“Bu, aku tidak mau menikah dengannya!” teriak Lakshmi sambil bercucuran dengan air mata. Dia baru saja pulang kampung setelah dua semester tak kunjung pulang.
Namun, yang didapatkannya adalah mandat dari orangtuanya yang menginginkan dia segera berkeluarga.
Wanita muda berusia sembilan belas tahun itu bahkan mendapatkan kabar yang mampu membuatnya luluh lantak di kala letih usai menempuh dua belas jam perjalanan.
“Kamu sudah besar, Lakshmi! Jangan kamu lancang di keluarga ini! Tetangga mulai membicarakan kamu! Bapak malu!” teriak Purwanto yang masih duduk di singgasana miliknya. Matanya menatap nyalang putri keduanya yang selalu membangkangnya itu.
Lakshmi semakin menatap nanar kedua orangtuanya. Ayahnya yang selalu bersikap otoriter dan juga ibunya yang selalu diam saja, sama sekali tak bisa membela keinginan anaknya jika bertentangan dengan keinginan kepala keluarga alias ayahnya.
“Apa kalian tidak bangga pada ku yang sudah bersusah payah mendapatkan beasiswa sampai kuliah gratis di luar kota?!” Bahkan nada bicara gadis itu terlanjur meninggi begitu mencerna mandat apa yang diberikan oleh ayahnya.
“Tidak! Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Kalian hanya perlu mengurus anak dan suami!” tegas Purwanto lagi sambil berdiri, tak mau mendengar alasan pembangkangan lainnya.
Lakshmi masih diam saja.
Kenapa keluarganya selalu saja memikirkan apa kata tetangga? Kenapa mereka tak bangga saat dirinya berhasil melanjutkan pendidikan tinggi di luar kota? Di kampus negeri peringkat kedua nasional? Kenapa mereka harus malu?!
Demi Tuhan. Dia baru saja berusia sembilan belas tahun namun ayahnya mendorongnya untuk segera berkeluarga?!
Tangannya terkepal kuat nan kencang sampai kukunya terus menekan permukaan telapak tangannya. Perih namun lebih perih hatinya saat mendapatkan perlakuan kejam yang mengikat kebebasan dan mimpinya.
Wanita paruh baya yang mengenakan daster dan rambut tersanggul sederhana menatap iba putrinya. Namun, apa yang dipegangnya adalah bahwa ucapan suami harus dia patuhi dan tak boleh membangkang. Suaranya seakan tertelan di telan sunyi dan histerisnya sang putri yang dia lahirkan.
Buru-buru, Suryani, ibu Lakshmi bangun, menghampiri Lakshmi dan memeluknya serta membujuknya. “Pahami keinginan Bapak Nak, kami hanya ingin kamu memiliki pendamping yang akan menanggung biaya hidup kamu Nak.”
Lakshmi menepis tangan Suryani yang merangkulnya. Maniknya nanar, menatap tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh ibunya saat ini.
“A apa Bu? Ibu bilang agar orang lain menanggung biaya hidupku? Lakshmi tidak percaya kalau Ibu mengorbankan anaknya agar beban hidup kalian berkurang.” Dia mendesis, penuh rasa benci di hatinya.
Betapa rendahnya makhluk perempuan di mata orangtuanya. Amarahnya menggelegak sampai hatinya sudah mendidih, emosinya sudah meninggi di saat tubuhnya meronta untuk beristirahat.
“Berkali-kali kalian berkata aku adalah beban! Sekarang pun kalian berpikir anak perempuan itu beban, hah?! Kenapa kalian memutuskan melahirkan anak jika hanya disuruh menikah hah?! Hati kalian di mana sebenarnya? Sekejam itu kalian sampai berkah dari Tuhan dianggap beban?!” cecarnya kepada Suryani, menyudutkan wanita yang telah melahirkannya itu.
Plak!!!
Suara benturan antara telapak tangan Suryani dan pipinya pun menggema. Telinganya berdenging hebat dan pandangannya blank seketika. Kosong.
Rasa perih, nyeri dan panas bersatu timbul akibat tamparan itu. Bahkan seluruh tubuhnya membeku seketika, semua kata-kata yang akan diungkapkannya bergantikan dengan diam akibat terkejut.
Semakin sunyi dan senyap. Hanya angin yang berdesau di luar dan masuk melewati ventilasi di atas jendela tanpa terhalang apa pun.
Dinginnya malam bahkan tak dirasakannya.
Dadanya naik turun, menatap nanar ibunya sendiri. “Ibu … berani menamparku?” desisnya merasa tak percaya.
Suryani pun nampak tak percaya. Dia terkesiap begitu dirinya menyadari sudah menyakiti Lakshmi.
“Ti tidak Nak, I Ibu tak sengaja,” kilahnya mencoba membela diri.
Lakshmi menggeleng, tersenyum begitu lemah. “Sebenarnya apa mimpi Ibu sampai mau berkeluarga? Berkembang biak dan membiarkan anaknya besar lalu dinikahi pria yang mau menanggung nasibnya? Otak kalian terlalu tak berguna sampai berpikir sempit.”
Kali ini Lakshmi segera menyeret ransel berat yang rela dia gendong saat harus transit menggunakan bus. Suryani sudah tak bisa berkata apa-apa bahkan pandangannya kabur saat air mata merebak di sudut matanya.
Nasib keluarga yang begitu kejam sampai tak bisa membuat pemikiran orangtuanya terbuka untuk sesaat. Bangga akan pencapaian anaknya tanpa campur tangan orang lain hanyalah sebuah oase di padang gurun bagi Lakshmi.
Brak!!!
Lakshmi sekencang-kencangnya menutup pintu triplek kamarnya sendiri. Napasnya sudah terengah-engah akibat menahan tangis karena hatinya yang lara.
Dia bahkan masih ingat satu tahun yang lalu, perjuangannya untuk menginjakkan kaki di kampus yang akan memberinya gelar sarjana.
Gadis remaja yang baru saja menyelesaikan ujian sekolah itu melangkah keluar usai bersalaman dengan pengawas. Tangannya terus menggenggam erat tali ranselnya, merasa gugup untuk menunggu lusa.
“Lakshmi!” Seseorang memanggilnya sambil melambaikan tangannya.
Anak remaja berambut cepak itu bersemangat menghampiri gadis berambut lurus nan hitam legam yang terikat bak ekor kuda. Senyumnya tak terhapus sama sekali begitu irisnya menemukan si gadis ayu dengan kulit tan khas wanita Jawa.
“Aldo, kamu sudah selesai ujiannya?” Lakshmi ikut tersenyum, menanyakan perihal ujian yang baru saja mereka kerjakan.
Lelaki yang bernama Aldo itu pun mengangguk. “Iya dong. Janjiku kan akan membelikanmu bakso kalau sudah selesai ujian di hari terakhir.”
Lakshmi bersemu memerah, merasa tersanjung dengan Aldo yang selalu ingat akan perkataannya.
“Ayo deh, nanti keburu ramai tempatnya.” Bahkan Aldo pun tak sabar untuk mengajak Lakshmi bergegas, spontan tangannya menarik tangan Lakshmi.
Blush! Wajah Lakshmi memanas seketika saat menyadari ada tangan pria yang menggenggam tangannya.
“Maaf, kelepsan.” Aldo menyengir saat sudah sampai di kedai bakso yang menjadi target bakso terenak menurut Lakshmi.
Lakshmi masih menunduk malu karenanya.
Kenangan manis itu bahkan bertambah manis dengan pengumuman yang dia lihat melalui komputer sekolah.
“Aku tidak mau lihat!” seru Lakshmi merasa gugup saat dia berusaha mengetikkan namanya di website seleksi penerimaan universitas nasional.
Teman-temannya pun menertawakannya dan mereka berkerumun untuk ikut melihat hasilnya. Hanya dua puluh siswa dan siswi di angkatan mereka yang mau meneruskan belajarnya ke perguruan tinggi. Mereka amat antusias untuk menyaksikan siapa saja yang lolos melalui seleksi nilai rapor dan prestasi itu.
“Sudah, sudah, biar aku yang tekan enter ya?” Bahkan Aldo mengambil alih sementara Lakshmi masih terus menutup wajahnya, merasa begitu gugup bukan main. Debaran di dadanya sedari tadi sudah cepat ritmenya seakan tahu kalau empunya tengah menunggu sesuatu yang mendebarkan.
“Aaaa! Aku tidak mau lihat.” Lakshmi bahkan sudah menunduk dalam-dalam.
“Hijau!” Serempak teman-temannya memberitahukan warna yang muncul usai menekan tombol enter.
Lakshmi menahan napasnya, tangannya turun perlahan. Bahkan kelopak matanya tak berkedip sama sekali saat melihat layar komputer.
“Kamu lolos Lakshmi!”
Teriakan menggema di telinganya sampai dia sendiri masih merasa tak percaya mendengarnya.
Halo, halo, mohon dukunganya untuk novel ini yaaa ... jangan lupa tambahkan ke library dan kasih stone buat cerita otor yaaa, hihi, thank youuu
Mimpi yang dibangunnya bersusah payah selama tiga tahun pun kandas hanya karena paksaan soal menikah di usia belia. Pertengkaran yang tak bisa dihindari pun masih membuatnya kalah. Bahkan ayahnya menjadi diktator kejam bagi kehidupannya. Sudah cukup puas dia harus menangis berhari-hari dan merasa marah pada kedua orangtuanya akan ketidakadilan yang dialaminya. Tok tok tok! Meski mendengar ketukan pintu berkali-kali, tetap saja Lakshmi enggan untuk beranjak. Kepalanya pusing, berputar hebat usai menangis terus menerus karena meratapi nasibnya yang sungguh mengenaskan. Tok tok tok! “Mbak Ami, ini Bagus,” tukas adik kesayangan Lakshmi itu. Lakshmi semakin tak ingin terlihat lemah di hadapan adiknya yang paling kecil. Yang mendengarkan seluruh cerita hidup sekaligus mimpi-mimpinya tanpa merasa jemu. Hatinya teramat sakit sampai dengan derai airmata saja tak dirasa cukup. Sudah satu minggu sejak keputusan final Purwanto, dia sudah terikat di dalam kerangkeng kecil yang siap mengekang
Semua anggota keluarga Lakshmi berkumpul di kamarnya. Para kakak-kakaknya, satu kakak perempuan yang tengah menggendong anak tersenyum juga, dan kedua kakak laki-lakinya pun tak kalah semangatnya mengucapkan selamat dan berbahagia karena pernikahan Lakshmi. Lakshmi semakin benci melihat senyum yang tersungging di bibir mereka. Dia muak, dia sama sekali tak menginginkan pernikahan. “Mbak enggak menyangka akhirnya kamu menikah, Ami,” ucap kakak perempuannya sambil tersenyum haru. “Kamu sebentar lagi menjadi istri, Lakshmi. Kamu tak perlu risau soal biaya hidupmu lagi. Ada laki-laki yang bertanggung jawab nantinya,” tukas salah satu kakak laki-lakinya. Lakshmi semakin menarik bibirnya menjadi segaris. Matanya bahkan sudah menatap penuh benci. “Kalian semua puas membuatku seperti ini hah?! Aku tak perlu ucapan selamat kalian yang busuk itu!” sentaknya cepat, sudah tak tahan mendengar basa basi busuk yang sama sekali tak memberinya penghiburan. Semua terdiam, menatap penuh rasa tak pe
Tangan Lakshmi bergetar hebat, matanya terus menerus menatap tak percaya lelaki yang ada di hadapannya. Merasa seperti terlempar ke jurang gunung berapi yang meletup-letup lavanya. Jantungnya bagai ditusuk hebat dengan panah beracun. Lelaki itu … lelaki yang selalu dia andalkan untuk menceritakan mimpi-mimpinya selama ini. Lelaki dengan mata sepekat zamrud dan hidung mancung dibingkai dengan rahang yang tegas yang amat dia percayai. “Pak … Hendra?” Suaranya spontan lolos bak desahan lemah. Tak bisa dirinya berkata-kata lagi. Dia ingin menangis saat ini juga. Amat sangat ingin menangis. Namun, tubuhnya seakan terhipnotis untuk memasangkan cincin di jari manisnya tapi tenaganya sudah tak bersisa. Cincin yang seharusnya terpasang di jari laki-laki itu tergelincir ke tanah. Trak! Semakin sesak dadanya sampai napasnya terengah-engah. Rasa sakit yang dihasilkan oleh keluarganya baru saja ingin ia kubur kini bertambah. Lelaki yang begitu baik padanya dan begitu membimbingnya di universi
“Saya tidak butuh penjelasan anda,” sergah Lakshmi cepat. Ia sungguh enggan untuk membalas tatapan Darius. Kapan dia mulai mengenal pria itu? Sejak Darius memperkenalkan diri sebagai dosen pembimbing namun sekaligus dosen tamu yang mengisi mata kuliah manajemen keuangan. Bagaimana dirinya yang ternganga saat pria itu memperkenalkan diri sebagai dosen pembimbing dan juga Lakshmi yang terkejut saat pria itu menjadi dosen tamu di universitasnya. Kala pertama dia mulai masuk ke dalam kelas saat itu. Lakshmi yang sudah tersenyum lebar pun menenteng tas miliknya. Dia tak sabar untuk mengikuti perkuliahan di hari pertama dan dia juga mulai menginjakkan kaki di universitas yang berada di ibu kota sekaligus universitas peringkat dua nasional. Kakinya terus melangkah cepat, berlari karena dia takut terlambat. Sengaja menunggu bus kampus di halte terdekat. Suara gemerisik air di danau yang tak jauh dari halte menjadi musiknya pagi ini. Matanya melihat sekeliling, banyak mahasiswa yang juga
Lagi, Darius menghela napasnya. Dia tak menyangka Lakshmi akan menjadi arca yang tak bergerak sedikit pun juga. Dia lagi-lagi meremas bahu gadis itu, menginginkan Lakshmi bisa merespon keinginannya untuk menjelaskan situasi mereka saat ini. Namun, bagi Lakshmi, penjelasan apa pun tak akan ada gunanya selagi semuanya sudah terlanjur dilakukan. Akad yang tadi dia lalui malah menambah rasa dendamnya. Melihat wajah pria itu saja dia sudah muak, seakan perutnya bergejolak dan ingin mengeluarkan seluruh isinya kalau bisa. “Baiklah, nanti aku akan menjelaskan di rumahku saja. Nanti malam, kamu akan segera pindah ke rumahku,” putusnya telak. Lakshmi tak peduli sama sekali. Dia hanya menatap cermin dengan pandangan datar saja. Tak ingin melihat pria itu lebih lama di dalam kamarnya saat ini. Bisakah dia mengusirnya? Ah, mungkin nanti ayahnya malah akan semakin memiliki alasan untuk mendebat sekaligus membuatnya menjadi rendahan. Darius mundur, dia membuka pintu dan mempersilakan perias pen
“Bersiaplah, kamu perlu berganti baju dan juga membersihkan diri kalau mau,” tukas Darius yang sudah selesai berbincang dengan keluarga Lakshmi sementara istrinya enggan berbicara dengan keluarganya sendiri. Sebenarnya Darius ingin bertanya kenapa Lakshmi sampai begitu enggan berbicara barang sebentar dengan kedua orangtuanya, sementara mertuanya terus mengkhawatirkan putrinya itu. Lakshmi hanya mengangguk saja. Dia memilih untuk mengambil baju di lemari kayu miliknya yang sudah reyot dan juga sudah gopok. Dia berbalik, masih saja menatap Darius dingin. “Keluarlah dulu, jika anda ingin saya cepat berkemas,” sindirnya. Darius semakin ingin sekali mengurung gadis itu ke pelukannya kalau bisa. Sayangnya, ia hanya bisa menurut saja untuk saat ini. Melangkah keluar kamar dan menunggu istrinya bersiap. Lakshmi menghela napasnya, lelah. Ia hanya ingin tidur kalau bisa. Namun, semakin lama dia berada di rumah yang sama dengan ayah dan ibunya malah semakin menambah kadar sesak yang dirasak
Yang tak diketahui oleh Lakshmi, Darius mencoba menghibur ibu istri keduanya itu. Mendengar tangisan sedih saja sudah membuatnya enggan dan ingin segera beranjak namun karena dia masih mencoba menghormati mertuanya, dia masih duduk sambil mendengarkan beberapa permohonan.“Kami pamit dulu ya Bu? Nanti jika Lakshmi libur, tentunya saya akan mengajaknya singgah ke rumah walau hanya sehari,” janji Darius yang diantar sampai keluar pintu.Suryani mengangguk, tersenyum. Tangannya terus mengusap lengan sang menantu. “Tolong jaga Putri Ibu ya? Kadang Lakshmi suka lupa makan,” lirihnya penuh harap.Lagi-lagi Darius mengangguk. Dia meletakkan barang-barang yang ditata di dalam kardus, milik sang istri sekaligus miliknya dari seserahan tadi. Dia merogoh dompet di saku celananya. Mengeluarkan beberapa lembar uang merah dengan nominal tertinggi.“Ini … saya ada sedikit uang, semoga bisa menambah pemasukan Ibu dan Bapak,” ucapnya sebelum pamit.Purwanto tersenyum, bangga. Tak sia-sia dia menerima
“Ti tidak perlu! Saya di sini … saja,” cicit gadis bersurai panjang itu dengan wajah menunduk. Dia memang sedang gugup, memikirkan satu kamar dengan pria lain saja sudah membuat tubuhnya jumpalitan.Dia bukannya tak menyadari kalau sudah menikah, tetapi sekamar dengan pria di saat dia masih perawan adalah hal yang tak bisa dia terima.Bibir Darius berkedut mendengarnya. Dia bisa melihat kekhawatiran dan tingkat waspada Lakshmi menjadi meningkat dua kali lipat setelah melangkah masuk ke dalam kamar.Darius sedang tak ingin berdebat. Sejujurnya otot-otot di tubuhnya sudah terlalu tegang dan membutuhkan rileksasi. Dia sampai berbalik, memijat keningnya sendiri. Dengan mata telanjang, Lakshmi bisa melihat punggungnya yang kuat dan bahu yang lebar.Betapa Darius nampak frustrasi menghadapi gadis keras kepala itu.Dia berbalik, menatap tajam Lakshmi. “Aku sedang tak mau berdebat dengan sikap kekeraskepalaan kamu, Lakshmi. Sebaiknya malam ini kita bekerja sama.”Lakshmi memilih mengalihkan p