Semua anggota keluarga Lakshmi berkumpul di kamarnya. Para kakak-kakaknya, satu kakak perempuan yang tengah menggendong anak tersenyum juga, dan kedua kakak laki-lakinya pun tak kalah semangatnya mengucapkan selamat dan berbahagia karena pernikahan Lakshmi.
Lakshmi semakin benci melihat senyum yang tersungging di bibir mereka. Dia muak, dia sama sekali tak menginginkan pernikahan.
“Mbak enggak menyangka akhirnya kamu menikah, Ami,” ucap kakak perempuannya sambil tersenyum haru.
“Kamu sebentar lagi menjadi istri, Lakshmi. Kamu tak perlu risau soal biaya hidupmu lagi. Ada laki-laki yang bertanggung jawab nantinya,” tukas salah satu kakak laki-lakinya.
Lakshmi semakin menarik bibirnya menjadi segaris. Matanya bahkan sudah menatap penuh benci.
“Kalian semua puas membuatku seperti ini hah?! Aku tak perlu ucapan selamat kalian yang busuk itu!” sentaknya cepat, sudah tak tahan mendengar basa basi busuk yang sama sekali tak memberinya penghiburan.
Semua terdiam, menatap penuh rasa tak percaya saat mendapatkan sentakan dari adik mereka yang tak pernah banyak bersuara.
“Lakshmi! Kamu tak sopan kepada kakak-kakakmu!” Kali ini Suryani ikut membentak.
“Kami semua ingin kamu bahagia, Ami.”
Lakshmi semakin sinis mendengarnya. Rasanya dia ingin membunuh semua keluarganya jika bisa. Sayangnya, dia masih takut dosa.
“Apa? Bahagia kau bilang?! Aku bahkan tak pernah bermimpi menikah muda! Kalian semua hanya mencari alasan, takut kalau aku meminta uang kepada kalian! Menganggap aku beban hanya karena aku pulang dan makan sehari-hari!” cecar Lakshmi lagi.
“Lakshmi! Jaga bicaramu!” Kali ini yang menyentak bukan lagi kakak perempuannya, tapi melainkan anak laki-laki dan anak sulung yang jarang bersuara dan selalu berwajah datar.
Lakshmi semakin panas, bahkan di dalam kamar itu pun sudah terdengar sampai luar keributannya. Semua sanak saudara dan kerabat yang tengah berada di dalam rumah pun ikut terdiam.
“Sejak kapan kalian peduli padaku hah?! Kalian khawatir aku meminta uang untuk biaya kuliah! Bahkan sepeser pun sampai saat ini aku tak pernah minta! Sekarang, dengan seenaknya kalian menjodohkanku! Menerima pinangan dari pria bangkotan yang katanya anak juragan! Rela melihat anak dan adik kalian dinikahi untuk dijadikan istri kedua!” Nada bicara Lakshmi semakin meninggi, biar saja dia dicap sebagai anak durhaka. Ia sudah tak peduli.
Semua diam.
“Terserah padamu Lakshmi, aku keluar dulu Bu,” desis kakak pertama Lakshmi yang sudah enggan untuk berkumpul.
Airmata sang ibu dan juga kakak perempuan Lakshmi sudah mengalir deras. Sementara kakak keduanya masih saja diam membisu. Seakan Lakshmi sudah melempar granat ke wajah mereka semua.
“Apa jawaban kalian dengan kebabasanku yang kalian renggut? Kalian memperlakukanku seperti barang yang bisa dilontarkan dan dijual dengan seharga mahar. Persetan! Kalian hanya memikirkan uang saja!” tekannya, dia sudah tak ingin berbasa-basi lagi.
“Setelah ini, saat aku sudah menjadi istri dari pria bangkotan itu, cukup sampai sini saja hubungan keluarga yang aku anggap. Setelahnya, bahkan aku tak akan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi.”
“Lakshmi!!!”
“Lakshmita Arjanti jaga bicaramu!!!”
Semua orang di dalam kamar itu tercekat, mendengar suara yang mereka sangat kenal. Purwanto, ayah mereka. Yang tiba-tiba saja sudah ada di dalam kamar. Berdiri dengan mata melotot ke arah putrinya, Lakshmi.
“Tidak perlu Bapak menasihatiku, aku sudah tak butuh. Bahkan aku tak pernah percaya restu orang tua.” Lakshmi segera bangun, menyeret tubuhnya keluar kamar.
Tangisan Suryani semakin melengking, begitu juga kakak perempuannya. Tapi Lakshmi sudah tak peduli. Dia bagaikan alat yang digunakan saat butuh dan dijual saat sudah menjadi beban. Bahkan dia tak merasa kedua orangtuanya merawatnya.
Semua orang menahan napasnya, yang tadi berbisik saling menggosip pun bahkan tak bersuara ketika sang pengantin wanita keluar dari kediamannya.
Mata mereka memandangnya intens, tapi Lakshmi tak peduli. Dia lebih baik menuju kamar Bagus dan menguncinya.
“Bagus, tolong kabari Mbak kalau akad dimulai,” ucapnya pada Bagus yang juga terperangah. Tak menyangka Lakshmi akan membuat keributan seperti saat ini.
Bagus hanya mengangguk saja. Dia pun tak rela melihat kakak yang amat dicintainya itu menderita.
***
“Mbak, ayo keluar. Akad akan dimulai.” Bagus segera memberitahukan di saat penghulu datang.
Suryani tak berani untuk memberitahukannya secara langsung, dia terlanjur shock dengan perlakuan Lakshmi. Sementara kakak-kakaknya sudah enggan berurusan dengan adik mereka yang keras kepala dan beberapa ucapan Lakshmi menohok sampai ke sudut hati mereka.
Sementara Purwanto masih sibuk berbincang dengan para tetua dan tamu kehormatan.
Lakshmi membiarkan pintu terbuka. Dia digandeng Bagus, dituntun menuju pelaminan. Bahkan dia tak pernah ingin bertanya mengenai rupa calon suaminya. Dia tak pernah berangan mendapatkan apa pun dari pernikahannya selama tujuh hari menolak. Dia sudah muak.
Matanya terus melihat langkah kakinya saja. Berjalan normal dengan hati yang sudah beku. Tanpa tahu kalau ada pria yang terus menatapnya sampai Lakshmi berdiri di hadapannya.
Pria itu tersenyum semringah, melihat si gadis yang sudah berias cantik.
Lakshmita Arjanti. Namanya bahkan sukses membuat debaran di dadanya meningkat pesat. Semakin kencang seakan mendobrak barisan rusuk yang melindungi jantungnya.
“Baik, karena kedua calon mempelai sudah di sini, mari kita segera mulai saja akadnya.”
Lakshmi duduk di samping pria yang jelas dia kenali bajunya. Baju yang sama dengan pakaian adat yang dipakainya.
Dia hanya menunduk, enggan untuk melihat wajah-wajah antusias yang menjijikkan baginya.
Tangan sang ayah sudah berjabat dengan tangan calon mempelai pria, semua orang mulai mendengarkan tanpa suara dan penuh khidmat.
“Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Darius Raymond Mahendra bin Erwin Mahendra dengan Ananda Lakshmita Arjanti binti Purwanto dengan maskawin perhiasan dua puluh empat karat seberat tiga puluh gram dan uang sebesar dua puluh lima juta rupiah dibayar tunai.”
Mendengar jumlah mas kawin membuat napas yang menyaksikan semakin terhenti. Mata mereka terbelalak dan mulai saling berbisik.
Lakshmi sama sekali tak mendengar jelas. Di dalam pikirannya hanya ada rasa benci dan dendam yang mulai menggunung.
“Saya terima nikah dan kawinnya Lakshmita Arjanti binti Purwanto dengan maskawin tersebut dibayar tunai.”
Dalam satu tarikan napas, kalimat kabul diucapkan penuh ketegasan.
“Alhamdulillah.”
Semua orang mulai bernapas lega, merasa lega dengan proses akad yang begitu cepat dan lancar. Bahkan semuanya sudah tersenyum semringah, merasa ikut berbahagia dengan apa yang dirasakan oleh sang pengantin. Mungkin, hanya pengantin pria saja. Sedangkan pengantin wanita hanya duduk menunduk saja.
“Ayo, pasangkan cincinnya.” Bahkan sang wali nikah pun mencoba memerintah sang pengantin saling bertukar cincin.
Lakshmi menarik napasnya panjang sebelum akhirnya tangannya ditarik oleh pria yang duduk di sampingnya.
Mau tak mau dia bahkan harus mengangkat pandangannya. Saat itu juga dia seakan sedang melihat sesuatu yang bisa membuat nyawanya tercabut saat itu juga.
Menahan suaranya yang siap menjerit kala melihat wajah seorang pria yang amat sangat dikenalinya.
“Halo Lakshmi,” sapa pria itu sambil tersenyum sedangkan tangannya memasangkan cincin di jari manis gadis itu.
Tangan Lakshmi bergetar hebat, matanya terus menerus menatap tak percaya lelaki yang ada di hadapannya. Merasa seperti terlempar ke jurang gunung berapi yang meletup-letup lavanya. Jantungnya bagai ditusuk hebat dengan panah beracun. Lelaki itu … lelaki yang selalu dia andalkan untuk menceritakan mimpi-mimpinya selama ini. Lelaki dengan mata sepekat zamrud dan hidung mancung dibingkai dengan rahang yang tegas yang amat dia percayai. “Pak … Hendra?” Suaranya spontan lolos bak desahan lemah. Tak bisa dirinya berkata-kata lagi. Dia ingin menangis saat ini juga. Amat sangat ingin menangis. Namun, tubuhnya seakan terhipnotis untuk memasangkan cincin di jari manisnya tapi tenaganya sudah tak bersisa. Cincin yang seharusnya terpasang di jari laki-laki itu tergelincir ke tanah. Trak! Semakin sesak dadanya sampai napasnya terengah-engah. Rasa sakit yang dihasilkan oleh keluarganya baru saja ingin ia kubur kini bertambah. Lelaki yang begitu baik padanya dan begitu membimbingnya di universi
“Saya tidak butuh penjelasan anda,” sergah Lakshmi cepat. Ia sungguh enggan untuk membalas tatapan Darius. Kapan dia mulai mengenal pria itu? Sejak Darius memperkenalkan diri sebagai dosen pembimbing namun sekaligus dosen tamu yang mengisi mata kuliah manajemen keuangan. Bagaimana dirinya yang ternganga saat pria itu memperkenalkan diri sebagai dosen pembimbing dan juga Lakshmi yang terkejut saat pria itu menjadi dosen tamu di universitasnya. Kala pertama dia mulai masuk ke dalam kelas saat itu. Lakshmi yang sudah tersenyum lebar pun menenteng tas miliknya. Dia tak sabar untuk mengikuti perkuliahan di hari pertama dan dia juga mulai menginjakkan kaki di universitas yang berada di ibu kota sekaligus universitas peringkat dua nasional. Kakinya terus melangkah cepat, berlari karena dia takut terlambat. Sengaja menunggu bus kampus di halte terdekat. Suara gemerisik air di danau yang tak jauh dari halte menjadi musiknya pagi ini. Matanya melihat sekeliling, banyak mahasiswa yang juga
Lagi, Darius menghela napasnya. Dia tak menyangka Lakshmi akan menjadi arca yang tak bergerak sedikit pun juga. Dia lagi-lagi meremas bahu gadis itu, menginginkan Lakshmi bisa merespon keinginannya untuk menjelaskan situasi mereka saat ini. Namun, bagi Lakshmi, penjelasan apa pun tak akan ada gunanya selagi semuanya sudah terlanjur dilakukan. Akad yang tadi dia lalui malah menambah rasa dendamnya. Melihat wajah pria itu saja dia sudah muak, seakan perutnya bergejolak dan ingin mengeluarkan seluruh isinya kalau bisa. “Baiklah, nanti aku akan menjelaskan di rumahku saja. Nanti malam, kamu akan segera pindah ke rumahku,” putusnya telak. Lakshmi tak peduli sama sekali. Dia hanya menatap cermin dengan pandangan datar saja. Tak ingin melihat pria itu lebih lama di dalam kamarnya saat ini. Bisakah dia mengusirnya? Ah, mungkin nanti ayahnya malah akan semakin memiliki alasan untuk mendebat sekaligus membuatnya menjadi rendahan. Darius mundur, dia membuka pintu dan mempersilakan perias pen
“Bersiaplah, kamu perlu berganti baju dan juga membersihkan diri kalau mau,” tukas Darius yang sudah selesai berbincang dengan keluarga Lakshmi sementara istrinya enggan berbicara dengan keluarganya sendiri. Sebenarnya Darius ingin bertanya kenapa Lakshmi sampai begitu enggan berbicara barang sebentar dengan kedua orangtuanya, sementara mertuanya terus mengkhawatirkan putrinya itu. Lakshmi hanya mengangguk saja. Dia memilih untuk mengambil baju di lemari kayu miliknya yang sudah reyot dan juga sudah gopok. Dia berbalik, masih saja menatap Darius dingin. “Keluarlah dulu, jika anda ingin saya cepat berkemas,” sindirnya. Darius semakin ingin sekali mengurung gadis itu ke pelukannya kalau bisa. Sayangnya, ia hanya bisa menurut saja untuk saat ini. Melangkah keluar kamar dan menunggu istrinya bersiap. Lakshmi menghela napasnya, lelah. Ia hanya ingin tidur kalau bisa. Namun, semakin lama dia berada di rumah yang sama dengan ayah dan ibunya malah semakin menambah kadar sesak yang dirasak
Yang tak diketahui oleh Lakshmi, Darius mencoba menghibur ibu istri keduanya itu. Mendengar tangisan sedih saja sudah membuatnya enggan dan ingin segera beranjak namun karena dia masih mencoba menghormati mertuanya, dia masih duduk sambil mendengarkan beberapa permohonan.“Kami pamit dulu ya Bu? Nanti jika Lakshmi libur, tentunya saya akan mengajaknya singgah ke rumah walau hanya sehari,” janji Darius yang diantar sampai keluar pintu.Suryani mengangguk, tersenyum. Tangannya terus mengusap lengan sang menantu. “Tolong jaga Putri Ibu ya? Kadang Lakshmi suka lupa makan,” lirihnya penuh harap.Lagi-lagi Darius mengangguk. Dia meletakkan barang-barang yang ditata di dalam kardus, milik sang istri sekaligus miliknya dari seserahan tadi. Dia merogoh dompet di saku celananya. Mengeluarkan beberapa lembar uang merah dengan nominal tertinggi.“Ini … saya ada sedikit uang, semoga bisa menambah pemasukan Ibu dan Bapak,” ucapnya sebelum pamit.Purwanto tersenyum, bangga. Tak sia-sia dia menerima
“Ti tidak perlu! Saya di sini … saja,” cicit gadis bersurai panjang itu dengan wajah menunduk. Dia memang sedang gugup, memikirkan satu kamar dengan pria lain saja sudah membuat tubuhnya jumpalitan.Dia bukannya tak menyadari kalau sudah menikah, tetapi sekamar dengan pria di saat dia masih perawan adalah hal yang tak bisa dia terima.Bibir Darius berkedut mendengarnya. Dia bisa melihat kekhawatiran dan tingkat waspada Lakshmi menjadi meningkat dua kali lipat setelah melangkah masuk ke dalam kamar.Darius sedang tak ingin berdebat. Sejujurnya otot-otot di tubuhnya sudah terlalu tegang dan membutuhkan rileksasi. Dia sampai berbalik, memijat keningnya sendiri. Dengan mata telanjang, Lakshmi bisa melihat punggungnya yang kuat dan bahu yang lebar.Betapa Darius nampak frustrasi menghadapi gadis keras kepala itu.Dia berbalik, menatap tajam Lakshmi. “Aku sedang tak mau berdebat dengan sikap kekeraskepalaan kamu, Lakshmi. Sebaiknya malam ini kita bekerja sama.”Lakshmi memilih mengalihkan p
Darius masih diam saja saat pagi ini dia mengajak Lakshmi untuk pulang. Dia masih mengingat jelas semalam Lakshmi yang menangis lirih di dalam selimut. Apa Lakshmi pikir tangisannya tak terdengar? Demi Tuhan, bahkan tangisan itulah yang membuatnya semakin susah untuk tidur. Dan dia pun tertidur di jam tiga pagi!Bagaimana pusingnya dia saat ini ketika harus mengendarai mobil untuk ke rumah dan membuka mata agar tak terjadi kecelakaan tentunya. Namun, tangisan lirih penuh penghayatan itu malah semakin terngiang-ngiang di kepalanya.“Kuharap kamu akan menyukai rumah kita.”Kita?Lakshmi mendengus geli mendengarnya. “Rumah anda yang dimaksud,” ralatnya segera.“Rumah kita. Rumah untuk tempat tinggal kita berdua.” Darius masih tak paham dengan sindiran itu.“Oh, pasti istri pertama akan merasa sakit hati luar biasa ya saat ini? Pulang-pulang membawa istri baru,” sindir Lakshmi kembali.Darius menoleh, menatap Lakshmi tak percaya. Rahangnya mengeras saat gadis itu mneyindirnya telak. Ada b
Seketika Lakshmi terdiam kaku, bahkan aliran darahnya seakan ikut terhenti begitu juga napasnya. Benda kenyal yang terasa dingin tengah menghisap bibirnya kuat dan tergesa-gesa. Demi Tuhan. Darius tengah menciumnya lagi sekarang! Namun, rasa mual menyerang perutnya saat ingatannya berputar di malam kemarin. Malam saat Darius memasuki kamarnya. “Le--pashh!” Suara Lakshmi tersendat-sendat selagi tangannya mendorong kuat Darius agar melepaskan pagutannya. Darius membuka matanya, irisnya gelap. Namun, ia bisa menguasai emosinya saat itu. Melihat Lakshmi yang menatapnya penuh benci dengan segala emosi yang dirasakan sekaligus juga bagaimana dirinya yang tak kuasa untuk menahan diri. Dia mencoba tenang walau bibir itu kini menjadi candu baginya, rasanya bak zat adiksi yang ikut membuainya dan membuatnya melayang nyaman. “Kau--sialan!” maki Lakshmi yang segera berbalik, keluar kamar. Bruk! Lakshmi sekuat tenaga membanting pintu kamar itu. Napasnya terengah-engah, masih dengan tangan