"Apa? Gak boleh! Ayah gak setuju! mendingan Ayah pulang aja sekarang kalau kamu maksa mau operasi tapi pakai uang hasil menggadaikan rumah. Mau tinggal dimana nanti kita, Adinda? Mikir!" sentak Ayah saat aku mengutarakan niat yang sempat terpikir. Aku buntu, tidak tahu pada siapa harus meminta tolong, Ibu sudah setuju namun beliau tidak punya kuasa karena harus atas seizin Ayah. Ternyata, Ayah menolak mentah-mentah, padahal ini untuk kesembuhan Ayah sendiri.Aku berjalan keluar ruangan, tidak ingin berdebat dengan Ayah yang sedang sakit. Sungguh, aku merasa sebagai anak tidak berguna. Saat aku sedih dan butuh pelukan, Ayah dan Ibu selalu ada untukku dan memberikan pelukan hangatnya. Namun sekarang, saat Ayah dan Ibu yang membutuhkan pertolongan, aku tidak bisa melakukan apapun. Tabunganku sudah habis dipakai biaya merawat Ayah sejak beberapa hari yang lalu. Tepukan lembut terasa pundak. Aku yang sedang menunduk langsung menoleh dan mendapati Salima
"Dinda ... Kamu serius mau jadi istri kedua?" tanya Ibu begitu aku mengutarakan niat Fahri yang akan datang melamar besok sore."Iyah, Bu.""Tunggu sebentar, bukankah Fahri itu yang kemarin kesini sama istrinya yang bernama, Salima?" Ayah ikut nimbrung diantara aku dan Ibu."Betul, Ayah.""Ya Allah Nak ... Mengapa kamu tega sekali? Kamu menikung temanmu sendiri yang meminjamkan uang untuk operasi Ayah?" sengit Ayah tidak terima.Aku menunduk, mencoba memikirkan jawaban yang tepat. Salima bilang, tidak boleh ada yang tahu bahwa aku menerima pernikahan ini karena menerima uang 30 juta. Lalu apa alasan yang paling tepat?"Salima yang memintaku Ayah, dia yang memaksa. Tapi tolong rahasiakan ini dari Fahri dan keluarganya karena mereka tidak tahu bahwa aku meminjam uang pada Salima.""Salima yang memintamu, benarkah?" tanya Ibu dengan tatapan penuh kecurigaan.Aku mengangg
Bab 10"Kamu selalu cantik Adinda. Di mataku, kamu adalah wanita tercantik di dunia." Fahri memulai gombalannya. Aku hanya tersenyum karena teringat sikap ia yang sejak dulu memang jago menggombal."Bolehkah ... Malam ini, aku mencicipimu?" tanya Fahri sambil mengelus pipiku."Aku bukan kue!" jawabku akhirnya setelah menetralisir degup jantung.Fahri mengusap kepalaku dan membaca doa. Lalu ia menuntunku ke atas pembaringan. Aku tidak menolak karena ini adalah hak nya Fahri dan sudah kewajibanku untuk melayaninya.Tak kusangka, Fahri yang pendiam dan pemalu di luar bagaikan singa jantan jika di atas pembaringan. Aku kelelahan dibuatnya karena setelah selesai, ia mengambil wudhu lalu mendatangiku kembali seolah belum melakukan apapun tadi. "Maaf karena ini adalah pembalasanku padamu karena pernah meninggalkanku saat lagi sayang-sayangnya," terang Fahri saat ia telah selesai untuk yang kesekian kalinya
Bab 11 BMJMSesuai permintaan dari Mas Fahri, hari ini aku memakai lingerie berwarna pink yang entah dibeli kapan. Masih ada tag sebagai tanda bahwa itu adalah pakaian baru. Aku bahkan belum sempat mencucinya karena Mas Fahri meminta untuk dipakai malam ini juga.Setelah memakai lingerie, aku duduk di depan meja rias sambil mengoleskan krim malam dan juga hand body ke seluruh tubuh. Tak lupa, parfum kesukaan Mas Fahri aku pakai agar ia makin senang. Setelah itu, aku duduk sambil menunggu kepulangannya.Suara garasi yang dibuka lebar menandakan kepulangan Mas Fahri. Hatiku berdegup kencang dibuatnya. Padahal ini sudah hari ketiga pernikahan, namun rasa malu padanya masih sering kurasakan.Aku bersembunyi di dalam selimut dan pura-pura tertidur karena malu jika ketahuan sudah menunggunya sejak tadi. Tak lama kemudian, Mas Fahri masuk kamar dan menghampiriku. Ia langsung menyibak selimut dan tersenyum penuh arti.“Senangnya ada yang udah nun
Kepulangan SalimaTak terasa sudah sepekan berlalu sejak pernikahanku dengan Mas Fahri. Aku masih sering mengunjungi Ibu dan Ayah saat Mas Fahri sedang pergi bekerja. Karena masih tinggal satu kota, Mas Fahri mengizinkanku untuk pergi sendiri dengan syarat harus naik taksi online. Alhamdulillah, keadaan Ayah semakin baik dan kakinya sudah mulai bisa diajak berjalan meski harus tertatih-tatih.Hari ini adalah jadwal kepulangan Salima. Aku sangat menunggunya dengan hati berdebar. Seperti seorang junior yang akan menghadapi seniornya saat Masa orientasi kampus. Begitulah kira-kira perasaanku sekarang.Mas Fahri pergi untuk menjemput Salima di rumah orang tuanya. Tentu saja aku tidak diajak ikut karena khawatir akan reaksi keluarganya Salima, terutama orang tuanya. Orang tua mana yang akan ridho dan ikhlas melihat anaknya dipoligami? Sudah pasti cap pelakor akan dilayangkan padaku, dan aku belum siap untuk itu.Aku masih sibuk berkutat di dapur demi m
Pov SalimaMasakan Adinda memang sangat lezat. Aku mengaku kalah jika beradu skill memasak dengannya. Dia kan memang jago masak karena pernah berdagang nasi uduk juga, sudah pasti masakannya lezat. Setelah selesai membereskan meja. Aku mengambil segelas dessert creamy avocado sago yang ada di kulkas dan membawanya ke halaman belakang. Makan di halaman belakang sebetulnya memang paling menyenangkan, seperti healing tersendiri buatku.Halaman belakang memang sengaja aku desain sedemikian rupa. Ada kolam ikan, taman bunga, dan beberapa sangkar burung peliharaan Mas Fahri bertengger di halaman belakang. Tempat ini aku ciptakan untuk melepas kepenatanku atas pernikahan yang kujalani. Yang sampai sekarang belum kuikhlaskan untuk dilepas begitu saja.Adinda datang dan menanyakan beberapa hal, termasuk hatiku. Dia menanyakan bagaimana perasaanku tentang poligami ini. Haruskah aku jelaskan bahwa hatiku hancur berkeping-keping dengan pernikahan mereka? Wajah polos dan lugunya Adinda benar-benar
Tentang Masa LaluBeberapa tahun yang lalu ...Hari ini adalah hari pernikahan Adinda dengan Arkan. Salima yang melihat Fahri hanya berdiri mematung dari kejauhan segera menghampirinya.“Ayo masuk, Fahri. Beri ucapan selamat pada mereka. Buktikan kalau kamu sudah bisa melepas Adinda dengan ikhlas.” Salima memberi kode agar Fahri segera masuk lewat matanya, sedangkan Fahri masih saja diam di tempatnya berdiri.“Aku … sepertinya mau pulang saja. Aku titip kado ini, tolong berikan pada Adinda langsung.” Fahri menyerahkan sebuah kotak berlapis kertas kado yang sudah dibungkus dengan rapi, lalu kemudian berbalik pergi.“Tunggu, Fahri!” Salima mengejar Fahri hingga sampai di parkiran para tamu undangan. Fahri yang mendengar namanya dipanggil lalu menoleh dan mendapati Salima menyusulnya.“Kamu … masih mencintai Adinda? Dia bahkan sudah menikah hari ini, jangan gila!”“Ya, aku memang gila. Adinda yang membuatku tergila-gila padanya!”Salima tersenyum getir mendengar pengakuan itu. Meskipun s
Bab 15Hari pernikahanPernikahan yang digelar cukup meriah, tentu saja Bu Halimah dan Salima yang sibuk mengurus segala persiapannya. Sedangkan Fahri menyerahkan kebebasan pada calon istri dan Ibunya untuk mengatur semua persiapan.“Senyum dikit dong, Mas,” pinta Salima pada Fahri yang daritadi menekuk wajah. Bibirnya seolah terkunci dan hanya menyapa tamu sekedarnya. Tidak ada kebahagiaan yang terpancar dari wajah Fahri.Fahri memang sedikit menyesali keputusannya. Namun apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur, dan ia tak bisa mundur. Hampir saja ia salah menyebut nama saat akad tadi. Ia hampir menyebut nama Adinda alih-alih Salima. Untung saja Ayah Salima tidak menaruh curiga dan memilih untuk mengulangi ijab qabul setelah menyuruh Fahri untuk tetap fokus.Berbeda dengan Fahri, wajah Salima justru sangat sumringah. Ia seperti sedang menikmati hari paling bahagia dalam hidupnya. Tak terhitung sudah berapa tahun ia memendam rasa pada Fahri, sejak sekolah dulu. Namun ia hanya bisa me