"Aakkkhhh ...."
Grep!
Brukkk!
"Are u crazy, huh?" maki Alan, saat dia berhasil menyelamatkanku dari tabrakan, yang hampir saja terjadi.
Ya, sesaat sebelum mobil yang ngebut itu hampir menyentuhku. Si Manusia Jalan Tol ini memang berhasil menggapai dan menarikku ke pinggir jalan.
"Kalau mau mati jangan di sini, apalagi di hadapan saya, bikin repot orang saja!" hardiknya sekali lagi.
Akan tetapi, karena aku masih shock dengan kejadian barusan. Aku pun tak berkomentar apapun, selain bengong dan mengerjapkan mata berkali-kali demi meyakinkan diri bahwa ini bukan mimpi.
Terima kasih Tuhan. Aku masih hidup!
"Hey, Suster! Kenapa malah bengong? Saya ta--"
"Aa'!" Setelah berhasil menguasai kekagetanku tadi. Aku pun berseru panjang, memotong omelan Alan sambil menghamburkan diri ke pelukannya dan menangis sejadi-jadinya.
Aku lega banget, bahagia, terharu, pokoknya aku benar-bener bersyukur banget masih hidup! Masih bernapas! Masih bisa ketemu Umi sama Abah, masih bisa gangguin Dokter Karina, juga masih bisa nyari jodoh.
Alhamdulilah …!
"Hasmi!"
Dan euforia-ku pun buyar seketika, kala mendengar panggilan dari si cunguk Edo yang terlupakan beberapa saat yang lalu.
Reflek aku pun melepaskan pelukan pada Alan, dan langsung merangsek masuk ke belakang tubuh pria itu sambil mencengkram kuat lengan baju bagian belakangnya.
'Tuhan. Kenapa sih tadi pas Edo nyebrang gak ada mobil ngebut lagi?'
Alan yang memang tak mengerti apa-apa, hanya menatapku penuh tanya, dan Edo secara bergantian. Sementara si Keparat Edo, semakin dekat saja pada posisiku saat ini.
"Hasmi, kamu gak papa kan, Sayang?" tanya Edo sok perhatian, sambil mengulurkan tangannya untuk meraihku.
'Cih! Dasar Raja Drama!'
"Pergi!" Aku menyalak galak. Benar-benar tak ingin melihatnya lagi.
"Pergi jauh-jauh lo! Jangan dekati gue lagi!" tambahku masih dengan galak dari belakang tubuh Alan.
Kuharap, Alan mengerti akan situasi yang sedang kuhadapi, dan sudi menyelamatkanku. Karena hanya dia harapanku saat ini.
"Hey ... kamu kenapa? Ini aku, Sayang. Pacar kamu. Masa kamu lupa? Kita, kan, lagi nge-date tadi," katanya lagi, dengan nada lembut yang bertujuan untuk merayuku.
'Cih, pintar sekali pria ini berdrama!'
"Gak usah ngarang lo! Gue gak punya hubungan apapun sama lo. Pergi jauh-jauh dari gue!" bantahku tegas, sambil terus menyembunyikan diri di belakang tubuh Alan.
Anehnya, nih manusia lempeng, bukannya membantu malah tetap diam. Padahal aku sudah sangat menunjukan masalah yang sedang aku hadapi.
"Loh, kok, ngomongnya gitu sih, Sayang? Masa cuma gara-gara gak aku beliin sate ayam dua porsi aja, kamu ngambek. Jangan gitu dong, Sayang!"
Apa?! Dia kira harga diriku semurah itu? Nggak, ya! Aku tuh mahal!
Lagipula, tidak mungkin juga kan? Cuma gara-gara sate ayam doang aku sampai nekad nyebrang dan hampir tertabrak tadi. Logikanya dipake, dong!
"Tolong, Jangan libatkan saya dalam urusan asmara kalian, Suster. Saya tidak mau ada salah paham."
Aku baru saja hendak membantah Edo lagi, tapi Alan tiba-tiba malah bergerak menjaga jarak dariku, dan melepaskan cekalan tanganku.
Seketika aku gusar kembali mendapati sikap Alan yang sepertinya sudah salah paham.
"Bukan gitu, A' Ini--"
"Nah, benar kata temen kamu ini, Mi. Urusan kita jangan sampai ngelibatin orang lain." Edo menyambar seenaknya. Tidak membiarkan aku menjelaskan apapun pada Alan.
"Diem lo, Do! Gue gak mau denger apapun dari lo!" Aku menyalak tak suka. "Aa' jangan percaya dia." Aku kembali mengalihkan atensi pada Alan. "Aku tuh beneran gak ada hubungan apapun sama dia. Justru dia tuh mau--"
"Eits, Hasmi!" Edo kembali memotong ucapanku, sambil menarikku dan melingkarkan tangannya di bahuku dengan kuat.
"Udah dong marahnya. Aku kan udah minta maaf. Kita baikan, ya? Malu tahu dilihat orang. Jangan ganggu temen kamu ini terus." Edo menambahkan, diakhiri senyuman iblis dan tatapan kemenangan di samping wajahku.
Sialan Edo!
"Aa?"
Aku baru akan meraih lengan Alan, saat pria itu malah memilih pergi begitu saja ke arah mobilnya, tanpa mau repot-repot menoleh lagi padaku.
Tidak Tuhan! Aku mohon jangan biarkan Alan pergi meninggalkanku dengan Edo. Aku tidak mau berakhir seperti ini.
"A--"
"Teriak gue pake lo di sini, Mi!" ancam Edo kemudian, membungkam mulutku dengan cepat dan menyeretku kembali.
'Tidak, ini tidak boleh terjadi! Alan tidak boleh meninggalkanku! Aku gak mau dirusak Edo lagi. Aku gak mau! Gak mau!'
Sekuat tenaga aku melepaskan bungkaman Edo dari mulutku, dan berteriak keras ke arah Alan sekali lagi.
"Kalau Aa gak mau bantuin aku. Tolong telpon Pak Arjuna, A'. Pak Arjuna tahu siapa pria ini!"
Terlambat! Alan sudah masuk ke dalam mobilnya, bahkan menyalakan benda besi itu. Membuatku tidak yakin jika seruanku tadi terdengar olehnya.
"Mampus lo, Mi! Gak ada yang bisa nyelametin lo dari gue malam ini." Edo tertawa jumawa.
'Tuhan ... harus bagaimana aku sekarang?'
Aku pun tidak bisa menahan tangisku lagi, saat melihat mobil Alan benar-benar menjauh dari sana.
"Aa!"
"Eits! Mau kemana kamu, Sayang? Urusan kita belum selesai, loh." Edo masih tersenyum penuh kemenangan, menarik tubuhku yang hendak mengejar mobil Alan.
"Lepas Edo!" Aku meronta, bahkan menamparnya dengan sekuat tenaga sebagai perlawanan. Tapi ....
Plak!
Dia pun dengan cepat membalas tamparanku, lalu lagi-lagi menjambak hijabku bagian belakang tepat di kunciran rambut.
"Ngelunjak ya, Lo! Berani banget nampar gue. Lihat aja! Gue bakal panggil temen-temen gue yang waktu itu. Buat ngegilir lo sampai mampus!"
Degh!
"Ikut gue!" Setelahnya Edo pun kembali menyeretku tanpa perasaan sama sekali.
Aku sudah mencoba melepaskan diri dari pria itu. Namun, cengkeraman di tanganku sangat kuat sekali. Aku juga sudah mencoba berteriak minta tolong entah pada siapa. Tetapi Edo lalu menamparku berulang kali, membuat bibirku pecah dan sakit sekali untuk digerakan.
"Edo, lepasin gue. Gue mohon!" Aku menghiba sambil menangis, entah untuk keberapa kalinya.
"Nanti! Setelah gue dan temen-temen gue puas nikmati badan lo."
'Tuhan ... aku gak mau!'
"Tapi gue gak mau, Do. Gue--"
Plak!
"Yang minta persetujuan lo siapa, Lacur!" Edo kembali menampar wajahku.
'Tuhan ... tolong aku! Aku gak mau berakhir seperti ini.'
'Abah, Umi, Dokter Karina, siapapun tolong aku!'
Aku gak tahu lagi harus berbuat apa sekarang. Semuanya sudah aku lakukan untuk mencoba lepas dari Edo, namun sia-sia.
Sampai Akhirnya dia menarikku ke sebuah tanah lapang yang sepi dan gelap, Kemudian ....
Ciiiitttt!!
Sebuah mobil Pajero Hitam datang tak lama setelahnya.
Siapa ... siapa itu? Pahlawan untukku atau ....
Degh!
Rasanya tulangku seperti baru saja dicabut paksa dari seluruh tubuh. Saat akhirnya aku melihat tiga pria keluar dari mobil itu dengan senyum iblis yang sukses membuat napasku sesak.
Itu teman-temannya Edo yang dulu. meski aku tidak tahu siapa nama mereka masing-masing, tapi aku masih mengenali wajah mereka bertiga. Entah kapan Edo mengundang teman-temannya itu. Yang jelas, hal itu membuat aku ingin mati saat ini juga.
"Woah! Akhirnya ketemu juga ya, Do!" Salah seorang dari mereka berseru gembira seraya memindaiku. Aku merasa jijik seketika."Iya, dong! Gue gitu, loh!" Edo menyahut dengan jumawa."Terus, ini maunya gimana? Langsung aja atau main-main dulu?" Pria itu bertanya kembali."Main-main dululah. Lo bawa kan obatnya?""Bawa, dong!""Bagus. Ayo mulai!"Aku ingin berlari, ingin memaki, ingin menangis, bahkan memohon agar mereka mengasihani aku. Namun, rasa takut benar-benar menguasai, hingga membuatku jangankan bisa berlari untuk kabur, mengeluarkan suara pun rasanya tidak bisa. Lidahku seketika kelu dengan tenggorokan yang sakit sekali meski hanya untuk menelan salivaku sendiri.'Ya Allah, haruskah aku berakhir di sini?''Haruskah aku menyerah?'Tidak! Aku tidak ingin menyerah. Aku harus berjuang sekali lagi. Setidaknya, aku harus berlari ke arah jalan besar, dan menabrakan diri pada mobil agar cepat mati.Pers
Akhirnya, polisi datang kurang dari lima belas menit setelah aku menelpon. Tolong jangan tanyakan kenapa mereka tumben cepat datang. Karena aku sendiri pun tidak tahu.Aku hanya menghubungi Bang Elang, polisi yang sudah lumayan aku kenal. Lalu menyampaikan apa yang terjadi di sana. Setelah itu, menunggu seraya terus berdoa saat menyaksikan Live Boxing antara Alan dan genk Edo."Aa--""Pakai dulu!"Baru saja aku mau bersegera keluar dari mobil saat Alan akhirnya membuka pintu. Pria itu malah menahannya, dan menyodorkan sebuah kain dari sela pintu.'Eh, itu hijabku! Ya ampun ... ternyata dia sangat perhatian dan mau repot-repot mengambilkan kain ini demi menjaga kehormatanku.'Seketika hatiku menghangat menerima perhatian Alan barusan."Dibelakang pintu ada jaket bersih. Pakai dan keluarlah," titahnya lagi tanpa melihatku.Aku menurut. Kututup kembali pintu mobil, memakai hijab dengan benar dan mencari jak
*Happy Reading* 'Tembus' Satu kata yang dikatakan Alan malam itu, sukses bikin aku megap megap bak ikan koi kekurangan air. Sumpah demi apapun. Malam itu rasanya aku pengen pinjem helm sama siapa aja yang, setelah mendengar kata itu. Sayangnya, gak ada yang lewat bawa helm, jadinya gak ada yang bisa nyelametin mukaku. Namun yang paling menyebalkan adalah, Alan mengucapkannya dengan wajah datar tanpa ekspresi apapun. Membuat aku malah menebak-nebak isi pikirannya saat itu. Apa kasian? Apa lucu? Atau malah pengen bully? Apapun itu, pokoknya aku tengsin abis! Makanya, setelah kejadian malam itu. Aku sebisa mungkin menghindari Alan, jika melihatnya di rumah sakit, sedang mengunjungi Dokter Karina. Pokoknya, aku belum siap deh, ketemu dia lagi. Masih tengsin banget, Mbak bro! "Mi, kamu beneran gak mau saya titipin laporan ini buat Alan. Biasanya kan, kamu paling getol sama tugas ini." Dokter Karina mu
*Happy reading* "Eh, neng Hasmi. Baru pulang ngevet, ya?" Aku langsung mendengkus kesal, saat baru saja keluar rumah sakit pagi itu, tak sengaja bertemu dengan Bang Elang yang sepertinya sedang ada tugas di sana. Entah itu ada kasus baru, atau mengambil hasil visum salah satu korban kasus yang tengah dia selidiki. Pokoknya, pria itu berhasil membuat aku jengkel dengan sapaanya barusan. Mentang semalam adalah malam jumat, seenaknya aja dia mengira aku baru pulang ngevet. Aku kan baru pulang mandi kembang tujuh sumur--eh, pulang sift malam. "Gak ada sapaan lebih manusiawi apa, Bang? Segala Babi ngevet lo bawa-bawa. Nyindir diri sendiri atau gimana?" Aku membalas dengan kesal. Bang Elang tergelak renyah di tempatnya, seraya menepuk kepalaku. "Mana ada Abang abis ngevet. Orang kayak Abang pastinya abis sunah rosul, dong. Emang situ, jomlo! Oops! Lupa kalau udah punya Aa Alan." Aku tahu dia sedang men
*Happy Reading*Aku udah gak ngerti lagi dengan situasi yang tengah terjadi sekarang. Ternyata Irfan temannya SMA-nya Alan. Demi apa? Tuhan ... sejodoh itu ya aku sama nih manusia lempeng. Hingga aku kayaknya gak bisa jauh sama tuh makhluk dingin yang ingin sekali aku taruh di tungku.Biar anget dikit gitu, gengs. Soalnya, Alan tuh dinginnya udah mengkhawatirkan banget. Apalagi, setelah dikenalkan tadi oleh Irfan. Tatapannya itu, loh! Bikin aku pengen pipis mulu.Lebih menyebalkannya. Tuh cowok kek gak ada kerjaan hari ini. Ngintilin kami terus dari tadi. Bahkan saat Irfan mengajaknya gabung makan siang bersama. Dia setuju aja gitu, tanpa ngerasa dosa sama sekali.Ya ... Ampun, nih cowok beneran gak ada kerjaan, ya hari ini? Atau emang mau nyambi jadi nyamuk? Nyebelin banget, sumpah!"Kenapa melihat saya seperti itu? Gak suka saya gangguin kencan kalian?"Udah tahu tanya! Kalau emang dia sepeka itu, kenapa gak minggat aja, sih. M
*Happy Reading*Aku pun dengan otomatis melirik Irfan, yang langsung terlihat gusar melihat wanita itu, sambil mencuri lirik ke arahku.Bangke!!Jadi aku sudah ditipu selama ini?Baru aja aku hendak beranjak dari tempat dudukku. Alan tiba-tiba menginterupsi dengan santainya."Oke! Karena sekarang bini lo udah dateng. Gue pergi, ya? Ayo, Sayang," kata Alan kemudian, sambil mengulurkan tangannya ke arahku.Apa?!Jadi nih pengacara juga udah tau, kalau Irfan ini punya keluarga? Kenapa dia gak kasih tahu, sih? sengaja ya, mau bikin aku kehilangan muka?Atau … jangan- jangan Dia sekongkol sama Irfan?"Sayang?" panggil Alan lagi. Sambil memberikan kode lewat ekor matanya, untuk meraih tangannya.Sayangnya, karena aku masih shock. Aku pun malah menatap uluran tangan itu dengan linglung. Memang apa yang harus aku lakukan? Menyambut tangan Alan dan ikut dramanya yang lain? Sialan! Kenapa aku harus terjebak dalam sit
Jomlo 9*Happy Reading*"Pergilah," titah Alan, saat kami sudah sampai di lobby Mall.Aku pun sontak melirik Alan dan mengernyit tak mengerti.Pergi?Pergi kemana?"Kenapa diam? Gak mau pergi, huh? Mau minta saya anterin, gitu?" tanya Alan lagi, seraya menaikan sebelah alisnya ke hadapanku.Aku yang masih setengah linglung pun, belum bisa berkomentar apapun. Karena belum sepenuhnya bisa mencerna yang terjadi barusan.Barusan aku lagi ngapain, sih?Lagi jalan sama Irfan, kan?Terus papasan sama Alan. Terus makan siang bertiga, dan … Ah, iya. Aku baru dapat kejutan hebat dari si brengsek Irfan."Saya harap kamu tidak baper karena kejadian tadi, Suster. Tolong, apapun yang saya katakan di dalam. Jangan masukan hati. Karena ... uhm ... sebenarnya saya hanya ingin membalas jasa saja," jelas Alan tiba-tiba. Tanpa diminta siapapun."Balas ... jasa?" beoku reflek"Ya!" jawab Alan tegas. "Sepert
Jomlo 10*Happy reading*"Mi, Bantuin Alan sono," kata Dokter Karin tiba-tiba."Maksudnya, Dok?" bingungkuIya bingung. Orang dari tadi aku cuma jadi pendengar, kok. Tiba-tiba malah disuruh bantuin Alan. Bantuin apa pula?"Ya ... gitu. Bantuin Alan, Mi. Kasian," jawab Dokter Karin makin membuatku pusing."Gaje, deh. Bantu apa pula? Kenal juga enggak sama tuh cewe. Ya, kali saya tiba-tiba muncul belain Alan. Nanti kalau doi salah paham gimana?" protesku tak terima.Suka ngadi-ngadi emang nih Dokter sebiji."Nah, itu maksud saya!"Eh?"Siapa tau kalo tuh cewe liat Alan udah punya gandengan lain. Dia bakal sadar dan--""Dih, ogah!!" tolakku cepat, kala sudah bisa mencerna arah pembicaraan Dokter Karin barusan.Pasti deh, yakin aku mah, kalau dia mau minta tolong biar aku pura-pura jadi pacarnya tuh jalan tol.Ih, gak mau!!"Tapi kan, kasian Alan, Mi," kata Dokter Karin lagi."