Mimpi yang dibangunnya bersusah payah selama tiga tahun pun kandas hanya karena paksaan soal menikah di usia belia.
Pertengkaran yang tak bisa dihindari pun masih membuatnya kalah. Bahkan ayahnya menjadi diktator kejam bagi kehidupannya. Sudah cukup puas dia harus menangis berhari-hari dan merasa marah pada kedua orangtuanya akan ketidakadilan yang dialaminya.
Tok tok tok!
Meski mendengar ketukan pintu berkali-kali, tetap saja Lakshmi enggan untuk beranjak. Kepalanya pusing, berputar hebat usai menangis terus menerus karena meratapi nasibnya yang sungguh mengenaskan.
Tok tok tok!
“Mbak Ami, ini Bagus,” tukas adik kesayangan Lakshmi itu.
Lakshmi semakin tak ingin terlihat lemah di hadapan adiknya yang paling kecil. Yang mendengarkan seluruh cerita hidup sekaligus mimpi-mimpinya tanpa merasa jemu.
Hatinya teramat sakit sampai dengan derai airmata saja tak dirasa cukup. Sudah satu minggu sejak keputusan final Purwanto, dia sudah terikat di dalam kerangkeng kecil yang siap mengekangnya.
Dia pun beranjak, berjalan terseok-seok tanpa tenaga. Membuka pintu demi membiarkan si adik bungsu masuk ke dalam kamarnya.
“Ada apa Gus? Kenapa kamu ke sini,” lirihnya.
Bahkan dia menjadi sosok paling tak berdaya di antara para kakak si bungsu. Dia bahkan merasa malu untuk mengangkat wajahnya pada Bagus.
Bagus, remaja yang baru berusia empat belas tahun itu pun memandang iba kakak yang amat dia banggakan. Bahkan jika dia ditanya siapa orang yang paling berharga baginya, maka dia akan menjawab kalau Lakshmi lah orangnya.
Hanya Lakshmi yang memiliki kehidupan berani di matanya.
Bagus ingin rasanya membawa kabur Lakshmi kalau bisa. Dia mengenal Lakshmi teramat sangat. Lakshmi yang selalu mengurusnya dari kecil, bahkan dia berpikir kalau Lakshmi adalah ibu pertama baginya meskipun tak melahirkan dirinya.
Bagus segera maju, tangannya terangkat merangkul erat tubuh Lakshmi. Memberikan ruang dan tubuhnya untuk memberikan sedikit dukungan.
Dia melihat jelas wajah lesu Lakshmi, bertanda seakan tak ada kehidupan di mata wanita itu. Terlalu kejam orangtuanya sampai menerima lamaran pria hidung belang untuk kakaknya. Sinting! Dia bahkan amat tahu kalau pernikahan itu tak akan pernah diinginkan oleh Lakshmi.
Lakshmi semakin menahan tangisnya, benar-benar tak ada salah satu pun keluarganya yang seperti Bagus. Memeluknya kala dia benar-benar terpuruk.
“Makan dulu ya Mbak? Bagus enggak senang liat Mbak begini. Manfaatkan si bandot itu untuk Mbak ambil uangnya. Kuliah tetap lanjut, kalau perlu habiskan saja uangnya Mbak.”
Lakshmi terdiam mendengarnya. Sesak di dadanya teramat sangat mengimpit sampai rasanya dia sudah muak untuk menangis demi mendapatkan kebebasannya.
Bagaimana bisa Bagus berpikir begitu? Dia hanyalah bocah yang usianya masih awal belasan tahun.
Lakshmi menggeleng, dia tersenyum meringis. Tangannya ikut membalas pelukan Bagus yang memiliki tubuh cungkring.
“Harusnya kamu yang makan banyak, Gus. Badan kamu kurus begini,” ringisnya. Dia amat menyadari kalau keluarga mereka miskin. Bahkan Bagus harus minum air tajin saat ASI sang ibu seret. Bahkan Bagus diberi makan bubur nasi bukannya bubur bayi dan MPASI yang baik.
“Begini-begini, Bagus itu kuat kok kalau disuruh kuli.”
Sontak Lakshmi melepaskan pelukannya, menatap tajam si adik bungsu. “Jangan pernah kamu kuli! Sekolah lah yang tinggi sampai kamu bisa bekerja kantoran, sampai orang-orang tak lagi memandang jelek pada kita,” desisnya seakan menaruh sumpah itu kepada si bungsu.
Bagus hanya menyengir saja. “Jadi Mbak juga enggak boleh menyerah. Bagus mau liat Mbak jadi orang sukses, keliling dunia seperti yang Mbak mau, berfoto di Menara Eiffel dan berenang di danau Swiss.’
Lakshmi semakin tersenyum. Di saat kakaknya tak ada yang datang untuk menghiburnya, di saat orangtuanya lebih memilih mengabaikan penolakannya, adik bungsunya lah yang menghiburnya saat ini.
Air matanya bahkan mengalir lagi, mencoba tersenyum dan mengangguk di hadapan Bagus. Dia kembali merengkuh tubuh kurus adiknya, menangis tersedu sedan.
Dia berjanji, hanya hari ini saja dia menangis seperti ini. Derita yang dia alami akan dijadikan balas dendam. Dia tak pernah mau berterima kasih kepada orangtua yang memutuskan melahirkannya namun malah memaksanya menuruti keinginan mereka.
***
“Nak, bangun. Sudah saatnya kamu dirias.” Suryani mengguncang tubuh putrinya pelan. Sebenarnya selama tujuh hari ini dia sudah malu untuk menampakkan wajah di depan Lakshmi.
Dia menjadi orang yang membuang kebebasan putrinya sendiri. Bahkan tangisan airmata penuh penyesalan itu pun tak mungkin bisa membayarnya untuk keadaan ini.
Lakshmi sayup-sayup mendengar suara yang mengganggu tidurnya. Semakin mengenali suara itu, semakin cepat dia bangun. Tanpa suara, mengabaikan kehadiran ibunya dan memilih untuk segera melakukan salat subuh.
Suryani semakin menunduk, diam membisu. Hatinya sakit saat diabaikan oleh Lakshmi saat ini. Memilih untuk keluar kamar dan segera mempersiapkan hal lainnya. Pagi ini, akan ada akad putrinya dengan lelaki yang telah melamarnya.
Lakshmi merasakan pusing di kepalanya. Dia hanya mampu memijat keningnya saja, duduk di depan meja rias dengan cermin besar yang memantulkan bayangan wajahnya.
Ia meringis, melihat wajahnya yang babak belur tak terawat. Bahkan dia sendiri tak pernah mengenal yang namanya skincare. Kehidupan remajanya terlalu keras untuk bisa menggapai mimpi, yang saat ini sudah menjadi mustahil baginya.
Tangannya terkepal kencang, amarahnya seakan tak pernah reda memikirkan ayahnya sendiri. Bahkan marahnya mengular pada kakak-kakaknya yang terlalu kejam untuknya.
“Ayo, dirias dulu ya Mbak?” utas sang MUA yang diyakini olehnya belum berpengalaman dan seadanya.
Masa bodo mengenai uang mahar dan lain sebagainya. Dia akan meminta ganti kebebasannya sebelum akad.
“Beruntung loh, anakmu iku dikawini sama putra juragan. Meski istri kedua, pasti hidupnya makmur. Kamu juga akan makmur, Yani.”
Suara obrolan terdengar bahkan sampai ke kamarnya. Kamar yang hanya berdindingkan anyaman bambu tentu tak akan bisa menghasilkan ruang kedap suara.
Yang mendengar bukan hanya dia seorang, melainkan dua perias yang sibuk merias wajahnya. Bahkan wanita itu pun ikut meringis, tak terkejut dengan berita pernikahan istri kedua anak juragan.
Tck, apa istimewanya menjadi istri kedua? Bahkan Lakshmi semakin merasa benci kepada lelaki yang berani-beraninya melamar gadis remaja yang sedang di tahap dewasa awal.
“Sudah selesai Mbak.”
Lakshmi segera membuka matanya. Dia tak akan memuji riasan yang menjadikan wajahnya cantik dengan sanggul besar yang berhiaskan susunan melati dan juga cunduk mentul. Beban di kepalanya masih belum ada apa-apanya dibandingkan beban hidupnya.
“Terima kasih.” Bahkan nada suaranya datar tanpa emosi.
Ada banyak benci yang ia sematkan kepada orang-orang. Termasuk keluarganya sendiri saat ini. Dia sudah tak akan pernah menganggap mereka keluarga lagi.
“Cantik sekali kamu Nak.” Suryani masuk ke dalam kamar, memberanikan diri untuk melihat putrinya. Senyumannya nampak semringah.
Namun, Lakshmi masih saja menatap datar. Tak merasa bahagia dengan pujian itu.
Semua anggota keluarga Lakshmi berkumpul di kamarnya. Para kakak-kakaknya, satu kakak perempuan yang tengah menggendong anak tersenyum juga, dan kedua kakak laki-lakinya pun tak kalah semangatnya mengucapkan selamat dan berbahagia karena pernikahan Lakshmi. Lakshmi semakin benci melihat senyum yang tersungging di bibir mereka. Dia muak, dia sama sekali tak menginginkan pernikahan. “Mbak enggak menyangka akhirnya kamu menikah, Ami,” ucap kakak perempuannya sambil tersenyum haru. “Kamu sebentar lagi menjadi istri, Lakshmi. Kamu tak perlu risau soal biaya hidupmu lagi. Ada laki-laki yang bertanggung jawab nantinya,” tukas salah satu kakak laki-lakinya. Lakshmi semakin menarik bibirnya menjadi segaris. Matanya bahkan sudah menatap penuh benci. “Kalian semua puas membuatku seperti ini hah?! Aku tak perlu ucapan selamat kalian yang busuk itu!” sentaknya cepat, sudah tak tahan mendengar basa basi busuk yang sama sekali tak memberinya penghiburan. Semua terdiam, menatap penuh rasa tak pe
Tangan Lakshmi bergetar hebat, matanya terus menerus menatap tak percaya lelaki yang ada di hadapannya. Merasa seperti terlempar ke jurang gunung berapi yang meletup-letup lavanya. Jantungnya bagai ditusuk hebat dengan panah beracun. Lelaki itu … lelaki yang selalu dia andalkan untuk menceritakan mimpi-mimpinya selama ini. Lelaki dengan mata sepekat zamrud dan hidung mancung dibingkai dengan rahang yang tegas yang amat dia percayai. “Pak … Hendra?” Suaranya spontan lolos bak desahan lemah. Tak bisa dirinya berkata-kata lagi. Dia ingin menangis saat ini juga. Amat sangat ingin menangis. Namun, tubuhnya seakan terhipnotis untuk memasangkan cincin di jari manisnya tapi tenaganya sudah tak bersisa. Cincin yang seharusnya terpasang di jari laki-laki itu tergelincir ke tanah. Trak! Semakin sesak dadanya sampai napasnya terengah-engah. Rasa sakit yang dihasilkan oleh keluarganya baru saja ingin ia kubur kini bertambah. Lelaki yang begitu baik padanya dan begitu membimbingnya di universi
“Saya tidak butuh penjelasan anda,” sergah Lakshmi cepat. Ia sungguh enggan untuk membalas tatapan Darius. Kapan dia mulai mengenal pria itu? Sejak Darius memperkenalkan diri sebagai dosen pembimbing namun sekaligus dosen tamu yang mengisi mata kuliah manajemen keuangan. Bagaimana dirinya yang ternganga saat pria itu memperkenalkan diri sebagai dosen pembimbing dan juga Lakshmi yang terkejut saat pria itu menjadi dosen tamu di universitasnya. Kala pertama dia mulai masuk ke dalam kelas saat itu. Lakshmi yang sudah tersenyum lebar pun menenteng tas miliknya. Dia tak sabar untuk mengikuti perkuliahan di hari pertama dan dia juga mulai menginjakkan kaki di universitas yang berada di ibu kota sekaligus universitas peringkat dua nasional. Kakinya terus melangkah cepat, berlari karena dia takut terlambat. Sengaja menunggu bus kampus di halte terdekat. Suara gemerisik air di danau yang tak jauh dari halte menjadi musiknya pagi ini. Matanya melihat sekeliling, banyak mahasiswa yang juga
Lagi, Darius menghela napasnya. Dia tak menyangka Lakshmi akan menjadi arca yang tak bergerak sedikit pun juga. Dia lagi-lagi meremas bahu gadis itu, menginginkan Lakshmi bisa merespon keinginannya untuk menjelaskan situasi mereka saat ini. Namun, bagi Lakshmi, penjelasan apa pun tak akan ada gunanya selagi semuanya sudah terlanjur dilakukan. Akad yang tadi dia lalui malah menambah rasa dendamnya. Melihat wajah pria itu saja dia sudah muak, seakan perutnya bergejolak dan ingin mengeluarkan seluruh isinya kalau bisa. “Baiklah, nanti aku akan menjelaskan di rumahku saja. Nanti malam, kamu akan segera pindah ke rumahku,” putusnya telak. Lakshmi tak peduli sama sekali. Dia hanya menatap cermin dengan pandangan datar saja. Tak ingin melihat pria itu lebih lama di dalam kamarnya saat ini. Bisakah dia mengusirnya? Ah, mungkin nanti ayahnya malah akan semakin memiliki alasan untuk mendebat sekaligus membuatnya menjadi rendahan. Darius mundur, dia membuka pintu dan mempersilakan perias pen
“Bersiaplah, kamu perlu berganti baju dan juga membersihkan diri kalau mau,” tukas Darius yang sudah selesai berbincang dengan keluarga Lakshmi sementara istrinya enggan berbicara dengan keluarganya sendiri. Sebenarnya Darius ingin bertanya kenapa Lakshmi sampai begitu enggan berbicara barang sebentar dengan kedua orangtuanya, sementara mertuanya terus mengkhawatirkan putrinya itu. Lakshmi hanya mengangguk saja. Dia memilih untuk mengambil baju di lemari kayu miliknya yang sudah reyot dan juga sudah gopok. Dia berbalik, masih saja menatap Darius dingin. “Keluarlah dulu, jika anda ingin saya cepat berkemas,” sindirnya. Darius semakin ingin sekali mengurung gadis itu ke pelukannya kalau bisa. Sayangnya, ia hanya bisa menurut saja untuk saat ini. Melangkah keluar kamar dan menunggu istrinya bersiap. Lakshmi menghela napasnya, lelah. Ia hanya ingin tidur kalau bisa. Namun, semakin lama dia berada di rumah yang sama dengan ayah dan ibunya malah semakin menambah kadar sesak yang dirasak
Yang tak diketahui oleh Lakshmi, Darius mencoba menghibur ibu istri keduanya itu. Mendengar tangisan sedih saja sudah membuatnya enggan dan ingin segera beranjak namun karena dia masih mencoba menghormati mertuanya, dia masih duduk sambil mendengarkan beberapa permohonan.“Kami pamit dulu ya Bu? Nanti jika Lakshmi libur, tentunya saya akan mengajaknya singgah ke rumah walau hanya sehari,” janji Darius yang diantar sampai keluar pintu.Suryani mengangguk, tersenyum. Tangannya terus mengusap lengan sang menantu. “Tolong jaga Putri Ibu ya? Kadang Lakshmi suka lupa makan,” lirihnya penuh harap.Lagi-lagi Darius mengangguk. Dia meletakkan barang-barang yang ditata di dalam kardus, milik sang istri sekaligus miliknya dari seserahan tadi. Dia merogoh dompet di saku celananya. Mengeluarkan beberapa lembar uang merah dengan nominal tertinggi.“Ini … saya ada sedikit uang, semoga bisa menambah pemasukan Ibu dan Bapak,” ucapnya sebelum pamit.Purwanto tersenyum, bangga. Tak sia-sia dia menerima
“Ti tidak perlu! Saya di sini … saja,” cicit gadis bersurai panjang itu dengan wajah menunduk. Dia memang sedang gugup, memikirkan satu kamar dengan pria lain saja sudah membuat tubuhnya jumpalitan.Dia bukannya tak menyadari kalau sudah menikah, tetapi sekamar dengan pria di saat dia masih perawan adalah hal yang tak bisa dia terima.Bibir Darius berkedut mendengarnya. Dia bisa melihat kekhawatiran dan tingkat waspada Lakshmi menjadi meningkat dua kali lipat setelah melangkah masuk ke dalam kamar.Darius sedang tak ingin berdebat. Sejujurnya otot-otot di tubuhnya sudah terlalu tegang dan membutuhkan rileksasi. Dia sampai berbalik, memijat keningnya sendiri. Dengan mata telanjang, Lakshmi bisa melihat punggungnya yang kuat dan bahu yang lebar.Betapa Darius nampak frustrasi menghadapi gadis keras kepala itu.Dia berbalik, menatap tajam Lakshmi. “Aku sedang tak mau berdebat dengan sikap kekeraskepalaan kamu, Lakshmi. Sebaiknya malam ini kita bekerja sama.”Lakshmi memilih mengalihkan p
Darius masih diam saja saat pagi ini dia mengajak Lakshmi untuk pulang. Dia masih mengingat jelas semalam Lakshmi yang menangis lirih di dalam selimut. Apa Lakshmi pikir tangisannya tak terdengar? Demi Tuhan, bahkan tangisan itulah yang membuatnya semakin susah untuk tidur. Dan dia pun tertidur di jam tiga pagi!Bagaimana pusingnya dia saat ini ketika harus mengendarai mobil untuk ke rumah dan membuka mata agar tak terjadi kecelakaan tentunya. Namun, tangisan lirih penuh penghayatan itu malah semakin terngiang-ngiang di kepalanya.“Kuharap kamu akan menyukai rumah kita.”Kita?Lakshmi mendengus geli mendengarnya. “Rumah anda yang dimaksud,” ralatnya segera.“Rumah kita. Rumah untuk tempat tinggal kita berdua.” Darius masih tak paham dengan sindiran itu.“Oh, pasti istri pertama akan merasa sakit hati luar biasa ya saat ini? Pulang-pulang membawa istri baru,” sindir Lakshmi kembali.Darius menoleh, menatap Lakshmi tak percaya. Rahangnya mengeras saat gadis itu mneyindirnya telak. Ada b