Meski Syifa takut dengan Furqon yang tadi terdengar marah. Dia tetap menghormati suaminya dan menyalami tangan Furqon. Begitu juga dengan Furqon, yang menyambut uluran tangan istrinya."Wa'alaykumussalam," jawabnya datar.Furqon pun membalikkan tubuhnya me
Mata Anggun melotot melihat Arsyil memegangi tangannya. Dia pun segera menepis tangan lelaki itu dan menyampingkan tangannya yang meraba tubuh Arsyil tadi."Ma-maaf, om, bang, kak, eh Pak," jawab Anggun tertunduk.Arsyil hendak duduk tetapi perutnya kembali nyeri. Dia pun kembali terbaring, dengan tatapan sinis pada Anggun."Siapa kamu? Ngapain kamu pegang-pegang saya begitu?" tanyanya ketus."Mm, itu, itu tadi aku mau cari ponsel dan KTP bapak," lirihnya pelan."Buat apa? Dan siapa sih kamu? Saya tanya dari tadi nggak di jawab." Nada suara Arsyil mulai meninggi."Saya, saya Anggun, adeknya kak Syifa. Tadi, kak Syifa ada kepentingan sama suaminya, makanya titipin bapak sama saya," lanjut Anggun.Tanpa terasa gadis itu menitikkan air matanya, merasa hatinya sakit karena dibentak demikian. Sementara Arsyil yang melihatnya merasa bersalah pada gadis di depannya."Ma-maaf yah. Saya nggak tahu kamu adikny
Syifa terdiam setelah pasrah mendengar amukan Furqon. Dia terduduk di lantai balkon, menatap langit malam penuh bintang. Rasa sesak mulai menjalar di dadanya, bagaimana Furqon membentaknya.Sengaja Furqon menahan emosi untuk tidak melawan suaminya, mengingat Furqon tampak begitu lelah pulang kantor. Tetapi, dia rasanya juga tidak sanggup harus dikasari sedemikian pedas dengan kata-katanya.Menghapus air mata yang sudah membanjiri wajahnya. Syifa bangkit dan berjalan menuju kamar. Dia hendak meluruskan apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dengan Arsyil."Abang," panggilnya melihat Furqon tengah sibuk berkutat dengan laptopnya."Saya sibuk sekarang. Jangan ganggu," jawabnya.Syifa pun menarik nafas lalu menoleh ke arah jam dinding di kamar itu.Melihat jam sudah tengah malam. Syifa pun pasrah, pasrah jika malam ini mereka masih dalam pemikiran masing-masing yang penuh dengan kesalahpahaman."Okey, bes
Viana terdiam, terduduk di tempatnya. Air matanya tumpah ketika belati tajam kembali menggores hatinya. Panggilan yang tadi dia lakukan, berharap Furqon menjawabnya, nyatanya, istri lelaki itu yang menjawab. Pedih, sakit. Itu yang tengah dirasakannya. Viana membanting ponselnya, merasa frustasi dengan hidupnya. "Jahat kamu Furqon, jahat!" teriak Viana di rumah kontrakannya. Ya, Viana saat ini telah berada di Padang. Dia sudah mantap menyusul Furqon ke negeri asal lelaki itu, demi mewujudkan keinginannya untuk menikah dengannya. Dengan menyewa rumah, gadis itu berniat menetap di sana, melanjutkan kuliahnya di sana.Padahal, Sarah melarang keras keinginan anaknya untuk menetap ke Padang, dan melarang keras untuk tidak menjadi wanita yang merusak rumah tangga orang. Tetapi, Viana tidak mempedulikan hal itu, baginya, dia harus mendapatkan Furqon kembali. Viana pun melihat secarik kertas, di mana alamat Furqon tertera di sana. Dia berniat akan menyusul lelaki itu ke rumahnya. Kalau pe