Share

Bab 9

Penulis: Ayesha
Devina terpaku. Dia mengira akan melihat sosok Brielle yang gugup dan kelabakan. Namun di luar dugaannya, Brielle melangkah mantap menuju piano tanpa ragu sedikit pun.

Devina terkejut. Brielle bisa bermain piano?

Padahal dia bahkan tidak lulus kuliah. Dia hanyalah seorang ibu rumah tangga yang tidak punya kemampuan apa pun.

Tatapan Raka jatuh pada sosok yang kini telah duduk anggun di depan piano. Sorotan cahaya memantul di wajah tampannya, menciptakan kesan rumit yang sulit ditebak.

Di bawah lampu sorot yang lembut, Brielle duduk diam di depan piano dengan anggun.

Ketika jemarinya tanpa sengaja menyentuh tuts dan menghasilkan nada pertama, semua orang yang hadir seketika berpikiran sama. Sepertinya mereka semua telah meremehkan kemampuan Nyonya Pramudita ini sejak awal!

Entah sejak kapan, jari Devina mencengkeram sandaran kursi dengan kuat. Sosok wanita di atas panggung yang sedang memainkan piano itu, seakan menjadi duri tajam yang menusuk langsung ke dadanya.

Tidak mungkin ....

Selama beberapa tahun ini, Brielle sempat membenci piano. Namun kemudian dia menyadari, yang dia benci sebenarnya bukanlah piano itu sendiri, melainkan wanita si pemain piano itu. Melodi piano ini begitu indah, lalu kenapa dia harus menghindarinya?

Hidupnya masih panjang dan dia butuh musik untuk menemani hari-harinya. Karena itu, dia bukan hanya mempelajarinya, tetapi juga sangat mahir. Meskipun tidak bisa menyaingi Devina yang berada di level internasional, permainannya cukup bagus untuk menuai pujian.

Begitu lagu berakhir, Brielle membungkukkan tubuh memberi hormat, lalu berjalan kembali ke tempat duduknya. Dia sama sekali tidak melirik Devina yang duduk di seberang, melainkan mengambil segelas anggur dan menyesapnya perlahan.

Saat itulah, sebuah suara memuji dari samping, "Hebat sekali."

Brielle mengangkat kepala dan menoleh pada tatapan Harvis yang penuh kekaguman. Bibirnya menyunggingkan senyuman, karena dia tahu bahwa Harvis memang tulus memujinya.

Namun di saat itu pula, Raka menenggak habis anggur di gelasnya, lalu berdiri dan berkata, "Sudah malam, kita pulang sekarang."

"Raka masih punya anak umur lima tahun di rumah! Kalau begitu, kita akhiri saja malam ini!" seru Jay sambil berdiri.

Raka melirik Lambert, lalu mengarahkan pandangan penuh arti kepada Devina. Lambert mengangguk, memberi isyarat bahwa dia akan mengantar Devina pulang.

Adegan itu tertangkap jelas oleh Brielle yang sedang mengambil tasnya. Tatapannya menyapu ke arah Devina. Wajah cantik itu tampak manja dan jelas menikmati semua pengaturan yang diberikan Raka padanya.

Brielle bangkit sambil membawa tas dan berkata kepada Harvis, "Pak Harvis, sampai jumpa."

"Baik, sampai bertemu di lain waktu," jawab Harvis sambil mendorong kaca matanya yang berbingkai emas dan tersenyum.

Di depan pintu, Brielle membuka pintu kursi penumpang depan dan duduk. Raka langsung menginjak pedal gas, mobil melesat ke arah jalan utama di bawah bukit.

Jantung Brielle terasa sedikit menegang. Dia menoleh dan melirik Raka, menyadari bahwa suasana hati pria itu sedang tidak baik.

Apa karena hari ini dia tidak membiarkan kekasih Raka mempermalukannya? Atau karena penampilannya hari ini membuat Devina kehilangan sorotan?

Brielle malas menebak. Saat ini yang dia inginkan hanyalah pulang dan beristirahat dengan tenang. Untuk ke depannya, dia akan berusaha sebisa mungkin menghindari kegiatan di lingkungan sosial Raka.

Dua hari berikutnya, Raka nyaris tidak terlihat di siang hari. Sementara Brielle menghabiskan seluruh waktunya untuk menemani putri mereka.

Pukul tiga sore, Raka masuk ke rumah di tengah gerimis. Dia melepaskan mantel yang sedikit basah dan menyerahkannya pada pembantu, lalu berjongkok hendak mengangkat putrinya.

Anya sedang asyik bermain. Dia hanya menoleh sambil berseru manis, "Papa pulang!"

Raka mendekat hendak mencium pipinya, tetapi Anya segera mendorong wajahnya, "Papa jangan cium aku, rumah kecilku mau runtuh nih!"

Brielle menoleh. Di bawah cahaya lampu, kerah baju Raka tampak berbekas samar warna lipstik, tepat di bawah jakunnya. Sepertinya ada yang menempel manja di dadanya dan tidak sengaja meninggalkan jejak itu.

"Sayang." Raka tertawa tak berdaya sambil mengusap kepala putrinya, lalu bangkit dan naik ke lantai atas.

Pukul setengah enam, seorang pelayan datang memberi tahu Brielle bahwa sepuluh menit lagi, seluruh keluarga akan pergi makan di luar.

Restoran yang dituju adalah sebuah restoran Nusantara kelas atas di pusat kota. Perayaan Natal baru saja berlalu, tetapi suasana meriah masih terasa kuat di sepanjang jalanan. Semua anggota keluarga tampak bersemangat untuk keluar bersama.

Sesampainya di restoran, Anya duduk manis di pangkuan Rakas ambil menoleh ke sekeliling dengan penasaran. "Papa, Bibi Devina, aku lihat Bibi Devina!" serunya sambil menunjuk ke suatu arah.

Brielle mengikuti arah jari putrinya. Di dekat jendela, terlihat seorang wanita yang sedang berdiri sambil mengambil tas. Siapa lagi kalau bukan Dvina?

"Devina? Wah, kebetulan sekali, kamu juga makan di sini?" Meira menyapa dengan nada senang.

"Benar-benar kebetulan! Bibi, kalian juga datang ke sini?" Devina pura-pura terkejut.

"Kamu mau pergi?" tanya Meira.

"Tadi temanku telepon katanya nggak bisa datang, jadi aku memang baru saja mau pulang." Setelah berkata demikian, Devina melambaikan tangan pada Anya. "Anya, sampai jumpa ya, nanti Bibi ajak kamu beli camilan enak, mau nggak?"

"Bibi Devina, jangan pergi!" Anya meraih tangan kecilnya dan memanggil dengan sedikit panik.

"Devina, kami juga baru saja sampai. Gimana kalau kamu makan sama kami saja?" Meira ikut menahan kepergiannya.

Brielle memandangi adegan itu dengan tenang. Orang lain mungkin tidak melihatnya, tetapi Brielle melihatnya dengan jelas. Devina memang sengaja datang lebih awal ke restoran ini dan sengaja berpura-pura akan pergi saat mereka datang. Bahkan, dia mengenakan riasan yang sangat sempurna.

Apakah ini rencana Raka?

Mengatur agar kekasihnya muncul dan "kebetulan" bergabung dengan keluarganya untuk makan malam? Betapa niatnya.

"Nggak usah, Bibi. Kalian sedang makan keluarga, aku nggak enak ikut mengganggu," ucap Devina sambil tersenyum.

Namun, Emily ikut bersuara, "Karena sudah ktemu di sini, makan bareng saja! Tinggal tambah satu kursi, bukan masalah besar."

"Gabung saja," kata Raka akhirnya.

Barulah kali ini Devina tidak menolak. Dia mengangguk sambil berkata, "Belakangan ini aku cukup sibuk, belum sempat menjenguk Bibi dan Nenek, kalau begitu kita makan bersama saja, ya!"

Brielle melihat bagaimana Devina dengan mudahnya bergabung dalam makan malam ini. Dia menyikapinya dengan tenang. Saat duduk, Devina memilih posisi di antara Meira dan Emily. Di sebelah Raka duduk Anya, lalu Brielle di samping Anya, dan di samping Brielle duduk seorang pelayan yang bertugas mendampingi Emily.

"Sudah lama kita nggak makan di luar begini. Entah ada menu baru apa sekarang di restoran ini," kata Meira sambil melihat sekeliling.

Devina mengangkat tangan memanggil pelayan dan meminta buku menu. Dengan sabar, dia bertanya satu per satu mengenai menu baru apa saja yang tersedia. Sesi pemesanan pun berlalu dan akhirnya daftar makanan disepakati bersama oleh Devina dan Meira.

Anya sedang bermain dengan serius. Brielle duduk tenang sambil memegang cangkir teh, matanya menatap lembut ke arah putrinya yang sedang asyik bermain.

"Devina, belakangan sibuk apa saja?" tanya Emily dengan nada ramah.

"Aku sedang sibuk mengurus persiapan konser tunggal di dalam negeri, juga urusan-urusan di perusahaan," jawab Devina.

Meira memuji, "Sejak kenal Devina, aku memang selalu kagum. Masih muda, tapi sudah bisa urus perusahaan dan konser juga. Waktu itu aku juga lihat banyak sekali iklan yang kamu bintangi. Bagus, anak muda memang harus punya semangat dan ambisi."

Namun begitu kata-kata itu meluncur, Meira baru tersadar bahwa Brielle juga sedang duduk di sana. Tatapannya beralih ke arah Brielle dan di matanya terlihat jelas ketidaksukaannya.

Seorang gadis yang bahkan tidak menyelesaikan kuliah dan hidup sepenuhnya bergantung pada suaminya, bagaimana mungkin bisa dibandingkan dengan Devina?
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nyonyah Farid
kok ada manusia goblok kayak dia ,kenapa gak mati saja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Bukan Mantan Biasa   Bab 566

    "Nek, jangan alihkan topik. Pokoknya soal rujuk, aku orang pertama yang nggak setuju." Raline mengangkat tangan tinggi-tinggi.Emily mendengus. "Memangnya perlu persetujuanmu? Ini urusan kakakmu dan Brielle.""Itu makin nggak mungkin. Kakak nggak pernah menjilat ludah sendiri. Dia nggak cinta Brielle. Masa kalian semua nggak bisa lihat?" Raline mencoba menyadarkan neneknya."Sudahlah, baru pulang kok langsung bikin nenekmu kesal? Pergi mandi sana. Seluruh badanmu bau parfum." Meira kurang suka dengan bau parfum campuran di tubuh putrinya.Raline menjulurkan lidah. "Aku bilang yang sebenarnya. Kakak akhir-akhir ini sering kencan sama Kak Devina di Negara Danmark. Kalian malah suruh dia pulang buat rujuk. Mana mungkin!""Kamu yakin kakakmu dan Devina benar-benar kencan?" Emily langsung menoleh dan bertanya."Tentu saja, Kak Devina sendiri yang bilang ke aku. Mana mungkin bohong." Raline berkata dengan penuh percaya diri.Meira memberi isyarat dengan mata kepada putrinya, agar jangan teru

  • Bukan Mantan Biasa   Bab 565

    "Di perjalanan, Anya meletakkan pialanya di samping dan kembali bermain dengan mainannya. Brielle menoleh ke belakang dan melihat putrinya sama sekali tidak terlalu menggantungkan diri pada rasa bangga itu. Dia malah merasa sedikit lega, anak-anak seharusnya tetap memiliki sifat polos dan alami mereka.Kediaman Keluarga Pramudita.Baru saja selesai menonton siaran langsung, Meira dan Emily sangat gembira. Melihat Anya yang masih kecil bisa tampil tenang dan stabil di panggung, mereka merasa bangga luar biasa."Kenapa Devina juga ada di sana? Kenapa Raka mengundang dia untuk jadi juri?" tanya Emily dengan nada penuh keluhan.Meira juga bingung. Dia pikir Devina masih ada di Negara Danmark! Terakhir kali, putrinya juga bilang kalau Devina sedang berada di sana. Jadi, apakah benar Raka sengaja memanggil Devina pulang hanya demi menjadi juri lomba cucunya?"Aku juga nggak tahu. Tapi Anya tampil bagus sekali. Nanti mungkin saja ...."Namun ucapan Meira belum selesai, langsung dipotong oleh

  • Bukan Mantan Biasa   Bab 564

    "Terima kasih, Vivian." Anya menerima bunga itu dengan senang hati. Dua gadis kecil itu bahkan saling berpelukan dengan gembira."Anya tampil sangat hebat malam ini," puji Lambert. "Paman bangga padamu.""Terima kasih, Paman Lambert," jawab Anya sopan.Brielle juga mengangguk pada Lambert dengan penuh syukur. "Terima kasih atas bunganya."Tatapan Lambert melembut saat melihat Brielle. "Nggak perlu berterima kasih, itu sudah seharusnya." Lalu, dengan nada yang penuh makna, dia menambahkan, "Di mataku, Anya dan Vivian seperti anak-anakku sendiri."Brielle belum sempat menjawab ketika suara laki-laki yang rendah dan dalam terdengar dari belakang。 "Lambert, kapan kamu pulang?"Brielle menoleh. Raka berdiri di sana, jelas mendengar kalimat Lambert barusan.Lambert tersenyum kecil. "Minggu lalu."Saat itu, suara ketukan sepatu hak tinggi terdengar nyaring melangkah mendekat. Dalam balutan gaun putih elegan, Devina berjalan dengan wangi parfum khasnya, aroma yang dulu pernah Brielle cium di p

  • Bukan Mantan Biasa   Bab 563

    Seiring musik pengiring mengalun, jari-jari kecil Anya menari lincah di atas tuts hitam-putih. Alunan nada mengalir mulus dan merdu memenuhi seluruh aula.Brielle diam-diam mengikuti ritme dan menghitung ketukan putrinya. Dia mendapati bahwa kali ini Anya bermain sangat stabil. Malah Brielle sendiri yang tegang hingga telapak tangannya sedikit berkeringat.Di meja juri, Devina sedikit memiringkan kepala, tatapannya jatuh pada Anya. Di layar besar, muncul wajah Devina yang menatap lembut ke arah gadis kecil itu.Anya tampil stabil hingga akhir. Begitu lagu selesai, aula langsung dipenuhi tepuk tangan meriah. Anya membungkuk manis ke arah para juri, dengan senyum percaya diri menghiasi wajah mungilnya.Pembawa acara berjongkok sambil tersenyum. "Terima kasih kepada Anya atas penampilan yang luar biasa. Selanjutnya, silakan para juri memberikan komentar dan skor."Para juri satu per satu memberikan nilai sangat tinggi. Ketika giliran Devina, dia menerima mikrofon dan berkata lembut, "Perm

  • Bukan Mantan Biasa   Bab 562

    Melihat Raka sengaja menahannya hanya untuk mengatakan hal itu, Brielle merapikan berkas lalu bersiap pergi. Raka menatap sosoknya yang keluar dari ruangan. Mengingat Anya akan naik panggung untuk tampil, mata Raka memancarkan sedikit rasa bangga sebagai seorang ayah.....Besok adalah hari Sabtu, hari di mana Anya akan tampil untuk kompetisi. Demi itu, Brielle sengaja mencari tahu daftar para juri. Dari daftar yang diberikan stasiun TV, dia tidak melihat nama Devina, dan hal itu membuat Brielle sedikit mengembuskan napas lega.Dia tidak ingin putrinya kembali berhubungan dengan wanita itu. Sekalipun dia bisa memberi tahu putrinya bahwa Devina adalah orang ketiga dalam hubungan ayahnya, hal itu tetap tidak akan mengubah apa pun.Malam harinya, Brielle kembali memberikan sedikit persiapan mental untuk putrinya. Melihat Anya yang wajahnya penuh antusias, sama sekali tidak tampak gugup atau takut panggung, Brielle pun ikut merasa lega.Sabtu pagi.Di belakang panggung studio TV, sudah dat

  • Bukan Mantan Biasa   Bab 561

    Senyum di sudut bibir Brielle mendadak membeku selama beberapa detik."Papa pasti juga sangat ingin melihat aku tampil. Mama, ayo kita cepat pulang buat latihan piano!" Anya menarik tangan ibunya menuju mobil.....Setibanya di rumah, Anya mencuci tangan, makan sedikit buah, lalu langsung duduk di depan piano untuk berlatih. Brielle menemani di sampingnya, memberikan arahan. Ini adalah pertama kalinya putrinya tampil di televisi. Tidak peduli dapat juara atau tidak, berani naik panggung saja sudah luar biasa.Brielle menatap wajah kecil Anya yang fokus memainkan piano, hatinya campur aduk antara merasa bangga dan juga sentimental.Setelah menyelesaikan satu lagu, Anya mengangkat kepala dan bertanya penuh harapan, "Mama, aku mainnya bagus nggak?""Bagus sekali." Brielle mengusap lembut kepala putrinya. "Kalau kita lebih banyak latihan, nanti saat tampil kamu bisa bermain lebih baik.""Ya!" Anya mengangguk penuh semangat, lalu melanjutkan latihan.Hari-hari berikutnya, Anya berlatih deng

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status