Tatapan dari pria mata coklat itu membuat jantungku terus berdetak kencang. Tidak tahu kenapa, yang jelas aku rasa dia mengenalku. Wajah yang awalnya datar, perlahan menampakkan senyum indah. "Lupa denganku?" ujarnya, dan Aruna mengangguk pelan. Tangan pria itu mengisyaratkan Aruna untuk duduk di seberangnya. "Benar kata papa, kamu masih tetap sama. Dilain waktu, datanglah ke rumah. Mama pasti senang melihatmu." "Maaf, kamu siapa? Apa kita sebelumnya pernah bertemu dan mengenal dekat? Aku benar-benar tidak mengingatmu." Aruna memberanikan diri bertanya, dia sungguh penasaran dengan siapa kini bicara. Pria itu hanya tersenyum, namun enggan untuk menjawab. Pandangannya beralih pada asistennya, Max. Melihat tatapan atasannya, Max segera mengambil alih bicara. "Maaf, Nona Aruna. Dia adalah Tuan Muda William. Andrew Jeff William, putra tunggal Tuan William. Mungkin anda lupa, jika dulu kalian pernah bertemu di Los Angles saat anda baru lulus SMP. Kalian dulu cukup dekat, namun karena
Suasana cafe terbilang sepi saat Aruna datang dan memesan secangkir coklat panas dan lemon tea. Dia turut menginginkan ruangan privat. Hampir 10 menit menunggu, Helena datang dengan penampilan serba tertutup. Wajahnya tampak sayu seperti orang kurang istirahat. Bibir yang biasanya dipoles merah merona kini tampak pucat. Aruna sedikit miris melihatnya, baru beberapa hari keluar dari rumahnya, penampilan Helena bisa berubah drastis."Apa yang ingin kamu katakan sampai mendesak ku bertemu?" Tanya Helena, tidak ada panggilan 'kak' yang tersematkan di nama Aruna."Kakek memintamu pulang untuk menemui papamu... " "Tidak mau. Aku tidak akan pulang ke tempat neraka itu." Helena menolak dengan cepat. Aruna mendesah pelan, dia harus sabar menghadapi Helena. "Papamu sakit, Helena. Tidakkah ada sedikit rasa rindu padanya?" "Bukan urusanku lagi. Sejak mama pergi dari rumah, tidak ada lagi yang menyayangiku dirumah itu. Termasuk papa!" Jawab Helena sembari memalingkan wajah."Bisa hidup sampai
"Om Dean, apa kabar?" Aruna mendatangi kamar adik bungsu ibunya. Tubuh yang dulunya berisi kini kurus hingga bagian tangan terlihat bentuk tulangnya. "Ru, maaf ya Helena selalu merepotkan kamu." Meski membelakangi Aruna, ternyata Om Dean masih mengenali suara keponakannya. Aruna segera mendekatinya. Posisi Om Dean duduk di kursi roda menghadap jendela. "Om harus sehat, maaf Aruna sudah tidak bisa menjaga Helena lagi." Om Dean menoleh. Wajah tampan pria itu sudah benar-benar tidak dikenali lagi, kusam, keriput. Lebih terlihat muda ayahnya dibanding Om Dean meski usia ayahnya jauh lebih tua. "Om rindu ibumu, Ru. Mungkin sudah saatnya kami bertemu." katanya membuat Aruna berjongkok menggenggam tangan Om Dean. "Semua rindu ibuku, Om. Tapi Helena butuh, Om Dean." Jujur saja Aruna sedih melihat keadaan omnya seperti ini. Jika bukan karena kakek dan neneknya yang sangat peduli, mungkin hidup Om Dean sudah terlantar dijalanan. "Biarkan dia hidup sesukanya. Om sudah tidak sanggup menang
Helena pulang saat waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Dia naik ojek online dan wajahnya ditutupi masker serta kacamata hitam."Ini bener rumahnya, neng?" tanya tukang ojek itu memastikan. "Iya Pak, ini uangnya." Helena menjawab sambil membayar. Dia melihat sekeliling, tidak ada siapapun. Merasa aman, segera dia membuka gerbang namun sepertinya terkunci dari dalam. "Tumben jam segini udah di kunci?" Ujarnya dengan kesal. "Pak Naryo, Pak Naryoooo, buka gerbangnya." Teriak Helena sambil memukul gerbang. "Cepetan pak, saya mau masuk. Pak Naryo lagi apa sih kok lama banget?" Ujarnya dengan kesal. Tidak lama, terdengar suara gebang dibuka. Helena merasa lega dan bersiap masuk. Namun tangan seseorang bergegas menghalanginya. "Kak Aruna, kenapa gerbang ditutup lagi?" Helena melihat Pak Naryo, satpam rumah, tidak keluar sendiri. Melainkan ada Aruna dan Kak Luz. Juga membawa 2 buah koper ukuran besar yang Helena kenali sebagai miliknya. "Kenapa koper ku dikeluarkan?" tanya Helena ke
Telepon di meja terus berdering saat aku sedang memeriksa laporan keuangan perusahaan. Sejak pagi tadi, ayah meminta bantuan padaku untuk melakukan pemeriksaan atas data penjualan produk beberapa bulan terakhir. Disinilah aku duduk sembari membuka tumpukan dokumen ditemani Vidi, salah satu karyawan kepercayaan ayah yang ditempatkan di divisi keuangan. "Nona Aru, maaf apa tidak sebaiknya diangkat dulu. Takutnya penting." Mungkin karena terganggu dengan dering telepon yang tak kunjung berhenti, Vidi menyarankannya itu. Aku menghentikan aktivitas ku sejenak. Melihat nama yang tertera di layar. "Helena... " batinku terasa bahagia. Dia pasti sedang dilanda kebingungan dengan berita pagi ini. Sebuah hadiah yang sudah aku persiapan sebelumnya, khusus untuk dirinya. Ku ambil telepon, bukan berniat untuk mengangkatnya namun mengubah ke mode hening. Helena menelpon ku pasti untuk meminta bantuan. Enak saja, ini baru permulaan. "Tidak diangkat?" tanya Vidi. "Telepon tidak penting, Vid. Le
"Apa yang terjadi denganmu dan Gama? Bukankah kamu sangat menyukai Gama dan berharap bisa menikah dengannya? Tapi kenapa saat orang tua Gama menawarkan sebuah pernikahan kamu malah menolaknya?"Ayah mengajakku bicara empat mata setelah Gama dan orang tuanya pulang. Mereka pergi dengan kekecewaan, karena aku terus menolak dengan tegas tawaran pernikahan yang mereka berikan.Gama sempat mengajakku bicara berdua juga aku tolak. Aku belum siap bicara berdua dengannya, takut lepas kendali dan malah menghajarnya.Dan Helena, dia langsung pergi ke kamarnya setelah Tante Lisa mengatakan tidak mau Gama menikah dengannya."Helena, kamu memang cantik. Tapi cantik saja tidak cukup untuk jadi istri Gama. Tante jelas tahu layar belakang mu seperti apa. Jadi maaf sekali, kamu tidak cocok dengan Gama."Helena tidak menjawab apapun, dia meletakkan nampak berisi minum di meja lalu pergi begitu saja."Jawab Aruna. Kenapa diam saja?" tanya ayah membuyarkan lamunanku."Ekhmmm,,," aku mengatur napas dan me