Share

Bukan Mauku Menjomlo
Bukan Mauku Menjomlo
Penulis: Amih Lilis

Jomlo 1

Hari sudah lumayan larut saat aku terpaksa harus pergi ke minimarket terdekat, dikarenakan si bulan yang datang saat stok pembalut tinggal satu. 

Entahlah. Aku tidak tahu, kenapa aku bisa seceroboh ini? Mungkin karena terlalu sibuk di rumah sakit, hingga aku kurang memperhatikan kebutuhanku sendiri. 

Hari ini pun sebenarnya aku sudah sangat lelah dan ingin segera terlelap. Apalagi hujan juga sangat mendukung sekali agar tubuh ini segera masuk selimut dan menyambut mimpi. 

Namun, sekali lagi karena tamu bulanan yang hadir tanpa kabar. Aku pun terpaksa menahan kantuk demi untuk membeli pembalut tanpa sayap. 

Ingat! Tanpa sayap! Kalau pake sayap aku takut dibawa terbang!

Dugh! 

"Aduh!" 

Saat sedang mengecek kelengkapan belanjaanku sambil berjalan keluar minimarket. Tak sengaja, aku menabrak seseorang karena terus menunduk sedari tadi. 

"Maaf ... maaf, saya--"

"Hasmi?"

Aku yang awalnya berniat minta maaf pun langsung menegang seketika. Saat mata ini akhirnya bersirobok dengan orang yang aku tabrak barusan. 

"Benar! Kamu Hasmi, kan? Astaga! Kamu apa kabar?" Berbeda denganku yang menegang dengan degup jantung yang bertalu cepat, pria itu terlihat riang menyapa. 

Riang? Tentu saja! Aku yakin pria ini pasti sangat bahagia sekali sekarang, karena bisa menemukanku lagi di sini. 

"Wah! Sekarang kamu berhijab, ya? Sejak kapan?" Refleks, aku melangkah mundur saat pria itu menjulurkan tangan ke arah kepalaku. Sebisa mungkin menjaga jarak aman dari pria bajingan itu.

Jujur saja, aku sangat takut sekali melihatnya. Aku punya pengalaman buruk di masa lalu, dengan pria ini yang sekarang berstatus 'mantan pacar' dalam hidupku.

"Jangan dekat-dekat!" seruku akhirnya, melakukan penolakan.

"Kenapa? Padahal aku kangen loh sama kamu." Seperti menemukan mainan yang lama hilang, pria itu tersenyum riang sekali.

Hatiku pun semakin bergemuruh hebat melihat senyum itu. Senyum yang sangat kuhapal dalam benak, meski tidak ingin aku ingat-ingat lagi.

"Jangan main-main, Edo! Ini tempat ramai, dan gue bisa teriak biar lo dihajar warga."

"Ramai? yakin? Coba Kamu perhatiin lagi baik-baik sekitar kamu," jawab Edo. Sukses membuat kepalaku otomatis melihat sekeliling. 

Sepi! Aku salah ternyata. Aku lupa ini sudah tengah malam, dan hari juga masih gerimis. Pastinya, orang akan memilih cepat pulang, dan merajut mimpi di suasana malam yang dingin seperti ini. 

Lalu, sekarang aku harus bagaimana? 

Apa yang harus aku lakukan untuk bisa lepas dari pria bajingan ini?

Grep!

"Akh!"

Sedang berpikir cara melarikan diri. Edo tiba-tiba mencengkram belakang hijabku, membuat aku berteriak Refleks karena rambutku pun itu terjambak oleh tangan besarnya. 

"Edo! Lepasin!"

"Lepasin apa? Hijab sama baju ini? Okeh! Dengan senang hati, Sayang."

Meronta, memukul, mencakar, sudah aku lakukan demi bisa melepaskan diri dari Edo. Namun karena beda gender, aku pun tidak bisa melawan tenaga Edo. 

Jalan terakhir yang bisa kulakukan adalah melemparkan belanjaanku ke arah wajahnya, lalu menginjak kakinya kuat-kuat saat pria itu sedikit lengah. 

Kebetulan, aku tadi juga beli minuman penghilang sakit saat haid. Jadi rasanya pasti lumayan sekali saat benda itu menimpa kepala pria titisan iblis itu.

Kerasnya botol minuman tersebut dan injakan mautku. Berhasil memberiku celah untuk kabur. Mengambil jalan sembarang arah, aku pun berusaha lari sekuat yang aku bisa, agar tidak sampai mengulang kejadian di masa lalu.

"Bangsat! Mau ke mana lo?" Edo murka melihat kepergianku.

"Berhenti, Hasmi! Dasar wanita sialan!" Dia berseru seraya menyusulku.

Tentu saja tidak aku turuti titahnya barusan. Memangnya aku bodoh!

Aku ini tidak bodoh! Hanya buta, mungkin. Buktinya dulu aku sampai tidak bisa melihat sifat asli Edo, dibalik akting mumpuninya sebagai seorang kutu buku saat mendekatiku.

Hingga akhirnya aku pun harus berakhir di tempatnya dan hampir menjadi pemuas nafsu pria itu bersama teman-temannya. Mengingat hal itu, bulu romaku meremang kembali.

"Hasmi! Berenti gue bilang!" Edo masih berteriak sambil mengejarku. 

Namun, apa aku peduli? Tidak! Alih-alih berhenti, aku malah semakin mempercepat laju kakiku agar bisa segera menghilang dari hadapannya. 

"Hasmi!"

"Edo, udahlah! Kenapa sih lo gak nyerah aja sama gue? Gue udah gak minat sama lo!" Aku mencoba menyahut di sela langkah, meski sebenarnya itu membuatku semakin kelelahan.

"Gue juga sebenarnya gak minat sama lo!"

Tidak minat, tapi terus mengejar? Jujur aku gagal paham dengan kalimat Edo barusan. 

"Lah, terus kenapa lo masih ngejar, gue?"

"Karena gue pengen liat gimana tampang merana lo, saat menghiba dibawah tubuh gue minta dipuasin!"

Sakit jiwa!

"Mampus aja lo, Edo!" Aku pun menyalak kesal, dalam laju langkah yang semakin membuatku tersiksa. 

Napasku sudah tersengal dan kakiku terasa sudah hampir lepas dari engselnya. Aku sudah tidak kuat berlari. Namun berhenti sekarang pun bukan pilihan tepat.

Aku tidak mau jadi penghangat tempat tidur Edo!

Karena itulah aku terus memaksakan diri berlari sekuat yang aku bisa, hingga akhirnya abai pada kondisi jalan dan terjatuh. 

"Nah, Kena!" Dengan cepat Edo menjambak cepolan rambutku lagi. 

"Edo, please! Gue mohon, lepasin gue! Gue kan gak pernah jahat sama Lo. Kenapa lo jahat banget sama gue?" Akhirnya aku pun menghiba, mencoba mencari belas kasihan Edo.

Semoga saja dia masih punya. Meski sedikit, itu sangat berharga untukku saat ini. 

"Gak jahat lo bilang? Heh! Lo lupa? Gara-gara elo gue sama temen-temen gue, babak belur malam itu ditangan Suami atasan lo itu!" bantah Edo menoyor kepalaku dengan tangannya yang bebas, seraya mengingatkan kejadian malam nahas, di mana aku hampir digilir olehnya dan teman-temannya. 

Pak Arjuna yang di maksud Edo. Dulu, memang Pak Arjuna dan Dokter Karina lah yang menyelamatkan aku dari niat jahatnya.

"Itukan karena lo jahat! Lo--"

Plak!

Satu tamparan pun melayang cepat ke arah pipiku, saat aku mencoba membantah ucapannya. Rasa panas pun langsung menjalar di sana, mengantarkan nyeri yang mulai merambat. 

"Gue gak jahat, Bego! Gue kan cuma mau bikin lo enak. Gak tahu terima kasih banget lo!" ucapnya kemudian tanpa dosa. 

"Tapi gue--"

Plak!

Sekali lagi. Edo menamparku di tempat yang sama, saat aku mencoba buka suara. Kali ini bukan hanya panas dan perih yang terasa, tapi juga rasa amis, yang berasal dari sudut bibirku yang robek. 

"Jangan banyak bacot! Gue gak suka dibantah."

Lalu aku harus apa? Menerima begitu saja semuanya dan pasrah dijadikan pemuas nafsu? Tentu saja tidak! Iya kan?

"Edo, gue mohon ... lepasin gue." 

Hanya menangis tergugu, yang bisa aku lakukan. Berharap dengan itu Edo akan sedikit luluh dan mau melepaskan aku karena iba.

Namun bukan rasa iba yang aku dapatkan. Malah cengkraman kuat di kedua pipi yang membuat bekas tamparan Edo semakin sakit. 

"Nanti gue lepasin. Setelah lo bikin junior gue dan temen-temen gue muntah berkali-kali."

Tuhan ... Tolong selamatkan aku.

"Udah, Diem lo! Bangun!" Edo lalu menjambakku rambutku makin kuat, demi memaksaku segera berdiri.

Setelah itu, Edo pun menyeretku paksa mengikuti langkah kakinya yang cepat. Namun aku tak serta merta menurut. Sepanjang perjalanan aku terus menghiba, dan meronta minta dilepaskan. 

Namun Edo menulikan telinga, terus menyeret aku tanpa perasaan. Aku sampai terseok-seok mengikuti langkahnya.

Cengkraman Edo yang sudah beralih ke atas lengan atasku pun sangat kuat, rasanya tulangku hampir patah karenanya. 

Sakit. Sakit sekali. Entah mana yang lebih sakit. Tubuhku atau kenyataan jika aku mungkin tidak akan bisa lepas dari Edo kali ini. Siapa yang harus kumintai tolong?

"Edo--"

"Ck, lo bisa diem gak, sih? Atau mau, gue pake di sini?!" Dia akhirnya mengeluarkan ancamannya.

"Tapi gue gak mau, Edo! Gue gak sudi harus ngelayanin lo!" 

"Nanti juga lo mau, minta nambah malah. Gue jamin hal itu!"

Pria ini memang gila. Aku yakin itu. Lalu aku harus bagaimana menghadapinya? Adakah yang mau menolongku? Adakah yang ....

Alan!

Entah ini sebuah keajaiban atau hanya kebetulan semata. Saat Edo masih sibuk menyeretku mengikuti langkahnya. Mataku tak sengaja melihat Alan keluar dari tenda pecel lele sebrang jalan, sambil memasukan dompet ke saku belakangnya.

Tentu saja, Hal itu tak aku sia-siakan begitu saja. Sekuat mungkin menahan tarikan Edo di tanganku, aku pun segera berteriak memanggil manusia beton itu.

"Aa!" 

Sayangnya, panggilanku terhalang mobil yang tiba-tiba lewat dengan kencang. Sialan!

"A--hmmfftt!"

Baru saja aku ingin berteriak kembali. Edo sudah lebih cepat membungkam mulutku, membuat teriakanku tertelan kembali kedalam tenggorokan. 

"Jangan macam-macam lo Hasmi! Gue bisa nekad kalau lo berani minta bantuan," desis Edo di sebelah telingaku. 

Persetan dengan peringatan itu. Aku tidak perduli. Bagiku ini adalah kesempantan emas. Pertolongan Tuhan yang tidak boleh disia-siakan. 

Aku pun membuka mulut dengan lebar, dan mengigit tangan Edo keras-keras hingga pria itu melolong kesakitan. Setelahnya, aku mendorongnya hingga tersungkur, lalu berlari ke arah Alan. 

"Aa?!"

Ttiiiinnn ....

Bertepatan dengan itu. Sebuah kelakson panjang terdengar memekakan telinga, disertai sinar yang yang sangat menyilaukan ke arahku. 

Aakkhhh ....

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
zkzkskskkskskd
goodnovel comment avatar
Prasetyo MayangSari
bagus crt nya ,, disini cos di app lain tamat hny tak ada extra part..moga keburu dehh
goodnovel comment avatar
M Arkanudin
kereeeenn min
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status