Menjelang dini hari, studio Devina mengeluarkan sebuah pernyataan. Karena kondisi kesehatannya menurun, dia tidak bisa menyelesaikan syuting iklan kampanye Hari Perempuan Sedunia sehingga resmi mundur dari kegiatan tahun ini.Brielle kebetulan belum tidur. Dia membuka pernyataan dari studio Devina, persis seperti yang dia perkirakan.Devina tidak berani mempertaruhkan reputasinya untuk melawan dirinya. Toh hubungan antara dia dengan Raka memang benar adanya. Devina tidak punya alasan untuk membela diri. Bahkan Raka sendiri pun tidak menelepon untuk berkata apa pun padanya.Putrinya adalah batas terlarang bagi Brielle, sesuatu yang tidak boleh disentuh siapa pun.Keesokan paginya saat mengantar Anya ke sekolah, Brielle diam-diam berbicara dengan gurunya, memintanya menghindarkan anaknya dari pertemuan dengan Devina.Guru di seberang pun meminta maaf, "Maaf ya, Bu. Tahun ajaran baru baru saja dimulai, saya agak sibuk dan kurang teliti soal ini."Brielle tentu tidak bisa menyalahkan guru.
"Hmm!" Anya berkata dengan polos, "Bibi Devina bilang lain kali mau ajak aku ke taman bermain."Lampu merah menyala, Brielle menghentikan mobilnya. Kemudian, dia menoleh dan menatap putrinya dengan serius, "Anya, lain kali kalau ada orang kasih kamu hadiah, kamu harus tanya Mama dulu. Ngerti?""Tapi Bibi Devina bukan orang luar kok!" Anya memiringkan kepalanya. "Bibi Devina bilang dia teman baik Papa, juga orang yang sangat penting bagi Papa."Kalimat itu seperti sebilah pisau tajam yang menusuk dada Brielle tanpa peringatan. Brielle menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. "Dia bilang begitu?"Anya membuka bungkus permen, mengangguk ringan.Kuku Brielle sampai menancap telapak tangannya. Apakah Raka yang menyuruh Devina mendekati Anya dengan cara ini?"Mama nggak senang ya?" Anya menangkap perubahan emosi ibunya."Bukan, Mama cuma lagi mikir." Brielle memaksakan senyuman. "Anya, kalau lain kali Bibi Devina diam-diam cari kamu, kamu harus cerita ke Mama ya?"Anya mengangguk, meski
Brielle mengangguk. Kalau ada kesempatan, dia memang mau pergi.Makan siang berlangsung dengan hangat. Sorot mata Niro sesekali menampakkan rasa enggan untuk berpisah, tetapi negara sedang memanggilnya. Dia harus kembali bertugas.Selesai makan, Niro dan Brielle berjalan santai ke area parkir restoran. Niro mengantar Brielle sampai ke mobilnya, terlihat seperti ingin berbicara tetapi ragu."Kalau begitu, sampai jumpa lain kali." Brielle berhenti di depan mobil, berbalik menatap Niro.Niro terus menatap wajah Brielle. Jakun di lehernya bergerak sedikit. "Bu Brielle ...."Brielle mengedipkan mata. "Hm?"Niro menekan bibir tipisnya, lalu bertanya, "Boleh lain kali aku panggil kamu Brie?"Brielle tertegun, mendongak menatap mata dalam miliknya."Pak Niro, lebih baik panggil aku Brielle saja! Lagi pula, umur kita nggak beda jauh." Brielle tersenyum."Oke, kamu juga jangan panggil aku Pak Niro lagi, cukup panggil aku Niro."Brielle pun pamit. "Baiklah, hati-hati di jalan. Jaga dirimu baik-ba
Brielle masuk ke mobil, lalu mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Niro.[ Pak Niro, hari ini ulang tahunmu, 'kan? ]Balasan datang seketika.[ Ternyata kamu ingat? ]Dari nada tulisannya, jelas sekali terlihat keterkejutan dan kegembiraannya. Hari itu di telepon, Niro hanya menyebutkan sekali.Brielle teringat bahwa waktu itu Niro masih di markas, tetapi menyempatkan diri meminta orang lain mengirim bunga dan hadiah untuknya. Atas ketulusan itu, tentu saja Brielle harus membalasnya dengan pantas.[ Aku ingat. Kamu mau rayain gimana? ][ Bu Brielle, kamu sempat siang atau malam? ][ Malam aku harus temani anak. ]Brielle membalas dengan jujur.[ Kalau begitu, siang saja kita makan. ]Brielle melirik jam, sudah pukul 11 siang. Dia buru-buru menelepon Syahira. "Halo. Kalau aku mau kasih hadiah untuk pria, sebaiknya apa ya?""Lambert? Atau Niro? Atau Harvis itu?" Syahira langsung menyebut tiga nama."Untuk Niro. Hari ini ulang tahunnya. Waktu itu dia kasih aku hadiah, jadi aku har
Brielle membolak-balikkan laporan penelitian di ponselnya, tenggelam dalam bacaannya. Pukul 9.45 pagi, dari arah pintu lift, asisten Raka berjalan cepat menghampiri. "Bu Brielle, Pak Raka sudah menunggu di ruang rapat."Brielle tertegun. Sepertinya resepsionis sudah memberi tahu kantor pusat, jadi Raka mengirim asisten untuk menjemputnya. Brielle mengangguk dan mengikuti asisten masuk ke lift.Asisten itu tampak ingin berbicara. Setelah ragu sejenak, dia akhirnya membuka mulut. "Bu Brielle, hari ini suasana hati Pak Raka kurang baik. Nanti kalau ...."Brielle menoleh ke arahnya. Asisten itu merasa canggung, lalu berkata, "Pagi tadi Pak Raka sempat memarahi orang departemen proyek."Dalam hati, Brielle mengejek dingin. Suasana hati Raka baik atau buruk, apa hubungannya dengan dirinya? Namun, dia tetap berterima kasih, mengangguk pada asisten itu, lalu menyerahkan berkas agar dicetak dua rangkap dan dikirim ke ruang rapat.Lift berhenti di lantai kantor pusat. Pintu ruang rapat besar di
"Wah! Mama, lihat ke sana ... ada kembang api lagi!"Brielle menempelkan pipinya pada wajah kecil Anya sambil tersenyum. "Indah sekali."Pukul sepuluh malam, setelah berhasil menidurkan putrinya, Brielle duduk di sofa dengan piyama yang nyaman sambil membuka majalah medis untuk dibaca.Tiba-tiba, ponselnya berbunyi menunjukkan notifikasi pesan masuk.[ Raka: Anya sudah tidur? ]Brielle melirik layar ponsel sekilas, lalu tak membalas. Dia hanya meletakkan ponselnya terbalik di atas meja. Dari jendela seberang, langit malam dipenuhi cahaya kembang api berwarna-warni, memantulkan siluet wajah Brielle yang dingin dan tenang.Beberapa saat kemudian, ponsel kembali berbunyi. Brielle menghela napas panjang, lalu mengambilnya lagi.[ Aku punya hadiah untuknya. ]Brielle mengetik balasan singkat.[ Anya nggak butuh hadiahmu. Jangan ganggu kami. ]Setelah itu, tak ada lagi pesan masuk. Brielle merasa dunia kembali tenang.....Sejak hari pertama tahun baru hingga hari keempat, Brielle membawa An