Share

Bukan Istri Simpanan
Bukan Istri Simpanan
Penulis: Sabrina Angelitta

1. Jerat Luka

Setitik luka, menghilangkan besarnya cinta. Membelah bahkan mencabik-cabik sampai titik habis airmata. Seorang wanita, menahan tangisnya. Ia dipaksa tersenyum oleh keadaan ketika melihat pria yang ia cintai, pria yang selama ini menjadi miliknya, bersanding dengan wanita lain.

                Langkah kakinya maju perlahan-lahan. Mendekati sepasang pengantin baru yang baru saja selesai menyapa para tamu. Ia menelan air liurnya. Menahan gejolak kecewa yang terus mengikis pertahanan diri.

“Anne, aku titip Suamiku padamu,” ucapnya. Suaranya terdengar gemetar.

“Kak Elena, aku—“ Mata Anne berkaca-kaca. Merasakan sentuhan lembut dari tangan Elena.

                Elena merupakan istri pertama dari Austin Harold. Austin menikah lagi dengan Anne atas permintaan Elena. Bahkan, Anne adalah wanita yang Elena pilih sendiri untuk menjadi madunya.

“Tidak apa-apa. Austin akan menjagamu dengan baik. Percayalah padaku,” ucap Elena.

                Sebagai istri pertama, Elena dituntut untuk menahan semua gejolak luka di hatinya. Namun, di dalam pernikahan kedua Austin, bukan hanya Elena yang menanggung beban. Anne dan Austin juga sama sekali tidak terlihat bahagia.

                Austin tiba-tiba saja memeluk Elena. “Jangan pergi. Aku mohon,” pintanya. Suaranya terdengar lirih sampai-sampai hanya Elena yang bisa mendengarnya.

                Elena melepaskan pelukan Austin. Acara pernikahan tersebut hampir selesai. Tentu saja, malam ini akan menjadi malam pertama untuk Anne dan Austin. Elena tidak ingin menjadi pengacau.

“Austin, kau bukan hanya menjadi milikku. Kau harus bersikap adil,” ucap Elena. “Aku harus pergi. Perlakukan Anne dengan baik, seperti kau memperlakukanku,” lanjutnya.

                Anne memalingkan wajahnya. Ia tidak ingin terlalu merasakan perbedaan. Austin yang menatap Elena penuh cinta, sedangkan memandangnya begitu dingin dan asing. Restu yang Elena berikan menyakiti Austin dan juga Anne. Di waktu yang bersamaan, ia menyakiti dirinya sendiri.

                Elena sudah lenyap dari pandangan. Austin sama sekali tidak melirik ke arah Anne. Tidak peduli apakah Anne sedang menangis, apakah Anne sedang tertawa. Ia begitu acuh dan terlihat mengerikan.

“Apa kau sudah puas setelah menikah denganku?” tanya Austin.

“Aku—“

“Bersiaplah. Sebentar lagi akan ada taksi untuk mengantarmu pulang ke rumah yang sudah aku siapkan,” kata Austin.

                Austin selalu memotong kalimat yang keluar dari mulut Anne. Seolah-olah ia jijik walau hanya sekadar mendengar suaranya. Anne hanya bisa menggigit bibirnya sendiri. Dadanya terasa sesak dan perasaannya hancur.

                Acara sudah selesai. Anne harus menahan perasaannya ketika semua orang memandangnya rendah karena menjadi istri kedua. Wanita tidak memiliki harga diri, wanita rendahan, dan entah sumpah serapah apa lagi yang mereka bisikkan secara terang-terangan.

                Anne mengepalkan erat tangannya. ‘Mereka hanya bisa berkomentar tanpa tahu ceritanya. Aku juga tidak ingin seperti ini. Aku punya alasan yang tidak bisa aku ceritakan,’ batin Anne.

                Pengantin baru seharusnya merasakan bahagia karena kehangatan cinta. Namun, Anne dan Austin merasakan hal yang sebaliknya. Anne tidak berharap banyak hal. Ia tahu bagaimana rendahnya dirinya saat ini. Akan tetapi, bisakah Austin memperlakukannya dengan sedikit lebih lembut?

“Taksi yang aku pesan untukmu sudah menunggu. Kita akan bertemu di alamat yang sudah aku kirim melalui pesan,” ucap Austin.

“Austin, ini sudah terlalu malam. Apa tidak bisa kalau—“

“Anne, mobilku hanya untuk Elena. Kau sama sekali tidak layak.”

                Keputusannya begitu tegas. Setiap kata yang terlontar seperti menghujani Anne dengan seribu luka yang bertubi-tubi. Di dalam gedung tersebut, sudah sangat sunyi. Anne berdiam diri dianggap ada dan tiada.

                Keheningan membuat hatinya semakin kosong. Langkahnya begitu pelan dan ragu. Langit gelap menyambutnya dengan segala kegagalan. Angin malam menerpa tubuhnya sampai menggigil. Apakah ada yang peduli? Tidak. Segalanya ia rasakan seorang diri.

                Anne  bertanya-tanya, sampai kapan ia akan menjadi wanita yang terhina? Keputusannya memang salah tapi semuanya berdasarkan diluar keinginannya.

“Ah, hujan!” gumam Anne sembari menengadahkan telapak tangannya.

                Benar. Sudah ada taksi yang menunggunya. Anne duduk begitu patuh. Seperti manekin yang tidak memiliki hak di mana ia harus berdiri dan di mana ia ingin ditempatkan. Waktu berjalan terasa begitu lambat. Hujan juga semakin deras. Bibir Anne tersenyum ketika membayangkan Austin akan menunggunya sembari membawakan payung untuknya. Sayangnya, senyumnya berubah getir.

                Rumah yang sangat besar, membenteng indah dan kokoh. Seolah-olah tubuh Anne yang kecil akan tertelan di dalamnya.

‘Ah, mungkin saja bayanganku tadi terlalu manis. Ternyata aku begitu tidak tahu diri mengharapkan sesuatu yang sejak awal bukan milikku,’ batin Anne.

                Kedatangan Anne disambut aura gelap dan mengerikan. Austin menatapnya seperti ingin membunuhnya saat itu juga. Anne tidak berani bersuara, bahkan suara napasnya ia tahan.

“Bisakah kau lebih cepat sedikit?” tanya Austin. “Elena membutuhkanku, Anne. Dia takut dengan suara hujan. Dia membutuhkanku untuk memeluknya. Kau tahu itu, bukan?” sambungnya.

“Austin, bukankah aku juga istrimu?” tanya Anne sembari memalingkan wajahnya. Antara takut dan ingin mendapatkan sedikit haknya.

“Apa katamu?” pekik Austin sembari mencengkeram tangan Anne.

“Akh. Austin, sakit,” rintih Anne.

“Anne, kau jangan salah paham. Kalau bukan karena Elena, aku tidak akan sudi untuk menikahimu.”

                Situasi apa yang saat ini sedang Anne hadapi? Tatapan kebencian itu menusuk jantung Anne. Anne ketakutan dibuatnya.

“Anne, apa kau tahu artinya? Aku menikahimu karena aku mencintai istriku. Aku memang mengikat janji suci denganmu tapi istriku hanyalah Elena,” ucap Austin.

                Anne diam sejenak. Mencerna setiap kalimat yang melilitnya. “Apa kau sudah selesai menjelaskannya, Austin?” tanya Anne, lirih.

                Austin mendelik. Ia mengira kalau Anne akan menampar dan meminta cerai darinya. Diluar dugaan, Anne menahan diri meski sudah dilukai.

“Anne, aku juga tidak bisa memungkiri kalau kau istriku, tapi aku tidak mencintaimu.”

                Anne terdiam kembali. Terdapat keputus asaan dalam diri Austin. Cinta? Anne bahkan tidak pernah membayangkan itu sebelumnya. Siapa yang tidak akan jatuh hati pada pria tampan dan juga mapan? Namun, untuk apa semua itu jika hanya menyisakan lara yang akan berlangsung cukup panjang?

                Austin melepaskan cengkeraman tangannya. Pergelangan tangan Anne sampai memerah. Ditambah lagi dengan gaun Anne yang basah karena air hujan, membuat Anne merasakan kedinginan yang berlipat.

“Aku tidak akan pernah datang untuk bermalam di sini,” ucap Austin.

“Iya. Aku mengerti,” jawab Anne. Tidak ada kata bantahan karena ia tahu situasi seperti apa yang sedang terjadi.

“Anne, jangan pernah sedikitpun untuk mencintaiku. Aku tidak ingin menyakitimu karena cintamu yang sepihak,” ujar Austin.

                Anne mencoba untuk memberanikan diri menatap Austin. “Bagaimana jika aku sudah memiliki cinta yang kau sebutkan?” tanya Anne.

“Kau bisa merasakan hartaku, tapi tidak dengan diriku.”

“Aku pasti bisa membuatmu jatuh cinta padaku,”  kata Anne. Entah setan apa yang sudah merasukinya sampai bicara seperti itu.

“Aku sudah memperingatkanmu, Anne. Kalau kau terluka karena harapanmu sendiri, jangan pernah menyalahkanku.”

                Anne merasa bodoh. Ia tidak berpikir kalau luka yang Austin torehkan padanya akan semakin dalam kalau ia memiliki perasaan untuk pria yang mustahil bisa mencintainya.

“Anne, semakin kau memperkecil harapanmu, semakin kau bisa menyelamatkan dirimu.”

“Kenapa aku tidak boleh berharap?”

“Karena sejak awal, aku sama sekali tidak berniat untuk menganggapmu ada.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status