Share

Bab 4. Penyesalan

Furqon terdiam di tempatnya kini berpijak, mengikhlaskan kepergian Syifa yang ikut serta membawa amarah dalam dadanya, tanpa mau lebih dulu mendengarkan apa alasan yang sebenarnya. Tangannya mengepal kuat di kedua sisi badannya, ketika teringat permintaan Syifa yang ingin membatalkan pernikahannya yang akan terlaksana seminggu lagi.

“Heh.” Furqon tersenyum nyeringai, lalu menoleh ke samping, di mana terlihat ombak saling bersahutan menerjang kokohnya bebatuan karang.

“Membatalkan pernikahan? Heh, tidak semudah itu, Syif!” ucapnya mengeja kembali permintaan gadis yang seminggu lagi akan disandingkan dengannya di pelaminan.

“Tidak Syifa, kamu itu milikku. Kamu sudah memilih untuk berada di dalam genggamanku. Dan kamu harus tahu, Syifa. Kalau aku, tidak akan semudah itu untuk melepaskan apa yang telah aku genggam, kamu harus tahu itu.” Furqon bermonolog, dia bercakap dengan angin malam, berharap akan menyampaikan pesan itu pada calon istrinya.

Berjalan dengan langkah gontai menuju cafe, Furqon kembali mengunjungi teman-temannya yang masih menunggu kedatangannya. 

Nada, gadis cantik teman Furqon sewaktu kuliah yang ternyata diam-diam juga menaruh hati pada pria itu, tengah memicingkan mata melihat ekspresi temannya. 

“Kamu kenapa, Fur?” tanyanya kemudian, melangkah mendekati pria itu. Sembari berdo'a dalam hati bahwa impiannya untuk mendekati Furqon dapat terkabul. 

Tangan Nada terulur untuk memapah Furqon yang berjalan dengan lemah. Namun, pria itu segera menepisnya dengan kasar dan berdehem lalu menoleh pada semua temannya. 

“Maaf kawan-kawan, sepertinya aku harus pulang duluan.” Furqon pun gegas mengambil jaket hitamnya, lalu memberikan uang di atas meja untuk menepati janjinya yang akan mentraktir teman-temannya, lalu melangkah keluar café dengan perasaan kacau.

"Furqon kenapa?" pikir para temannya, termasuk Nada yang masih penasaran apa yang terjadi. 

"Apa hubungan mereka berakhir?" pikir Nada dalam hati, yang langsung tersenyum berharap apa yang ada dalam benaknya menjadi nyata. 

***

Sementara itu, masih di dalam cafe, Ulya dan teman-teman Syifa lainnya merasa bingung dengan menghilangnya gadis itu. Berkali-kali mereka menghubungi nomor Syifa. Namun, tetap saja tidak mendapat respon darinya, bahkan saat ini ponselnya pun tidak bisa dihubungi. 

“Syifa kemana sih, guyss? Kok nggak bisa dihubungi sih,” gumam Ulya merasa heran sekaligus kesal dengannya, karena janji mereka akan bincang-bincang tentang awal kenalan Syifa dan Furqon hingga keduanya memutuskan untuk menikah pun batal. 

"Iya nih, main ngilang saja tuh anak," timpal yang lain. 

Namun, mereka pun tidak ambil pusing lagi karena sudah beberapa kali mereka menghubungi. Mereka pun berencana akan menanyakannya besok ketika di kampus.

***

Syifa terduduk di balik pintu. Dia masih menangis, meratapi nasibnya yang malang. Dengan terseok-seok, gadis itu melangkah ke lemarinya, mengambil sebuah foto yang terbungkus rapi di dalam bingkai. 

"Ayah, Ibu." Syifa terisak, mengamati foto itu. 

"Syifa ingin menyusul kalian. Syifa nggak kuat lagi, Syifa capek hidup, Bu, Yah," ucapnya bak berbicara dengan kedua orang tuanya di dalam foto, yang telah lama meninggalkan dirinya ketika dia masih berusia 5 tahun. 

Syifa terus menangis, dia tidak tahu lagi harus bagaimana sekarang. Impiannya yang akan menikah dengan lelaki yang dia cinta dan idolakan oleh banyak wanita di kampus, ternyata semuanya sirna.

Berharap menjadi wanita istimewa yang dicintai oleh Furqon, nyatanya, hanya seorang wanita yang akan dinikahi karena pelarian saja. 

Padahal semua persiapan pernikahan sudah sangat mata, semua hal sudah tersusun rapi. Mulai dari undangan yang telah dicetak dan besok akan dia berikan pada teman-temannya, gedung dan WO yang telah dipesan dan akan menjadi tempat diselenggarakannya acara pernikahan, catering yang juga telah dipesan, serta kamar hotel yang akan menjadi tempat saksi bersatunya dua insan yang telah halal dalam sebuah ikatan pernikahan.

"Aarrrgggh," teriak Syifa mengaung memenuhi ruang kamarnya. 

Syifa menyesali kehidupannya sekarang, tidak seharusnya dia memberitahu Arsyil akan perasaannya yang mencintai Furqon dan berharap hidup bersamanya. Hingga sekarang, keinginannya berujung bencana bagi dirinya sendiri.

Andai waktu bisa terulang kembali. Syifa tidak ingin menjadi wanita pengemis cinta. Lebih baik, dia menikah dengan lelaki yang mencintainya, bukan dengan lelaki yang dia cinta. 

Sedetik kemudian, Syifa menghentikan tangisannya. Dia baru ingat jika tadi dirinya pergi ke cafe bersama teman-temannya. Syifa pun mulai mengaktifkan nomor teleponnya. Untuk segera memberi kabar pada Ulya, agar dia dan teman-temannya yang lain tidak panik dengan hilangnya dirinya di cafe tersebut.

Ulya yang saat itu sedang asyik bercengkrama dengan teman-temannya, mulai merasa tenang dengan Syifa yang ternyata sudah membalas pesannya. 

"Syukurlah ternyata dia sudah di kos, kirain ngilang ke mana. Tahunya ketemu pujaan hati, Furqon tercinta. Huh, karena cowok malah lupa sama teman sendiri. Dasar ya nih Syifa, untung aja dia bestie aku," gerutu Ulya tersenyum sendiri dengan alasan yang diberikan Syifa.

Selepas mengirim pesan kepada teman-temannya, Syifa yang hendak mematikan kembali ponselnya, dikejutkan dengan panggilan dari Arsyil.

"Tumben bang Arsyil menelpon, ada apa yah? Apa bang Furqon cerita tentang masalah ini?" pikirnya.

Syifa mendadak panik. Namun, dia mencoba untuk tetap biasa saja. Menarik nafas panjang, dia pun akhirnya menjawab panggilan itu. 

"Hallo, Assalamu'alaikum, Bang," ucapnya memulai pembicaraan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status