Share

(Bukan) Menikahi Suamimu
(Bukan) Menikahi Suamimu
Penulis: Camaraderie

1. Anak Itu Beban

“Bu, aku tidak mau menikah dengannya!” teriak Lakshmi sambil bercucuran dengan air mata. Dia baru saja pulang kampung setelah dua semester tak kunjung pulang.

Namun, yang didapatkannya adalah mandat dari orangtuanya yang menginginkan dia segera berkeluarga.

Wanita muda berusia sembilan belas tahun itu bahkan mendapatkan kabar yang mampu membuatnya luluh lantak di kala letih usai menempuh dua belas jam perjalanan.

“Kamu sudah besar, Lakshmi! Jangan kamu lancang di keluarga ini! Tetangga mulai membicarakan kamu! Bapak malu!” teriak Purwanto yang masih duduk di singgasana miliknya. Matanya menatap nyalang putri keduanya yang selalu membangkangnya itu.

Lakshmi semakin menatap nanar kedua orangtuanya. Ayahnya yang selalu bersikap otoriter dan juga ibunya yang selalu diam saja, sama sekali tak bisa membela keinginan anaknya jika bertentangan dengan keinginan kepala keluarga alias ayahnya.

“Apa kalian tidak bangga pada ku yang sudah bersusah payah mendapatkan beasiswa sampai kuliah gratis di luar kota?!” Bahkan nada bicara gadis itu terlanjur meninggi begitu mencerna mandat apa yang diberikan oleh ayahnya.

“Tidak! Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Kalian hanya perlu mengurus anak dan suami!” tegas Purwanto lagi sambil berdiri, tak mau mendengar alasan pembangkangan lainnya.

Lakshmi masih diam saja.

Kenapa keluarganya selalu saja memikirkan apa kata tetangga? Kenapa mereka tak bangga saat dirinya berhasil melanjutkan pendidikan tinggi di luar kota? Di kampus negeri peringkat kedua nasional? Kenapa mereka harus malu?!

Demi Tuhan. Dia baru saja berusia sembilan belas tahun namun ayahnya mendorongnya untuk segera berkeluarga?!

Tangannya terkepal kuat nan kencang sampai kukunya terus menekan permukaan telapak tangannya. Perih namun lebih perih hatinya saat mendapatkan perlakuan kejam yang mengikat kebebasan dan mimpinya.

Wanita paruh baya yang mengenakan daster dan rambut tersanggul sederhana menatap iba putrinya. Namun, apa yang dipegangnya adalah bahwa ucapan suami harus dia patuhi dan tak boleh membangkang. Suaranya seakan tertelan di telan sunyi dan histerisnya sang putri yang dia lahirkan.

Buru-buru, Suryani, ibu Lakshmi bangun, menghampiri Lakshmi dan memeluknya serta membujuknya. “Pahami keinginan Bapak Nak, kami hanya ingin kamu memiliki pendamping yang akan menanggung biaya hidup kamu Nak.”

Lakshmi menepis tangan Suryani yang merangkulnya. Maniknya nanar, menatap tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh ibunya saat ini.

“A apa Bu? Ibu bilang agar orang lain menanggung biaya hidupku? Lakshmi tidak percaya kalau Ibu mengorbankan anaknya agar beban hidup kalian berkurang.” Dia mendesis, penuh rasa benci di hatinya.

Betapa rendahnya makhluk perempuan di mata orangtuanya. Amarahnya menggelegak sampai hatinya sudah mendidih, emosinya sudah meninggi di saat tubuhnya meronta untuk beristirahat.

“Berkali-kali kalian berkata aku adalah beban! Sekarang pun kalian berpikir anak perempuan itu beban, hah?! Kenapa kalian memutuskan melahirkan anak jika hanya disuruh menikah hah?! Hati kalian di mana sebenarnya? Sekejam itu kalian sampai berkah dari Tuhan dianggap beban?!” cecarnya kepada Suryani, menyudutkan wanita yang telah melahirkannya itu.

Plak!!!

Suara benturan antara telapak tangan Suryani dan pipinya pun menggema. Telinganya berdenging hebat dan pandangannya blank seketika. Kosong.

Rasa perih, nyeri dan panas bersatu timbul akibat tamparan itu. Bahkan seluruh tubuhnya membeku seketika, semua kata-kata yang akan diungkapkannya bergantikan dengan diam akibat terkejut.

Semakin sunyi dan senyap. Hanya angin yang berdesau di luar dan masuk melewati ventilasi di atas jendela tanpa terhalang apa pun.

Dinginnya malam bahkan tak dirasakannya.

Dadanya naik turun, menatap nanar ibunya sendiri. “Ibu … berani menamparku?” desisnya merasa tak percaya.

Suryani pun nampak tak percaya. Dia terkesiap begitu dirinya menyadari sudah menyakiti Lakshmi.

“Ti tidak Nak, I Ibu tak sengaja,” kilahnya mencoba membela diri.

Lakshmi menggeleng, tersenyum begitu lemah. “Sebenarnya apa mimpi Ibu sampai mau berkeluarga? Berkembang biak dan membiarkan anaknya besar lalu dinikahi pria yang mau menanggung nasibnya? Otak kalian terlalu tak berguna sampai berpikir sempit.”

Kali ini Lakshmi segera menyeret ransel berat yang rela dia gendong saat harus transit menggunakan bus. Suryani sudah tak bisa berkata apa-apa bahkan pandangannya kabur saat air mata merebak di sudut matanya.

Nasib keluarga yang begitu kejam sampai tak bisa membuat pemikiran orangtuanya terbuka untuk sesaat. Bangga akan pencapaian anaknya tanpa campur tangan orang lain hanyalah sebuah oase di padang gurun bagi Lakshmi.

Brak!!!

Lakshmi sekencang-kencangnya menutup pintu triplek kamarnya sendiri. Napasnya sudah terengah-engah akibat menahan tangis karena hatinya yang lara.

Dia bahkan masih ingat satu tahun yang lalu, perjuangannya untuk menginjakkan kaki di kampus yang akan memberinya gelar sarjana.

Gadis remaja yang baru saja menyelesaikan ujian sekolah itu melangkah keluar usai bersalaman dengan pengawas. Tangannya terus menggenggam erat tali ranselnya, merasa gugup untuk menunggu lusa.

“Lakshmi!” Seseorang memanggilnya sambil melambaikan tangannya.

Anak remaja berambut cepak itu bersemangat menghampiri gadis berambut lurus nan hitam legam yang terikat bak ekor kuda. Senyumnya tak terhapus sama sekali begitu irisnya menemukan si gadis ayu dengan kulit tan khas wanita Jawa.

“Aldo, kamu sudah selesai ujiannya?” Lakshmi ikut tersenyum, menanyakan perihal ujian yang baru saja mereka kerjakan.

Lelaki yang bernama Aldo itu pun mengangguk. “Iya dong. Janjiku kan akan membelikanmu bakso kalau sudah selesai ujian di hari terakhir.”

Lakshmi bersemu memerah, merasa tersanjung dengan Aldo yang selalu ingat akan perkataannya.

“Ayo deh, nanti keburu ramai tempatnya.” Bahkan Aldo pun tak sabar untuk mengajak Lakshmi bergegas, spontan tangannya menarik tangan Lakshmi.

Blush! Wajah Lakshmi memanas seketika saat menyadari ada tangan pria yang menggenggam tangannya.

“Maaf, kelepsan.” Aldo menyengir saat sudah sampai di kedai bakso yang menjadi target bakso terenak menurut Lakshmi.

Lakshmi masih menunduk malu karenanya.

Kenangan manis itu bahkan bertambah manis dengan pengumuman yang dia lihat melalui komputer sekolah.

“Aku tidak mau lihat!” seru Lakshmi merasa gugup saat dia berusaha mengetikkan namanya di website seleksi penerimaan universitas nasional.

Teman-temannya pun menertawakannya dan mereka berkerumun untuk ikut melihat hasilnya. Hanya dua puluh siswa dan siswi di angkatan mereka yang mau meneruskan belajarnya ke perguruan tinggi. Mereka amat antusias untuk menyaksikan siapa saja yang lolos melalui seleksi nilai rapor dan prestasi itu.

“Sudah, sudah, biar aku yang tekan enter ya?” Bahkan Aldo mengambil alih sementara Lakshmi masih terus menutup wajahnya, merasa begitu gugup bukan main. Debaran di dadanya sedari tadi sudah cepat ritmenya seakan tahu kalau empunya tengah menunggu sesuatu yang mendebarkan.

“Aaaa! Aku tidak mau lihat.” Lakshmi bahkan sudah menunduk dalam-dalam.

“Hijau!” Serempak teman-temannya memberitahukan warna yang muncul usai menekan tombol enter.

Lakshmi menahan napasnya, tangannya turun perlahan. Bahkan kelopak matanya tak berkedip sama sekali saat melihat layar komputer.

“Kamu lolos Lakshmi!”

Teriakan menggema di telinganya sampai dia sendiri masih merasa tak percaya mendengarnya.

Camaraderie

Halo, halo, mohon dukunganya untuk novel ini yaaa ... jangan lupa tambahkan ke library dan kasih stone buat cerita otor yaaa, hihi, thank youuu

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status