Hanan mengulas senyum dan Ahana membalasnya dengan senyuman pula. Tidak menyadari jika air matanya menetes. Ahana baru menyadari jika setelah resmi menikah nanti, ia tidak lagi akan bersama Hanan. Masing-masing dari mereka akan memiliki kehidupan baru dan terpisah jarak yang jauh.
Lamunan Hanan terhenti ketika Zain berbisik jika sudah saatnya mengucapkan ijab qabul. Hanan mengulurkan tangan kanannya lebih dulu disambut oleh Ibram. Raja Hutama adalah salah satu dari tiga raja yang diajak Zain untuk menjadi saksi pernikahan Raja yang merupakan satu-satunya raja muslim di Kepulauan Mutiara.
Baru saja tiba pagi tadi sebelum acara penobatan Hanan dan terkejut melihat Pangeran Ibram. Bahkan sempat tidak mempercayai ucapan Zain jika Ibram yang akan menikah dengan Putri Ahana. Raja Hutama menjadi orang pertama mengatakan kata ‘sah’ setelah ijab qabul itu diucap dalam satu tarikan napas. Disusul dua orang saksi lainnya dan keluarga Ahana kemudian semua orang yang me
Menurut kalian, Pangeran Ibram akan jawab apa? Aku tahu... Aku ingat... Baiklah... Tidak perlu mengingatkanku... Aku hampir lupa...
"Aku tahu. Jika aku kembali dan datang ke sana lebih awal, Putri Ahana mungkin akan merasa tidak nyaman. Aku harus memberinya waktu bicara banyak hal dengan ibu. Jika aku tidak datang ke sana, itu mungkin menyinggung perasaannya. Jebakan macam apa ini?" tanya Ibram seraya memijat pangkal hidungnya. “Apa Anda menyesalinya? Menyesali keputusanmu menikahi saudara kembarku?” tanya Hanan. “Aku tidak pernah menyesali keputusan apapun dari hidupku Adik ipar. Mulai sekarang kau tidak lagi diizinkan menyebut panggilan formal disaat seperti ini. Itu hanya jika ada orang lain. Di sini hanya ada ada aku, kau, dan Zain sahabatku. Tanyakan padanya apapun yang ingin kau ketahui tentangku,” ucap Pangeran Ibram berdiri dan kembali memandang keduanya bergantian, “Kita akan bicara besok, beristirahatlah!” Pelayan yang sudah menunggu di gerbang taman berjalan memandu dan mengiringnya menuju ke kamar. Saat memasuki bagian istana dalam, tampak Manaf menunggunya di dekat tangga. Da
Beberapa detik kemudian, pakaian berat yang dikenakan Ahana terlepas. Menyisakan pakaian berbahan sutra biru muda degan hiasan bunga yang disulam. Satu persatu Ibram melepaskan hiasan di rambut istrinya dan sengaja menjatuhkannya di lantai kayu.Ahana kembali bernapas lega karena Ibram beranjak ke arah jendela. Degup jantungnya yag tidak menentu tadi perlahan stabil. Matanya menatap lantai kamarnya yang cukup berantakan penuh dengan perhiasan. Baju luarannya, selendangnya dan riasan rambutnya pun tergeletak begitu saja di lantai.“Akkhh!!”Ahana kembali memekik saat Ibram memadamkan lilin di dekat jendela. Ahana yang terkejut menjatuhkan kalung yang baru saja ia lepas. Kamarnya sudah menjadi lebih gelap dari sebelumnya.“Yang Mulia, kenapa mematikan lilin yang itu? Itu lilin yang paling terang di kamar ini. Bukankah ini sedikit gelap?” cicit Ahana mulai gugup. Ia harus meralat pikirannya tadi jika suaminya itu masih sam
Dua orang pelayan sedang mengendap-endap keluar dari gerbang belakang istana. Salah satu dari keduanya berjaga dekat pintu masuk, sementara yang satunya menemui seseorang yang tidak jauh dari ujung jalan mengenakan jubah ungu tua. Jalanan tampak sepi dan sedikit berkabut. Matahari baru saja terbit."Katakan berita apa yang kalian punya?" tanya suara seorang wanita dari balik tudung yang dikenakannya. Pelayan itu pun berbisik padanya. Tak lama kemudian, wanita itu memberikan sekantong koin pada pelayan itu.
"Kapten Zain, ada apa?" tanya Manaf mewakili rasa penasaran semua wanita yang duduk di sana. "Yang Mulia Putri Ahana, Anda diminta untuk menghadiri pertemuan di aula istana kerajaan,” kata Zain. Prangg!!! "Apa?!!" tanya Manaf terkejut. Sendok di tangannya jatuh mengenai nampan besi. Begitu juga dengan para istri dari mentri dan dewan kerajaan kini melongo ketika dua prajurit lain mengangguk. Mereka terkejut karena pertama kalinya gadis dari kerajaan mereka menghadiri pertemuan politik. Semua mata mengarah pada Ahana yang sama terkejutnya. Tidak menyangka jika ucapan suaminya semalam bukanlah gurauan. "Yang Mulia Pangeran Ibram sendiri yang meminta saya menjemput dan mengantarkan Anda ke sana," ucap Zain menunjukkan pedang Ibram padanya, "Pangeran Ibram sudah mendapat izin dari Yang Mulia Ratu Maura dan semua orang tidak keberatan." "Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Ahana bingung. Sulit baginya untuk memahami apa yang sedang terjadi.
Ahana tercengang karena sejak dulu Hanan selalu bercerita jika aula istana seringkali ribut dengan berbagai permasalahan dan perdebatan. “Jika ada yang ingin kalian katakan, bersuaralah saat ini juga! Aku dengan senang hati akan memberikan jawaban,” kata Pangeran Ibram mengeratkan genggamannya. "Aku ingin tahu alasanmu menikahi putriku,” kata Ratu Maura tanpa mengalihkan pandangannya dari pintu utama aula dan duduk tenang di singgahsananya. Meskipun Pangeran Ibram adalah menantunya, ia tidak bisa membuat menantunya mendominasi pertemuan pagi ini. “Aku punya tiga alasan ketika mengatakan bersedia menikah dengan Putri Ahana. Pertama, dia bukan orang munafik. Kedua, dia cerdas, keras kepala dan memiliki keberanian. Dia bukannya gegabah seperti yang kalian pikirkan selama ini, tapi tidak ingin tertekan dengan aturan. Ketiga… suatu saat akan aku sampaikan secara pribadi Yang Mulia Ratu,” jawab Pangeran Ibram yang membuat semua orang kembali tercengang. “Yang Mulia
Jamuan makan siang telah dihidangkan di alun-alun istana. Ratu Maura duduk didampingi putra dan putrinya. Para mentri dan pejabat tinggi kerajaan duduk di kursi mereka masing-masing sambil bercengkrama dan menikmati santap siang. Beberapa penari menampilkan tarian dengan banyak taburan bunga. "Di mana suamimu?” bisik Ratu Maura pada putrinya sambil terus melirik kursi kosong di sampingnya. Sejak meninggalkan aula tadi, ia belum melihat menantunya itu dan juga Zain. Dalam hati Maura sedikit menyesal. Harusnya ia meminta menantunya secara langsung untuk menghadiri acara ini. Beberapa tamu yang hadir tampaknya mulai berbisik. "Ibu, dia tadi bilang ingin sholat dulu. Dia sendiri yang bilang akan datang. Tenanglah," bisik Ahana. “Kau yakin?" tanya Ratu Maura cemas. "Aku sudah mengatakan padanya jika ia tidak ingin menghadiri acara ini, dia bisa menolak. Aku bisa memberikan alasan lain. Tapi dia bilang tidak ingin merebut hak seorang ibu. Lagipula d
Tangan kiri Pangeran Ibram kembali menangkap gagang pedangnya. Sementara tangan kanannya mendorong bilah pedangnya dengan dua jari tangannya. Kini ujung pedang itu sudah mengarah pada titik incarannya. Tepat di leher Jendral Angga yang hanya terdiam dengan kepala menengadah. Pedang Jendral Angga masing diacungkan ke atas, namun tubuhnya kaku. Menyadari jika tali sabuknya terputus dan kini tersisa satu. Jika bergerak, mungkin saja celananya akan melorot. Pangeran Ibram mengunci pergerakan Jendral Angga dengan menahan silang salah satu kakinya. “Kali ini satu menit tiga puluh lima detik," ucap Zain yang membuat para jendral di sampingnya menoleh. Tampak sekertaris kerajaan pun menuliskan itu di buku catatannya setelah ketiga kalinya gendang dipukul dan bendera biru kembali dikibarkan. Panglima Ragaf tertawa setelah ketiga jendral pilihannya telah dikalahkan oleh Pangeran Ibram. la menghela napas seraya melihat tatapan Ratu Maura padanya yang tersenyum senang. T
“Kau benar Adik, jika kita berhasil menjualnya ke pulau seberang, maka kita bisa punya uang menutupi kebutuhan kita selama setahun. Kau lihat, sepertinya dia seorang bangsawan,” ucap pria bertubuh pendek dengan luka bakar di sebagian wajahnya. "Tapi Kakak, ada pria itu bersamanya. Apa mungkin itu suaminya?” tanya sang adik. "Aku rasa bukan. Lihat, mereka hanya duduk diam tidak saling bicara. Apa yang dilakukan pria itu? Apa dia sedang menyembah sesuatu di dalam air atau sedang bersemedi?" tanyanya ketika sedang memperhatikan punggung Pangeran Ibram dari sela semak-semak. "Aku rasa begitu, sejak tadi ia bertingkah aneh. Dia mengangkat tangan lalu tunduk kemudian sujud. Sekarang ia malah menengadahkan tangan saja ke langit. Sepertinya di tempat ini ada roh dengan kekuatan besar. Mungkin karena itulah mereka datang,” pikir sang adik mengernyit, “Kakak lihat, di sana ada dua ekor kuda. Mereka masing-masing menunggangnya. Menurutku, pria itu adalah pengawaln