Setiap waktu nama itu tersebut dalam setiap untaian doa, berharap semua kebaikan akan Allah limpahkan untuk sang pemilik nama ... juga sebuah harapan jika Allah akan mengijinkan untuk bertemu dalam kesempatan yang indah.
🍂🍂🍂
Isakan tangis yang beberapa saat lalu keluar dari bibir gadis berhijab itu kini tak lagi terdengar dan hanya suara jangkrik yang memecah keheningan suasana di area pemakaman. Ia bukan tertidur, hanya terlalu mendalami masa lalunya hingga tak menyadari jika langit sudah mulai menampakkan senja.
Setelah mengusap sisa air matanya, Shofi tersenyum sedih menatap pusara sang Mama. ia usap nisan itu dengan lembut seolah tengah mengusap wajah cantik sang Mama.
"Shofi pamit pulang dulu, ya, Ma?" Ia lekas berdiri dan dengan berat hati Shofi mulai melangkah pergi meninggalkan makam sang Mama.
"Pak Cipto, maafkan saya membuat bapak menunggu lama," ucap Shofi pada sopir yang masih setia menunggu dirinya
Laki-laki tua itu menggeleng dengan senyum sopan sambil membuka pintu belakang mobil, mempersilahkan Shofia untuk masuk. "Tidak apa-apa, Non," ucapnya.
Setelah memastikan Shofi tak pergi ke tempat lain, Cipto pun melajukan mobil menuju arah pulang. Hingga tak lama mobil sedan hitam itu masuk ke kawasan perumahan.
"Pak, saya mau turun di sini saja," pinta Shofi.
"Memang mau kemana, Non?" tanya Cipto lalu memelankan laju kendaraannya. "Biar saya antar saja."
"Sebentar lagi Maghrib, saya mau mampir ke masjid sebentar." Shofi menunjuk area masjid yang ada di kawasan perumahannya. "Bapak bisa langsung pulang, saya nanti jalan kaki saja."
Meski berat, Cipto tak bisa membantah melihat permintaan Shofi. Laki-laki itu lalu mengangguk.
***
"Assalamualaikum warahmatullah."
Suara salam dari imam masjid mengakhiri tiga rokaat sholat magrib. Beberapa jamaah yang hadir satu persatu mulai meninggalkan shof solat. Tak terkecuali gadis cantik yang masih menggunakan mukenah putih, duduk bersimpuh dengan tangan menengadah dan kepala tertunduk.
Tak ada yang bisa mendengar lantunan doa yang tengah dipanjatkan kecuali dirinya dan Sang Khalik. Namun, suara isakan sesekali terdengar meski tak keras tapi cukup jelas dan terdengar begitu pilu.
Beberapa orang ibu-ibu yang masih berada tak jauh dari Shofia sesekali mencuri pandang pada gadis itu hingga Shofi menyelesaikan doanya lalu keluar dari dalam masjid.
"Iya deh, kayaknya itu anak yang dulu di rumahnya, Bu Heni."
Shofi yang kini duduk di teras masjid yang tengah memakai kaos kaki itu tampak acuh meski rungunya begitu jelas mendengar obrolan dari ibu-ibu tersebut.
"Cantik banget, ya, persis kayak Ibunya."
"Palingan juga kayak ibunya, cantiknya sih cantik, tapi pelakor."
Shofi meremas kaos kaki di tangannya saat mendengar kalimat itu terlontar dan ia sadar untuk siapa kalimat itu diucapkan. Hatinya begitu bersedih kala terlintas wajah sanng Mama. Belum cukupkah?
Shofi kemudian berdiri setelah selesai memakai sepatunya. Terdiam sejenak sebelum kemudian menoleh pada ibu-ibu yang masih tak berhenti membicarakan keburukan ibunya.
"Mari, Bu. Saya permisi. Assalamualaikum," ucap Shofi sambil mengurai senyum lalu berjalan keluar dari pelataran masjid.
Bibirnya terus mengucap Istighfar dengan langkah yang teramat berat hendak kembali menuju kediaman Alya dan Akbar. Inilah alasan kenapa ia berat kembali hidup dengan keluarga Akbar. Semua yang tahu masa lalunya akan siap mengupas bahkan menguliti satu persatu keburukan ibunya semasa wanita itu hidup dan menghubungkan dengan diri Shofi yang selalu dipandang sebelah mata dan berbeda.
***
Shofi berjalan dan terus menunduk dengan hati yang sedih, bayangan perlakuan berbeda oleh lingkungan sekitarnya dulu akhirnya kembali ia alami. Dia tak setegar itu untuk bisa abai terhadap apa yang orang lain katakan. Apalagi jika menyangkut Monic, sang Mama. Bahkan bertahun setelah kepergian wanita itu, semua orang sama sekali tak segan untuk terus menggunjingkannya.
Tin tin tin
Suara klakson sebuah motor membuyarkan lamunan Shofi.
Braak!!
Arrrghh!!
Sebuah motor yang melaju dengan kecepatan tinggi dari arah yang sama dengan Shofi hilang kendali dan menyerempet lengan gadis itu hingga jatuh terpental ke bahu jalan.
"Wooy! Kalau jalan minggir! Ngalangin motor lewat!" seru pengendara motor ugal-ugalan itu yang tak merasa bersalah. Pengendara motor itu tak peduli dengan Shofi yang terjatuh di jalan lalu pergi begitu saja meninggalkan gadis itu.
"Astaghfirullahhaladzim," ucap Shofi berulang dengan tangan yang bergetar menahan kaget dan takut. Beruntung tak ada luka apapun di tubuhnya, ia hanya terlalu kaget saja. Shofi pun kemudian berdiri, masih dengan lutut bergetar, tapi suara klakson dari sebuah mobil membuatnya menjerit lalu terjatuh kembali di tempatnya. Ia tertunduk sambil menutup kedua telinga dengan tangannya.
"Kamu baik-baik saja?"
Suara berat yang tak asing di telinga Shofi membuat gadis belia itu perlahan mendongak menatap siapa pemilik suara itu. Mata indah miliknya membulat sempurna, jantung yang semula berdebar penuh rasa kaget dengan kejadian sebelumnya kali ini bertambah berdebar saat melihat wajah laki-laki yang sangat ia kenali meski telah bertahun tak bertemu. Ia mematung sejenak, tapi bibir ranumnya kemudian tertarik membentuk seulas senyum. Ia akhirnya bertemu kembali dengan Rafa, pemuda yang selalu menjadi dewa penolong di masa kecilnya dulu.
"Kamu baik-baik saja?" Rafa mengulang pertanyaan saat tak mendapat respon dari Shofia hingga lambaian tangannya akhirnya menyadarkan Shofi dari keterkejutan.
"Astaghfirullahhaladzim!" pekik Shofi pelan. Ia segera menundukkan pandangan karena telah terbuai oleh indahnya salah satu ciptaan Allah. Ia kemudian berusaha berdiri meski lututnya masih bergetar.
"Maaf, Kak. Aku bisa sendiri." Shofi menolak dengan sopan saat Rafa hendak membantunya berdiri. Ia meremas ujung kerudung untuk mengurangi kegugupannya. Ia tak menyangka jika pertemuannya dengan laki-laki yang dulu ia anggap sebagai kakak itu akan membuat suasana segugup dan secanggung ini.
"Kamu sepertinya masih terkejut dengan kejadian barusan," ucap Rafa. Ia melihat jelas dari dalam mobil bagaimana Shofi terserempet pengendara motor yang ugal-ugalan dan tak bertanggung jawab tadi. "Rumah kamu di sekitar sini?"
Pertanyaan dari Rafa membuat Shofi menatap kembali laki-laki itu. Mata yang sempat berbinar itu akhirnya meredup saat ternyata Rafa tak mengenali dirinya.
Shofi pun mengangguk. "Iya, Kak."
"Ayo, aku antar pulang."
"Hah!"
Mobil yang membawa Shofi bergerak pelan menyusuri jalan berpaving perumahan di mana dirinya dan laki-laki yang berada di balik kemudi itu tinggal.Shofi yang tak menolak ajakan Rafa memilih untuk duduk di kursi penumpang belakang. Tak ada obrolan dari keduanya, tapi sesekali pandangannya bertemu dengan sorot mata Rafa di spion tengah.Rafa memang sengaja terus mencuri pandang ke arah Shofi saat ia merasa tak asing dengan wajah cantik gadis itu. "Rumah kamu di blok apa?" tanyanya memecah keheningan."Rafles Garden blok KL nomor 47," jawab Shofi menyebutkan alamat rumah Alya.Rafa kembali memusatkan pandangan ke spion tengah saat alamat yang Shofi katakan sama dengan alamat rumah kakaknya. "Kamu tidak salah?" tanya Rafa dan langsung mendapat gelengan dari Shofia.Rafa memilih diam dan melanjutkan laju mobilnya hingga tak lama berhenti tepat di mana alamat yang disebutkan oleh Shofia. Ia menatap ke arah teras rumah, terlihat wanita manis yang tak lain
Setelah melewati jalanan yang cukup lengang, mobil yang dikendarai Rafa akhirnya berhenti di parkiran kampus. Pria itu menoleh pada gadis yang duduk manis di sebelahnya setelah mematikan mesin mobil."Kenapa?" tanya Rafa saat melihat wajah tak nyaman dari Shofi.Shofi menggeleng lalu membuka sabuk pengaman yang melingkari tubuhnya. Gadis itu tampak heran saat Rafa mengantarnya sampai parkiran, bukankah di gerbang kampus saja sudah cukup. "Makasih, ya, Kak. Aku masuk dulu," ucapnya lalu kemudian turun setelah Rafa mengangguk."Kak Rafa ngapain ikut turun?" tanya Shofi saat pria itu sudah berada di luar mobil lalu menghampiri dirinya."Kakak anterin sampai kelas kamu," jawab Rafa kemudian berjalan mendahului Shofi yang masih tertegun di tempatnya. "Ayo, Dek!" Rafa mengulurkan tangan meski ia tahu jika tak akan mendapat sambutan."Kak ... aku bukan anak kecil lagi. Aku udah gede," ucap Shofi lirih sambil menatap takut ke arah Rafa, tak lama ia mengang
Kedatangan Shofi membuat suasana di ruang tamu menjadi hening. Shofi yang menerima tatapan dari beberapa orang di sana segera menundukkan pandangannya. Ia segera berjalan menghampiri salah satu dari mereka. Wanita paruh baya bergamis hitam dengan hijab coklat yang menutupi kepala hingga dada itu menjadi tujuan Shofi. "Assalamualaikum, Bu Nyai," ucap Shofi lalu mencium punggung tangan Nyai Fatimah beberapa saat, sebelum kemudian ia lepaskan dan segera disambut pelukan erat oleh wanita paruh baya itu. "Umi, kangen kamu, Nak," ucap Nyai Fatimah setelah melepaskan pelukannya. Sorot mata wanita itu benar-benar memancarkan kerinduan meski baru beberapa hari kepergian Shofi dari pesantren. "Kamu sehat-sehat 'kan?" tanyanya memastikan. Shofi mengangguk. "Alhamdulillah, Umi." "Umi ...." Panggilan dari Kyai Sholeh segera mengalihkan pandangan dua perempuan itu. Shofi memberi salam pada Kyai Sholeh, juga Gus Ikhsan yang duduk di sebelah
Heningnya malam membuat Shofia masih terjaga. Kejadian sore tadi dan ucapan Akbar masih berputar-putar di kepalanya hingga membuat ia kesulitan untuk memejamkan mata meski jarum jam sudah menunjukkan angka dua. Ia menyudahi lantunan dzikir yang ia ucapkan, melepas mukenah lalu berjalan membuka jendela kamar. Hembusan udara sepagi ini cukup segar memenuhi rongga dadanya yang terasa sesak.Shofi menengadah sambil memejamkan mata. Kemudian tak lama mata terpejam itu terbuka dan bersikap waspada saat mendengar tapak kaki seseorang di sekitar taman sebelah kamarnya."Astagfirullahhaladzim!" Shofi memekik pelan, terkejut saat melihat bayangan seseorang yang duduk di gazebo taman."Kenapa belum tidur?" Suara berat dari Rafa membuat Shofi menghembuskan nafas lega. Ia pikir Rafa adalah pencuri yang menyelinap masuk ke dalam rumah."Baru selesai sholat," jawab Shofi. "Kakak sendiri ngapain di sini jam segini?" tanyanya kemudian.Rafa memberi isyarat
Rumah megah dengan pilar-pilar yang berdiri kokoh menyanggah bangunan rumah terlihat sungguh indah dan mewah. Suasana rumah yang Shofi tahu selalu sepi itu kali ini terlihat ramai. Pintu ganda bercat putih yang jarang sekali di buka kali ini terbuka lebar. Tentunya Shofi sadar diri jika hal itu bukan dikhususkan untuk bersiap menyambut kedatangannya.Shofi berjalan beriringan dengan Alya dengan degub jantung yang tak berirama teratur. Jemarinya meremas gamis yang ia pakai. Shofi merasa takut dan entah apa yang ia takutkan. Jika bisa ia ingin lari menjauh tak ingin menapaki rumah itu."Ayo masuk, Dek," ajak Alya. Wanita itu lekas menggandeng Shofi berjalan masuk ke dalam rumah mertuanya."Mamiii ...!" Panggilan dari bocah laki-laki yang berlari menuju ke arah Alya menyambut rombongan Alya. Bocah sepuluh tahun itu lekas meloncat ke gendongan sang Papi lalu meraih tubuh Alya kemudian memeluk erat wanita itu.Beberapa hari berada di rumah sang Oma membuat boc
Tuk!Suara gelas yang diletakkan kasar oleh Rafa di atas meja makan sedikit mengagetkan Shofi. Gadis itu hanya menunduk takut dengan kemarahan Rafa. Selama perjalanan pulang dari rumah Tari hingga memasuki rumah Alya, Rafa hanya diam dengan sorot mata menajam. Hal itu semakin membuat Shofi ketakutan dan merasa bersalah. Menyesali kenapa dirinya harus kembali ke keluarga ini. Baru beberapa hari saja ia sudah membuat keributan seperti tadi.Rafa mengambil gelas kosong yang lain lalu mengisinya dengan air putih. Ia sodorkan ke hadapan Shofia. "Minum dulu, Dek," kata Rafa."Maafkan aku, Kak."Wajah Rafa seketika melembut mendengar ucapan Shofi, ia baru menyadari jika adiknya ketakutan. "Maaf untuk apa?" tanyanya lembut."Kehadiranku malah menimbulkan keributan buat keluarga ini," ujar Shofi dengan nada bergetar. Shofi memberanikan diri menatap Rafa yang terdiam.Kini Rafa beralih menatap Shofi. "Bukan itu yang ingin Kakak dengar dari ka
Di salah satu kursi pengunjung yang terdapat di restoran itu terlihat kakak beradik yang tak memiliki ikatan darah itu duduk bersebrangan. Manik mata indah berhias bulu lentik itu terus bergerak ke sana kemari mengikuti pergerakan pada waiters yang berlalu-lalang melayani para pengunjung restoran yang cukup ramai sore ini.Sedang sorot mata lembut dari Rafa terus membidik ke arah sang adik. Rafa bersedekap sambil mengulas senyum melihat begitu besar tekad Shofi.Shofi yang baru menyadari tatapan Rafa kini beralih menatap Rafa dengan sungguh-sungguh. "Aku bisa, kok, seperti mereka," kata Shofi sambil menunjuk ke arah para waiters."Alasan kamu buat kerja itu apa, Dek? Kamu punya segalanya. Tinggal minta ke Kak---""Enggak! Enggak!" sahut Shofi. "Aku mohon jangan bilang apapun tentang masalah ini sama Kak Akbar atau Kak Alya," pintanya."Apapun yang kamu lakukan Kak Akbar akan tahu.""Setidaknya kali ini, Kak Rafa mau membant
Heningnya malam di kediaman Alya terusik oleh deru mobil yang baru saja masuk dan berhenti di halaman rumah. Shofi yang berada dalam mobil itu hendak turun, tapi tertahan saat menoleh pada Rafa yang diam dengan tatapan kosong ke depan. Shofi sendiri enggan bertanya meski selama perjalanan laki-laki itu tiba-tiba berubah diam seribu bahasa."Kakak nggak turun?" tanya Shofi dengan hati-hati."Kakak masih ada urusan di luar, Dek. Kamu masuk gih. Kunci semua pintunya."Shofi melirik ke arah jarum jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. "Kakak nggak pulang?" tanyanya lagi. Entah kenapa tiba-tiba Shofi merasa cemas dengan kediaman Rafa.Rafa terlihat ragu untuk menjawab. Ia hanya menatap Shofi dengan tatapan kosong."Aku turun dulu, Kak. Assalamualaikum." Shofi memilih untuk pamit saat sang kakak sepertinya tak berniat memberi jawaban. Ia lalu segera turun dari mobil dan lekas masuk ke dalam rumah. Setelah memasuki rumah, Sh