Aku sedang berbaring di atas sofa, lelah rasanya. Beberapa hari ini aku mudah merasa lelah dan mengantuk.
Plak. Pukulan kasar mampir ke bahuku. Aku menatapnya kemudian memilih memejamkan mata.“Kita itu datang buat bertamu Ambar. Malah kamu tidur terus.”“Lemes Tut.”“Kenapa kamu? Lembur terus ya?”“Ish ... apaan sih Tut?”“Wkwkwk. Oh iya kamu tahu gak info terbaru di desa.”“Apa?”“Linda sama Syam batal nikah?”“Serius?”“Iyup.”“Kenapa?”“Syam yang mundur, alasannya karena keluarga Linda terlalu banyak menuntut.”“Oh.”“Cuma oh aja.”“Lah, ngapain aku kepo. Udah bukan urusanku.”“Iya juga sih. Urusanmu sekarang ati-ati sama Linda. Dia kayaknya ngincer suami kamu.” Tuti duduk di sampingku, Yuyun sendiri lagi di kamar mandiAku hanya duduk diam di salah satu kursi. Aku sudah menjelaskan bagaimana aku bisa berada di ruangan yang sama dengan Syam. Mas Syafiq sedang bicara dengan Pak Eko, Bu Mala, Syam dan Linda. Entah apa yang sedang mereka bicarakan aku tak begitu dengar.“Gak bisa dong Pak, udah jelas mereka selingkuh kok dibiarkan. Saya gak terima!”“Jika Bu Mala sampai membocorkan, saya tak segan memberi peringatan pada Bu Mala. Juga kamu Mbak Linda. Dan kamu juga Syam. Masalah ini akan kita selesaikan baik-baik,” terang Pak Eko.“Gak bisa dong Pak ... ini ....”“Bu Mala mau saya umbar aib suami Bu Mala, juga?” Mas Syafiq berkata dengan tenang.“Pak Syafiq!” bentak Bu Mala.“Saya hanya butuh waktu untuk mengambil keputusan. Saat ini HP saya dan Ambar sedang rusak. Jadi, saya tidak ingin gegabah.”“Baik, kita lanjutkan setelah HP mereka sudah diperbaiki. Saya mohon jangan sampai berita ini
Aku tak percaya, setelah hampir satu tahun menghilang lelaki itu kini muncul dihadapanku. Aku meminta Mbok Iroh menemaniku. Lalu, tatapan tajam kuarahkan pada Ilo.“Mau apa kamu?!” tanyaku tajam.“Mbar, aku kangen sama kamu. Aku ingin ketemu kamu.”Aku tertawa miris, “Kamu tahu rumah aku dari siapa?”“Itu gak penting, Mbar. Yang penting aku datang. Aku kemarin ke rumah kamu. Tapi kata ibu kamu, kamu udah nikah.” Aku melihat tatapan kecewa pada mata Ilo.“Jadi bener, kamu milih suami kamu karena dia kaya. Lebih kaya dari aku.”“Bukan! Aku milih dia karena dia pilihan ibuku.”“Kamu matre Mbar!”“Aku matre? Kalau aku matre aku gak mungkin bayarin utang kamu. Kalau aku matre aku gak mungkin bayarin denda kamu. Kalau aku matre gak mungkin aku yang ganti rugi sebab kamu merusak perabotan mahal milik majikan kamu,” ucapku dengan amarah.“Oh, jad
Sebuah tangan menyentuh bahuku. Aku menoleh dan tersenyum ke arah Joko.“Kalau rindu, diangkat dong teleponnya. Bales juga chatnya. Kamu gak kasihan sama suami kamu.”Aku hanya diam malas menanggapi. Kepalaku terlalu pusing soalnya.“Kalau sayang ya ngomong. Gengsi kok digedein.”“Apaan sih, Jok.”“Kamu yang kenapa? Wajahmu pucet banget? Nangis terus kamu?”“Gak.”“Halah, bohong dia Jok. Dari kemarin dia nangis terus.”Aku menatap sinis Tuti yang baru datang bersama Yuyun.“Apa? Emang gitu kok.”Aku memilih menarik selimutku hingga menutup dada. Ya Allah rasa mual itu datang lagi.“Kamu kok gak mau dengerin Syafiq ngomong? Denger ya Ambar, pola pikir laki-laki itu beda sama perempuan. Kita itu mikir pakai otak bukan pakai perasaan apalagi berandai-andai.”“Udah ngomongnya? Berisik tahu!”Joko terlihat membu
*Syafiq*Aku membuka surat cinta yang terselip diantara tumpukan buku milikku. Lagi. Siapa sih pelakunya? Benar-benar orang tak beradab dan tak punya malu. Bisa-bisanya dia mengirimiku surat cinta padahal aku yakin dia tahu kalau aku sudah mempunyai istri. Aku meremas surat itu dan memasukkannya ke dalam laci. Pokoknya aku harus mencari tahu ini ulah siapa.Dua hari ini aku sibuk mencari bukti bersama Rafi. Ada rasa bersalah pada Ambar karena waktu itu aku malah terkesan cuek dan tak percaya padanya. Padahal begitu kami pulang. Aku segera menghubungi Elang, meminta bantuannya membenarkan ponselku dan Ambar guna mencari bukti disana. Elang itu jaksa dan kenalannya banyak. Pasti dia bisa bantu. Agh, aku memutuskan keluar untuk mencari udara.Bruk.“Duh, maaf Pak Syafiq. Saya gak sengaja.”“Gak papa, Bu Tria.”Aku membantu Bu Tria mengambil beberapa berkas dan buku batik besar yang sepertinya berisi perencanaan atau anggaran dana. S
Aku, Rafi dan Syam sedang menuju ke rumah dengan mobilku. Tak ada satupun yang berbicara. Sampai dihalaman rumah aku melihat ada motor yang terparkir. Aku langsung mengucap salam dan melihat Ambar sedang menangis dan ditenangkaan oleh Mbok Iroh. Sedangkan di depannya ada seorang laki-laki. Mungkinkah dia mantan pacar Ambar?“Dek ...,” panggilku.“Hiks ... hiks. Wa'alaikumsalam, Mas. Mas lihat aku, ini aku selingkuh lagi. Sama mantanku. Kemarin kamu dengar berita aku selingkuh sama mantan tunanganku, ‘kan? Sekarang kamu lihat aku sama mantan pacarku. Hiks ... hiks ... hahaha.”Deg. Hatiku bagai dihatam godam ketika Ambar langsung menyalahkan dirinya. Padahal aku sama sekali tak berpikiran ke arah sana.“Dek ...,” panggilku lembut.“Cukup Mas, aku udah gak kuat. Mantan babu ini udah gak kuat. Ambar udah gak kuat jadi istri Mas Syafiq.”Aku kaget mendengar ucapan Ambar. Aku langsung mendekatinya, hendak
*Ambar*Aku menghirup aroma wangi bercampur bau ketek yang tiga hari ini sangat kurindukan. Asem ... tapi aku suka. Beberapa hari ini rasanya berat sekali. Aku bahkan hampir menyerah. Syukurlah semuanya sudah diluruskan. Aku dan Mas Syafiq sudah saling mengungkapkan isi hati dan sudah saling memaafkan. Aku memilih mendusel ke arah ketek Mas Syafiq.“Wangi ya?”“Asem.”“Kalau asem kenapa malah ndusel?”“Tahu nih, dikasih pelet ya Mas?”“Hooh. Pelet cinta,” ucapnya sambil mencubit hidungku.“Maaas. Sakit ... ih,” rengekku manja.“Habis hidung kamu gemesin.” Lihatlah dia malah tertawa, aku mengerucutkan bibirku.“Gak usah manyun gitu ah, nanti Mas khilaf.”“Mana khilafnya?”“Nantang mas, nih?”“Coba saja!” tantangku namun pipiku menghangat. Cup. Kecupan panas dan memabukkan mampir di bibirku. Mas
Aku, Ibu dan Umi sedang bersantai di teras belakang rumah sambil bercerita. Umi hampir seminggu sekali juga pulang. Maklumlah, calon cucu pertama makanya beliau sangat antusias.“Coba Umi udah pensiun. Selama kamu hamil umi disini aja nemenin kamu.”“Terus suami kamu gimana Kinan?”“Hahaha. Sejujurnya aku dilema In. Satu sisi suami, satu sisi calon cucu pertama. Aku jadi galau.”“Hahaha.”Kedua sahabat itu masih bercerita. Aku hanya menjadi pendengar dan kadang menyahut. Sesekali aku mengurut punggungku. Pegel.“Sakit , Nduk?”“Bengkek, Bu.”“Lagian, kamu makan terus makin melebar, ‘kan badannya.”“Iya. Mana hidung Ambar jadi makin minimalis ini? Gara-gara pipinya makin chubby.”“Hahaha. Yang penting Akbarnya suka. Eh, Nduk. Kamu kasih pelet apa sama Akbar? Bucin banget dia sama kamu.”Aku tertawa, gak mungkin aku bi
*Syafiq*Flashback 14 tahun yang lalu.Aku dan beberapa sahabatku sedang menunggu bus menuju ke rumah kami masing-masing. Sudah dua tahun ini, aku mondok di Al-Hikam. Biasanya aku pulang sebulan sekali. Tapi sejak kelas tiga, aku ijin kepada Abah Azzam, untuk pulang seminggu sekali. Mengingat kondisi Eyang putriku yang sedang sakit. Dan alhamdulillah, Abah mengizinkan.“Fiq, bus ke tempat kamu tuh!” ucap Zidan salah satu temanku.“Eh, iya. Duluan semua assalamu'alaikum.”“Wa'alaikumsalam.”Aku segera memasuki bus. Sampai di dalam aku mencari kursi kosong. Wow, tumben penuh. Lalu kulihat ada dua bangku kosong dan segera menuju ke sana. Sengaja aku duduk di dekat jendela. Aku memang paling suka duduk di dekat jendela agar bisa menikmati pemandangan di luar.Aku merasakan kursi di sebelahku ada yang menduduki. Refleks aku menoleh.Deg. Tampak, seorang gadis manis tersenyum ke arahku.“Maaf Mas, ikut