Aku masih menatap Mas Syafiq. Kok ada ya cowok ganteng banget kayak gini. Dari dulu aku kemana aja ya? Pantes Yuyun sama Tuti selalu bilang aku tuh perlu kaca mata.
“Aw aw aw. Aku tahu Mas, hidungku minimalis. Tapi percuma kamu cubit. Gak bakalan mancung kayak punya kamu.”“Minimalis tapi gemesin, unik tahu. Kan, jadi enak buat diginiin.”Mas Syafiq lagi-lagi mencubit hidungku. Ya Allah, ini Mas Syafiq? Lelaki kalem yang lebih banyak diam kalau ketemu aku?“Ini Mas Syafiq bukan sih? Cowok yang Ambar kenal orangnya pendiam dan kalem?” tanyaku sambil berusaha mengalihkan tangannya dari hidungku.“Bukan.”“Terus siapa?”“Suami kamu.”Blush. Pipiku menghangat, ah pasti kayak kepiting rebus.Cup.Mataku melotot, pipiku dicium.“Sudah sana ganti baju! Kita sholat.”“Mas Syafiq belum sholat isya?”“Sholat sunah pengantiAku menggeliat dan merasakan sebuah lengan yang memelukku. Bisa kurasakan kulit kami bersinggungan. Ya Allah, aku masih tak percaya bahwa aku dan dia sudah ....Ah, pipiku menghangat. Aku pikir malam pertama kami bakalan kayak di novel-novel yang bercerita tentang pernikahan karena perjodohan. Dimana pasangan suami istri menjalani malam pertamanya dalam suasana dingin, tidur saling memunggungi atau salah satu tidur di sofa. Ternyata malam pertama yang aku alami sungguh panas, mendebarkan dan sakit. Ya sakit, tapi juga enak. Mbuhlah. Pokoknya gitu.Aku membalikkan badan kemudian menatap wajah seseorang yang masih terlelap. Dia bahkan mendengkur halus. Aku tersenyum melihat wajah damainya. Aku masih tak percaya jika jodohku adalah dia. Jodoh yang tidak disangka.“Kenapa?” Suaranya terdengar serak.“Hah? Mas udah bangun?”“Udah dari tadi. Tapi sengaja gak buka mata biar yang lain bangun dulu.”“Maksudnya?&rdq
Usia pernikahanku sudah berjalan satu minggu. Selama satu minggu pula Mas Syafiq bolak balik Gumilang-Purwokerto. Aku sungguh kasihan dengan Mas Syafiq kalau setiap hari harus menempuh jarak kurang lebih satu setengah sampai dua jam. Bolak balik lagi. Tapi aku juga gak tega meninggalkan Ibu begitu saja.Rupanya apa yang kurasakan juga dirasakan oleh Ibu. Dengan bijak beliau menasehatiku untuk mengikuti Mas Syafiq kembali ke Purwokerto. Ibu meyakinkanku bahwa Ibu akan baik-baik saja karena ada Miko dan Saras. Ibu juga berjanji tidak akan membuka warung lagi karena warung akan dijadikan bengkel oleh Miko. Sewa tempat untuk bengkelnya sudah habis jadi Miko memutuskan merenovasi warung menjadi bengkel.Hari ini dengan penuh keharuan aku dan Mas Syafiq pamit pada Ibu, adik-adikku dan juga keluarga Pakdhe. Meski Purwokerto dekat namun tetap saja aku sedih karena tidak akan setiap waktu bersama mereka. Sebelum kami pamit, Ibu memberikan banyak nasehat untuk kami. Tak lupa d
"Kecapnya banyak banget Dek? Mau nyoba semua merek?”“Bukan Mas. Lihat nih, ‘kan ada kecap asin, kecap manis, ada saus tiram dan teriaki.”“Ooo. Mas yang penting kamu masak dan rasanya enak.”“Dasar tukang makan.”“Iyes. Apalagi makan kamu.”Aku mencubit perut Mas Syafiq. Dia sedikit mengaduh tapi tetap tertawa. Suwer ewer ewer deh. Beneran kejutan banget setelah tahu sifat asli suamiku. Setelah membayar kami membawa semua belanjaan ke mobil.“Mau makan di area foodcourt atau nyari di luar?”“Foodcourt aja. Sekalian nanti balik lagi,” ucapku dengan binar mata bahagia.“Pasti mau belanja, ‘kan?” ucapnya sambil mencubit hidungku.“Iya, soalnya udah punya suami ya manfaatin aja.”“Harus, percuma suami kerja capek-capek tapi bininya gak mau make. Asal jangan boros ya?”“Siap Bos,” ucapku sam
Aku sedang bercengkrama dengan Tuti dan Yuyun. Sementara Joko, Rafi dan Mas Syafiq sedang berada di ruang tamu. Setiap minggu, kami menyempatkan mengunjungi Ibu. Kalau sempat ya menginap seperti sekarang ini. Tadi malam kami tidur disini. Niatnya kembali ke Purwokerto besok senin.“Gimana?” tanya Tuti.“Gimana apanya?”“Jadi istrilah.”Aku tersenyum, “Menurutmu?”“Ck. Udah gak nangis-nangis lagi, ‘kan?”“Ah, kamu Tut,” ucapku dengan menahan malu.“Hahaha. Kayaknya langsung buka segel juga ini hahaha.”“Tutiii,” rengekku. Ah, aku jadi malu.“Buka segel apa? Emangnya Mbak Ambar habis beli apa sih? Baju?”“Astaga! Aku lupa masih ada satu gadis polos. Kalau yang ini lagi suka volos di kamar. Hahaha.”“Tutiiii.” Aku memukul lengan Tuti keras. Tuti sendiri hanya tertawa saja. Puas memukuli Tuti, aku
Bisik-bisik para mahasiswi didekatku bisa kudengar dengan jelas. Aku menahan diri untuk tidak melabrak mereka. Apa maksud mereka? Ghibahin orang pas di depan orangnya. Aku sungguh gelisah. Rasa minder dan rendah diri belakangan ini sering muncul. Ditambah lagi ulah Linda yang setiap hari senin pagi selalu nebeng mobil kami. Linda sudah tahu jika setiap sabtu dan minggu kami akan menginap di rumah Ibu dan akan kembali pada senin pagi. Aneh, sudah empat kali dia nebeng. Aku jadi semakin curiga dengan tingkah Linda. Seperti pagi ini, itulah kenapa aku berakhir di perpus jurusan Fisika. Karena Mas Syafiq sengaja membawaku ketika Linda lagi-lagi nebeng untuk kelima kalinya. Saat aku masih merenung, suara seseorang mengalihkan perhatianku.“Loh, Mbak Ambar masih disini?”“Iya, Bu Mala.”“Ngapain baca-baca Mbak, toh Mbak Ambar bukan mahasiswa.”Aku cuma tersenyum, dalam hati menggerutu. Memangnya yang boleh belajar hanya mahasiswa saj
Aku sedang bercermin dan melihat penampilanku. Perfect. Pelukan hangat kurasakan dari seseorang. Gesekan lembut hidung bak papan luncur pada pipiku membuatku bergetar.“Cantik.”“Mas juga ganteng.” Kami saling menatap lewat pantulan cermin. Sesekali Mas Syafiq menyapukan hidungnya pada pipiku sedangkan aku menyentuh pipinya dengan tanganku.“Kita berangkat sekarang yuk, kalau enggak aku bakalan khilaf dan makan kamu. Aw!” Mas Syafiq mengaduh karena perutnya aku cubit.“Udah ayok berangkat.”“Iya istriku. Ayok berangkat.”Malam ini kami mendatangi resepsi pernikahan putri Pak Eko, salah satu dosen senior di jurusan Fisika. Tadinya aku tak ingin ikut, tapi setelah dipikir-pikir kenapa aku harus takut dengan nyinyiran Bu Mala maupun Linda? Aku Ambar ya. Wanita yang sejak kecil sudah terdidik dengan kehidupan yang keras. Sampai di kediaman Pak Eko, aku merasa takjub. Rupanya orang kaya konsep
Aku sedang berbaring di atas sofa, lelah rasanya. Beberapa hari ini aku mudah merasa lelah dan mengantuk.Plak. Pukulan kasar mampir ke bahuku. Aku menatapnya kemudian memilih memejamkan mata.“Kita itu datang buat bertamu Ambar. Malah kamu tidur terus.”“Lemes Tut.”“Kenapa kamu? Lembur terus ya?”“Ish ... apaan sih Tut?”“Wkwkwk. Oh iya kamu tahu gak info terbaru di desa.”“Apa?”“Linda sama Syam batal nikah?”“Serius?”“Iyup.”“Kenapa?”“Syam yang mundur, alasannya karena keluarga Linda terlalu banyak menuntut.”“Oh.”“Cuma oh aja.”“Lah, ngapain aku kepo. Udah bukan urusanku.”“Iya juga sih. Urusanmu sekarang ati-ati sama Linda. Dia kayaknya ngincer suami kamu.” Tuti duduk di sampingku, Yuyun sendiri lagi di kamar mandi
Aku hanya duduk diam di salah satu kursi. Aku sudah menjelaskan bagaimana aku bisa berada di ruangan yang sama dengan Syam. Mas Syafiq sedang bicara dengan Pak Eko, Bu Mala, Syam dan Linda. Entah apa yang sedang mereka bicarakan aku tak begitu dengar.“Gak bisa dong Pak, udah jelas mereka selingkuh kok dibiarkan. Saya gak terima!”“Jika Bu Mala sampai membocorkan, saya tak segan memberi peringatan pada Bu Mala. Juga kamu Mbak Linda. Dan kamu juga Syam. Masalah ini akan kita selesaikan baik-baik,” terang Pak Eko.“Gak bisa dong Pak ... ini ....”“Bu Mala mau saya umbar aib suami Bu Mala, juga?” Mas Syafiq berkata dengan tenang.“Pak Syafiq!” bentak Bu Mala.“Saya hanya butuh waktu untuk mengambil keputusan. Saat ini HP saya dan Ambar sedang rusak. Jadi, saya tidak ingin gegabah.”“Baik, kita lanjutkan setelah HP mereka sudah diperbaiki. Saya mohon jangan sampai berita ini