Acara pesta pun telah selesai, para tamu undangan pun telah pulang, yang tertinggal hanyalah para staf catering serta beberapa anggota keluarga lainnya yang ikut berkemas.Sementara kedua pengantin telah berada di kamar hotel yang telah disewakan untuk mereka selama beberapa hari.Syifa terduduk di tepi ranjang, sorot matanya menatap pintu kamar mandi di mana sang suami berada di sana."Ya Tuhan, aku takut sekali," ucapnya sembari meremas bukul tangannya.Saat memasuki kamar tadi, Furqon dan Syifa memang berjalan beriringan. Namun, mereka saling diam dan sesekali hanya melempar senyum ketika berpapasan dengan orang-orang. Ceklek! Pintu kamar mandi terbuka, sosok tinggi, bertubuh atletis muncul dari balik pintu dengan hanya memakai handuk putih yang melilit tubuhnya bagian bawah."Syifa," panggil Furqon dan berjalan mendekati istrinya. "I-iya, Bang," jawabnya. Syifa pun segera beranjak dengan ekspresi sedikit takut dan canggung. Dia berusaha memalingkan wajahnya agar tidak melihat k
Di tempat lain, Nada masih mengurung diri di kamarnya sejak pagi. Pernikahan Furqon dan Syifa, membuat dia patah hati. Berharap pertengkaran Syifa dan Furqon seminggu yang lalu akibat lelaki itu yang salah berucap, berujung batalnya pernikahan mereka. Justru, harapan itu sirna dengan berita bahwa keduanya bahagia melaksanakan pesta pernikahan. Berulang kali teman-temannya mengajak Nada untuk ikut menghadiri acara pernikahan Furqon dan Syifa. Namun, berbagai alasan pula dia berikan. Nada memberi alasan pasti pada para temannya untuk tidak bisa menghadiri acara sakral itu. "Kenapa Fur? Kenapa harus Syifa? Kenapa harus dia yang kamu nikahi?" teriak Nada tidak terima dengan takdir yang terjadi padanya. Seharusnya dia yang dilamar Furqon, bukan Syifa. Seharusnya dia yang menjadi istri dan pendamping hidupnya, bukan Syifa. "Andai aku tahu kalau saat itu lamaran kamu ditolak gadis itu. Aku siap, Fur. Aku siap menjadi pelarianmu," lirihnya. Dalam benak Nada, tidak apa jika dirinya dinik
"Jadi kalian pindah sore ini?" tanya Gusnita pada Furqon dan Syifa yang tengah menyantap sarapannya. "Jadi, bun. Furqon sudah suruh orang untuk bereskan semua keperluan di sana. Jadi kami hanya tinggal menempati rumah kontrakan itu tanpa harus beberes lagi," jelas Furqon kemudian. Gusnita menatap Arman. Dia merasa keberatan jika anak dan menantunya harus tinggal pisah darinya. Apalagi, mereka akan tinggal di rumah kontrakan sederhana yang hanya memiliki 2 kamar saja. "Kenapa kalian nggak tinggal di sini saja sih? Kan rumah ini juga tidak terlalu jauh dari kampus. Paling 1 jam sudah sampai, itu kalau lambat," jelas Gusnita. Furqon dan Syifa saling tatap. Sebenarnya, Syifa juga setuju dengan ibu mertuanya. Dia takut untuk tinggal hanya berdua saja di rumah itu. Syifa takut jika nantinya Furqon menyakiti dirinya. Melukai kembali perasaannya yang telah terkoyak. "Ya Allah, hamba berharap jika rumah kontrakan itu tidak layak untuk kami huni berdua saja, ya Allah" do'a Syifa dalam hat
"Wahhh, rumahnya besar banget." Syifa terkagum pada rumah yang telah dibeli sang suami. Mereka memutuskan untuk pindah meski baru semalam menghuni rumah kontrakannya. Syifa dan Furqon memutuskan untuk tinggal pisah dari orang tuanya. Meski Arman dan Gusnita bersikekeuh meminta keduanya untuk tinggal bersama mereka. "Alhamdulillah, rezeki abang cukup untuk membeli rumah ini," jawabnnya enteng lalu meletakkan 2 buah koper miliknya dan sang istri.Furqon pun mendekat pada Syifa yang masih berdiri, terpana melihat rumah tempat dia dan suaminya akan tinggal. "Kita akan tinggal di sini bersama anak-anak kita nantinya," bisik Furqon kemudian. Syifa berbalik. "Ingat ya, Bang. Jangan pernah abang kecewakan Syifa lagi. Syifa sudah beri abang kesempatan, untuk merubah semuanya," ujar wanita cantik itu, dan Furqon mengangguk pelan."Iya, abang janji tidak akan mengecewakan kamu lagi." Furqon mengecup kening sang istri mesra, lalu memeluknya. ***Setelah berkemas barang, Syifa yang sudah mem
Arsyil masih betah di dalam mobilnya yang terparkir rapi di parkiran gedung. Dia memainkan ponselnya, melihat foto-fotonya bersama Syifa ketika mereka masih bernaung di organisasi yang sama. Senyum mengembang di wajah tampan itu. "Aku bodoh ya, Syif. Kenapa bukan aku yang nikahi kamu? Kenapa harus aku serahkan kamu pada Furqon," ucapnya pada layar ponsel yang menampakkan foto Syifa yang tersenyum lebar."Arggh, lama-lama bisa gila aku." Arsyil mengacak kepalanya. "Hah, sebaiknya ngopi dulu deh." Arsyil pun hendak mengendarai mobilnya ke tempat tongkrongannya. Namun, sorot matanya mendapati dua pemuda yang berada dalam satu motor dan berboncengan mesra. "Furqon, Nada. Ngapain mereka?" Kening Arsyil berkerut, mengamati keduanya yang semakin tidak terlihat.Arsyil yang tahu mereka memang dekat semenjak di perkuliahan, pun hanya mendiamkan saja. Dia pun mengendarai mobilnya ke arah yang berlawanan.***Sesampainya di perpustakaan, Nada sengaja memperlambat Furqon dengan mengajaknya me
Syifa mengetuk pintu rumahnya, tidak lama, seorang ART membukakannya pintu. Dia tercengang mendapati Gusnita dan Arman tengah duduk di ruang tamu, beserta suaminya. "Baru pulang sayang?" ucap Gusnita yang langsung memeluk Syifa. "Iya, Bun. Loh, bunda sama ayah kapan datangnya? Kok Syifa tidak diberitahu sih!" tanyanya lalu duduk di samping sang suami.Furqon menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia pun hanya tersenyum singkat pada sang istri yang berwajah masam padanya. "Bunda sama ayah kalian tipu yah. Katanya mau tinggal di rumah kontrakan dengan 2 kamar. Tapi, ini lihat," omel Gusnita lalu membawa menantu cantiknya duduk di sofa sebelahnya. Furqon kembali menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Itu adalah sindiran untuknya, karena Syifa sendiri tidak tahu mereka akan tinggal di rumah luas dan megah seperti ini. "Furqon, jadi setelah 3 bulan, kamu ke Jakarta untuk menyelesaikan studi kamu? Terus balik lagi kan ke Padang?""Enggak, Bun. Furqon dan Syifa sudah memutuskan kalau Fu
Syifa menarik nafas panjang, lalu berbalik arah mengejar Nada. Dia pun berdiri tepat di depan seniornya itu. "Asal kakak tahu yah. Alasan apapun pernikahan aku dengan bang Furqon, itu bukan urusan kak Nada. Dan, satu hal lagi. Lebih beruntung aku dibanding kakak, kenapa? Karena walaupun hanya sebatas pelarian saja, tetapi bang Furqon tetap menikahi aku. Bukan seperti kak Nada, iya kan."Syifa mengeluarkan unek-unek di dalam dadanya. Tidak sanggup lagi menahan amarah yang tertahan. Apalagi mendengar kata istri pelarian, membuat pikirannya kembali ke masa di mana dia hancur dan terpuruk, menyesali keinginannya untuk menikah dengan lelaki yang dia cinta.Nada pun tidak kalah naik pitam, dia ingin membalas ucapan Syifa. Tetapi, keduanya segera di lerai oleh penjaga Pustaka. Hingga mereka pun harus mengakhiri sesi sindir menyindirnya.Nada berbelok menuruni tangga, dan memilih keluar dari gedung. Sementara Syifa tetap melanjutkan mencari buku referensinya. "Sial!! Kenapa juga aku harus k
"Abah, cegah Viana, Bah," pinta Sarah, tidak ingin melihat putri semata wayangnya menjadi perusak rumah tangga orang lain. Handoko hanya diam saja. Dia mendukung apapun keputusan yang diambil Viana. Toh, putrinya sudah dewasa, dia pasti mengetahui mana yang baik dan buruk untuknya."Abah," teriak Sarah kesal. "Biarkan saja dia begitu, sayang. Dia sudah dewasa. Dan lelaki yang dia pertahankan juga lelaki hebat, apa salahnya dia berjuang." Sarah hanya bisa menghempas nafas kasar mendengar jawaban sang suami. Dia pun memijit pelipisnya, mendadak kepalanya pusing. "Ya Tuhan, semoga putriku segera sadar bahwa tindakannya itu salah," harapnya dalam hati. Viana telah sampai di kampus. Dia tanpa sengaja bertemu dengan Fahri, meminta di mana alamat rumah Furqon. "Aku nggak tahu di mana, Vi. Kamu tanyakan sendiri saja pada orangnya langsung," jawab Fahri. "Ri, kalau nomor aku tidak di blokir sama Furqon, sudah dari kemarin aku bisa bicara dengannya. Cepat lah, Ri. Aku mau tahu dia ada di