"Mas... maafkan aku..." lirihku. Lelaki tampanku itu sedang duduk termenung di teras samping rumah mertuaku ini.
Dia bergeming, masih tetap termenung, entah apa yang ia pikirkan.Aku pun duduk di sampingnya, tanpa ditawari, "Mas, dengarkan aku dulu," ucapku lagi seraya memegang tangannya dengan lembut."Aku... kecewa padamu, Dek..." lirihnya. Tatapannya masih lurus ke depan."Adek, sama sekali tak menghargai keluargaku. Terutama emak, wanita yang telah melahirkan aku.""Bukan begitu, Mas. Tadi, aku hanya terpancing emosi mendengar ucapan Resti," ucapku seraya mendengus kesal. Terbayang wajah ngeselin gadis nyebelin itu, arrgh!"Mas dengerin sendiri 'kan, bagaimana Resti berbicara padaku. Tidak sopan sama sekali," ucapku lembut. Berharap mas Rido luluh mendengarnya."Sudah tahu Resti memang begitu, masih Adek dengar," ucapnya seraya melihat ke arahku. Kelihatannya, mas Rido sudah mulai mendengar ucapanku."Ya, Mas. Maaf..." lirihku lagi. Aku tahu mas Rido tak akan bisa marah lama-lama padaku."Adek tahu nggak, kalau sampai rekaman itu sampai ke telinga bapak. Bisa-bisa tanah itu tak jadi di jual dan keinginan Adek buat ganti mobil baru bisa dipastikan akan gagal," ucap suamiku terlihat gusar.Nggak, apa pun akan kulakukan demi mobil idamanku itu. Termasuk bersimpuh minta maaf pada emak."Minta maaf sana...sama emak. Hanya dia yang bisa menyelamatkan kita..."Benar juga kata mas Rido. Aku harus segera meminta maaf pada wanita tua judes itu. Nanti apabila rekaman itu sampai ke telinga bapak, ada emak yang membela. Karena di rumah ini emak lah yang lebih dominan. Semua seakan patuh dengan ucapannya."Di mana emak, Mas!" tanyaku pula. Karena sejak mendengar rekaman suaraku bertengkar dengan Resti, emak tak kelihatan."Kayaknya di kamar deh. Coba Adek temuin dia," ucap Mas Rido. Aku mengangguk dan masuk ke dalam rumah."Emak...boleh aku masuk," ucapku seraya mengetuk pintu.Tak ada jawaban. Ku ketuk kembali pintu kamar ini."Masuk..." suara emak terdengar serak.Aku menarik handle pintu, daun pintu terbuka. Bau balsem khas orang tua tercium oleh hidungku, perutku mual rasanya. Emak menoleh ke arahku, matanya sembab seperti habis menangis.Ayo Rin, rayu wanita tua itu, demi mobil merah maroon incaran-mu, batinku."Mak... maafkan Airin..." lirihku sembari duduk.di tepian ranjang, di sisinya berbaring.Ibu kandung suamiku itu menatapku tajam."Emak sangat kecewa padamu, Rin. Kau tega berbicara seperti itu tentang emak," ucapnya dengan tegas."Maafkan Airin, Mak," ucapku seraya memeluk emak. Sekali lagi ku paksakan air mata ini keluar. Aku keluarkan bakat akting menangis ku di hadapan emak. Ya, aku dulu bercita-cita menjadi pemain sinetron. Dulu aku sering ikutan casting, walau tak pernah mendapatkan peran. Jadi, bukan perkara sulit bagiku pura-pura menangis seperti ini"Rin... Jadi selama ini Kau menganggap emak bodoh?" tanya mertuaku lagi."Nggak, Mak. A-aku hanya ingin membalas ucapan Resti yang bilang aku tak punya otak, Mak," jawabku dengan sendu."Ucapan itu tak benar-benar dari hatiku, Mak," ucapku lagi. Aku berusaha meyakinkan mertuaku itu."Aku sayang Emak..." lirihku di iringi dengan air mata yang tumpah."Rin... sudah, sudah jangan nangis lagi, hapus air matamu. Emak percaya kok, nggak mungkin perempuan cerdas sepertimu berbicara seperti itu tanpa sebab," ucap emak lembut. Yes! Mertua judes ini, akhirnya percaya dengan ucapanku.Beres urusan emak, tinggal Resti. Lihat saja nanti akan kubalas Resti kurang ajar itu, karena dia aku harus bersusah payah merayu emaknya ini. Mana saat kupeluk, tubuh emaknya ini bau balsem lagi, membuat isi perutku mau keluar saja rasanya.____________"Mas...kapan sih, mobil kita di ganti," rengek Airin, istriku. Dia baru saja pulang dari arisan sosialitanya."Lihat Amel, teman arisan adek, tadi pamer mobil baru. Padahal suaminya hanya punya toko grosir sembako. Masa adek yang istri seorang pengusaha masih pakai mobil butut sudah ketinggalan zaman pula," ucapnya lagi seraya bergelayut manja di lenganku."Jangan samakan rezeki orang dengan kita, Dek. Mana tahu suaminya mbak Amel punya toko grosir banyak dan tersebar di mana-mana...""Ah... Mas, selalu ngomong begitu. Suka banget hidupnya stay di tempat saja. Susah sekali di ajak maju," sungutnya. Wajah cantik itu seketika muram."Bukan begitu, Dek. Tapi, untuk saat sekarang mas memang tak bisa mengabulkan permintaanmu, usaha kita lagi sepi, Dek," ucapku lagi, berusaha menjelaskan."Aku 'kan nggak minta di belikan mobil lagi, Mas. Mobil yang kita sekarang di ganti ke yang lebih bagus, palingan Mas tambah dikit aja," ucapnya masih keukeh dengan keinginannya."Apa bedanya sih, Dek. Ade
Air muka suamiku berubah, setelah tadi ia berbicara di telpon dengan seseorang. Aku pun mendekat ke arahnya perlahan, mana tahu ia butuh teman berbagi."Kita ke rumah emak sekarang, Dek," ucapnya dengan cepat. Wajah tampan itu terlihat gusar."Ada apa, Bang?" tanyaku."Emak pingsan, Dek. Barusan Resti yang nelpon.""Emak sakit, Bang?" tanyaku pula."Nggak tahu, Dek. Tadi Resti cuma bilang emak bertengkar dengan bapak," jelasnya lagi, kemudian bang Rozi pergi memanggil anak-anaknya yang sedang bermain di rumah tetangga sebelah."Dek, abang antar anak-anak ke rumah kak Minah dulu ya," ucapnya lagi. Rani, Alif dan Pian sudah nangkring di atas motor ayah mereka."Iya, Bang," jawabku. Kemudian masuk membawa Ilham ke dalam rumah untuk ku pakaikan baju, karena tadi Ilham bermain hanya memakai singlet saja.___________________"Mana emak, Res?" tanya Bang Rozi pada adiknya itu. Mata Resti terlihat sembab, seperti habis menangis."Di kamar, Bang," jawab Resti serak. Bang Rozi pun segera pergi
"Pak..." panggilku pelan. Saat bapakku sedang asyik memberi ayam peliharaannya makan."Hhmm..." sahut bapak. Ia menoleh sekilas padaku, setelah itu kembali fokus dengan ayam-ayam itu."Resti...mau bicara sebentar, Pak," ucapku lagi dengan perasaan ragu-ragu."Ya, bicara saja Res." lelaki cinta pertamaku itu tersenyum. Aku menghela nafas panjang, ini adalah waktu yang pas untuk aku kasih tahu rekaman itu pada bapak. Bang Rido sedang ke kota menemani istrinya ke salon. Emak juga ikut dengan mereka, katanya sekalian jalan-jalan untuk nyenengin emak. Entahlah, sepertinya ada embel-embel lain, makanya kak Airin begitu manisnya mengajak emak jalan-jalan."Tapi, Bapak janji. Setelah mengetahui semuanya nanti, Bapak harus tegas mengambilnya keputusan...""Ayo sini." bapak menarik tanganku untuk duduk di bangku di bawah pohon mangga.Setelah kami duduk, aku putar rekaman suara kak Airin bertengkar denganku tempo hari. Bapakku tak memberi tanggapan apa-apa tentang rekaman itu. Mukanya terlihat
"Dek..." panggil suamiku pelan."Hmm," sahutku seraya mengalihkan badanku berhadapan dengannya."Belum tidur," ucapnya lagi. Matanya menatapku lekat, seolah ingin menyampaikan sesuatu.Aku menggeleng."Dek, tadi bapak bilang...ingin mengalihkan sertifikat tanah itu atas namaku," ucapnya lagi dengan pelan."Hah!..." mataku terbelalak."Menurutmu bagaimana, Dek?" tanya bang Rozi lagi.Aku menarik napas panjang seraya menatap lelaki yang sangat kucintai itu."Aku yakin Abang pasti sudah tahu jawabannya," jawabku lembut. Aku terus menatapnya.Suamiku mengangguk, kemudian tersenyum seolah mengisyaratkan kalau dia mengerti dengan apa yang kupikirkan.___________________"Bang Rozi! Bang Rozi!" lengkingan suara terdengar dari teras rumahku. Rumah yang hanya sepetak ini memudahkan suara itu sampai di telingaku, walaupun aku di belakang rumah sekalipun.Aku bergegas menuju teras, di sana telah berdiri Rido sambil berkacak pinggang."Mana bang Rozi, Kak?" tanya Rido saat melihatku."Ada, lagi i
"Bapak kenapa?" tanyaku pada lelaki cinta pertamaku itu. Lelaki paruh baya itu sedang duduk termenung di depan TV yang sedang menyala, matanya sama sekali tak fokus kepada layar kaca itu."Hmmm... nggak ada apa-apa, Nak," jawabnya pelan, ia terlihat menarik napas dalam-dalam."Ayo cerita pada Resti, Pak," ucapku seraya memegang tangannya.Bapak menoleh, tapi terlihat seperti ragu berbicara."Resti akan jadi pendengar yang baik. Ayo cerita, Pak. Jangan di pendem sendiri," ucapkan lagi seraya bergelayut manja di tangan yang telah menafkahi ku itu.Bapakku mengangguk, "Bapak bingung, Nak... Emakmu terus memaksa bapak menjual tanah itu," ucapnya pelan, terdengar seperti bisikan di telingaku."Tapi, setelah melihat kelakuan Rido dan Airin bapak tak rela kalau uangnya di serahkan pada mereka." aku masih diam mendengarkan curhat bapakku, tak ingin berkomentar apapun, karena tadi aku sudah berucap kalau aku akan jadi pendengar yang baik."Bagaimana menurutmu, Nak?" bapak meminta pendapatku, o
"Abang saja yang pergi ya," ucapku pada bang Rozi. Malam ini, selepas magrib aku dan anak-anak di ajak ke rumah emak oleh bang Rozi, katanya besok Rido mau pergi. Jadi malam ini kami di suruh kumpul bersama di sana."Jangan gitu dong, Dek. Ini bapak yang minta, masak Adek tolak," balas bang Rozi pula."Tapi, Bang...""Kenapa?...Kau takut di sindir emak dan Airin," ucapnya lagi, seolah bisa membaca pikiranku.Aku tersenyum kecut mendengar ucapannya, "Tenang ada...Abang," ucapnya seraya berlagak seperti jagoan.Aku tersenyum geli melihat tingkah lelaki-ku itu, "Sudah... nggak usah di ambil hati, biarkan saja mereka bicara apa, yang penting Adek tetap yang terbaik di hati abang." kali ini bang Rozi berbicara seraya tersenyum dan mengedip-ngedipkan matanya. Ya Tuhan, dia berusaha merayuku. Tapi, Tak bisa di pungkiri hatiku merasa tersanjung mendengar ucapannya.Akhirnya kami pun pergi ke rumah emak, tetap seperti biasa bang Rozi mengantar anak-anak dulu, baru kemudian menjemputku berdua d
"Aku mau pulang!" teriak Airin dari dalam kamarnya. Aku dan Resti saling berpandangan, walau kami sedang berada di dapur namun suara Airin terdengar jelas. Ya, setelah musyawarah tadi, aku melanjutkan mencuci piring dan Resti menyapu lantai."Sabar, Dek.jangan malam ini...mas janji besok pagi, pagi-pagi sekali kita pulang." suara Rido terdengar sangat jelas dari arah dapur. Oh... rupanya Rido Airin memang berjalan ke arah sini, tepatnya Rido berusaha mengejar Airin dari belakang."Nggak... Mas, aku merasa di permalukan di sini. Baru saja minta tolong, keluarga Mas sudah menghina ku, andai saja papa mamaku tahu, mereka pasti tak akan terima," ucap Airin dengan angkuhnya. "Kemarin bilang bersedia menjual tanah itu, tapi tiba-tiba sekarang tanah itu sudah beralih nama," Airin terus berjalan ke ruangan tanpa penyekat di sebelah dapur yang di khusus untuk menyetrika pakaian dan menyimpan peralatan rumah tangga yang jarang di pakai. Tangan lentiknya terus memilah-milah pakaian miliknya di
Rido mengalami patah tulang di kakinya, sedangkan Airin dan Raffa hanya mengalami luka ringan. Setelah menjalani operasi pemasangan pen Rido sudah di perbolehkan pulang.Sebenarnya emak dan bapak ingin membawa Rido pulang ke rumah mereka. Maksud emak dan bapak baik, saat dalam masa pemulihan ini Rido tinggal bersama mereka. Karena lebih tenang tinggal di desa dari pada di kota. Tapi, bukan Airin namanya dengan pongahnya dia menolak keinginan orang tua suaminya itu. Dia merasa sanggup mengurus suaminya, katanya nanti dia akan sewa suster khusus untuk merawat Rido, juga Rido akan di bawa terapi sesering mungkin. Dan itu akan di biayai oleh papa mamanya yang kata raya itu.Emak dan bapak pun hanya bisa menuruti kehendak Airin, walau pun berat dan mempunyai firasat tak baik, mereka akhirnya melepaskan Rido ikut pulang ke kota tempat tinggal Airin. Toh, Rido juga bersikeras ingin ikut dengan istrinya itu.Tapi, mertuaku itu tak lepas tangan begitu saja, mereka selalu mengirimkan uang untu