Share

Part. 2

Happy Reading...

"Sah...?" tanya seorang berpeci hitam itu. yang ternyata adalah seorang penghulu.

"Sah!" jawab para saksi dan juga para tamu yang hadir dalam acara sakral itu.

Ucapan syukur dan do'a-do'a pun di panjatkan untuk mengiringi mereka ke gerbang kehidupan perkawinan. dan semoga kebahagiaan selalu

menyertai mereka berdua.

Tangis haru dan air mata kebahagiaan terdengar membuat hati yang mengering kecewa ini sedikit bergerimis. wahai hati ikhlaslah. karena ini ujian.

Satu persatu para tamu memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. lihatlah betapa bahagia mereka. aku pernah di posisi itu dulu. bahagia.

wahai hati, ikhlaslah! tak semua yang kau harapkan harus kau dapatkan.

"Selamat ya lynl" ucapku pada Allyn, sepupuku. putri dari kakak pertama ibuku. aku senang akhirnya dia bisa menjadi wanita seutuhnya. bukankah memakai kebaya pengantin adalah bukti bahwa dia adalah wanita sesungguhnya. tidak seperti biasanya yang dia pakai adalah jeans bolong dan kemeja kebesaran yang tersampir asal di pundaknya. jangankan memakai hells sepuluh Senti, bahkan untuk hells lima Senti dia harus belajar dulu. sungguh lucu.

"Ah Allyn sayang, akhirnya kau berakhir di pelaminan." olokku padanya. Yah, Seharusnya aku memanggilnya kakak atau mbak mengingat silsilah keluarga yang ibunya lebih tua dari ibuku. tapi jika di ingat usianya lebih muda dariku, aku enggan memanggilnya seperti itu.

"Terima kasih Sandi sayang. Aku senang kau sudah kembali. aku kesepian tanpamu adik tuaku" kami terkekeh bersama. lihatlah betapa kurang ajarnya dia memanggilku seperti itu. 'adik tuaku' panggilan macam apa itu. dia bahkan memanggilku Sandi bukan Aurel seperti yang lainnya. baiklah kali ini kau selamat karena ini hari bahagiamu. jika tidak, bisa ku pastikan Hells mahalku ini akan mendarat cantik di jidatmu. nikmatilah sayang.

Acara pesta pertama telah berakhir. dan tamu yang hadir pun sudah undur dari beberapa menit yang lalu. tinggalah kami yang merupakan bagian dari keluarga yang masih di sini. tentunya bukan untuk berdiam diri dan menikmati hidangan. tapi untuk mempersiapkan pesta kedua yang mungkin akan menjadi salah satu pesta termegah di keluarga kami mengingat suaminya yang merupakan seorang pengusaha muda yang sukses.

Tak heran jika pesta sepupuku ini menjadi yang terheboh sepanjang tahun ini karena di samping suami Allyn adalah seorang pengusaha, tenyata dia adalah putra tunggal dari salah satu orang terkaya di negeri ini. entah apa yang pria itu lihat dari sepupuku yang bar-bar itu. aku belum menanyakannya. mungkin nanti.

Ah betapa irinya aku melihat kebahagiaan mereka. jika saja aku bisa lebih bersabar, pasti aku juga akan bahagia seperti mereka.

Hari semakin menua, semburat jingga memancar dengan indahnya. bersambut malam yang mulai pekat.

Di pesta kedua ini masih sama dengan pesta-pesta yang lain. riuh suara tamu yang saling beradu memamerkan apapun yang mereka miliki. dengan lantang bereka berpamer ria atas pencapaian mereka. tidakkah mereka berfikir bahwa perbuatan mereka itu adalah hal yang merupakan kesia-siaan. karena materi bukanlah hal yang patut di jadikan acuan bahwa seseorang akan bahagia karenanya.

Di tempat ini pula setahun yang lalu juga di adakan pesta semegah ini. bahkan berita di surat kabar pun tak luntur hingga sepekan lamanya.

Justru kebahagiaan yang seharusnya berlangsung lama pun harus terputus hanya dalam hitungan jam. bagaimana tidak, impian yang terbangun selama ribuan jam harus roboh hanya dalam hitungan menit. mengingat itu rasanya hatiku teriris pedih.

Ya Tuhan ternyata selemah ini seorang Sandika Aurelia. hanya karena nafsu aku memutuskan tali suci perkawinan bahkan silaturahmi dua keluarga.

Tamu undangan yang merupakan orang-orang pilihan pun berdatangan. seiring wajah rembulan yang semakin memucat, makin banyak saja wajah-wajah para penikmat kekayaan. dan aku mulai jengah. dan setelah ini pasti ada salah satu di antara mereka yang datang dan menyapaku hanya untuk berbasa-basi.

"Hai Aurel apa kabar?" Tepat seperti dugaanku. pemilik bibir bergincu merah ini sebentar lagi akan mengeluarkan nyinyirannya.

"Baik Tante, Tante apa kabar." sapaku membalas- basa-basinya. terlalu riskan jika aku pergi begitu saja dan tak menghiraukannya.

Baiklah Aurel, siapkan hatimu pasang muka beton dan tekan rasa malumu. bersiaplah mendengarkan sindiran unfaedahnya.

Satu... dua... tiga... mulai

inhaler.. ekshaler... dan terus berulang...

"Aku dengar perkawinanmu berantakan, apa benar seperti itu?" Pertanyaan apa itu, sama sekali tak Ter update jika ingin bergosip. bukankah hancurnya rumah tanggaku sudah terjadi sejak setahun yang lalu.

"Ah, aku rasa sudah terlambat untuk membahas tentang hal itu." sinisku tapi masih ku buat seramah mungkin.

"Sayang sekali. nasibmu tak sebaik nasib putriku yang menikah dengan seorang pejabat." Pamernya yang membuatku ingin terbahak.

Baiklah nyonya, nasib putrimu lebih baik dariku karena menjadi istri ke empat dari pria botak bertubuh tambun.

"Kalau begitu selamat Tante, jika akhirnya temanku yang cantik itu menjadi nyonya ke empat dari seorang pria tua dan maaf karena aku tidak bisa hadir waktu itu." sengaja ku akhiri ucapanku dengan seulas senyum agar tak terlalu mencolok jika aku tengah menyindir balik. dan dapat ku lihat wajahnya yang seketika masam itu.

"Tidak apa-apa, karena kau pasti akan sangat iri jika melihat kebahagiaannya." Entah dapat dari mana dia jata-kata seperti itu untuk membalas sindiran ku. tapi percayalah aku semakin ingin tertawa. apa yang harus aku iri dari perkawinan mereka. sedangkan yang ku cari adalah kesempurnaan dalam berumah tangga.

"Oh mungkin itu terjadi. tapi tidak padaku. saya permisi Tante." Aku berlalu pergi meninggalkannya dalam kemurkaan. jika aku terus meladeninya, tensiku pasti akan naik dan wajahku akan keriput karenanya. tidak, itu tidak boleh terjadi karena aku harus melanjutkan hidup dan mencari kebahagiaan. masih dapat kunikmati wajahnya yang memerah dan tangannya yang mengepal saat aku menoleh.

Aku pergi ke teras samping. disana lebih sepi. hanya satu dua pasangan yang berada di sana. mungkin mereka juga ingin menyendiri bersama pasangannya agar bisa bebas berkasih.

Aku duduk di tepian kolam di sebuah kursi malas. kutengadahkan wajah menghadap langit. memuji sang rembulan yang begitu elok memancarkan sinarnya.

Ku coba menghitung bintang berkali-kali yang tak pernah sama jumlahnya. sekali lagi aku mencoba namun aku kalah aku tak cukup pintar mengingat mana yang telah kutunjuk dan mana yang belum. selalu dan selalu ada yang muncul lagi sepertinya. ah sudahlah! aku mulai lelah.

Meski demikian tak kunjung langkahku ku bawa pergi dari sana. aku masih betah dengan kesendirianku.bahkan di tempat yang seramai pasar pun aku masih kesepian.

"Akhirnya Kau kembali." Suara bariton itu.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status