Share

POV Airin (istri Rido)

"Mas... maafkan aku..." lirihku. Lelaki tampanku itu sedang duduk termenung di teras samping rumah mertuaku ini.

Dia bergeming, masih tetap termenung, entah apa yang ia pikirkan.

Aku pun duduk di sampingnya, tanpa ditawari, "Mas, dengarkan aku dulu," ucapku lagi seraya memegang tangannya dengan lembut.

"Aku... kecewa padamu, Dek..." lirihnya. Tatapannya masih lurus ke depan.

"Adek, sama sekali tak menghargai keluargaku. Terutama emak, wanita yang telah melahirkan aku."

"Bukan begitu, Mas. Tadi, aku hanya terpancing emosi mendengar ucapan Resti," ucapku seraya mendengus kesal. Terbayang wajah ngeselin gadis nyebelin itu, arrgh!

"Mas dengerin sendiri 'kan, bagaimana Resti berbicara padaku. Tidak sopan sama sekali," ucapku lembut. Berharap mas Rido luluh mendengarnya.

"Sudah tahu Resti memang begitu, masih Adek dengar," ucapnya seraya melihat ke arahku. Kelihatannya, mas Rido sudah mulai mendengar ucapanku.

"Ya, Mas. Maaf..." lirihku lagi. Aku tahu mas Rido tak akan bisa marah lama-lama padaku.

"Adek tahu nggak, kalau sampai rekaman itu sampai ke telinga bapak. Bisa-bisa tanah itu tak jadi di jual dan keinginan Adek buat ganti mobil baru bisa dipastikan akan gagal," ucap suamiku terlihat gusar.

Nggak, apa pun akan kulakukan demi mobil idamanku itu. Termasuk bersimpuh minta maaf pada emak.

"Minta maaf sana...sama emak. Hanya dia yang bisa menyelamatkan kita..."

Benar juga kata mas Rido. Aku harus segera meminta maaf pada wanita tua judes itu. Nanti apabila rekaman itu sampai ke telinga bapak, ada emak yang membela. Karena di rumah ini emak lah yang lebih dominan. Semua seakan patuh dengan ucapannya.

"Di mana emak, Mas!" tanyaku pula. Karena sejak mendengar rekaman suaraku bertengkar dengan Resti, emak tak kelihatan.

"Kayaknya di kamar deh. Coba Adek temuin dia," ucap Mas Rido. Aku mengangguk dan masuk ke dalam rumah.

"Emak...boleh aku masuk," ucapku seraya mengetuk pintu.

Tak ada jawaban. Ku ketuk kembali pintu kamar ini.

"Masuk..." suara emak terdengar serak.

Aku menarik handle pintu, daun pintu terbuka. Bau balsem khas orang tua tercium oleh hidungku, perutku mual rasanya. Emak menoleh ke arahku, matanya sembab seperti habis menangis.

Ayo Rin, rayu wanita tua itu, demi mobil merah maroon incaran-mu, batinku.

"Mak... maafkan Airin..." lirihku sembari duduk.di tepian ranjang, di sisinya berbaring.

Ibu kandung suamiku itu menatapku tajam.

"Emak sangat kecewa padamu, Rin. Kau tega berbicara seperti itu tentang emak," ucapnya dengan tegas.

"Maafkan Airin, Mak," ucapku seraya memeluk emak. Sekali lagi ku paksakan air mata ini keluar. Aku keluarkan bakat akting menangis ku di hadapan emak. Ya, aku dulu bercita-cita menjadi pemain sinetron. Dulu aku sering ikutan casting, walau tak pernah mendapatkan peran. Jadi, bukan perkara sulit bagiku pura-pura menangis seperti ini

"Rin... Jadi selama ini Kau menganggap emak bodoh?" tanya mertuaku lagi.

"Nggak, Mak. A-aku hanya ingin membalas ucapan Resti yang bilang aku tak punya otak, Mak," jawabku dengan sendu.

"Ucapan itu tak benar-benar dari hatiku, Mak," ucapku lagi. Aku berusaha meyakinkan mertuaku itu.

"Aku sayang Emak..." lirihku di iringi dengan air mata yang tumpah.

"Rin... sudah, sudah jangan nangis lagi, hapus air matamu. Emak percaya kok, nggak mungkin perempuan cerdas sepertimu berbicara seperti itu tanpa sebab," ucap emak lembut. Yes! Mertua judes ini, akhirnya percaya dengan ucapanku.

Beres urusan emak, tinggal Resti. Lihat saja nanti akan kubalas Resti kurang ajar itu, karena dia aku harus bersusah payah merayu emaknya ini. Mana saat kupeluk, tubuh emaknya ini bau balsem lagi, membuat isi perutku mau keluar saja rasanya.

____________

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status