Furqon terdiam di tempatnya kini berpijak, mengikhlaskan kepergian Syifa yang ikut serta membawa amarah dalam dadanya, tanpa mau lebih dulu mendengarkan apa alasan yang sebenarnya. Tangannya mengepal kuat di kedua sisi badannya, ketika teringat permintaan Syifa yang ingin membatalkan pernikahannya yang akan terlaksana seminggu lagi.
“Heh.” Furqon tersenyum nyeringai, lalu menoleh ke samping, di mana terlihat ombak saling bersahutan menerjang kokohnya bebatuan karang.
“Membatalkan pernikahan? Heh, tidak semudah itu, Syif!” ucapnya mengeja kembali permintaan gadis yang seminggu lagi akan disandingkan dengannya di pelaminan.“Tidak Syifa, kamu itu milikku. Kamu sudah memilih untuk berada di dalam genggamanku. Dan kamu harus tahu, Syifa. Kalau aku, tidak akan semudah itu untuk melepaskan apa yang telah aku genggam, kamu harus tahu itu.” Furqon bermonolog, dia bercakap dengan angin malam, berharap akan menyampaikan pesan itu pada calon istrinya.Berjalan dengan langkah gontai menuju cafe, Furqon kembali mengunjungi teman-temannya yang masih menunggu kedatangannya. Nada, gadis cantik teman Furqon sewaktu kuliah yang ternyata diam-diam juga menaruh hati pada pria itu, tengah memicingkan mata melihat ekspresi temannya. “Kamu kenapa, Fur?” tanyanya kemudian, melangkah mendekati pria itu. Sembari berdo'a dalam hati bahwa impiannya untuk mendekati Furqon dapat terkabul. Tangan Nada terulur untuk memapah Furqon yang berjalan dengan lemah. Namun, pria itu segera menepisnya dengan kasar dan berdehem lalu menoleh pada semua temannya. “Maaf kawan-kawan, sepertinya aku harus pulang duluan.” Furqon pun gegas mengambil jaket hitamnya, lalu memberikan uang di atas meja untuk menepati janjinya yang akan mentraktir teman-temannya, lalu melangkah keluar café dengan perasaan kacau."Furqon kenapa?" pikir para temannya, termasuk Nada yang masih penasaran apa yang terjadi. "Apa hubungan mereka berakhir?" pikir Nada dalam hati, yang langsung tersenyum berharap apa yang ada dalam benaknya menjadi nyata. ***Sementara itu, masih di dalam cafe, Ulya dan teman-teman Syifa lainnya merasa bingung dengan menghilangnya gadis itu. Berkali-kali mereka menghubungi nomor Syifa. Namun, tetap saja tidak mendapat respon darinya, bahkan saat ini ponselnya pun tidak bisa dihubungi. “Syifa kemana sih, guyss? Kok nggak bisa dihubungi sih,” gumam Ulya merasa heran sekaligus kesal dengannya, karena janji mereka akan bincang-bincang tentang awal kenalan Syifa dan Furqon hingga keduanya memutuskan untuk menikah pun batal. "Iya nih, main ngilang saja tuh anak," timpal yang lain. Namun, mereka pun tidak ambil pusing lagi karena sudah beberapa kali mereka menghubungi. Mereka pun berencana akan menanyakannya besok ketika di kampus.***Syifa terduduk di balik pintu. Dia masih menangis, meratapi nasibnya yang malang. Dengan terseok-seok, gadis itu melangkah ke lemarinya, mengambil sebuah foto yang terbungkus rapi di dalam bingkai. "Ayah, Ibu." Syifa terisak, mengamati foto itu. "Syifa ingin menyusul kalian. Syifa nggak kuat lagi, Syifa capek hidup, Bu, Yah," ucapnya bak berbicara dengan kedua orang tuanya di dalam foto, yang telah lama meninggalkan dirinya ketika dia masih berusia 5 tahun. Syifa terus menangis, dia tidak tahu lagi harus bagaimana sekarang. Impiannya yang akan menikah dengan lelaki yang dia cinta dan idolakan oleh banyak wanita di kampus, ternyata semuanya sirna.Berharap menjadi wanita istimewa yang dicintai oleh Furqon, nyatanya, hanya seorang wanita yang akan dinikahi karena pelarian saja. Padahal semua persiapan pernikahan sudah sangat mata, semua hal sudah tersusun rapi. Mulai dari undangan yang telah dicetak dan besok akan dia berikan pada teman-temannya, gedung dan WO yang telah dipesan dan akan menjadi tempat diselenggarakannya acara pernikahan, catering yang juga telah dipesan, serta kamar hotel yang akan menjadi tempat saksi bersatunya dua insan yang telah halal dalam sebuah ikatan pernikahan."Aarrrgggh," teriak Syifa mengaung memenuhi ruang kamarnya. Syifa menyesali kehidupannya sekarang, tidak seharusnya dia memberitahu Arsyil akan perasaannya yang mencintai Furqon dan berharap hidup bersamanya. Hingga sekarang, keinginannya berujung bencana bagi dirinya sendiri.Andai waktu bisa terulang kembali. Syifa tidak ingin menjadi wanita pengemis cinta. Lebih baik, dia menikah dengan lelaki yang mencintainya, bukan dengan lelaki yang dia cinta. Sedetik kemudian, Syifa menghentikan tangisannya. Dia baru ingat jika tadi dirinya pergi ke cafe bersama teman-temannya. Syifa pun mulai mengaktifkan nomor teleponnya. Untuk segera memberi kabar pada Ulya, agar dia dan teman-temannya yang lain tidak panik dengan hilangnya dirinya di cafe tersebut.Ulya yang saat itu sedang asyik bercengkrama dengan teman-temannya, mulai merasa tenang dengan Syifa yang ternyata sudah membalas pesannya. "Syukurlah ternyata dia sudah di kos, kirain ngilang ke mana. Tahunya ketemu pujaan hati, Furqon tercinta. Huh, karena cowok malah lupa sama teman sendiri. Dasar ya nih Syifa, untung aja dia bestie aku," gerutu Ulya tersenyum sendiri dengan alasan yang diberikan Syifa.Selepas mengirim pesan kepada teman-temannya, Syifa yang hendak mematikan kembali ponselnya, dikejutkan dengan panggilan dari Arsyil."Tumben bang Arsyil menelpon, ada apa yah? Apa bang Furqon cerita tentang masalah ini?" pikirnya.Syifa mendadak panik. Namun, dia mencoba untuk tetap biasa saja. Menarik nafas panjang, dia pun akhirnya menjawab panggilan itu. "Hallo, Assalamu'alaikum, Bang," ucapnya memulai pembicaraan.Syifa tengah bersiap untuk pergi ke kampung halaman Furqon. Ingin menyatakan langsung pada kedua orang tua lelaki itu untuk membatalkan pernikahan yang akan terlaksana seminggu lagi. "Bismillah, aku ikhlas untuk membatalkan pernikahan ini. Semoga ini yang terbaik. Ya Allah, mudahkanlah," monolog Syifa yang tengah mematut dirinya di cermin.Hari ini adalah hari senin. Dan di hari ini pulalah, Syifa telah memiliki jadwal dengan dosen pembimbingnya untuk bimbingan skripsi. Namun, segera dia izin untuk membatalkannya dengan alasan sakit. Beruntung dosen itu menyetujuinya. Kediaman keluarga Wais Al-Furqon ialah di Pariaman. Dengan bermodalkan motor yang dia pinjam dari teman kosnya, Syifa akan menemui calon mertuanya. Melihat dengan jelas rumah megah yang ada di depannya, Syifa mendadak gugup. "Kok aku jadi gugup begini yah!" gumamnya pelan, lalu memegang dadanya. Di mana jantungnya berdegup begitu kencang.Memberanikan diri, Syifa pun menekan bel rumah tersebut. Tidak beberapa lama, M
"Loh Syifa," sapa Gusnita yang baru saja masuk ke ruang tamu dengan Arman yang mengekor di belakangnya. Syifa menoleh pada sumber suara. Jantungnya berdegup kencang melihat dua orang yang telah dia anggap sebagai orang tuanya sendiri. "Tumben pagi begini kamu main ke sini?" Wanita yang berusia 55 tahun itu tersenyum lebar mendapati calon menantunya berada di rumahnya pagi itu. Syifa yang tidak lagi bisa berkata apa-apa setelah mendengar ancaman Furqon, hanya membalas wanita itu dengan senyuman canggung."Iya, Bun. Pengen main ke sini aja. Bunda apa kabar?" tanya Syifa sedikit kikuk, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, setelah menyalami kedua calon mertuanya. Syifa mendadak salah tingkah. Niatnya untuk membatalkan pernikahan, seketika harus terhalang mendengar ancaman dari Furqon, calon suaminya sendiri."Alhamdulillah, bunda baik. Ayo ke belakang, kita sarapan dulu yuk sayang. Kamu tadi berangkat ke sini pasti belum makan kan!" Tanpa jawaban dari Syifa, Gusnita menarik pela
Acara pesta pun telah selesai, para tamu undangan pun telah pulang, yang tertinggal hanyalah para staf catering serta beberapa anggota keluarga lainnya yang ikut berkemas.Sementara kedua pengantin telah berada di kamar hotel yang telah disewakan untuk mereka selama beberapa hari.Syifa terduduk di tepi ranjang, sorot matanya menatap pintu kamar mandi di mana sang suami berada di sana."Ya Tuhan, aku takut sekali," ucapnya sembari meremas bukul tangannya.Saat memasuki kamar tadi, Furqon dan Syifa memang berjalan beriringan. Namun, mereka saling diam dan sesekali hanya melempar senyum ketika berpapasan dengan orang-orang. Ceklek! Pintu kamar mandi terbuka, sosok tinggi, bertubuh atletis muncul dari balik pintu dengan hanya memakai handuk putih yang melilit tubuhnya bagian bawah."Syifa," panggil Furqon dan berjalan mendekati istrinya. "I-iya, Bang," jawabnya. Syifa pun segera beranjak dengan ekspresi sedikit takut dan canggung. Dia berusaha memalingkan wajahnya agar tidak melihat k
Di tempat lain, Nada masih mengurung diri di kamarnya sejak pagi. Pernikahan Furqon dan Syifa, membuat dia patah hati. Berharap pertengkaran Syifa dan Furqon seminggu yang lalu akibat lelaki itu yang salah berucap, berujung batalnya pernikahan mereka. Justru, harapan itu sirna dengan berita bahwa keduanya bahagia melaksanakan pesta pernikahan. Berulang kali teman-temannya mengajak Nada untuk ikut menghadiri acara pernikahan Furqon dan Syifa. Namun, berbagai alasan pula dia berikan. Nada memberi alasan pasti pada para temannya untuk tidak bisa menghadiri acara sakral itu. "Kenapa Fur? Kenapa harus Syifa? Kenapa harus dia yang kamu nikahi?" teriak Nada tidak terima dengan takdir yang terjadi padanya. Seharusnya dia yang dilamar Furqon, bukan Syifa. Seharusnya dia yang menjadi istri dan pendamping hidupnya, bukan Syifa. "Andai aku tahu kalau saat itu lamaran kamu ditolak gadis itu. Aku siap, Fur. Aku siap menjadi pelarianmu," lirihnya. Dalam benak Nada, tidak apa jika dirinya dinik
"Jadi kalian pindah sore ini?" tanya Gusnita pada Furqon dan Syifa yang tengah menyantap sarapannya. "Jadi, bun. Furqon sudah suruh orang untuk bereskan semua keperluan di sana. Jadi kami hanya tinggal menempati rumah kontrakan itu tanpa harus beberes lagi," jelas Furqon kemudian. Gusnita menatap Arman. Dia merasa keberatan jika anak dan menantunya harus tinggal pisah darinya. Apalagi, mereka akan tinggal di rumah kontrakan sederhana yang hanya memiliki 2 kamar saja. "Kenapa kalian nggak tinggal di sini saja sih? Kan rumah ini juga tidak terlalu jauh dari kampus. Paling 1 jam sudah sampai, itu kalau lambat," jelas Gusnita. Furqon dan Syifa saling tatap. Sebenarnya, Syifa juga setuju dengan ibu mertuanya. Dia takut untuk tinggal hanya berdua saja di rumah itu. Syifa takut jika nantinya Furqon menyakiti dirinya. Melukai kembali perasaannya yang telah terkoyak. "Ya Allah, hamba berharap jika rumah kontrakan itu tidak layak untuk kami huni berdua saja, ya Allah" do'a Syifa dalam hat
"Wahhh, rumahnya besar banget." Syifa terkagum pada rumah yang telah dibeli sang suami. Mereka memutuskan untuk pindah meski baru semalam menghuni rumah kontrakannya. Syifa dan Furqon memutuskan untuk tinggal pisah dari orang tuanya. Meski Arman dan Gusnita bersikekeuh meminta keduanya untuk tinggal bersama mereka. "Alhamdulillah, rezeki abang cukup untuk membeli rumah ini," jawabnnya enteng lalu meletakkan 2 buah koper miliknya dan sang istri.Furqon pun mendekat pada Syifa yang masih berdiri, terpana melihat rumah tempat dia dan suaminya akan tinggal. "Kita akan tinggal di sini bersama anak-anak kita nantinya," bisik Furqon kemudian. Syifa berbalik. "Ingat ya, Bang. Jangan pernah abang kecewakan Syifa lagi. Syifa sudah beri abang kesempatan, untuk merubah semuanya," ujar wanita cantik itu, dan Furqon mengangguk pelan."Iya, abang janji tidak akan mengecewakan kamu lagi." Furqon mengecup kening sang istri mesra, lalu memeluknya. ***Setelah berkemas barang, Syifa yang sudah mem
Arsyil masih betah di dalam mobilnya yang terparkir rapi di parkiran gedung. Dia memainkan ponselnya, melihat foto-fotonya bersama Syifa ketika mereka masih bernaung di organisasi yang sama. Senyum mengembang di wajah tampan itu. "Aku bodoh ya, Syif. Kenapa bukan aku yang nikahi kamu? Kenapa harus aku serahkan kamu pada Furqon," ucapnya pada layar ponsel yang menampakkan foto Syifa yang tersenyum lebar."Arggh, lama-lama bisa gila aku." Arsyil mengacak kepalanya. "Hah, sebaiknya ngopi dulu deh." Arsyil pun hendak mengendarai mobilnya ke tempat tongkrongannya. Namun, sorot matanya mendapati dua pemuda yang berada dalam satu motor dan berboncengan mesra. "Furqon, Nada. Ngapain mereka?" Kening Arsyil berkerut, mengamati keduanya yang semakin tidak terlihat.Arsyil yang tahu mereka memang dekat semenjak di perkuliahan, pun hanya mendiamkan saja. Dia pun mengendarai mobilnya ke arah yang berlawanan.***Sesampainya di perpustakaan, Nada sengaja memperlambat Furqon dengan mengajaknya me
Syifa mengetuk pintu rumahnya, tidak lama, seorang ART membukakannya pintu. Dia tercengang mendapati Gusnita dan Arman tengah duduk di ruang tamu, beserta suaminya. "Baru pulang sayang?" ucap Gusnita yang langsung memeluk Syifa. "Iya, Bun. Loh, bunda sama ayah kapan datangnya? Kok Syifa tidak diberitahu sih!" tanyanya lalu duduk di samping sang suami.Furqon menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia pun hanya tersenyum singkat pada sang istri yang berwajah masam padanya. "Bunda sama ayah kalian tipu yah. Katanya mau tinggal di rumah kontrakan dengan 2 kamar. Tapi, ini lihat," omel Gusnita lalu membawa menantu cantiknya duduk di sofa sebelahnya. Furqon kembali menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Itu adalah sindiran untuknya, karena Syifa sendiri tidak tahu mereka akan tinggal di rumah luas dan megah seperti ini. "Furqon, jadi setelah 3 bulan, kamu ke Jakarta untuk menyelesaikan studi kamu? Terus balik lagi kan ke Padang?""Enggak, Bun. Furqon dan Syifa sudah memutuskan kalau Fu