Syifa masih menempelkan punggungnya di bebatuan karang. Dia ingin segera pergi dari tempat itu. Namun, Furqon terus-terusan memanggil namanya. Syifa yang telah muak dengan semua itu pun, akhirnya memilih keluar dari tempat persembunyiannya.
"Aku tidak akan pernah lagi percaya ucapan kamu, Bang Furqon. Tidak akan!! Semua yang keluar dari mulutmu palsu," teriak Syifa yang muncul dari balik bebatuan karang.
Melangkah keluar dari tempat persembunyiannya, Syifa mengangkat sedikit gamisnya yang terulur untuk mempermudah dia melangkah. Tatapannya tajam menghunus pada Furqon yang diam membisu, karena tidak tahu apa yang akan dia ucapkan. "Aku tidak akan percaya lagi semua yang kamu ucapkan, semua hanya kebohongan. Seorang Furqon yang selama ini aku anggap baik luar dan dalam, ternyata kebusukan yang ada dalam diri kamu," ucap Syifa menusuk tajam jantung pria itu dengan kata-kata yang dai lontarkan. "Syifa, Syifa tunggu dulu! Kamu salah paham!! Semua yang kamu dengar itu belum sepenuhnya yang ingin aku utarakan, please Syifa, dengar dulu penjelasan abang," pinta Furqon sedikit memelas. Asy-Syifa Nurul Qolby, dia adalah gadis tangguh, dibesarkan tanpa adanya kasih sayang orang tua, membuat dia tidak pernah berputus asa dengan takdirnya. Dia sudah terbiasa dengan rayuan dan bujukan orang lain yang hanya berakhir pada kesia-sian, seperti halnya saat ini. Mendengar Furqon meminta waktu untuk menjelaskan, baginya itu sangat tidak penting dan hanya akan membuang waktunya percuma. Syifa tetap menyakini diri bahwa ucapan pria itu adalah benar adanya. "Sudah lah, Bang Furqon. Syifa capek, minggir!!" Syifa pun pergi meninggalkan Furqon yang terus memohon untuk mendengarkan dulu penjelasan darinya. “Syifa, please. Dengarkan abang.” Pria itu menahan lengan calon istrinya.Syifa dengan kasar menepis tangan Furqon, tiada lagi rasa hormat dalam dirinya pada pria itu. Bahkan, rasa sayang yang teramat dalam, seketika berubah menjadi rasa benci yang begitu besar karena merasa hatinya telah dipermainkan sebegitu mudahnya oleh pria itu.Syifa yang takut akan ditahan kembali oleh Furqon, lantas berlari kencang, menjauh dari calon suaminya itu. Ceroboh, Syifa menginjak gamis dibagian yang tidak terangkat olehnya. Tubuh mungil itu terjatuh di pasir, membuat goresan ringan dikedua telapak tangannya. "Awwhh," keluhnya merasakan perih di telapak tangannya. Pun, pergelangan tangannya juga merasa ngilu karena terkilir ketika dia menahan tubuhnya saat akan terjatuh di atas pasir."Syifa," teriak Furqon melihat calon istrinya terjatuh. Syifa yang takut jika Furqon sampai di tempatnya dan kembali menahannya nanti, gegas berdiri, tidak peduli akan luka yang juga terasa di kedua lututnya. Namun, baru beberapa langkah menjauh, Syifa kembali terjatuh. "Arrggh." Syifa meringis menahan sakit ditangannya yang semakin tergores. “Astaghfirullah, sakit,” ringisnya memejamkan mata, mencoba menghalau rasa sakit yang seolah terasa di sekujur tubuhnya."Syifa, kamu tidak apa-apa, sayang? Mana yang sakit?" tanya Furqon panik, dan sudah berjongkok di depan calon istrinya itu.Furqon meraih pergelangan tangan Syifa, hendak melihat luka di tangan calon istrinya. Tetapi, gadis itu segera menepis tangannya, menolak untuk disentuh oleh pria yang telah melukai hatinya. Dengan memasang tampang sangar, Syifa terus menolak uluran tangan Furqon dengan kasar."Tidak usah sok peduli kamu," lirihnya ketus.Syifa mencoba berdiri perlahan tanpa mengharap bantuan dari Furqon. Dia melawan rasa sakit di kedua tangan dan lututnya yang perih. Namun, keadaannya yang sudah lemah, membuatnya kembali terduduk di pasir. "Erggh.” Syifa geram, karena kakinya yang sudah lemah, tidak lagi mampu menopang tubuhnya. "Syif, tangan dan kaki kamu terluka. Biar abang bantu berdiri yah." Furqon yang masih berjongkok, kembali mengulurkan tangannya. Lagi-lagi Syifa menepisnya, Furqon yang tidak ingin ditolak lantas berdiri di belakang gadis itu, membantunya dengan mengangkat tubuh calon istrinya pelan."Minggir, saya tidak butuh bantuan kamu. Pergi sana, urus saja wanita itu. Urus saja Viana, jangan urus aku. Pergi," teriak Syifa berang karena pria itu seenaknya menyentuh tubuhnya.Menghela nafas berat, Furqon tahu jika Syifa marah besar padanya. Syifa berhak untuk membentaknya, memakinya bahkan membencinya sekarang ini. Tapi, satu hal yang seharusnya gadis itu tahu, tidak ada terniat sedikitpun dalam diri Furqon untuk melukai perasaan Syifa, apalagi hatinya sudah mencintai gadis manis yang semula hanya dia jadikan pelampiasan emosi semata. Pun, kejadian sebenarnya, Furqon sendiri belum selesai menjelaskan pada teman-temannya alasan dia menikahi Syifa, meski mereka baru saling mengenal beberapa minggu. Namun, gadis cantik yang dia sendiri tidak tahu sejak kapan ikut nimbrung dalam pembicaraannya malam itu, telah memotong ucapannya sebelum bisa mendengar cerita yang utuh dari mulutnya.Dan sekarang, terjadilah kesalahpahaman diantara mereka, dan dalam pikiran Syifa yang bagai tercuci otaknya, Furqon hanyalah lelaki jahat yang mempermainkan perasaan wanita. "Syifa. Maafkan abang yah. Abang dulu pernah salah, tapi tolong jangan seperti ini. Semua yang kamu dengar itu belum seutuhnya," pintanya memaksakan tangan Syifa untuk digenggamnya. Syifa memalingkan wajahnya dari tatapan Furqon. Menghapus air mata yang menggenang, berusaha tetap kuat meski dia sendiri tengah lemah."Lepas tidak!! Aku benci kamu!! Aku benci kamu Furqon, lepas!" Syifa berteriak kencang, menarik tangannya dari genggaman pria itu."Tidak akan! Sebelum kita bicarakan ini baik-baik. Tolong, beri abang waktu untuk menjelaskan semuanya.” Lagi dan lagi, Furqon memohon."Mau bicara apalagi, hah. Mau menyanggah apalagi? Mau membela diri dan mengatakan kalau itu semua bohong, hah?" teriak Syifa. "Sudah jelas kalau kamu tidak mencintai saya. Sudah jelas kalau kamu ingin menikahi saya hanya untuk membalaskan dendam pada wanita itu. Mau menyanggah apalagi, Furqon," sembur Syifa.Furqon memelas dan terus memohon pada calon istrinya itu, meminta untuk diberi kesempatan menceritakan yang sebenarnya. Namun sayang, hati Syifa sudah sekeras batu, apa yang dia dengar, dia telan bulat-bulat."Cukup. Mau kamu memohon seperti apapun, saya tidak peduli. Mending urus wanita yang menolak kamu, mohon saja sama dia. Saya tidak lagi sudi melihat wajahmu itu." Syifa menarik tangannya kuat hingga terlepas dari genggaman Furqon.Syifa berdiri perlahan, air matanya bahkan mulai berhenti, saking dia membenci pria itu. Dia melangkah pelan dan hati-hati. Teringat satu hal olehnya, tidak ingin lagi memperpanjang permasalahan itu. Syifa pun menoleh kembali, menatap Furqon yang mematung. Saat ini yang ada dalam benaknya adalah segera mengakhiri hubungan yang tidak sehat diantara mereka. "Saya minta, batalkan pernikahan kita. Saya tidak sudi menikah dengan pria yang ada wanita lain di dalam hatinya. Dan saya tidak sudi, dinikahi hanya karena pelarian saja."Furqon terdiam di tempatnya kini berpijak, mengikhlaskan kepergian Syifa yang ikut serta membawa amarah dalam dadanya, tanpa mau lebih dulu mendengarkan apa alasan yang sebenarnya. Tangannya mengepal kuat di kedua sisi badannya, ketika teringat permintaan Syifa yang ingin membatalkan pernikahannya yang akan terlaksana seminggu lagi. “Heh.” Furqon tersenyum nyeringai, lalu menoleh ke samping, di mana terlihat ombak saling bersahutan menerjang kokohnya bebatuan karang.“Membatalkan pernikahan? Heh, tidak semudah itu, Syif!” ucapnya mengeja kembali permintaan gadis yang seminggu lagi akan disandingkan dengannya di pelaminan.“Tidak Syifa, kamu itu milikku. Kamu sudah memilih untuk berada di dalam genggamanku. Dan kamu harus tahu, Syifa. Kalau aku, tidak akan semudah itu untuk melepaskan apa yang telah aku genggam, kamu harus tahu itu.” Furqon bermonolog, dia bercakap dengan angin malam, berharap akan menyampaikan pesan itu pada calon istrinya.Berjalan dengan langkah gontai menuju cafe,
Syifa tengah bersiap untuk pergi ke kampung halaman Furqon. Ingin menyatakan langsung pada kedua orang tua lelaki itu untuk membatalkan pernikahan yang akan terlaksana seminggu lagi. "Bismillah, aku ikhlas untuk membatalkan pernikahan ini. Semoga ini yang terbaik. Ya Allah, mudahkanlah," monolog Syifa yang tengah mematut dirinya di cermin.Hari ini adalah hari senin. Dan di hari ini pulalah, Syifa telah memiliki jadwal dengan dosen pembimbingnya untuk bimbingan skripsi. Namun, segera dia izin untuk membatalkannya dengan alasan sakit. Beruntung dosen itu menyetujuinya. Kediaman keluarga Wais Al-Furqon ialah di Pariaman. Dengan bermodalkan motor yang dia pinjam dari teman kosnya, Syifa akan menemui calon mertuanya. Melihat dengan jelas rumah megah yang ada di depannya, Syifa mendadak gugup. "Kok aku jadi gugup begini yah!" gumamnya pelan, lalu memegang dadanya. Di mana jantungnya berdegup begitu kencang.Memberanikan diri, Syifa pun menekan bel rumah tersebut. Tidak beberapa lama, M
"Loh Syifa," sapa Gusnita yang baru saja masuk ke ruang tamu dengan Arman yang mengekor di belakangnya. Syifa menoleh pada sumber suara. Jantungnya berdegup kencang melihat dua orang yang telah dia anggap sebagai orang tuanya sendiri. "Tumben pagi begini kamu main ke sini?" Wanita yang berusia 55 tahun itu tersenyum lebar mendapati calon menantunya berada di rumahnya pagi itu. Syifa yang tidak lagi bisa berkata apa-apa setelah mendengar ancaman Furqon, hanya membalas wanita itu dengan senyuman canggung."Iya, Bun. Pengen main ke sini aja. Bunda apa kabar?" tanya Syifa sedikit kikuk, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, setelah menyalami kedua calon mertuanya. Syifa mendadak salah tingkah. Niatnya untuk membatalkan pernikahan, seketika harus terhalang mendengar ancaman dari Furqon, calon suaminya sendiri."Alhamdulillah, bunda baik. Ayo ke belakang, kita sarapan dulu yuk sayang. Kamu tadi berangkat ke sini pasti belum makan kan!" Tanpa jawaban dari Syifa, Gusnita menarik pela
Acara pesta pun telah selesai, para tamu undangan pun telah pulang, yang tertinggal hanyalah para staf catering serta beberapa anggota keluarga lainnya yang ikut berkemas.Sementara kedua pengantin telah berada di kamar hotel yang telah disewakan untuk mereka selama beberapa hari.Syifa terduduk di tepi ranjang, sorot matanya menatap pintu kamar mandi di mana sang suami berada di sana."Ya Tuhan, aku takut sekali," ucapnya sembari meremas bukul tangannya.Saat memasuki kamar tadi, Furqon dan Syifa memang berjalan beriringan. Namun, mereka saling diam dan sesekali hanya melempar senyum ketika berpapasan dengan orang-orang. Ceklek! Pintu kamar mandi terbuka, sosok tinggi, bertubuh atletis muncul dari balik pintu dengan hanya memakai handuk putih yang melilit tubuhnya bagian bawah."Syifa," panggil Furqon dan berjalan mendekati istrinya. "I-iya, Bang," jawabnya. Syifa pun segera beranjak dengan ekspresi sedikit takut dan canggung. Dia berusaha memalingkan wajahnya agar tidak melihat k
Di tempat lain, Nada masih mengurung diri di kamarnya sejak pagi. Pernikahan Furqon dan Syifa, membuat dia patah hati. Berharap pertengkaran Syifa dan Furqon seminggu yang lalu akibat lelaki itu yang salah berucap, berujung batalnya pernikahan mereka. Justru, harapan itu sirna dengan berita bahwa keduanya bahagia melaksanakan pesta pernikahan. Berulang kali teman-temannya mengajak Nada untuk ikut menghadiri acara pernikahan Furqon dan Syifa. Namun, berbagai alasan pula dia berikan. Nada memberi alasan pasti pada para temannya untuk tidak bisa menghadiri acara sakral itu. "Kenapa Fur? Kenapa harus Syifa? Kenapa harus dia yang kamu nikahi?" teriak Nada tidak terima dengan takdir yang terjadi padanya. Seharusnya dia yang dilamar Furqon, bukan Syifa. Seharusnya dia yang menjadi istri dan pendamping hidupnya, bukan Syifa. "Andai aku tahu kalau saat itu lamaran kamu ditolak gadis itu. Aku siap, Fur. Aku siap menjadi pelarianmu," lirihnya. Dalam benak Nada, tidak apa jika dirinya dinik
"Jadi kalian pindah sore ini?" tanya Gusnita pada Furqon dan Syifa yang tengah menyantap sarapannya. "Jadi, bun. Furqon sudah suruh orang untuk bereskan semua keperluan di sana. Jadi kami hanya tinggal menempati rumah kontrakan itu tanpa harus beberes lagi," jelas Furqon kemudian. Gusnita menatap Arman. Dia merasa keberatan jika anak dan menantunya harus tinggal pisah darinya. Apalagi, mereka akan tinggal di rumah kontrakan sederhana yang hanya memiliki 2 kamar saja. "Kenapa kalian nggak tinggal di sini saja sih? Kan rumah ini juga tidak terlalu jauh dari kampus. Paling 1 jam sudah sampai, itu kalau lambat," jelas Gusnita. Furqon dan Syifa saling tatap. Sebenarnya, Syifa juga setuju dengan ibu mertuanya. Dia takut untuk tinggal hanya berdua saja di rumah itu. Syifa takut jika nantinya Furqon menyakiti dirinya. Melukai kembali perasaannya yang telah terkoyak. "Ya Allah, hamba berharap jika rumah kontrakan itu tidak layak untuk kami huni berdua saja, ya Allah" do'a Syifa dalam hat
"Wahhh, rumahnya besar banget." Syifa terkagum pada rumah yang telah dibeli sang suami. Mereka memutuskan untuk pindah meski baru semalam menghuni rumah kontrakannya. Syifa dan Furqon memutuskan untuk tinggal pisah dari orang tuanya. Meski Arman dan Gusnita bersikekeuh meminta keduanya untuk tinggal bersama mereka. "Alhamdulillah, rezeki abang cukup untuk membeli rumah ini," jawabnnya enteng lalu meletakkan 2 buah koper miliknya dan sang istri.Furqon pun mendekat pada Syifa yang masih berdiri, terpana melihat rumah tempat dia dan suaminya akan tinggal. "Kita akan tinggal di sini bersama anak-anak kita nantinya," bisik Furqon kemudian. Syifa berbalik. "Ingat ya, Bang. Jangan pernah abang kecewakan Syifa lagi. Syifa sudah beri abang kesempatan, untuk merubah semuanya," ujar wanita cantik itu, dan Furqon mengangguk pelan."Iya, abang janji tidak akan mengecewakan kamu lagi." Furqon mengecup kening sang istri mesra, lalu memeluknya. ***Setelah berkemas barang, Syifa yang sudah mem
Arsyil masih betah di dalam mobilnya yang terparkir rapi di parkiran gedung. Dia memainkan ponselnya, melihat foto-fotonya bersama Syifa ketika mereka masih bernaung di organisasi yang sama. Senyum mengembang di wajah tampan itu. "Aku bodoh ya, Syif. Kenapa bukan aku yang nikahi kamu? Kenapa harus aku serahkan kamu pada Furqon," ucapnya pada layar ponsel yang menampakkan foto Syifa yang tersenyum lebar."Arggh, lama-lama bisa gila aku." Arsyil mengacak kepalanya. "Hah, sebaiknya ngopi dulu deh." Arsyil pun hendak mengendarai mobilnya ke tempat tongkrongannya. Namun, sorot matanya mendapati dua pemuda yang berada dalam satu motor dan berboncengan mesra. "Furqon, Nada. Ngapain mereka?" Kening Arsyil berkerut, mengamati keduanya yang semakin tidak terlihat.Arsyil yang tahu mereka memang dekat semenjak di perkuliahan, pun hanya mendiamkan saja. Dia pun mengendarai mobilnya ke arah yang berlawanan.***Sesampainya di perpustakaan, Nada sengaja memperlambat Furqon dengan mengajaknya me