Share

Bab 3. Istri Sah Bagas Di Kota

“Kamu yakin akan menyusul Bagas ke kota?” tanya Rusni saat Rinay mengemasi pakaiannya ke dalam sebuah tas berukuran sedang.

“Iya, Bu. Yakin banget,” sahut Rinay memaksa mengulas senyum. Wajah cantik tanpa polesan itu terlihat sedikit  pucat. Namun, senyum tetap dia ulas di sana. Sengaja, agar sang bunda tidak mengkhawatirkannya. 

“Baiklah, ibu akan mengantarmu,” usul Rusni bangkit dari duduknya.  “Ibu akan ganti baju dulu,” lanjutnya seraya berjalan menuju kamar pribadinya, di sebelah kamar sang putri.

“Enggak usah, Ibu. Ibu suka mabuk kalau naik Bus, kan? Nanti Ibu muntah lagi di perjalanan. Ibu enggak usah ikut,  Rinay enggak tega. Perjalanan ke Medan itu butuh waktu empat jam, lho, dari kampung kita ini. Biar Rinay berangkat sendiri saja, ya!” cegah Rinay berusaha menghalangi ibunya.

“Tapi, Ibu enggak tenang kalau kau berangkat sendiri, Nay! Bagaimana kalau terjadi apa-apa sama kamu, di sana nanti?” kata Rusni bimbang.

“Memangnya apa yang akan terjadi, Ibu? Rinay datang ke rumah suami Rinay, kan? Rinay datang dengan calon bayi di perut Rinay. Mas Bagas dan keluarganya akan menyambut Rinay dengan suka cita. Percayalah!” Rinay berusaha meyakinkan sang ibu, meski dia sendiri ragu. Tetapi dia harus bertindak sekarang, sampai kapan dia harus menunggu. Janin di perutnya akan makin besar saja. Rinay harus meminta kejelasan dari suaminya.

“Ibu harus ikut, pokoknya ibu harus ikut!” Rusni berkeras.

“Ibu, dengar! Rinay enggak mau Ibu menderita dalam perjalanan. Rinay janji, begitu  Mas Bagas punya waktu, dia akan menjemput Ibu. Kalau naik mobil pribadi, dua jam setengah bisa kok ditempuh ke sini. Ibu pokonya tenang, dan sabar, ya!”

“Kamu yang enggak sabar menunggu Bagas datang! Buktinya kamu yang nekat nyusul dia ke kota!”

“Lha, kan Rinay mau ngsih kejutan sama mertua sekalian, hehehehe ….” Tawa terpaksa Rinay terdengar sumbang. Tapi Rusni tak bisa menghentikan tekat sang putri sekarang.

“Angkutannya udah mau  berangkat itu, Nay! Jadi berangkat enggak? Itu udah Bapak minta berhenti di depan.”  Sang ayah melongokkan kepala ke dalam kamar.

“Jadi, Pak. Bu, Rinay berangkat, ya! Doa-in, Rinay!” Buru-buru dia memeluk ibunya, mencium punggung tangan wanita itu dengan takzim, lalu berjalan ke luar kamar. Sang ayah membantu mengangkat tas pakaian menuju mobil pintu belakang, satu-satunya jenis alat transportasi penumpang di kampung itu. 

Setelah mencium punggung tangan sang ayah, Rinay naik ke dalam angkutan. Melambaikan tangan pada ibunya yang sudah berdiri di teras rumah papan mereka.

**

“Ini, Kak! Jalan Bunga Encole nomor 125 A!” Supir Beca menepikan beca di depan sebuah rumah berpagar.

“Benar ini, ya, Bang?” tanya Rinay memastikan. Netranya memindai rumah yang terlihat dari celah besi pagar.

“Itu, tertulis di tembok nomor rumahnya, Kak. Nomor 125 A.” Supir Beca memastikan.

“Oh, iya. Terima kasih, ya, Bang! Ini ongkos saya.” Rinay menyerahkan selembar uang sepuluh ribu. Lalu bergerak turun.

“Sama-sama, Kak.”

Rinay termangu di depan gerbang yang terkunci rapat dari dalam.  Semangat yang tadi berkobar-kobar seketika memudar. Sedikitpun dia tak membayangkan kalau rumah suaminya seperti yang terbentang di hadapan. Rumah megah  di dalam sana terlihat sangat angkuh.  Jangankan penghuni rumah, besi-besi kokoh pagar yang mengelilinginya pun, seolah menolak kedatangannya.

Rinay menunduk, menatap kaus lengan panjang dan rok lebar panjang yang melekat di tubuhnya. Memindai sandal murahan di kakinya, menoleh ke arah tas kain kumal yang tergeletak di dekatnya.  Rinay merasa begitu minder sekarang.

Penampilannya persis seperti  seorang gadis kampung yang hendak meminta pekerjaan sebagai buruh cuci di rumah mewah itu. Bukan sebagai seorang menantu yang datang membawa kabar akan kehadiran calon pewaris keluarga  di rahimnya.

“Maaf, Kakak cari siapa?”

Rinay tersentak, seseorang menyapanya dari celah besi pagar. Seorang pria berseragam satpam.

“Eh, saya … saya ….”

“Tin … tiiin … tiiiiiin …!”

Sekali lagi Rinay tersentak, suara klakson mobil  nan kencang seperti  memekakkan gendang telinganya. repleks dia bergerak ke samping, sembari menyeret tas pakaian.  Sang pengemudi mobil menurunkan kaca jendela. Seorang wanita cantik mendelik tajam ke arah Rinay.

“Eh, jangan ngemis  di sini! Sono, di lampu merah! Ganggu, aja!” bentaknya kasar.

Rinay terperangah, siapa wanita cantik namun sangat angkuh itu?

“Bang Aman!  Cepat buka gerbangnya …!” Kembali wanita itu berteriak  tak sabar, kali ini meneriaki sang satpam.

Pintu pagar dibuka dari dalam.  Mobil mewah itupun bergerak memasuki halaman.

“Kakak mau bertemu siapa? Kakak mau apa? Maaf, gerbangnya saya tutup lagi, ya! Non Tatiana itu judes orangnya, suka bentak-bentak. Maaf, ya, Kak!” Sang satpam bersiap menutup pintu gerbang kembali.

“Sebentar, Bang! Ini, saya mau nanya,” Rinay menghentikan  pria berusia empat puluh tahunan itu.

“Iya, boleh, mau nanya apa? Kalau kerjaan, sepertinya tidak ada. Pembantu di rumah ini sudah lebih dari cukup. Maaf, ya, Kak!” Aman menangkupkan kedua tangan di depan dadanya.

“Bu-bukan, saya bukan mau nanya kerjaan, tapi, saya mau nanya, apakah benar ini rumahnya Mas Bagas?” akhirnya Rinay  punya keberanian untuk menyebut nama itu.

“Bagas? Bagaskara?” Sang security mengernyitkan kedua netranya. Seolah tak percaya kalau wanita kampung di hadapan mengenal majikannya.

“Iya, Mas Bagaskara.”

“Benar, ini rumahnya. Kakak siapa? Kok, kenal dengan majikan saya?”

“Oh, kenalin, saya Rinay. Saya istrinya,” sahut Rinay mengulurkan tangan.  Betapa dia merasa lebih bersemangat setelah Aman menyebut suaminya adalah majikan. Sebuah lengkungan terbentuk di kedua sudut bibirnya. Senyum ramah terbit di sana. Aku tidak akan bersikap angkuh kepada pekerja-pekerja suamiku, begitu tekatnya.

Aman terperangah, kedua bola matanya membulat sempurna. Dengan perasaan bingung, dia memindai penampilan Rinay dari ujung kaki hingga kepala. Tangan Rinay yang sudah terulur hendak menyalam dirinya, mengambang di udara.

“Kenapa Abang bengong begitu? Nama Abang Aman, ya? Bang Aman, Bang ….”

“Oh, i-iya.  Maaf, Kakak  … waduh, saya bingung mau bilang apa? Kakak sepertinya ngelantur. Sebaiknya Kakak pergi saja dari sini, sebelum Non Tatiana ngamuk. Pergi, ya! Sana pergi!” Aman mendorong tubuh Rinay dari depan gerbang, agar tak menghalangi saat dia menutup dan menguncinya dari dalam.

“Ini benar rumah Mas Bagas, kan? Saya istrinya! Saya baru datang dari desa! Jangan tutup gerbangnya! Saya mau masuk!” Rinay menerobos masuk, bahkan langsung berjalan menuju halaman rumah megah itu.

Aman berusaha menghentikannya, namun Rinay tetap memaksa. Keributan itu memancing penghuni rumah.

“Aman … ada apa itu?”  Seorang wanita paruh baya berteriak dari teras. Wanita cantik yang bernama Tatiana ikut  menyusul di belakangnya.

Rinay menarik nafas lega, ternyata dia tak salah alamat.

“Ma! Mama … lihat penjaga gerbang ini, dia ngelarang saya masuk, Ma!” serunya langsung berlari kecil ke arah teras sambil memanggul tasnya.

“Eh, pengemis itu lagi! Nekat, ya, nerobos masuk ke sini. Mama kenal dia?” tanya Tatiana heran.

“Dia … dia ….” Kalimat Rahayu menggantung, Rinay sudah berdiri di hadapan mereka. Sang security masih berusaha menghalangi.

“Assalamulaikum, Ma! Mama sehat?” sapa Rinay meletakkan tas di lantai, lalu meraih dan mencium punggung tangan wanita itu.

“Kamu … kamu, sama siapa ke sini?” Rahayu langsung menarik tangannya dari genggaman Rinay. “Kamu, langsung ke belakang, ayo! Langsung ke dapur!” perintahnya menarik tangan Rinay dengan kasar.

“Ma?” Rinay terkejut. Rahayu sepertinya tak menyukai kedatangannya. Cekalan tangan sang ibu mertua di lengan  makin kencang, sebagai isyarat agar Rinay jangan bicara.

“Sebentar, Tian! Mama antar dulu dia ke dapur, ya! Dia ini  … eeeh, nanti mama jelaskan, tunggu sebentar!” ucapnya menoleh sekali lagi kepada  Tatiana.

“Eh, dia pembantu baru kah, Ma? Mama nambah pembantu, ya? Baguslah, suruh langsung  ke kamar kami, dong!  Mas Bagas tadi pagi  ngeluh, katanya Bibik enggak bersih nyikat kamar mandi!”  Tatiana langsung memberi tugas.

Rinay tersentak. Tatiana, siapa  sebenarnya dia? Kenapa dia bilang kamar mereka bersama Mas Bagas? Dia … siapanya Mas Bagas? Kenapa mereka sekamar? Batin Rinay berkecamuk.

“Iya, Sayang, ini pembantu baru kita. Kamu masuk kamar saja, dia akan segera bersihkan kamar mandi kalian!” 

“Ma?!” sergah Rinay bagai tersengat listrik ribuan volt. Repleks dia melepaskan  cekalan tangan Rahayu di lengannya.

****

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status