Mau sampai kapan? Mau sampai kapan kamu terus-terusan seperti ini, Aris?” teriak Gina sambil melangkahkan kakinya menuruni satu per satu anak tangga.
Wanita itu menghampiri Aris yang sedang duduk menikmati sarapan paginya. Aris menghela nafasnya sebentar, sebelum pelan-pelan menghembuskannya.
“Bilang pada mami sekarang, perempuan seperti apa yang kamu mau?” tanya Gina pada anak semata wayangnya.
“Apa yang kurang dari perempuan kemarin?” tanya Gina lagi, padahal menurutnya perempuan yang ia pilihkan sangat cocok disandingkan dengan sang putra.
“Perempuan kemarin bukan tipe Aris,” sahutnya cepat, tak berminat lama-lama membahas persoalan yang sama.
“Lalu, perempuan seperti apa yang menjadi tipe idealmu?” kali ini Gina melembutkan suaranya, sudah cukup merasa kesal pada Aris yang selalu membantah perintahnya.
Aris terdiam sebentar, ia yakin bahwa maminya tahu perempuan seperti apa yang menjadi tipe idelanya. Ralat, maminya tentu tahu siapa perempuan yang Aris mau.
“Aris akan menunggunya sampai kembali.” sahut laki-laki itu final.
“Sudah delapan tahun berlalu, namun sampai sekarang kau masih tidak tahu di mana dia berada,” ujar Gina menyadarkan Aris yang masih setia menunggu kekasihnya.
“Dia akan segera kembali.” sahut Aris dengan yakin, ia percaya kekasihnya akan kembali padanya.
Mendengar ucapan Gina barusan, membuat Aris kembali memikirkan kekasihnya yang entah ada di mana sekarang. Bagaimana kabarnya, apa yang sedang perempuan itu lakukan, apakah dia baik-baik saja, pertanyaan-pertanyaan itu selalu berputar mengelilingi isi pikiran Aris.
“Aris! Mau sampai kapan seperti ini terus? Kau harus menjalani hidupmu sendiri, meskipun tidak dengannya!” Gina masih terus berusaha membujuk anaknya.
Aris memalingkan wajahnya, tak ingin melihat wajah sendu sang mami saat ini. “Tidak bisakah kali ini menuruti permintaan mami? Selama ini mami tidak pernah menyulitkan mu, mami bahkan selalu mendukung hubungan kalian. Namun sudah delapan tahun dia tidak ada kabar sama sekali, lalu untuk apa menunggu jika tidak ada kepastian?” suara Gina terdengar sangat sedih saat mengatakannya.
“Tapi Aris sudah janji akan menunggu Anya, kami akan menikah saat dia kembali. Aris yakin Anya akan menepati janjinya untuk kembali,” ungkap Aris mengingat kembali janji mereka dulu.
“Setidaknya jika kita tahu dia ada di mana, mami tidak akan seperti ini! Sampai berapa lama mami harus sabar menunggu? 20 tahun lagi? atau sampai mami dan papi mati baru dia kembali?” suara Gina terdengar meninggi.
Aris benar-benar dibuat terkejut dengan kalimat panjang maminya, terdengar sangat enteng wanita itu mengucapkannya.
“Anya akan kembali.” Aris masih bersikap seolah yakin dengan apa yang ia ucapkan, padahal ia juga tidak tahu akan menunggu sampai kapan.
“Dua tahun pertama saat dia memutuskan untuk pergi, mami yakin perempuan itu akan kembali. Kalian berdua memang terlihat saling mencintai satu sama lain. Namun seiring berjalannya waktu, perempuan itu bahkan tak pernah memberi kabar hingga detik ini. Dunia belahan mana yang ia tempati tanpa saluran teknologi? Delapan tahun tanpa komunikasi, apakah itu masuk akal?” tanya Gina serius.
“Mungkin saja perempuan itu telah memulai hidup baru di sana, dia hidup bahagia dan meninggalkan mu dengan luka.”
Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh maminya membuat pikiran Aris menjadi semakin kacau, apa yang dikatakan oleh mami terus berputar di kepalanya.
Kemungkinan-kemungkinan itu bisa saja benar-benar terjadi, delapan tahun tanpa kabar membuat Aris terlihat seperti orang bodoh yang sedang menunggu. Sayangnya Aris juga tidak tahu di belahan bumi mana Anya tinggal, yang ia tahu hanya perempuan itu harus pergi ke luar negeri.
Hanya dengan secarik kertas bertuliskan, “I will be back soon, please wait,” membuat Aris benar-benar menunggu hingga sekarang.
Ia melupakan segala kemungkinan yang buruk, karena baginya Anya pasti akan kembali dan menepati janjinya.
“Apapun alasanmu, mami ingin melihat kamu menikah secepatnya! Tidak ada yang tahu sampai kapan kita akan hidup di dunia, tolong berikan mami dan papi kesempatan untuk melihat putra kecilnya menikah.”
Harapan Gina benar-benar membuat Aris menjadi sedih, namun di sisi lain ia hanya ingin menikah dengan sang pujaan hati yang selama ini ia cintai.
Tak mau berlama-lama memperlihatkan wajah sedihnya pada Aris, wanita itu langsung melangkah pergi. Meninggalkan Aris duduk sendirian di meja panjang itu.
Kepergian sang mami membuat Aris berkecamuk dengan pikiran kacaunya sendiri, ia merasa seperti anak durhaka yang tak mendengarkan nasehat orang tua.
Selama ini orang tuanya tak pernah sama sekali membatasi kegiatan Aris, mereka selalu mendukung segala keputusan dan pilihan putra semata wayangnya.
Mereka selalu memberikan semua yang Aris mau, namun kenapa Aris bahkan tidak bisa membalas kebaikan mereka.
Rasa cintanya sudah terlalu dalam untuk Anya, perempuan lain memang ada yang lebih cantik, namun perasaannya sudah berakhir di satu orang saja, yaitu Anya.
Mata cantiknya, wajah manisnya, dan senyuman tulusnya, Aris sangat suka itu. Ia benar-benar berharap agar secepatnya dapat kembali memeluk kekasihnya itu.
Aris hanya menginginkan Anya dalam hidupnya, menjadikan Anya sebagai pasangan seumur hidupnya, dan ia yakin bahwa Anya juga menginginkan hal yang sama.
Pernikahan bukanlah hal yang bisa dianggap enteng, tidak semua rumah tangga dapat bertahan meskipun saling mencintai, apalagi jika tidak saling mencintai.
Banyak perkara rumah tangga yang hancur padahal masih di tahun pertama, sedangkan Aris hanya ingin menikah sekali seumur hidupnya.
Sejak lama Aris sudah membayangkan hidup bahagia dengan istri tercinta dan keluarga kecilnya, dan dalam bayangan itu, ada Anya di sana.
Meskipun ia tak tahu harus menunggu sampai berapa lama, bahkan tidak tahu bagaimana wajah Anya sekarang, namun rasa cinta dalam hatinya masih bertahan.
Masih teringat jelas bagaimana senyuman mereka berdua, sebelum akhirnya Anya memilih untuk pergi sementara.
Anya berjanji hanya pergi untuk sementara, namun hingga kini perempuan itu belum juga datang, membuat Aris bingung harus memilih jalan yang mana, ia takut jika nantinya mengambil keputusan yang salah.
Sehingga butuh waktu lama untuk Aris memikirkan keputusan yang paling tepat untuk keberlangsungan hidupnya di masa depan.
“Maaf,” lirih Aris pelan.
Aris duduk santai di ruang kerjanya, menunggu Wira membawakan kopi yang ia pesan. terlalu larut memikirkan masalahya sendiri, laki-laki itu sampai tidak sadar dengan kehadiran Wira yang sudah duduk di sebelahnya.Meskipun jabatannya hanya sebagai asisten pribadi, Wira sudah dianggap sebagai teman dekat oleh laki-laki itu, umur yang tidak terpaut terlalu jauh membuat keduanya menjadi dekat.“Bos,” panggil Wira menyadarkan Aris dari lamunannya.Kepala Aris menoleh, melihat Wira yang sudah menyajikan kopinya di atas meja. Dengan cepat tangannya meraih secangkir kopi hitam yang ia pesan.“Menurut kamu, apa yang harus saya lakukan?” tanya Aris tiba-tiba, sembari menyeruput kopinya.Wira diam sejenak, menerka maksud dari pertanyaan yang diajukan oleh bosnya. Beberapa detik berlalu, akhirnya Wira memberanikan diri untuk memberi jawaban.“Kalau untuk pendapat pribadi saya sih, lebih baik mengikuti perintah ibu Gina,” ungkap Wira pelan, takut menyinggung perasaan Aris.Aris sama sekali tidak b
Ponsel Aris bergetar, laki-laki itu langsung meronggoh saku celananya. Menatap nama di layar beberapa detik, sebelum akhirnya ia menekan tombol hijau, tanda menerima panggilan tersebut.“Apa yang sedang kau lakukan, lama sekali menjawab panggilan mami.” baru saja menempelkan ponselnya ke telinga, laki-laki itu sudah mendengar ocehan maminya.“Ada apa mi?” tanya Aris pelan.“Kenapa kamu bertanya ada apa? Hari ini kamu ada janji temu dengan anak teman papi!” pekik Gina karena Aris melupakan janjinya.Aris mengela nafas kasar, sungguh ia hampir lupa bahwa ada janji temu malam ini. “Ahh, baiklah,” sahut laki-laki itu secepatnya, Aris buru-buru mematikan sambungan telepon karena tak mau mendengar ocehan marah maminya.Berkali-kali Aris harus bertemu dengan perempuan-perempuan pilihan maminya, berharap ada satu perempuan yang cocok dengannya sehingga mereka bisa menikah secepatnya.Namun sayangnya pertemuan itu tidak pernah berlanjut, menurut Aris masih belum ada satu pun perempuan yang bis
Hingga kini Rania masih berusaha membujuk anaknya untuk keluar dari kamar. Sejak kejadian itu, Aruna terus mengurung dirinya sendiri dalam kesepian.Rasanya tidak ada tenaga untuk sekedar melihat dunia yang semakin hari semakin membuat dirinya takut.“Aruna…” panggilan lembut Rania terdengar hingga telinga anak perempuannya.“Keluar sebentar ya nak, bunda ingin mengajak Aruna jalan-jalan,” lanjutnya dengan suara pelan.Namun sayangnya Aruna bahkan tidak bertenaga untuk sekedar membuka pintu, tubuhnya masih terduduk di bawah ranjang sambil memeluk lututnya.Aruna berusaha menyembunyikan isak tangisnya, berharap agar suara tangisan yang keluar dari mulutnya tidak terdengar hingga telinga Rania yang saat ini sangat khwatir dengan keadaan Aruna.“Maaf, maaf..” bisik Aruna pelan, merasa bersalah karena dirinya semenyedihkan ini.Kejadian itu benar-benar membuat Aruna sangat terpuruk, kehidupannya berubah drastis dan dirinya sangat menutup diri sekarang.Seminggu ini yang Aruna lakukan hany
Aris duduk di salah satu sofa panjang seorang diri, sebelum akhirnya beberapa gadis dengan pakaian super seksi mendekat ke arahnya.Laki-laki itu meneguk segelas wine yang ada di atas meja, tidak peduli dengan sentuhan-sentuhan panas oleh perempuan-perempuan yang kini sudah duduk di sebelahnya.Aris sungguh menikmati alunan musik sembari terus meneguk wine yang dituangkan untuknya, kali ini laki-laki itu memilih untuk menikmati malam minggunya di sebuah club mewah.Matanya menatap pada sekumpulan orang yang menggoyangkan pinggulnya sembari menikmati alunan musik yang semakin keras.Sudah tiga jam sejak kedatangannya ke club ini, namun pikirannya masih tidak tenang, bahkan saat ini terasa lebih kacau.Aris melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, sudah pukul satu dini hari, namun rasanya ia masih ingin duduk di sini.Ponselnya terus bergetar, tanda panggilan masuk dari Wira yang ia minta untuk datang menjemputnya.Aris meraih ponselnya yang ada di atas meja, la
“Tidur di mana kamu semalam? Kenapa tidak pulang?” tanya Gina yang sudah menyilangkan tangannya di depan dada. Baru saja Aris menginjakkan kaki di lantai rumahnya, suara cempreng Gina sudah menggelegar di sekitar area rumah. “Aris tidur di apartemen,” sahut laki-laki itu malas. “Kenapa tidak pulang?” tanya Gina lagi. Aris terdiam sejenak, tidak mungkin ia mengakui bahwa dirinya mabuk semalam. Ia memikirkan alasan yang tepat agar sang mami tidak memarahinya. “Ehm, kemarin Aris nyelesaiin semua kerjaan supaya tidak terlalu menumpuk, lalu pulang ke apartemen karena merasa sangat ngantuk, Aris tidak bisa memaksakan keadaan untuk pulang ke rumah, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Apalagi sekarang ini banyak kasus kecelakaan akibat pengendara mengantuk di jalan kan,” ujarnya mencari alasan untuk menutupi kebohongannya. “Beneran kamu?” intrupsi wanita itu mengintimidasi. “Jangan bohong ya sama mami!” lanjutnya dengan mata mendelik tajam pada sang anak. “Kalau Aris sampai m
Perjalanan hidup Aruna perlahan-lahan mulai kembali seperti dulu, meski pun masih belum seutuhnya. Namun kini Aruna akhirnya mau pergi ke luar rumah, tetapi obat penenangnya masih perlu ia bawa ke mana pun ia pergi. Namun sayangnya senyuman Aruna kembali luntur kala mendengar kabar kurang enak tentang keuangan keluarganya. Perusahaan sang ayah mengalami penurunan drastis yang mengakibtkan menumpuknya hutang di berbagai tempat. Alasannya adalah karena salah satu karyawan yang paling dipercaya oleh Yuda membawa kabur uang dengan jumlah yang sangat besar, sekitar lebih dari 50 milyar. Ayahnya terduduk lemas, pikirannya kacau karena tidak tahu harus berbuat apa, uang sebanyak itu tidak mungkin bisa ia temukan secepatnya. Lagi-lagi kepercayaan yang sudah dibangun bertahun-tahun disalah gunakan begitu saja, orang itu berhasil membuat keluarga Aruna menjadi kacau. Rania tidak henti-hentinya meneteskan air mata, masih merasa sangat shock sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih. "Apa
Rania sedang bersiap-siap untuk bertemu dengan sang sahabat, wajah pucatnya ia tutupi dengan polesan bedak sehingga terlihat jauh lebih baik. "Bunda," panggil Yuda pelan, kantung matanya yang menghitam benar-benar terlihat sangat jelas. Wajar saja, pria itu tidak bisa tidur tenang semalaman. Dengan senyuman tipis, Rania menghampiri suaminya, mengerahkan segala kekuatannya berharap mereka semua dapat bertahan disegala terjangan masalah. "Bunda pergi dulu ya yah," ujarnya dengan suara lembut. Tanpa banyak basa-basi, Yuda memeluk erat tubuh istrinya, merasa sangat bersalah karena merepotkan wanitanya. "Maaf," bisik pria itu merasa sangat-sangat bersalah. Saat ini Rania akan bertemu dengan sahabat lamanya, permasalahan seperti ini tentu saja tidak bisa ia bereskan sendiri tanpa bantuan orang lain. Bagaimana pun caranya, mereka harus segera mendapatkan pinjamanan agar terbebas dari panggilan-panggilan bank yang hendak menyita segala fasilitas yang mereka punya. Dari dalam kamar, Aru
Dua wanita itu masih membahas perihal anak-anaknya yang sudah tumbuh dewasa. Mereka berdua kembali melayangkan ingatan pada momen masa lalu. Gina mengeluarkan ponselnya, menunjukkan foto Aruna saat kecil yang masih ia simpan. Membandingkannya dengan foto Aruna sekarang, "Gadis ini benar-benar tumbuh dengan penuh kasih, dia sangat manis dan cantik, persis seperti bundanya!" puji Gina serius. "Aris juga tumbuh dengan baik, wajah tampannya berhasil mengalahkan suamimu!" kata Rania membalas. Membahas Aris, membuat Gina menekuk wajahnya. Hanya dengan mendengar nama anaknya saja, wanita itu sudah kesal. "Jangan bahas dia! aku sedang kesal dengan anak itu," ujar Gina."Loh kenapa?" tanya Rania penasaran. Gina terdiam sejenak, ia sedang menyusun kalimat yang dapat memberikan alasan kenapa dirinya kesal dengan Aris. "Kamu tahu sendiri kan, sejak dulu aku selalu berharap bisa melihat putraku menikah secepatnya, Tapi anak itu malah memilih untuk menunggu kekasihnya," ujar Gina malas. "Loh