Share

6. Rizwan Daniswara

Bukan Pahlawan 6

Rizwan Daniswara

Laki-laki itu  berdiri menjulang di depanku, wajah tampannya tampak muram saat menatapku membuatku merasa makin tak menentu. Laki-laki itu Rizwan Daniswara, laki-laki yang selama ini kucintai dan aku harapkan di masa depan untuk menjadi pendamping hidup di mana aku dan dia tumbuh dan menua bersama.

Laki-laki itu duduk di sisi tempat tidur dan menyuarakan namaku, aku berusaha menegakkan tubuhku dengan susah payah dan masuk ke dalam pelukannya dan menangis di situ. Rizwan memelukku erat, ada kesedihan yang menggantung di matanya yang membuatku makin merasa sedih.

Aku dan Rizwan sudah menjalani hubungan semenjak masih kuliah, kamu bahkan sudah sepakat untuk menikah tiga bulan lagi. Aku sudah membayangkan hari-hari bahagiaku bersamanya sebelum kejadian malam jahanam itu tapi kini aku merasa tak berharga di matanya. Harusnya aku persembahkan kesucianku pada laki-laki tampan di depanku tapi nyatanya seorang pencuri laknat telah mengambilnya.

Rizwan tinggal di kota lain dan bekerja di sebuah perusahaan yang sedang berkembang di sana, setahun yang lalu perusahaannya membuka cabang di kotaku dan dia sudah mengajukan pindah ke kota ini agar setelah menikah nanti kami tak perlu berjauhan meski sampai saat ini permohonannya belum disetujui.

“Tidak apa-apa, Sayang. bukan salah kamu, ini tak akan mengubah apa yang sudah ada antara kita,” katanya sambil memelukku erat.

Aku sangat mencintai Rizwan dan begitu juga sebaliknya, kami juga sudah pernah berjanji apapun yang terjadi di antara kami, kami akan selalu bersama. Aku bersyukur Rizwan tidak melupakan janjinya dan mau menerima keadaanku yang sudah ternoda. Dia bahkan berusaha menghiburku dengan candaannya yang khas yang membuatku akhirnya bisa tersenyum kembali.

Hampir dua jam kami berbincang hingga akhirnya Rizwan pamit kepadaku, aku segera berdiri dan mengantarnya sampai ke pintu meski sebenarnya Rizwan melarang. Aku segera menggamit lengan tunanganku hingga kami tiba di ruang tamu.

“Saya pamit dulu, Bu. Terima kasih sudah merawat Nana,” Rizwan tersenyum hangat pada Bu Teguh dan tersenyum kaku pada Zayn dan Zayn hanya menyeringai memperlihatkan salah satu gigi taringnya yang membuatnya makin mempesona.

Aku tak tahu mengapa, Rizwan terlihat tidak suka pada Zayn bahkan dari saat pertemuan pertama mereka di rumah keluarga Abisatya. Seperti keberadaan Zayn terasa mengintimidasi Rizwan, dia bahkan pernah memperingatkanku untuk tidak terlalu dekat dengan Zayn tapi aku hanya menanggapinya dengan tertawa kecil.

“Aku gak suka kamu dekat-dekat dengan dia, Na. Kayaknya dia suka sama kamu,” kata Rizwan beberapa bulan sebelumnya.

“Ya, itu karena dia sudah menganggapku sebagai adiknya,” aku kembali tertawa.

“Dia mencintaimu, Na. Bukan sebagai kakak kepada adiknya tapi sebagai laki-laki kepada perempuan!” tegas Rizwan.

“Gak mungkin lah, Riz. Dia sudah punya calon dan mereka  akan segera menikah setelah calonnya menyelesaikan paska sarjananya. Kamu tahu Risya, kan? Aku pernah mengenalkan kamu padanya. Nah, dia itu calon istri Rizwan,” aku terkekeh.

Waktu itu Rizwan hanya menggeram, wajahnya terlihat sangat tegang membuatku merasa tak enak hati.

“Kamu percaya padaku, kan? Aku hanya cinta sama kamu dan hanya akan menikah denganmu. Jadi kamu gak perlu cemburu sama Mas Zayn,” Aku mencium pipinya membuat wajahnya yang tegang sedikit mengendur.

“Berjanjilah kamu tidak akan jatuh cinta padanya, Na,” Rizwan menatapku dengan kedua bola mata hitamnya yang sangat misterius.

“Aku berjanji,” aku tersenyum.

“Janji apa?” tuntut Rizwan.

Aku tersenyum lebar membayangkan bagaimana mungkin aku akan jatuh cinta pada Zayn. Ya, mana mungkin aku akan  jatuh cinta pada Zayn yang begitu dingin seperti bongkahan es, sedang aku mempunyai calon suami dengan tipe aku banget: tampan, pandai, humoris. Aku pikir Rizwan terlalu berlebihan karena cemburu pada Zayn.

“Janji untuk tidak jatuh cinta pada Mas Zayn,” aku  berkata ringan, aku sangat yakin aku tidak akan jatuh cinta pada Zayn karena aku sangat mencintai Rizwan.

“Good girl,” Rizwan tersenyum, tangannya membelai kepalaku.

“Aku pulang dulu, sayang,” suara Rizwan membuatku tersadar, aku buru-buru tersenyum.

“Baik, hati-hati di jalan,”

Aku mengantar Rizwan hingga sampai teras dengan dan Langkah tertatih dan memandangi punggung laki-laki itu hingga menghilang setelah sepeda motornya keluar dari halaman rumah Abisatya. Aku menangis haru dalam pelukan bu Teguh. Perempuan setengah baya yang masih terlihat awet muda dan cantik itu menuntunku kembali ke ruang tamu dan mendudukkan aku di salah satu sofa.

“Sudah gak usah nangis, Na. Yang penting Rizwan mau menerima keadaan kamu,” kata Bu Teguh sambil memelukku, tangannya bergerak turun naik di punggungku membuatku merasa  nyaman.

“Iya, Bu. Terima kasih,” aku mengusap air mataku dengan punggung tangan.

Zayn hanya duduk di hadapan kami, aku bisa melihat matanya yang berkaca-kaca saat tatapan kami bertemu dan dia segera berpaling. Aku tahu kejadian ini ikut membuatnya syok, mungkin dia tak mau aku mencemaskannya.

Tak lama kemudian Zyan muncul di hadapan kami. Anak kelas lima sekolah dasar adik dari Zayn itu segera berceloteh riang. Melihatku masih ada di ruangan ini membuatnya sangat senang.

“Mbak Nana di sini saja, jangan pindah lagi, ya,” pintanya memelas membuat aku dan Bu Teguh tersenyum sedang Zayn hanya sedikit menaikkan sudut bibirnya.

Zyan memang selalu suka kalau aku ada di rumah ini, dia sangat manja padaku seperti adikku sendiri. Dia sangat senang saat aku mengajarinya belajar matematika dan pengetahuan alam.

“Iya, mbak Nana gak akan kemana-mana, kok,” sahutku sambil tersenyum.

“Asyiiiikk,” teriaknya senang.

Aku tertawa melihatnya, rasanya semua kesedihan di hatiku lenyap begitu saja melihat keceriaan anak itu.

Malam harinya, Rizwan menelponku, dia menghiburku dan memberiku semangat membuatku merasa makin cinta pada laki-laki itu. Aku jadi ingat jaman kuliah dulu, kami berada di kampus yang sama meski beda jurusan. Aku di kebidanan sedang dia di Teknik informatika.  Wajahnya yang tampan membuatnya banyak diidolakan banyak gadis di kampus termasuk aku.

Aku mengenalnya ketika aku meminta bantuannya untuk mengedit video untuk tugas dari salah satu dosen. Sejak itu kami semakin dekat dan menjelang kenaikan ke tingkat tiga, Rizwan menyatakan cintanya padaku. Aku langsung menerimanya karena sudah lama aku  juga naksir padanya. Aku sangat senang, akhirnya kami menjadi sepasang kekasih setelah itu.

Pagi harinya Zayn mengantarku ke puskesmas karena dia juga harus ke Café miliknya. Selain ke café dia juga meski ke Gudang kopi milik ayahnya yang berada di lokasi yang sama dengan cafenya. Sejak Gudang kopi milik Adisatya menjadi miliknya, Zayn menjadi makin sibuk karena dia bisa menjadikannya sebagai komoditi ekspor.

Hari masih pagi saat aku sampai di puskesmas, baru ada beberapa karyawan yang datang. Setelah melakukan fingerprint, aku menyapa beberapa karyawan yang berpapasan denganku dan berjalan menuju ruang bersalin karena hari ini aku piket di sana.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status