Air muka suamiku berubah, setelah tadi ia berbicara di telpon dengan seseorang. Aku pun mendekat ke arahnya perlahan, mana tahu ia butuh teman berbagi."Kita ke rumah emak sekarang, Dek," ucapnya dengan cepat. Wajah tampan itu terlihat gusar."Ada apa, Bang?" tanyaku."Emak pingsan, Dek. Barusan Resti yang nelpon.""Emak sakit, Bang?" tanyaku pula."Nggak tahu, Dek. Tadi Resti cuma bilang emak bertengkar dengan bapak," jelasnya lagi, kemudian bang Rozi pergi memanggil anak-anaknya yang sedang bermain di rumah tetangga sebelah."Dek, abang antar anak-anak ke rumah kak Minah dulu ya," ucapnya lagi. Rani, Alif dan Pian sudah nangkring di atas motor ayah mereka."Iya, Bang," jawabku. Kemudian masuk membawa Ilham ke dalam rumah untuk ku pakaikan baju, karena tadi Ilham bermain hanya memakai singlet saja.___________________"Mana emak, Res?" tanya Bang Rozi pada adiknya itu. Mata Resti terlihat sembab, seperti habis menangis."Di kamar, Bang," jawab Resti serak. Bang Rozi pun segera pergi
"Pak..." panggilku pelan. Saat bapakku sedang asyik memberi ayam peliharaannya makan."Hhmm..." sahut bapak. Ia menoleh sekilas padaku, setelah itu kembali fokus dengan ayam-ayam itu."Resti...mau bicara sebentar, Pak," ucapku lagi dengan perasaan ragu-ragu."Ya, bicara saja Res." lelaki cinta pertamaku itu tersenyum. Aku menghela nafas panjang, ini adalah waktu yang pas untuk aku kasih tahu rekaman itu pada bapak. Bang Rido sedang ke kota menemani istrinya ke salon. Emak juga ikut dengan mereka, katanya sekalian jalan-jalan untuk nyenengin emak. Entahlah, sepertinya ada embel-embel lain, makanya kak Airin begitu manisnya mengajak emak jalan-jalan."Tapi, Bapak janji. Setelah mengetahui semuanya nanti, Bapak harus tegas mengambilnya keputusan...""Ayo sini." bapak menarik tanganku untuk duduk di bangku di bawah pohon mangga.Setelah kami duduk, aku putar rekaman suara kak Airin bertengkar denganku tempo hari. Bapakku tak memberi tanggapan apa-apa tentang rekaman itu. Mukanya terlihat
"Dek..." panggil suamiku pelan."Hmm," sahutku seraya mengalihkan badanku berhadapan dengannya."Belum tidur," ucapnya lagi. Matanya menatapku lekat, seolah ingin menyampaikan sesuatu.Aku menggeleng."Dek, tadi bapak bilang...ingin mengalihkan sertifikat tanah itu atas namaku," ucapnya lagi dengan pelan."Hah!..." mataku terbelalak."Menurutmu bagaimana, Dek?" tanya bang Rozi lagi.Aku menarik napas panjang seraya menatap lelaki yang sangat kucintai itu."Aku yakin Abang pasti sudah tahu jawabannya," jawabku lembut. Aku terus menatapnya.Suamiku mengangguk, kemudian tersenyum seolah mengisyaratkan kalau dia mengerti dengan apa yang kupikirkan.___________________"Bang Rozi! Bang Rozi!" lengkingan suara terdengar dari teras rumahku. Rumah yang hanya sepetak ini memudahkan suara itu sampai di telingaku, walaupun aku di belakang rumah sekalipun.Aku bergegas menuju teras, di sana telah berdiri Rido sambil berkacak pinggang."Mana bang Rozi, Kak?" tanya Rido saat melihatku."Ada, lagi i
"Bapak kenapa?" tanyaku pada lelaki cinta pertamaku itu. Lelaki paruh baya itu sedang duduk termenung di depan TV yang sedang menyala, matanya sama sekali tak fokus kepada layar kaca itu."Hmmm... nggak ada apa-apa, Nak," jawabnya pelan, ia terlihat menarik napas dalam-dalam."Ayo cerita pada Resti, Pak," ucapku seraya memegang tangannya.Bapak menoleh, tapi terlihat seperti ragu berbicara."Resti akan jadi pendengar yang baik. Ayo cerita, Pak. Jangan di pendem sendiri," ucapkan lagi seraya bergelayut manja di tangan yang telah menafkahi ku itu.Bapakku mengangguk, "Bapak bingung, Nak... Emakmu terus memaksa bapak menjual tanah itu," ucapnya pelan, terdengar seperti bisikan di telingaku."Tapi, setelah melihat kelakuan Rido dan Airin bapak tak rela kalau uangnya di serahkan pada mereka." aku masih diam mendengarkan curhat bapakku, tak ingin berkomentar apapun, karena tadi aku sudah berucap kalau aku akan jadi pendengar yang baik."Bagaimana menurutmu, Nak?" bapak meminta pendapatku, o
"Abang saja yang pergi ya," ucapku pada bang Rozi. Malam ini, selepas magrib aku dan anak-anak di ajak ke rumah emak oleh bang Rozi, katanya besok Rido mau pergi. Jadi malam ini kami di suruh kumpul bersama di sana."Jangan gitu dong, Dek. Ini bapak yang minta, masak Adek tolak," balas bang Rozi pula."Tapi, Bang...""Kenapa?...Kau takut di sindir emak dan Airin," ucapnya lagi, seolah bisa membaca pikiranku.Aku tersenyum kecut mendengar ucapannya, "Tenang ada...Abang," ucapnya seraya berlagak seperti jagoan.Aku tersenyum geli melihat tingkah lelaki-ku itu, "Sudah... nggak usah di ambil hati, biarkan saja mereka bicara apa, yang penting Adek tetap yang terbaik di hati abang." kali ini bang Rozi berbicara seraya tersenyum dan mengedip-ngedipkan matanya. Ya Tuhan, dia berusaha merayuku. Tapi, Tak bisa di pungkiri hatiku merasa tersanjung mendengar ucapannya.Akhirnya kami pun pergi ke rumah emak, tetap seperti biasa bang Rozi mengantar anak-anak dulu, baru kemudian menjemputku berdua d
"Aku mau pulang!" teriak Airin dari dalam kamarnya. Aku dan Resti saling berpandangan, walau kami sedang berada di dapur namun suara Airin terdengar jelas. Ya, setelah musyawarah tadi, aku melanjutkan mencuci piring dan Resti menyapu lantai."Sabar, Dek.jangan malam ini...mas janji besok pagi, pagi-pagi sekali kita pulang." suara Rido terdengar sangat jelas dari arah dapur. Oh... rupanya Rido Airin memang berjalan ke arah sini, tepatnya Rido berusaha mengejar Airin dari belakang."Nggak... Mas, aku merasa di permalukan di sini. Baru saja minta tolong, keluarga Mas sudah menghina ku, andai saja papa mamaku tahu, mereka pasti tak akan terima," ucap Airin dengan angkuhnya. "Kemarin bilang bersedia menjual tanah itu, tapi tiba-tiba sekarang tanah itu sudah beralih nama," Airin terus berjalan ke ruangan tanpa penyekat di sebelah dapur yang di khusus untuk menyetrika pakaian dan menyimpan peralatan rumah tangga yang jarang di pakai. Tangan lentiknya terus memilah-milah pakaian miliknya di
Rido mengalami patah tulang di kakinya, sedangkan Airin dan Raffa hanya mengalami luka ringan. Setelah menjalani operasi pemasangan pen Rido sudah di perbolehkan pulang.Sebenarnya emak dan bapak ingin membawa Rido pulang ke rumah mereka. Maksud emak dan bapak baik, saat dalam masa pemulihan ini Rido tinggal bersama mereka. Karena lebih tenang tinggal di desa dari pada di kota. Tapi, bukan Airin namanya dengan pongahnya dia menolak keinginan orang tua suaminya itu. Dia merasa sanggup mengurus suaminya, katanya nanti dia akan sewa suster khusus untuk merawat Rido, juga Rido akan di bawa terapi sesering mungkin. Dan itu akan di biayai oleh papa mamanya yang kata raya itu.Emak dan bapak pun hanya bisa menuruti kehendak Airin, walau pun berat dan mempunyai firasat tak baik, mereka akhirnya melepaskan Rido ikut pulang ke kota tempat tinggal Airin. Toh, Rido juga bersikeras ingin ikut dengan istrinya itu.Tapi, mertuaku itu tak lepas tangan begitu saja, mereka selalu mengirimkan uang untu
Hampir setahun Rido di sini, kini Rido sudah bisa berjalan, walau pun belum begitu lancar. Hari ini Airin berjanji akan kembali datang untuk menjemput suaminya itu. Sedari pagi Rido terlihat sumringah, mungkin dia sangat bahagia, karena akan berkumpul kembali dengan anak dan istrinya."Yati, pergi temanin Resti ke pasar. Belanja bahan makanan, cari udang yang paling segar, untuk Airin datang nanti," perintah emak padaku. Aku mengangguk patuh."Airin pasti lelah di perjalanan, nanti kalau dia sampai dan suguhkan makanan kesukaannya, pasti dia senang," sambung emak lagi. Seperti biasa emak memang selalu menyambut kedatangan Airin dengan istimewa."Kayak nyambut tamu penting saja," sewot Resti keluar dari kamar seraya memakai jilbab instannya."Ya...jelas Airin itu penting lah, karena Airin usaha abangmu tetap berjalan lancar sampai sekarang. Coba kalau Airin tidak cekatan dan pintar, pasti usaha abangmu bangkrut karena tak di urus selama abangmu sakit," sahut emak dengan tegasnya."Iya,