Hari sudah lumayan larut saat aku terpaksa harus pergi ke minimarket terdekat, dikarenakan si bulan yang datang saat stok pembalut tinggal satu.
Entahlah. Aku tidak tahu, kenapa aku bisa seceroboh ini? Mungkin karena terlalu sibuk di rumah sakit, hingga aku kurang memperhatikan kebutuhanku sendiri.
Hari ini pun sebenarnya aku sudah sangat lelah dan ingin segera terlelap. Apalagi hujan juga sangat mendukung sekali agar tubuh ini segera masuk selimut dan menyambut mimpi.
Namun, sekali lagi karena tamu bulanan yang hadir tanpa kabar. Aku pun terpaksa menahan kantuk demi untuk membeli pembalut tanpa sayap.
Ingat! Tanpa sayap! Kalau pake sayap aku takut dibawa terbang!
Dugh!
"Aduh!"
Saat sedang mengecek kelengkapan belanjaanku sambil berjalan keluar minimarket. Tak sengaja, aku menabrak seseorang karena terus menunduk sedari tadi.
"Maaf ... maaf, saya--"
"Hasmi?"
Aku yang awalnya berniat minta maaf pun langsung menegang seketika. Saat mata ini akhirnya bersirobok dengan orang yang aku tabrak barusan.
"Benar! Kamu Hasmi, kan? Astaga! Kamu apa kabar?" Berbeda denganku yang menegang dengan degup jantung yang bertalu cepat, pria itu terlihat riang menyapa.
Riang? Tentu saja! Aku yakin pria ini pasti sangat bahagia sekali sekarang, karena bisa menemukanku lagi di sini.
"Wah! Sekarang kamu berhijab, ya? Sejak kapan?" Refleks, aku melangkah mundur saat pria itu menjulurkan tangan ke arah kepalaku. Sebisa mungkin menjaga jarak aman dari pria bajingan itu.
Jujur saja, aku sangat takut sekali melihatnya. Aku punya pengalaman buruk di masa lalu, dengan pria ini yang sekarang berstatus 'mantan pacar' dalam hidupku.
"Jangan dekat-dekat!" seruku akhirnya, melakukan penolakan.
"Kenapa? Padahal aku kangen loh sama kamu." Seperti menemukan mainan yang lama hilang, pria itu tersenyum riang sekali.
Hatiku pun semakin bergemuruh hebat melihat senyum itu. Senyum yang sangat kuhapal dalam benak, meski tidak ingin aku ingat-ingat lagi.
"Jangan main-main, Edo! Ini tempat ramai, dan gue bisa teriak biar lo dihajar warga."
"Ramai? yakin? Coba Kamu perhatiin lagi baik-baik sekitar kamu," jawab Edo. Sukses membuat kepalaku otomatis melihat sekeliling.
Sepi! Aku salah ternyata. Aku lupa ini sudah tengah malam, dan hari juga masih gerimis. Pastinya, orang akan memilih cepat pulang, dan merajut mimpi di suasana malam yang dingin seperti ini.
Lalu, sekarang aku harus bagaimana?
Apa yang harus aku lakukan untuk bisa lepas dari pria bajingan ini?
Grep!
"Akh!"
Sedang berpikir cara melarikan diri. Edo tiba-tiba mencengkram belakang hijabku, membuat aku berteriak Refleks karena rambutku pun itu terjambak oleh tangan besarnya.
"Edo! Lepasin!"
"Lepasin apa? Hijab sama baju ini? Okeh! Dengan senang hati, Sayang."
Meronta, memukul, mencakar, sudah aku lakukan demi bisa melepaskan diri dari Edo. Namun karena beda gender, aku pun tidak bisa melawan tenaga Edo.
Jalan terakhir yang bisa kulakukan adalah melemparkan belanjaanku ke arah wajahnya, lalu menginjak kakinya kuat-kuat saat pria itu sedikit lengah.
Kebetulan, aku tadi juga beli minuman penghilang sakit saat haid. Jadi rasanya pasti lumayan sekali saat benda itu menimpa kepala pria titisan iblis itu.
Kerasnya botol minuman tersebut dan injakan mautku. Berhasil memberiku celah untuk kabur. Mengambil jalan sembarang arah, aku pun berusaha lari sekuat yang aku bisa, agar tidak sampai mengulang kejadian di masa lalu.
"Bangsat! Mau ke mana lo?" Edo murka melihat kepergianku.
"Berhenti, Hasmi! Dasar wanita sialan!" Dia berseru seraya menyusulku.
Tentu saja tidak aku turuti titahnya barusan. Memangnya aku bodoh!
Aku ini tidak bodoh! Hanya buta, mungkin. Buktinya dulu aku sampai tidak bisa melihat sifat asli Edo, dibalik akting mumpuninya sebagai seorang kutu buku saat mendekatiku.
Hingga akhirnya aku pun harus berakhir di tempatnya dan hampir menjadi pemuas nafsu pria itu bersama teman-temannya. Mengingat hal itu, bulu romaku meremang kembali.
"Hasmi! Berenti gue bilang!" Edo masih berteriak sambil mengejarku.
Namun, apa aku peduli? Tidak! Alih-alih berhenti, aku malah semakin mempercepat laju kakiku agar bisa segera menghilang dari hadapannya.
"Hasmi!"
"Edo, udahlah! Kenapa sih lo gak nyerah aja sama gue? Gue udah gak minat sama lo!" Aku mencoba menyahut di sela langkah, meski sebenarnya itu membuatku semakin kelelahan.
"Gue juga sebenarnya gak minat sama lo!"
Tidak minat, tapi terus mengejar? Jujur aku gagal paham dengan kalimat Edo barusan.
"Lah, terus kenapa lo masih ngejar, gue?"
"Karena gue pengen liat gimana tampang merana lo, saat menghiba dibawah tubuh gue minta dipuasin!"
Sakit jiwa!
"Mampus aja lo, Edo!" Aku pun menyalak kesal, dalam laju langkah yang semakin membuatku tersiksa.
Napasku sudah tersengal dan kakiku terasa sudah hampir lepas dari engselnya. Aku sudah tidak kuat berlari. Namun berhenti sekarang pun bukan pilihan tepat.
Aku tidak mau jadi penghangat tempat tidur Edo!
Karena itulah aku terus memaksakan diri berlari sekuat yang aku bisa, hingga akhirnya abai pada kondisi jalan dan terjatuh.
"Nah, Kena!" Dengan cepat Edo menjambak cepolan rambutku lagi.
"Edo, please! Gue mohon, lepasin gue! Gue kan gak pernah jahat sama Lo. Kenapa lo jahat banget sama gue?" Akhirnya aku pun menghiba, mencoba mencari belas kasihan Edo.
Semoga saja dia masih punya. Meski sedikit, itu sangat berharga untukku saat ini.
"Gak jahat lo bilang? Heh! Lo lupa? Gara-gara elo gue sama temen-temen gue, babak belur malam itu ditangan Suami atasan lo itu!" bantah Edo menoyor kepalaku dengan tangannya yang bebas, seraya mengingatkan kejadian malam nahas, di mana aku hampir digilir olehnya dan teman-temannya.
Pak Arjuna yang di maksud Edo. Dulu, memang Pak Arjuna dan Dokter Karina lah yang menyelamatkan aku dari niat jahatnya.
"Itukan karena lo jahat! Lo--"
Plak!
Satu tamparan pun melayang cepat ke arah pipiku, saat aku mencoba membantah ucapannya. Rasa panas pun langsung menjalar di sana, mengantarkan nyeri yang mulai merambat.
"Gue gak jahat, Bego! Gue kan cuma mau bikin lo enak. Gak tahu terima kasih banget lo!" ucapnya kemudian tanpa dosa.
"Tapi gue--"
Plak!
Sekali lagi. Edo menamparku di tempat yang sama, saat aku mencoba buka suara. Kali ini bukan hanya panas dan perih yang terasa, tapi juga rasa amis, yang berasal dari sudut bibirku yang robek.
"Jangan banyak bacot! Gue gak suka dibantah."
Lalu aku harus apa? Menerima begitu saja semuanya dan pasrah dijadikan pemuas nafsu? Tentu saja tidak! Iya kan?
"Edo, gue mohon ... lepasin gue."
Hanya menangis tergugu, yang bisa aku lakukan. Berharap dengan itu Edo akan sedikit luluh dan mau melepaskan aku karena iba.
Namun bukan rasa iba yang aku dapatkan. Malah cengkraman kuat di kedua pipi yang membuat bekas tamparan Edo semakin sakit.
"Nanti gue lepasin. Setelah lo bikin junior gue dan temen-temen gue muntah berkali-kali."
Tuhan ... Tolong selamatkan aku.
"Udah, Diem lo! Bangun!" Edo lalu menjambakku rambutku makin kuat, demi memaksaku segera berdiri.
Setelah itu, Edo pun menyeretku paksa mengikuti langkah kakinya yang cepat. Namun aku tak serta merta menurut. Sepanjang perjalanan aku terus menghiba, dan meronta minta dilepaskan.
Namun Edo menulikan telinga, terus menyeret aku tanpa perasaan. Aku sampai terseok-seok mengikuti langkahnya.
Cengkraman Edo yang sudah beralih ke atas lengan atasku pun sangat kuat, rasanya tulangku hampir patah karenanya.
Sakit. Sakit sekali. Entah mana yang lebih sakit. Tubuhku atau kenyataan jika aku mungkin tidak akan bisa lepas dari Edo kali ini. Siapa yang harus kumintai tolong?
"Edo--"
"Ck, lo bisa diem gak, sih? Atau mau, gue pake di sini?!" Dia akhirnya mengeluarkan ancamannya.
"Tapi gue gak mau, Edo! Gue gak sudi harus ngelayanin lo!"
"Nanti juga lo mau, minta nambah malah. Gue jamin hal itu!"
Pria ini memang gila. Aku yakin itu. Lalu aku harus bagaimana menghadapinya? Adakah yang mau menolongku? Adakah yang ....
Alan!
Entah ini sebuah keajaiban atau hanya kebetulan semata. Saat Edo masih sibuk menyeretku mengikuti langkahnya. Mataku tak sengaja melihat Alan keluar dari tenda pecel lele sebrang jalan, sambil memasukan dompet ke saku belakangnya.
Tentu saja, Hal itu tak aku sia-siakan begitu saja. Sekuat mungkin menahan tarikan Edo di tanganku, aku pun segera berteriak memanggil manusia beton itu.
"Aa!"
Sayangnya, panggilanku terhalang mobil yang tiba-tiba lewat dengan kencang. Sialan!
"A--hmmfftt!"
Baru saja aku ingin berteriak kembali. Edo sudah lebih cepat membungkam mulutku, membuat teriakanku tertelan kembali kedalam tenggorokan.
"Jangan macam-macam lo Hasmi! Gue bisa nekad kalau lo berani minta bantuan," desis Edo di sebelah telingaku.
Persetan dengan peringatan itu. Aku tidak perduli. Bagiku ini adalah kesempantan emas. Pertolongan Tuhan yang tidak boleh disia-siakan.
Aku pun membuka mulut dengan lebar, dan mengigit tangan Edo keras-keras hingga pria itu melolong kesakitan. Setelahnya, aku mendorongnya hingga tersungkur, lalu berlari ke arah Alan.
"Aa?!"
Ttiiiinnn ....
Bertepatan dengan itu. Sebuah kelakson panjang terdengar memekakan telinga, disertai sinar yang yang sangat menyilaukan ke arahku.
Aakkhhh ....
"Aakkkhhh ...."Grep!Brukkk!"Are u crazy, huh?" maki Alan, saat dia berhasil menyelamatkanku dari tabrakan, yang hampir saja terjadi.Ya, sesaat sebelum mobil yang ngebut itu hampir menyentuhku. Si Manusia Jalan Tol ini memang berhasil menggapai dan menarikku ke pinggir jalan."Kalau mau mati jangan di sini, apalagi di hadapan saya, bikin repot orang saja!" hardiknya sekali lagi.Akan tetapi, karena aku masih shock dengan kejadian barusan. Aku pun tak berkomentar apapun, selain bengong dan mengerjapkan mata berkali-kali demi meyakinkan diri bahwa ini bukan mimpi.Terima kasih Tuhan. Aku masih hidup!"Hey, Suster! Kenapa malah bengong? Saya ta--""Aa'!" Setelah berhasil menguasai kekagetanku tadi. Aku pun berseru panjang, memotong omelan Alan sambil menghamburkan diri ke pelukannya dan menangis sejadi-jadinya.Aku lega banget, bahagia, terharu, pokoknya aku benar-bener bersyukur banget masih hidup! Masih bernapas
"Woah! Akhirnya ketemu juga ya, Do!" Salah seorang dari mereka berseru gembira seraya memindaiku. Aku merasa jijik seketika."Iya, dong! Gue gitu, loh!" Edo menyahut dengan jumawa."Terus, ini maunya gimana? Langsung aja atau main-main dulu?" Pria itu bertanya kembali."Main-main dululah. Lo bawa kan obatnya?""Bawa, dong!""Bagus. Ayo mulai!"Aku ingin berlari, ingin memaki, ingin menangis, bahkan memohon agar mereka mengasihani aku. Namun, rasa takut benar-benar menguasai, hingga membuatku jangankan bisa berlari untuk kabur, mengeluarkan suara pun rasanya tidak bisa. Lidahku seketika kelu dengan tenggorokan yang sakit sekali meski hanya untuk menelan salivaku sendiri.'Ya Allah, haruskah aku berakhir di sini?''Haruskah aku menyerah?'Tidak! Aku tidak ingin menyerah. Aku harus berjuang sekali lagi. Setidaknya, aku harus berlari ke arah jalan besar, dan menabrakan diri pada mobil agar cepat mati.Pers
Akhirnya, polisi datang kurang dari lima belas menit setelah aku menelpon. Tolong jangan tanyakan kenapa mereka tumben cepat datang. Karena aku sendiri pun tidak tahu.Aku hanya menghubungi Bang Elang, polisi yang sudah lumayan aku kenal. Lalu menyampaikan apa yang terjadi di sana. Setelah itu, menunggu seraya terus berdoa saat menyaksikan Live Boxing antara Alan dan genk Edo."Aa--""Pakai dulu!"Baru saja aku mau bersegera keluar dari mobil saat Alan akhirnya membuka pintu. Pria itu malah menahannya, dan menyodorkan sebuah kain dari sela pintu.'Eh, itu hijabku! Ya ampun ... ternyata dia sangat perhatian dan mau repot-repot mengambilkan kain ini demi menjaga kehormatanku.'Seketika hatiku menghangat menerima perhatian Alan barusan."Dibelakang pintu ada jaket bersih. Pakai dan keluarlah," titahnya lagi tanpa melihatku.Aku menurut. Kututup kembali pintu mobil, memakai hijab dengan benar dan mencari jak
*Happy Reading* 'Tembus' Satu kata yang dikatakan Alan malam itu, sukses bikin aku megap megap bak ikan koi kekurangan air. Sumpah demi apapun. Malam itu rasanya aku pengen pinjem helm sama siapa aja yang, setelah mendengar kata itu. Sayangnya, gak ada yang lewat bawa helm, jadinya gak ada yang bisa nyelametin mukaku. Namun yang paling menyebalkan adalah, Alan mengucapkannya dengan wajah datar tanpa ekspresi apapun. Membuat aku malah menebak-nebak isi pikirannya saat itu. Apa kasian? Apa lucu? Atau malah pengen bully? Apapun itu, pokoknya aku tengsin abis! Makanya, setelah kejadian malam itu. Aku sebisa mungkin menghindari Alan, jika melihatnya di rumah sakit, sedang mengunjungi Dokter Karina. Pokoknya, aku belum siap deh, ketemu dia lagi. Masih tengsin banget, Mbak bro! "Mi, kamu beneran gak mau saya titipin laporan ini buat Alan. Biasanya kan, kamu paling getol sama tugas ini." Dokter Karina mu
*Happy reading* "Eh, neng Hasmi. Baru pulang ngevet, ya?" Aku langsung mendengkus kesal, saat baru saja keluar rumah sakit pagi itu, tak sengaja bertemu dengan Bang Elang yang sepertinya sedang ada tugas di sana. Entah itu ada kasus baru, atau mengambil hasil visum salah satu korban kasus yang tengah dia selidiki. Pokoknya, pria itu berhasil membuat aku jengkel dengan sapaanya barusan. Mentang semalam adalah malam jumat, seenaknya aja dia mengira aku baru pulang ngevet. Aku kan baru pulang mandi kembang tujuh sumur--eh, pulang sift malam. "Gak ada sapaan lebih manusiawi apa, Bang? Segala Babi ngevet lo bawa-bawa. Nyindir diri sendiri atau gimana?" Aku membalas dengan kesal. Bang Elang tergelak renyah di tempatnya, seraya menepuk kepalaku. "Mana ada Abang abis ngevet. Orang kayak Abang pastinya abis sunah rosul, dong. Emang situ, jomlo! Oops! Lupa kalau udah punya Aa Alan." Aku tahu dia sedang men
*Happy Reading*Aku udah gak ngerti lagi dengan situasi yang tengah terjadi sekarang. Ternyata Irfan temannya SMA-nya Alan. Demi apa? Tuhan ... sejodoh itu ya aku sama nih manusia lempeng. Hingga aku kayaknya gak bisa jauh sama tuh makhluk dingin yang ingin sekali aku taruh di tungku.Biar anget dikit gitu, gengs. Soalnya, Alan tuh dinginnya udah mengkhawatirkan banget. Apalagi, setelah dikenalkan tadi oleh Irfan. Tatapannya itu, loh! Bikin aku pengen pipis mulu.Lebih menyebalkannya. Tuh cowok kek gak ada kerjaan hari ini. Ngintilin kami terus dari tadi. Bahkan saat Irfan mengajaknya gabung makan siang bersama. Dia setuju aja gitu, tanpa ngerasa dosa sama sekali.Ya ... Ampun, nih cowok beneran gak ada kerjaan, ya hari ini? Atau emang mau nyambi jadi nyamuk? Nyebelin banget, sumpah!"Kenapa melihat saya seperti itu? Gak suka saya gangguin kencan kalian?"Udah tahu tanya! Kalau emang dia sepeka itu, kenapa gak minggat aja, sih. M
*Happy Reading*Aku pun dengan otomatis melirik Irfan, yang langsung terlihat gusar melihat wanita itu, sambil mencuri lirik ke arahku.Bangke!!Jadi aku sudah ditipu selama ini?Baru aja aku hendak beranjak dari tempat dudukku. Alan tiba-tiba menginterupsi dengan santainya."Oke! Karena sekarang bini lo udah dateng. Gue pergi, ya? Ayo, Sayang," kata Alan kemudian, sambil mengulurkan tangannya ke arahku.Apa?!Jadi nih pengacara juga udah tau, kalau Irfan ini punya keluarga? Kenapa dia gak kasih tahu, sih? sengaja ya, mau bikin aku kehilangan muka?Atau … jangan- jangan Dia sekongkol sama Irfan?"Sayang?" panggil Alan lagi. Sambil memberikan kode lewat ekor matanya, untuk meraih tangannya.Sayangnya, karena aku masih shock. Aku pun malah menatap uluran tangan itu dengan linglung. Memang apa yang harus aku lakukan? Menyambut tangan Alan dan ikut dramanya yang lain? Sialan! Kenapa aku harus terjebak dalam sit
Jomlo 9*Happy Reading*"Pergilah," titah Alan, saat kami sudah sampai di lobby Mall.Aku pun sontak melirik Alan dan mengernyit tak mengerti.Pergi?Pergi kemana?"Kenapa diam? Gak mau pergi, huh? Mau minta saya anterin, gitu?" tanya Alan lagi, seraya menaikan sebelah alisnya ke hadapanku.Aku yang masih setengah linglung pun, belum bisa berkomentar apapun. Karena belum sepenuhnya bisa mencerna yang terjadi barusan.Barusan aku lagi ngapain, sih?Lagi jalan sama Irfan, kan?Terus papasan sama Alan. Terus makan siang bertiga, dan … Ah, iya. Aku baru dapat kejutan hebat dari si brengsek Irfan."Saya harap kamu tidak baper karena kejadian tadi, Suster. Tolong, apapun yang saya katakan di dalam. Jangan masukan hati. Karena ... uhm ... sebenarnya saya hanya ingin membalas jasa saja," jelas Alan tiba-tiba. Tanpa diminta siapapun."Balas ... jasa?" beoku reflek"Ya!" jawab Alan tegas. "Sepert