Share

5. Seorang Dewi

Ibram mengetuk pintu kamar Ratu Gina dan ada Alina di sana. Istri dari Sabir itu tersenyum ramah seperti biasa. Ibram mengatakan ingin bicara berdua dulu dengan Ratu Gina setelahnya nanti ia pun ingin mengatakan sesuatu yang bersifat pribadi pada Alina. Alina pun mengerti dan mohon diri dan mengatakan akan menunggu di luar. Ibram menghampiri sahabat kecilnya sekaligus kakak iparnya, membisikkan sesuatu yang membuat Gina berkali-kali mengangguk patuh.

Senyum pun terbit di wajah pucatnya kala mendengar harapan yang diucapkan Ibram dan memintanya agar merahasiakannya. Ibram mengatakan meskipun raja melarangnya, namun menurutnya Gina berhak tahu karena saat ini dirinya memegang  tanggung jawab ratu pertama hingga Ratu Meghna kembali pulih.

Ibram berusaha membangkitkan kembali rasa percaya diri dan tekad sahabatnya itu. Meski Gina kadang manja, tapi sosok Gina yang Ibram tahu cukup keras kepala untuk hal yang diinginkannya. Termasuk mencintai kakaknya selama bertahun-tahun hingga akhirnya Ratu Meghna meminta Raja Abram menikahinya. Ibram pamit dan berjanji akan melakukan yang terbaik seperti Gina yang melakukan yang terbaik untuk pewaris kerajaan ini.

Di depan ruangan, Alina duduk termenung memperhatikan kupu-kupu yang hinggap di telapak tangannya. Suara langkah Ibram membuatnya menoleh. Ibram pamit padanya dengan banyak permohonan. Termasuk meminta Alina memastikan semua makanan yang mereka makan diperiksa dengan ketat. Ibram bahkan melarangnya memasak selama kondisi dalam istana belum stabil.

Alina cukup terkejut mendengar pendapat Ibram jika kemungkinan pelakunya akan mengkambinghitamkan dirinya lalu menyingkirkan Sabir juga dalam daftar pewaris. Jika terjadi sesuatu pada Ibram, maka Sabir yang akan menjadi pengganti sebagai putra mahkota sementara. Alina jelas tahu jika suaminya juga tidak menyukai hal itu dan ia pun mengiyakan semua arahan dari Ibram. 

###

Samir duduk di tangga kediaman Ibram sambil mencabuti daun tamanan pagar yang terpotong rapi. Tapi kini daun-daun itu mengotori anak tangga batu menuju pintu utama. Ibram menghela pasrah. Pantas saja Sabir memintanya agar bicara dengan Samir. Tadinya ia pikir pagi tadi suasana hati Samir akan membaik, tapi nyatanya tidak jauh berbeda seperti semalam.

“Kakak….” Samir menengadahkan kepalanya dan kedua lengannya melingkari sebelah kaki Ibram yang berjalan menuruni anak tangga. Ibram duduk dan merangkul bahu pemuda manja itu.

“Aku memberimu waktu semenit untuk menangis Samir. Setelah itu kau harus berhenti dan dengarkan apa yang aku katakan. Mengerti?” Ibram mengusap punggung adiknya yang terpaut 12 tahun lebih muda darinya itu.

Samir benar-benar menangis seolah baru saja ada sekumpulan orang yang memakinya. Satu persatu pertanyaan dari bisikan Ibram dijawabnya dengan mengangguk kemudian memeluknya erat sepeti anak kecil. Pangeran bungsu ini memang manja karena kehilangan ayahnya saat usianya masih sangat kecil. Masa di mana ia ingin bermanja pada ayahnya namun kehilangan sosok itu. Salah satu alasan itulah Abram sulit menolak keinginan-keinginan Samir. Beruntung semua orang menyayanginya dan membuatnya sibuk dengan banyak hal.

“Aku bilang hanya semenit, kenapa lama sekali kau menangis? Kau ingin melanggar perintah?” Samir menggeleng sambil terus terisak. Ibram mengusap air matanya, “Bagaimana kau akan menjadi seorang prajurit yang tidak terkalahkan jika kau secengeng ini? Kau tahu sendiri kan kalau aku tidak suka prajurit yang punya fisik, hati dan mental yang lemah?” tanya Ibram yang lagi-lagi dijawab dengan anggukan lemah Samir.

“Kemarin aku belum sempat bertanya padamu. Kenapa kau bisa ada di sana? Bukankah seharusnya kau sedang berlatih memanah sambil menunggang kuda bersama Zain?”

“Aku sudah selesai berlatih dan kembali lebih awal karena Panglima Ahlam ingin bicara hal penting dengan Kapten Zain. Lagipula hasil latihanku kemarin sangat bagus, jadi Kapten Zain mengizinkanku berhenti lebih awal,” Ibram mengulas senyum tipis mendengar kesombongan adiknya.

“Sangat bagus, hem?”

“Tujuh dari sepuluh anak panahku tepat sasaran.”

“Bagaimana dengan tembakan tiga anak panah sekaligus?” Ibram melepaskan rangkulannya dan melipat lengan di dada. Sedikit menjauh dengan memicing curiga pada Samir.

“Kakak… aku ini tidak sehebat dirimu, karena itu bersabarlah menunggu usahaku. Aku pasti akan berhasil melakukannya. Sial sekali, kudaku bahkan tidak ingin menurut seperti Hiswad. Kuda hitammu itu sangat penurut. Aku sangat penasaran matra apa yang kau gunakan sampai kuda itu begitu penurut denganmu?” kilah Samir yang ditanggapi dengusan kesal Ibram.

“Jangan salahkan kudamu karena ketidakmampuanmu!”

“Tapi….”

“Sepertinya berbasa-basi memang tidak cocok denganku. Baiklah, dengarkan aku Samir,” pinta Ibram menarik nnapas dalam-dalam sebelum mengutarakan niatnya. Samir sampai menelan ludah susah payah. Jika kakaknya yang satu ini sudah seserius ini, maka peringatan dini untuk berhati-hati. peringatan kedua jangan lengah. Peringatan ketiga jangan percaya siapapun kecuali Sabir.  

“Sejak semalam aku ingin mengatakan untuk tidak menyalahkan dirimu. Apa yang terjadi kemarin itu bukanlah kesalahanmu. Tidak ada pula yang menyalahkan dirimu. Orang yang salah itu adalah yang menyakiti orang lain. Aku berjanji akan menangkap pelakunya dan menyeretnya untuk diadili di Pengadilan Kerajaan. Jadi sekarang, sadarlah dan bantu aku! Lupakan sejenak dirimu manja dan seenaknya.”

“Yang suka seenaknya itu kan kamu Kakak!” sungut Samir dalam hati. kakaknya yang satu ini suka sekali tidak sadar diri. Tepatnya tidak peduli sama sekali.

“Jangan mengumpat atau memikirkan hal lain saat aku serius Samir!” Suara Ibram sudah seperti sebilah pedang yang ditarik keluar dari sarungnya.

“Kali ini aku yang akan mengadilinya. Aku akan minta pada Yang Mulia Raja dan Ratu untuk memimpin proses pengadilan,” ucap Samir menggebu.

“Sungguh?” Ibram sangsi, jelas sekali meragukan ucapan adiknya, “Memangnya kau sudah menamatkan 10 jilid buku pasal peraturan hukum pidana kerajaan?” tanya Ibram lagi. Samir mendadak lesu dan semangatnya dipatahkan begitu saja. Kedua bahunya merosot diiringi hela napas berat.

 “Aku baru baca tiga jilid. Tapi tiap kali membacanya aku mengantuk. Itu bacaan yang sangat membosankan. Tidak bisakah kakak minta pada Kak Abram? Kasihanilah aku…” rengeknya.

“Pria sejati tidak butuh dikasihani. Berapa kali harus aku katakan padamu?” Ibram menjentik dahi Samir yang mengaduh.

“Kau tahu kan aku sangat menyukaimu. Kadang orang berpikir kaulah kakak kandungku, bukan Kak Sabir. Tapi wajahku lebih mirip dengannya. Biarkan aku memanfaatkan waktu ini dengan sebaik mungkin sebelum kau menikah. Saat kau punya istri nanti mungkin kau akan mengabaikanku.” Samir menunduk meletakkan dagunya di antara kedua lututnya.

“Tidak akan,” ucap Ibram mengusap puncak kepalanya dan beranjak menuruni anak tangga.

“Sungguh?”

“Apa Sabir mengabaikanmu setelah menikah dengan Alina?” Samir menggeleng.

“Kakak, kau sungguhan kan? Apa jangan-jangan kau tidak berniat untuk menikah? Kak Abram punya dua orang istri. Kak Sabir juga sudah menikah dengan kakak ipar Alina. Lalu bagaimana denganmu? Kalau kau tidak menikah, bagaimana mereka akan menikahkanku?” Samir menendang batu kecil di depannya dan reaksi Ibram biasa saja.

“Aku belum tertarik dengan pernikahan karena belum menemukan seseorang yang tepat,” ucap Ibram melangkah lebih cepat menuju markas militer di sisi kanan istana.

“Bagaimana bisa menemukan seseorang saat kakak sendiri belum berniat menemukannya? Bukannya segala sesuatu itu harus dimulai dengan niat yang baik? Aduhh!!” Samir terjatuh dengan bokong yang mendarat tepat di rumput, “Setidaknya katakan sesuatu atau beri kode! Isyarat Kakak! Jangan berhenti mendadak seperti ini! Bagaimana kalau kakiku sampai patah? Para tabib sedang sibuk dan aku jauh lebih sibuk!” gerutunya.

“Kau yang menabrakku, kenapa justru kau yang marah?” Ibram menghela napas panjang dan mengulurkan tangan pada adiknya yang cemberut.

“Karena aku yang jadi korban. Punggungmu itu benar-benar tembok. Jidatku ikut sakit karena terbentur punggungmu.”

“Jangan mencari alasan! Kenapa kakimu bisa selemah itu? Kau itu tidak menabrak seekor gajah, malah langsung jatuh. Bagaimana jadinya jika aku sengaja menyenggolmu atau menendangmu?” Ibram berusaha meredam emosinya yang rasanya tengah diuji.

“Aku memang tidak menabrak seekor gajah, tapi harimau. Aduh! Kakak!!” keluh Samir saat Ibram menjitak kepalanya, “Kenapa kau selalu saja emosi saat disinggung tentang pernikahan? Apa sebelumnya kau pernah sakit hati karena ditinggal menikah oleh gadis lain?”

“Tidak. Aku belum pernah tertarik sekalipun pada seorang gadis, karena itulah aku belum tertarik memikirkan pernikahan. Jangan lamban kalau tidak mau ditinggal!” Samir setengah berlari menyusul langkah cepat Ibram.

“Kalau begitu jawab pertanyaanku dengan serius dan jujur kakak. Aku ingin jawaban dari hati, bukan dari kepalamu,” pinta Samir sambil menunjuk dadanya dengan telunjuk kiri dan menahan lengan Ibram dengan tangan kanannya, “Aku tidak ingin disebut pangeran yang tidak laku karena belum menikah diusianya yang sudah matang. Apa benar, kakak tidak suka jika ada yang dekat-dekat dengan kakak? Apa benar dugaan orang-orang kalau Kakak menyim-” Samir menunjukkan cengiran lebarnya untuk menyinggung kakaknya yang menatap tajam mendengar ucapannya barusan.

 “Aku akan menikah Samir saat Allah mengirimkan seseorang yang tepat untukku. Jangankan dekat-dekat, aku akan menjaganya sedekat ini,” ucap Ibram melingkarkan lengan kirinya di leher Samir dan nyaris mencekiknya.

“Ya Allah!! Ampuni dosa Pangeran Ibram Al-Ikram. Dia hampir saja khilaf menyakiti adik kesayangannya. Jangan bawa dia ke neraka lain lagi karena setan-setan akan iri padanya!” teriakan candaan Samir di akhir kalimatnya, “Kakak, jangan tegang… tenangkan pikiranmu agar bisa tetap muda sepertiku.”

“Usiaku masih 28 tahun. Aku belum tua!” kilah Ibram.

“Dalam sejarah kerajaan kita, kakak satu-satunya putra mahkota yang belum menikah diusia yang melebihi 22 tahun. Sudah lebih 6 tahun dari aturan kerajaan. Satu hal lagi yang membuatku penasaran. Apa nanti kalau kakak menikah, kakak akan mencintainya seperti kak Abram mencintai kak Meghna? Setidaknya nikahi seseorang agar rumor tentangmu bisa hilang.”

“Rumor? Maksudmu rumor tenang aku yang penyuka sesama jenis?” tanya Ibram enteng seolah membicaran cuaca.

“Wah… kau sudah tahu dan sesantai ini? Rumor ini bisa merusak wibawamu. Kata bibi, wajah tampan di balik wajah seram milikmu akan sia-sia.”

“Tentu saja aku tahu. Telingaku cukup tajam untuk mendengar orang-orang yang suka merumpi. Meski aku tidur nyenyak sekalipun, aku memasang banyak telinga di kerajaan ini untuk memberitahu apa saja yang terjadi.” Ibram kembali melanjutkan langkahnya sambil memperhatikan menara pusat di mana anak buahnya memeriksa keadaan istana dengan teropong.

“Kalau begitu, beritahu padaku seperti apa gadis yang kau inginkan? Kakak, kau ini seorang pangeran, apalagi kau seorang put.... Baiklah, aku cuma bertanya, bukan memaksa,” Samir menggaruk kepalanya dan melangkah lebih dulu lalu bergeming. Tampak menyadari seseuatu dan Ibram turut menghentikan langkahnya. “Apa sebelumnya kau pernah ditolak? Ada yang menolak menikah denganmu?”

Ibram mendekati Samir dan menatap adiknya dengan serius. Samir sampai menelan ludahnya susah payah. Langkahnya mundur selangkah. Bersiaga jangan sampai Ibram memukul kepalanya atau menendang kakinya. Sepertinya ucapannya barusan sudah membangunkan harimau putih. Namun kini ia justru bingung melihat senyum tipis dan tatapan hangat dari Ibram.

 “Dengar Samir, ini terakhir kali kau bertanya tentang masalah ini padaku. Jangan membuatku kesal seperti para tetua! Aku tahu mereka sengaja memintamu mendesakku dan mencari tahu. Mereka bodoh jika berpikir aku akan menuruti keinginan mereka karena kau merengek padaku. Aku tidak bisa memberi siapapun celah untuk ikut campur dalam hidupku! Cukup Kak Meghna yang sudah seperti ibu bagiku memohon agar aku jadi putra mahkota sampai mereka memiliki pewaris,” Ibram menjeda ucapannya dan menarik napas dalam-dalam dan kembali menatap Samir.

“Dan….”

“Aku sudah putuskan dalam hidupku hanya akan menikah sekali saja dan memiliki satu orang istri. Aku tidak peduli siapa dan bagaimana dia serta latar belakangnya. Sekalipun dia seorang budak. Aku ingin dia adalah gadis yang bisa aku hormati dan menerima aku apa adanya, bukan karena statusku seorang pangeran atau putra mahkota yang bahkan terpaksa menerima status menyebalkan ini. Aku ingin dia menyadari menginginkan seorang Ibram Al-Ikram, bukan statusku. Aku akan belajar mencintainya dan memohon pada Allah agar menyatukan aku dengannya. Aku tidak semampu mendiang ayahku yang memiliki  empat orang istri atau kakak yang memutuskan untuk menikah lagi dan memiliki dua orang istri. Berlaku adil tidaklah mudah. Aku tidak suka berbagi apa yang menjadi hakku. Jadi aku juga tidak ingin membagi haknya atas diriku pada wanita lain. Aku ingin memiliki seseorang yang membuat mataku selalu mencari keberadaannya. Hanya dengan melihatnya dari jauh saja membuatku tenang dan bisa sejenak melupakan masalahku. Aku dan dia ingin menjadi kita dan mengatakan pada orang lain inilah kami. Singkatnya, aku ingin memiliki duniaku dengannya,” ungkap Ibram panjang lebar tanpa membiarkan Samir menyela ucapannya.

Samir menatap takjub sambil mengangguk-angguk lalu menghela napas berat, “Kakak, kau itu menginginkan seorang dewi. Auuhhh!! Kenapa suka sekali menjitak kepalaku?” Samir meringis.

Ibram menoleh dan melihat Dam, pengawal pribadi raja itu menghampiri mereka berdua dan mengatakan ingin menyampaikan hasil penyelidikan atas perintah Sabir. Awalnya Dam ragu karena ada Samir, namun Ibram mengatakan jika adiknya berhak tahu. Samir menjadi kembali percaya diri.

Sepenggal kalimat itu begitu berarti baginya yang seringkali dianggap remeh oleh ibunya. Ibu Suri Sanjana yang seringkali menuntutnya menjadi sempurna. Hasil penyelidikan terbaru lagi-lagi membuat Ibram terkejut. Pelaku percobaan pembunuhan yang telah menelan pil beracun itu ternyata hamil.

“Gadis itu pelayan istana di bagian paviliun. Wajar saja ia jarang terlihat di sekitar istana. Ia sudah bekerja hampir setahun. Ia yatim piatu sejak tiga bulan lalu. Ibunya meninggal karena  penyakit paru. Tapi anehnya, ada luka cambuk di punggungnya. Lukanya cukup unik. Selain itu ada luka gores di lehernya yang coba ditutupinya dengan kosmetik. Sejenis riasan yang menyerupai bedak dan sedikit lengket. Wanita itu hamil, namun sepertinya belum menyadari jika dirinya hamil, karena itulah ia nekat menelan pil,” Dam berbisik meskipun hanya mereka bertiga yang ada di tengah lapangan.

“Usia kandungannya?” tanya Ibram.

“Sebulan. Selain tabib dan pangeran Sabir, hanya kita bertiga yang tahu hal ini,” ujar Dam.

“Jangan beritahu raja, aku akan mengirim Hamdan menemuimu. Malam ini aku akan berangkat ke suatu tempat mencari penawar. Apapun yang terjadi, laporkan langsung pada Sabir. Samir bisa menjadi perantara pesan disaat darurat. Ingat Samir, jangan percaya pada siapapun! Jangan menelan semua berita mentah-mentah tanpa mendiskusikannya dengan Dam atau Sabir!”

“Aku mengerti Kakak. Kau sebenarnya mau ke mana? Mencari penawar atau seorang dewi?” Samir mencibir, masih kesal karena Ibram tidak mengajak serta dirinya.

“Dam, abaikan saja kakakku itu,” ujar Samir saat Ibram kembali bergegas ke markas militer, “Dia tidak akan bisa menikah sampai kapanpun jika menginginkan istri seorang dewi.”

“Seorang dewi? Pantas saja para putri mentri tidak dilirik sama sekali.”

“Jangan menyebarkan rumor Dam!”

“Pangeran Samir, Anda yang baru saja menyebarkannya. Anda yang memberitahuku.”

“Kakak akan keluar kerajaan setelah sekian lama. Apa dia akan baik-baik saja? Kenapa tidak mengirim jendral-jendral lain saja?” Samir kembali melanjutkan langkahnya bersama Dam dan melupakan keinginannya untuk ke markas militer.

Tadinya ia sudah menyusun bergabagai rencana. Salah satunya bahkan sampai merengek-rengek pada Raja Abram agar dirinya bisa ikut dengan Ibram. Kini ia lupa dengan keinginannya itu. Pikirannya lebih tertuju pada ucapan Ibram tadi. Anehnya, ia justru penasaran di mana bisa menemukan sosok seorang dewi untuk Ibram?

###

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status