š Gilang š
Aku masih mengusap lembut kepala Tiara, tak lupa menyanyikan lagu nina bobo dengan suara sumbang. Aku sama sekali tak punya bakat menyanyi namun entah kenapa semenjak hamil Tiara tak pernah bisa tidur tanpa kehadiranku. Ya Allah, kamu gemesin banget Dek.
Meski aku tahu ini pengaruh hormon kehamilan tapi aku senang. Setidaknya kehamilan Tiara membuat kami dekat. Jujur, aku sangat bahagia mengetahui Tiara hamil. Rupanya apa yang kami lakukan setiap malam melahirkan benih di rahim Tiara.
Semenjak pulang dari Semarang, Tiara selalu murung, hampir setiap hari aku dan Papah memberinya semangat hingga tanpa sengaja keadaan membuat kami harus menyatu lagi. Dan setelahnya hampir setiap malam kami selalu menyatu. Tentu aku yang memulainya. Meski sedikit memaksa toh akhirnya Tiara mau juga bahkan menikmatinya. Hahaha.
Alhamdulillah, hanya butuh waktu satu bulan Tiara hamil juga. Hem ... andai pernikahan kami bukan karena perjodohan mungkin Tiara su
š Tiara šKehamilanku sudah menginjak usia lima bulan. Meski terkadang masih mual tapi sudah mendingan. Ngidam? Masihlah. Mumpung aku hamil jadi manfaatkan saja. Lagian Papah dan Gilang juga gak masalah kok menuruti semua aksi ngidamku.Satu hal yang aneh, semenjak hamil aku jadi sensitif sekali. Aku mudah sekali menangis. Kata Gilang, anakku pasti cewek karena aku terlalu baperan. Bicara tentang Gilang, ah sungguh membuatku merindukannya. Aku yakin ini pasti karena hormon kehamilanku. Kalau enggak mana mau aku deket-deket sama dia. Tapi ... entahlah. Aku bingung. Hubungan kami sekarang terasa aneh, aku merasa kami seperti suami istri pada umumnya bahkan sekarang aku tak bisa tidur tanpa mencium bau keteknya.Sebuah rengkuhan menyadarkanku dari lamunan. Aku menoleh dan kulihat Gilang yang sepertinya baru saja mandi. Bau tubuhnya harum. Dan aku suka. Ada hasrat dalam diriku yang tak bisa kupahami. Aku sungguh merindukan sentuhannya. Pasti karena hormon ini lagi
“Selamat datang, ada yang bisa kami bantu?”Salah satu pegawai tokoku seperti biasa bertingkah ramah pada pembeli. Aku yang tengah duduk santai di kursi yang disediakan untuk pengunjung menoleh ke arah si pembeli.“Hai, Mbak Tiara.”“Oh hai, apa kabar Mbak Amanda? Ada yang bisa kami bantu?”“Saya mau membeli brownis cokelat.”“Oh, Keisya tolong layani Mbak ini.”“Baik Mbak. Mari Mbak saya antar.”Dalam hati aku mencebik. Dulu sebelum hubunganku dengan Gilang terlalu jauh. Aku berharap Amanda segera memainkan peran antagonisnya sebagai pelakor. Tapi sekarang? Entahlah, ambigu. Ada sisi hatiku yang berharap Gilang tetap jadi suamiku. Sisi lainnya, aku ingin segera berpisah dari Gilang.“Sudah dapat Mbak Amanda?” tanyaku dengan tetap memasang wajah ceria dan senyum manis.“Sudah. Boleh aku duduk di sini gak?”“Boleh.
š Gilang šAku menatap lalu lalang kendaraan bermotor melalui jendela ruang kerjaku, sesekali mengembuskan napas panjang. Sungguh lelah rasanya. Aku sudah tak tahu lagi bagaimanacaranya menghadapi sikap dingin Tiara. Hatinya sungguh begitu beku. Aku pikir kehadiran calon anak kami akan mencairkan kebekuan hati Tiara secara perlahan. Namun aku salah. Tiara semakin menjauh dan sangat susah kugapai.“Ngelamun lagi, Bro.”“Eh, kamu Yu. Baru datang?”“Iya.”“Duduk, Yu.”“Makasih. Kamu kenapa? Kucel amat.”“Aku bingung, Wahyu. Sampai hari ini aku belum bisa mencairkan kebekuan istriku.”Wahyu tersenyum, kemudian menepuk pundakku dengan cukup keras.“Aku gak bisa kasih nasehat apapun cuma satu yang mau aku kasih tahu ke kamu.”“Apa?”“Minumlah kopi.”Aku mengernyit, tak paham maksud d
š Tiara šBodoh!Satu kata yang mewakiliku saat ini. Entah apa yang kupikirkan saat itu. Sejak pertemuanku dengan Amanda di toko, aku memang menghindari Gilang. Pikiranku menyuruhku untuk jangan terlalu dekat dengan Gilang karena suatu saat cepat atau lambat Gilang akan kembali pada Amanda.Namun, sisi hatiku sangat merindukannya. Sungguh aku bingung. Ada apa denganku? Terbiasa memendam luka sejak kecil membuatku tak bisa mengekspresikan suasana hatiku. Mungkin aku ramah pada setiap orang tetapi aku tak pernah bisa menunjukkan kasih sayangku pada orang lain selain Papah. Bagiku hanya Papah lah yang mencintaiku tulus tak ada yang lain. Sehingga saat Gilang menjadi suamiku dan terlihat menunjukkan cintanya, aku tak tahu harus berbuat apa? Aku dilema dengan hatiku sendiri. Aku tak yakin. Jika ini adalah cinta. Tapi? Melihatnya murung beberapa hari ini membuat sudut hatiku sedih. Meski kusadari sumber kemurungan Gilang justru aku sendiri.Tanpa sadar malam
š Gilang šAku terus menatap layar monitor di depanku. Calon anakku tengah bergerak-gerak rupanya. Apa kubilang? Anakku cewek. Akhirnya jenis kelaminnya terlihat di usia 32 minggu.“Bisa dilihat Pak Gilang dan Bu Tiara, ini cewek. Semua organnya juga lengkap insya Allah, air ketubannya juga masih bagus. Letak plasenta juga masih bagus. Posisi kepala bayi juga sudah di bawah dan Bu Tiara bisa melahirkan normal.”“Jadi kapan kira-kira anak saya lahir?”“Prediksi saya sekitar tanggal 10 bulan depan Pak Gilang. Bisa maju atau mundur. Sekarang kontrolnya seminggu sekali ya Pak, Bu.”“Baik, Dok.”Aku membantu Tiara berdiri dan kami pun berpamitan. Belakangan ini Tiara lebih banyak senyum dan aku menyukainya. Meski sikapnya padaku masih ketus tapi yang penting jatah malamku aman. Hahaha. Walau itu bukan yang utama sih.Intinya aku senang Tiara kini lebih ekspresif jika bersamaku. Meski jarang
š Tiara šPrang!!!“Mbak Tiar! Mbak gak papa? Sini Mbak biar aku aja.”Aku masih diam. Aneh, tadi aku seperti mendengar suara Gilang yang kesakitan. Makanya aku kaget dan tanpa sengaja menjatuhkan gelas yang kupegang.“Mbak. Mbak gak papa?”Aku masih diam, guncangan pada bahuku menyadarkanku dari lamunan.“Ya, Lin. Gimana?”“Mbak kenapa? Mbak baik-baik aja 'kan?”“Iya, Lin.”“Mbak duduk aja deh. Jangan berdiri terus. Nanti Mas Gilang tahu, Lina yang diomelin.”“Ck. Gak usah ikutan lebay kayak Gilang deh Lin?”“Hahaha. Mas Gilang gak lebay Mbak. Justru itu tanda Mas Gilang cinta sama Mbak. Semua orang juga tahu.”“Tahu apa?”“Tahu kalau Mas Gilang itu cinta mati sama Mbak Tiara.”“Ngawur kamu!”“Eh ... dibilangin gak percaya. Sorot ma
Aku baru saja membersihkan diri. Sudah tiga hari kami di rumah sakit. Keadaan Mamah sudah membaik. Mamah bahkan sudah bisa berjalan-jalan dan sekarang sedang ditemani Hana berjalan-jalan seputar rumah sakit. Papah sedang ada urusan sedangkan Papah mertua harus menghadiri rapat.Aku sendiri sedang memaksa memasukkan makanan ke mulutku. Bagaimanapun putriku butuh makan. Dia harus sehat. Cukup bapaknya yang sakit, aku dan anakku jangan.Sesekali aku memasukkan makanan sambil menoleh ke layar televisi. Meski dengan terpaksa akhirnya aku bisa menghabiskan makananku. Selesai makan, aku segera mencuci tanganku dan keluar dari ruang inap Mamah.Suasana rumah sakit masih sepi, jam baru menunjukkan pukul setengah enam. Aku berhenti mendadak menatap seseorang yang tampak berusaha masuk ke ruang ICU namun dihalangi oleh perawat.“Tolong Mbak, dia suami saya juga. Ijinkan saya masuk. Tolong ....”“Maaf Mbak, Mbak harus punya tanda pengenal bia
“Kenapa Tiara? Kenapa bukan aku? Bukankah harusnya Tuhan tahu kalau aku membutuhkan Mas Gilang. Bukan kamu!”“Aku gak tahu! Tuhan selalu punya rencana untuk setiap hamba-Nya.”Kami terdiam lagi. Cukup lama keheningan menyelimuti kami berdua.“Apa kalian melakukan itu dengan perasaan cinta? Atau hanya sebatas kebutuhan biologis?”“Apa ...?” Aku terbelalak mendengar pertanyaan Amanda. Namun mau tak mau pipiku menghangat. Oh tentu saja percintaan kami selalu panas. Gilang selalu bisa membangkitkan bara api dalam tubuhku.“Apa Mas Gilang sangat bergairah saat mencumbumu. Apa dia selalu menyebut namamu saat gairahnya tersalurkan? Apakah kalian selalu melakukannya setiap malam? Hahaha ....” Amanda tertawa sambil menangis.“Aku mencoba Tiara. Sejak kami pacaran aku mencoba menjadi gadis manis. Meski aku berkencan dengan banyak orang tapi aku selalu menjaga satu-satunya hartaku hanya