Pangeran Sabir menghela napas panjang melihat kakaknya yang diam saja. Tidak sedikitpun menanggapi ucapannya sejak tadi. Beberapa laporan ia sampaikan termasuk tentang pelaku yang mencelakai ratunya tampak tidak menarik baginya. Bahkan ketika sekertaris kerajaan melaporkan hasil perkembangan dari pusat pengobatan, Raja Abram masih saja bergeming. Tatapannya kosong dan menurut Sabir, mungkin saja sudah menembus tembok hingga ke gerbang istana. Mendengar suara pintu kamar yang diketuk tiga kali diikuti suara derit pintu besar itu, sekertaris kerajaan pamit.
“Aku sudah dapat petunjuk untuk penawarnya,” ujar Ibram santai dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan kedua kakinya masih menyentuh lantai. Raja Abram langsung menoleh dan menyingkap selimutnya dan beringsut mendekati adiknya, “Aku tidak ingin mengatakannya padamu. Aku ke sini karena ingin mengatakannya pada Sabir.”
“Jangan bercanda Ibram! Katakan petunjuk apa yang kau punya?!” tegas Abram menahan bahu adiknya yang sama sekali tidak menatapnya, malah fokus pada Sabir.
“Sabir, apa raja membuatmu kesal? Sudah berapa banyak yang kau sampaikan tapi ia sama sekali tidak mengindahkanmu dan sekertaris kerajaan?” Sindiran Ibram membuat Abram mendengus kesal dan menatap Sabir penuh permohonan seraya menggedikkan dagunya ke arah Ibram. Berharap adiknya itupun mau berkompromi dan memaafkannya.
“Kau benar sekali Ibram, rasanya kesal sekali melihatnya seenaknya saja. Memang dia saja yang sakit melihat kakak ipar seperti itu?” ujar Sabir yang ikut rebahan di atas tempat tidur dengan sisi berlawanan dengan Ibram, namun kepala keduanya saling berdekatan. “Aku dengar kau baru kembali subuh tadi. Kau dari mana? Samir mengira kau ke tempat pusat pelatihan pasukanmu, tapi Zain bilang kau tidak ada di sana. Hamdan bilang kau juga tidak berada di pusat niaga milikmu.”
“Kalian berniat mengabaikanku?” Raja Abram memukul keduanya dengan bantal.
“Ke penjara lembah, menemui tabib yang sudah meracuniku.” Jawaban Ibram membuat wajah keduanya pias. Untuk pertama kalinya sejak dua puluh tahun kejadian itu Ibram mau menemui tabib itu.
“Kau sudah gila?!” Abram menarik tangan adiknya yang bertumpu di dahi menutupi wajahnya.
“Bukannya dari dulu kau selalu menganggap aku gila? Aku tidak suka menunggu. Aku menganggapnya sebagai petunjuk karena bagaimana pun dulu dia seorang tabib. Darinya aku mendapatkan jurnal racun Ibu Aruna dan sebagai gantinya aku menyiapkan lahan makam untuknya.”
“Kau berniat membunuhnya?! Tidak, tidak mungkin…. Kau bahkan tidak membunuh seekor hewan pun kecuali hewan kurban dan ular. Semut dan nyamuk saja tidak kau bunuh. Lalu untuk apa lahan makam itu?” Raja Abram mengguncang tubuh adiknya untuk segera membuka mata dan memjawab pertanyaannya.
“Sabir, jangan berisik!”
“Bukan aku yang berisik, tapi Yang Mulia Raja yang mengganggumu.” Sabir kembali memejamkan mata setelah mendengar ucapan Ibram tadi. Ia tahu saudara sepupunya itu tidak akan bertindak gegabah. Sekalipun nekat, Ibram punya perhitungannya sendiri.
“Aku akan menempatkan pasukan bayangan Sabir. Tidak boleh ada yang tahu jika kondisinya seperti sekarang. Jika akal sehatnya belum juga kembali, pukul saja kepalanya seperti yang biasa ia lakukan pada kita bertiga.”
“Apa kau sudah gila? Bagaimana bisa aku memukul kepala seorang raja? Aku bisa dihukum jika ada yang tahu,” bisik Sabir yang masih bisa didengar Abram.
“Kau itu bukan orang awam tentang tindak kekerasan. Buat saja seolah-olah dia yang tidak sadar tiba-tiba tersandung dan kau pun tidak sengaja mengenai kepalanya. Jangan lupa lakukan dengan menyakitkan. Kalau dia memarahimu, katakan padaku nanti biar aku yang memarahinya. Aku tahu banyak rahasianya. Termasuk dia yang diam-diam menghabiskan kue kesukaan Samir dan mengkambinghitamkan orang lain,” ujar Ibram juga berbisik dan membuat Abram semakin kesal.
“Kau mau ke mana?” tanya Abram saat melihat Ibram tiba-tiba bangkit disusul Sabir. Dirinya benar-benar diabaikan.
“Sabir, aku akan keluar istana. Lebih tepatnya pergi meninggalkan kerajaan ini.” Ibram membuat keduanya terkesiap. Hasil penyelidikan bahkan belum keluar dan Ibram berniat pergi. Dulu saat Ratu Meghna keguguran, Ibram yang salahkan dan terpaksa diasingkan selama setahun. Setelahnya Ibram memutuskan berkeliling dunia. Terlalu muak dengan kehidupan di istana. Ia pun kembali setelah dipaksa kembali saat mendiang ayahnya Rara Arsyad sakit keras dan berharap bertemu dengannya disaat-saat terakhir hidupnya.
“Kau akan pergi seperti dulu lagi meninggalkan kami?” tanya Sabir menghampiri Ibram yang sibuk memeriksa hidangan di atas meja. Melihat ada beberapa ekor semut yang menghampiri piring keramik, ia pun duduk menikmati sarapan untuk raja yang belum tersentuh sama sekali.
“Ibram!” panggil Sabir yang ikut duduk di hadapannya.
“Aku tidak sebodoh dan selugu dulu. Aku kembali jelas untuk membuat mereka membayar apa yang mereka lakukan padaku. Aku belum tahu siapa yang kali ini menjadi dalang kejadian ini? Dulu aku mengalah dan meninggalkan istana seperti yang dilakukan Ibu Aruna. Hari dimana aku melangkahkan kaki melewati gerbang perbatasan, aku berjanji akan menjahit mulut mereka sekalipun sudah menjadi mayat. Rencana pembunuhan ratu tidak akan bertenti di sini sampai Yang Mulia Raja Abram menyerah.” Sabir mengangguk setuju.
“Pilihannya setelah itu hanya membuatku sukarela melepas tahtanya. Para mentri kemudian menjadikanku raja disaat aku sendiri menolak dan… pilihan itu akan beralih padamu. Kau pun jelas-jelas menolak dan pilihan terakhir adalah Samir,” Ibram kembali mengunyah dan menelan makanannya lalu menunjuk kakaknya yang terdiam di atas tempat tidur, “Dia tidak hanya akan kehilangan kedua ratu dan calon anaknya saja. Tapi seluruh keluarganya.”
“Ibram,” cicit Sabir karena tidak ingin kakaknya itu tersinggung. Ibram suka sekali menyindir tidak pandang jika orang itu seorang raja sekalipun. Ibram hanya terkekeh dan menikmati makannya. Perutnya lapar dan ia harus segera bersiap.
“Kenapa? Aku benar kan? Dimulai dari kita berdua yang pembangkang. Paman dan bibi juga akan kecewa. Samir yang polos dan terlalu lugu hanya akan jadi budak para serigala berbulu domba. Satu-satunya yang akan berdiri di sisinya hanya Ibu Suri Kerajaan. Itu pun jika beliau tidak goyah dan meninggalkan pengecut itu,” ujarnya enteng dengan sudut matanya mengawasi jendela kamar. Jangan sampai ada yang menguping mereka.
“Jaga ucapanmu yang berlebihan itu,” bisik Sabir sambil melirik kakaknya yang masih terdiam.
“Aku akan berangkat ke selatan, tapi buat kamuflase seolah aku ke pulau utara. Katakan saja aku ke kerajaan sahabat mencari obat penawar,” Ibram menatap Abram yang menghentikan langkahnya dengan tatapan penuh tanya.
“Untuk?” Sabir memutuskan tatapan kakak beradik itu.
“Menemukan penawarnya yang menurut seseorang mungkin ada di sana. Aku tidak bisa diam menunggu. Ada tiga tempat yang memiliki peluang mengenai penawarnya. Tapi aku beIum mengambil keputusan. Tadinya aku ingin membicarakannya, itupun jika...”
Ibram menggantung ucapannya dan kaki kirinya mengetuk lantai di bawah meja. Menghitung didetik keberapakah kakaknya akan bereaksi. Namun di luar dugaan, baru diketukan kedua Abram sudah bersuara. Jawabannya pun sangat mengejutkan.
“Katakan, kali ini aku yang akan mengikuti rencanamu tanpa berkomentar. Aku tahu kau punya pertimbangan dan rencana matang ketika datang padaku tanpa sempat mengganti pakaianmu,” ujar Abram yakin dan membuat senyum di wajah Ibram terbit. Senyum menyebalkan di mata Abram namun ia tidak memiliki pilihan lain. Adiknya yang menyebalkan itu memang orang yang paling bisa diandalkan disaat genting sekalipun.
Abram dan Sabir mendengarkan dengan seksama rencana yang dijelaskan Ibram. Keduanya berkali-kali menunjukkan reaksi berbeda. Saat Sabir setuju, Abram malah merasa keberatan. Tapi kembali lagi pada ucapannya tadi jika ia akan mengikuti rencana Ibram tanpa berkomentar. Resiko dari keputusan Ibram cukup besar. Di sisi lain Abram juga berharap jika rencana Ibram membuahkan hasil seperti harapan mereka.
Meski yang disebut Ibram sebagai harapan itu adalah sebuah rumor. Namun mendengar nama ibu suri dari salah satu kerajaan di selatan memahami tentang penggunaan racun. Rasanya itu secercah harapan ditengah gelapnya putus asa.
Abram sendiri pernah mendengar nama Ibu Suri Visya yang suka bepergian ke beberapa daerah bahkan ke beberapa kerajaan. Wanita tua yang terkenal tegas itu berkeliling untuk mendalami ilmu pengobatan, termasuk memanfaatkan racikan racun untuk melawan racun lain. Setidaknya mereka tidak tinggal diam saja di saat Meghna sedang sekarat dan kondisi Gina yang menurun karena dirundung rasa bersalah.
“Sebelum kau pergi, bisa kau temui Samir?” Sabir menahan langkah Ibram yang kini mengangguk memahami kekhawatirannya.
“Sebelum kau pergi, bisa kau temui Samir?” Sabir menahan langkah Ibram yang kini mengangguk memahami kekhawatirannya.
“Tenang saja, dia sudah tidak murung lagi saat mengunjungi pusat pengobatan. Dia pasti sudah bertemu tabib sombong itu,” Ibram kembali melanjutkan langkahnya setelah menatap lama ke arah kediaman ratu, “Aku akan menemui Ratu Gina sebelum berangkat. Dia juga harus dikembalikan akal sehatnya seperti Abram.”
“Kau benar, kondisinya menurun sejak kemarin. Tabib bahkan mengatakan jika ia sulit tidur. Hal itu tentu akan berpengaruh pada bayinya.”
“Jangan lupa untuk meminta seseorang mengawasi gerak-gerik tabib wanita yang bertubuh gemuk di kediaman kakak. Dia sedikit mencurigakan. Semalam dia berada di kamar Ratu Gina kan? Aku melihatnya keluar dari sana dengan senyum mencurigakan saat aku membawa kakak ke sana meski kau yang membawanya masuk. Tepatnya saat aku bicara dengan tabib.” Sabir mengangguk mengiyakan permintaan Ibram dan sadar dirinya lengah.
Ahana membuka penutup kain dan melihat kembali sepasang pakaian untuknya dan Ibram. Keningnya berkerut karena selembar kertas terlipat di pakaian suaminya. Ahana melongo membaca pesan yang ditulis Ratu Ragina. 'Kumohon kali ini jangan berdebat atau bertengkar. Aku tahu belakangan ini kamu terlalu sibuk mempersiapkan keamanan untuk hari pujaku, Ibram. Tapi ingat, ini bukan tahun baru biasa untukmu, melainkan tahun baru pertama kalian sebagai pasangan. Bayi dalam perutku selalu menendang kuat jika mendengar kalian berdebat' "Di mana aku meletakkan surat itu tadi? Ayolah Ahana, cobalah untuk mengingatnya!" batinnya resah kemudian mengembalikan surat itu kembali ke posisinya semula. "Siang tadi aku makan lalu membaca buku di balkon, lalu ia dia memberikan obat dari tabib. Aku mengambil surat itu dan sepertinya aku menjatuhkannya. Oh, tidak," ujarnya mulai memeriksa lantai. Melihat tumpukan bukunya sudah tidak ada di meja, Ahana sadar jika seseorang membereskannya. Ahana bergegas ke
Seorang pelayan membawa bungkusan kue ke dapur. Kue itupun dibagikan pada lima orang pelayan. Mereka tampak sangat bahagia saat membuatnya. Anehnya, kue itu tidak langsung dinikmati melainkan mereka simpan. "Tuan Putri, apa Anda membutuhkan sesuatu?" tanya salah seorang pelayan yang meletakkan kembali kuenya lalu datang untuk menghampiri Ahana. "Sebenarnya, air minum di kamarku habis. Aku haus, jadi datang kemari,” ujar Ahana yang membuat mereka terkesiap. Mereka lupa karena Pangeran Ibram melarang siapa pun mengusik Ahana sejak kemarin malam. “Kalian semua sedang apa?” Ahana melihat mereka begitu sibuk, sementara dirinya baru bangun. Gara-gara semalaman begadang, dirinya kembali tidur siang setelah perutnya kenyang. Para pelayan itu saling tatap satu sama lain. Ahana turut merasa jika ada yang aneh. Ia mencari-cari keberadaaan Bibi Kaluna, namun wanita itu tidak ada di dapur. Kediamannya juga terasa sepi. "Oh ya, sup siang tadi siapa yang membuat? Masakan itu rasanya enak sekali,
“Kakak bergurau?” tanya Ahana yang merasa jika pertanyaan Sabir barusan adalah candaan. Sabir menggeleng karena dirinya sendiri tidak tahu. Selama ini perhatian Ahana memang tidak pernah kurang, hanya saja di antara mereka masih ada kecanggungan. Apalagi sejak beberapa hari ini Alina tampak menghindarinya. Entah itu benar atau tidak, dirinya takut berharap lebih. “Aku sudah bilang saat kita di kebun belakang. Mengapa Kakak masih ragu?” tanya Ahana merasa ada yang tidak beres. Sabir mulai menceritakan jika sejak kejadian Samir membahas perkara gigitan serangga di ruang makan, Alina sepertinya menghindarinya. Ahana rasanya ingin tertawa karena sebenarnya itu idenya. Dirinyalah yang meminta Alina membantunya dengan banyak hal agar bisa fokus pada hari pujanya. Selain itu Raja Abram juga meminta dirinya dan Alina agar tidak merepotkan Ibram dan Sabir yang menangani masalah teror. “Sepertinya belum.” Ahana melirik lengan Sabir. Sabir turut menoleh memperhatikan lengannya sendiri. Kedua
Kilau cahaya matahari sore menerpa wajah. Sepanjang perjalanan dari Burj Tijarun ke kantor kepolisian ibukota, Ahana tidak begitu memperhatikan sekitarnya. Selain derap langkah Hiswad yang cukup cepat, pandangannya terusik oleh silau matahari sore. Setibanya di depan gerbang, Hiswad langsung melenggang masuk. Sebelum tiba, suara ringkikan kuda hitam itu sudah memberi isyarat bagi beberapa polisi di tempat itu untuk segera membuka gerbang. Pangeran Ibram mengajak istrinya ke ruangan Pangeran Sabir. Putri Ahana kembali takjub dengan ornamen-ornamen di kantor penegak hukum kerajaan itu. Selain itu, ada banyak prajurit kepolisian yang sedang melakukan persiapan menjalankan misi. Pangeran Ibram baru saja hendak menghampiri sepupunya, namun Kapten Bagir langsung menghampiri dan melaporkan sesuatu yang mengejutkannya. Mengetahui suaminya sibuk, Ahana meminta izin menghampiri Sabir dan mengatakan akan menunggu di sana saja. Ibram setuju dan beranjak ke tempat autopsi mayat yang baru saja di
Para mentri dan pejabat pemerintahan baru saja keluar dari aula pertemuan istana. Pangeran Samir masuk melalui pintu samping dengan langkah berat sembari menyeret pedangnya. Tak ayal suara logam yang nyaring itu mengalihkan perhatian Raja Abram, Pangeran Sabir dan sekretaris kerajaan. "Ada apa dengannya?" tanya Raja Abram. "Aku rasa Ibram baru saja memarahinya Kakak. Tubuhnya di sini tapi pikirannya di tempat lain,” jawab Pangeran Sabir menutup dokumen di tangannya. Bagaimana pun, dokumen itu bersifat rahasia dan adiknya belum boleh mengetahuinya. Tanpa salam dan tanpa sapaan, Pangeran Samir duduk di tangga dekat singgasana. Dia masih terdiam seperti orang yang kebingungan. Hening. Ketika ketiganya hanya saling tatap. Raja Abram memutuskan beranjak dan duduk di anak tangga kemudian merangkul adik sepupunya yang sedang murung itu. "Samir, ada apa? Apa Ibram memarahimu?” tanyanya lembut dan penuh perhatian. Tangan kanannya mengusap punggung sang adik. Samir menggeleng dan matanya m
“Aku ingkar janji dan menyakiti Alina. Jangan tanya apapun lagi karena ini urusan suami istri!” tegas Sabir ketika melihat adiknya buka mulut. Melihat pelototan kakaknya, kali ini Samir memilih menutup mulutnya kembali. Diam-diam ia melirik Alina yang terdiam tidak menanggapi permintaan maaf dari Sabir. Dalam benaknya bertanya-tanya mengapa Ibram dan Sabir begitu kompak? Hubungan Ibram dan Ahana kemarin tidak begitu baik karena menurut pelayan di sana, Ahana mendiamkan Ibram. Kini hal yang sama juga terjadi, Alina juga mendiamkan Sabir. "Kakak, apa benar… Kak Ibram pernah ditolak Panglima Ahlam jadi muridnya?” tanya Samir mengalihkan atensi pasangan itu. Diam-diam Sabir sangat bersyukur atas hal itu. "Benar,” sahut Sabir mengangguk. Tapi sudut matanya fokus pada sang istri. "Lalu… bagaimana kemudian Panglima Ahlam setuju menjadikannya murid?” desaknya ingin tahu. Samir membuka buku tebal yang dikirimkan Alina pagi tadi lalu mendekat pada kakaknya. Tatapannya begitu serius menyirat