Aruna berdiri mematung usai mendapati kekasihnya sedang bercumbu dengan seorang perempuan, yang tak lain adalah sahabat dekatnya sendiri. Tubuhnya terasa kaku, bahkan kakinya tak mampu untuk bergerak.
Ia mencoba untuk berpikir jernih, namun seberapa keras upayanya yang ia lihat saat ini benar-benar terasa nyata. Aruna melihat jelas dengan mata kepalanya sendiri.
Masih tak bisa percaya, Aruna melihat dua orang itu yang bahkan tidak menyadari kehadirannya. Nampak sangat jelas bahwa mereka berdua menikmati suasana.
Cukup lama ia memperhatikan dua penghianat itu, hingga tak kuasa untuk menahan amarahnya. Aruna tak sengaja menyenggol vas bunga yang ada di sebelahnya.
“Prangg”
Suara pecahan vas itu berhasil mengejutkan dirinya, termasuk dua manusia penghianat yang kini menganga melihat kehadiran Aruna.
Aruna tentu melihat semuanya dari awal, ia bukan perempuan bodoh yang bisa dibohongi. Kini mata Aruna menatap dua manusia itu bergantian, masih tak menyangka dengan kebenaran apa yang baru saja ia saksikan.
“Aruna..” panggil Laras, perempuan yang sudah dianggap lebih dari sekadar sahabat oleh Aruna.
Laras sudah dianggap sebagai saudara perempuannya, banyak hal yang sudah mereka lalui bersama. Bahkan tanpa malu memperlihatkan tangisan, suka duku telah mereka lewati, berharap persahabatan mereka kan abadi.
Aruna masih berdiri di tempatnya, seolah tak ada tenaga untuk menghampiri para penghianat itu. Hingga Laras bangun dari duduknya, hendak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi.
“Diam di situ!” ujar Aruna saat menyadari bahwa Laras hendak menghampirinya.
Namun sepertinya Laras tak mendengarkannya, ia masih mencoba melangkahkan kakinya mendekat pada Aruna.
Dengan cepat perempuan itu mengambil serpihan benda tajam, mengancam akan menusukannya pada Laras jika perempuan itu masih nekat mendekat.
“Diam di situ, atau aku tidak akan segan-segan menusukmu,” ujar Aruna serius, intonasi suaranya meninggi, menandakan bahwa ia tak bercanda saat ini.
Melihat Laras masih nekat, Reno langsung menarik tangan perempuan itu, meminta agar Laras tak melakukan aksi nekat yang membuat Aruna semakin marah.
Laki-laki yang kini bertelanjang dada itu, menggenggam tangan selingkuhannya dengan erat. Mata Aruna tak bisa lepas dari pemandangan menjijikan itu, bagaimana bisa mereka berdua begitu tega menghianati kepercayaannya.
Reno dengan cepat melepaskan genggamannya pada Laras, tahu bahwa kini Aruna benar-benar sedang marah besar.
“Kamu adalah orang yang aku percaya, Ras, bagaimana bisa kau tega melakukan hal seperti ini padaku.” suara Aruna terdengar bergetar, namun punggungnya masih tegap, seolah tak mau terlihat lemah di depan mereka berdua.
“Aku menceritakan semuanya padamu Ras, bahkan kau tahu kan bahwa kami berdua akan segera menikah,” lanjut Aruna masih dengan suara bergetar.
Laras tak tahan, perempuan itu terisak melihat sahabatnya kini, ia menyesal dengan perbuatannya, namun nasi sudah menjadi bubur, Aruna tak akan pernah memaafkan perbuatan jahat yang telah ia lakukan.
“Aruna-“ ujarnya namun tak menyelesaikan rangkaian kalimatnya.
“Jangan panggil namaku, aku tak sudi mendengar namaku keluar dari mulut perempuan hina seperti mu!” potongnya dengan cepat.
Dapat dipastikan bahwa dua orang itu kini terkejut dengan ucapan Aruna, perempuan yang nampak polos itu benar-benar memperlihatkan dengan jelas bagaimana kemarahannya saat ini.
“Mulai sekarang, tidak ada lagi hubungan diantara kita! Sahabat? Aku bahkan sangat jijik untuk mengucapkan kata itu padamu!” ujar Aruna dengan berani.
Mata Aruna kini beralih pada laki-laki tinggi yang berdiri di sebelah mantan sahabatnya, memorinya kembali memutar segala kenangan yang sempat mereka lalui selama menjalin hubungan asmara.
Tujuh tahun, tentunya bukan waktu yang singkat untuk mereka berdua saling memadu kasih. Rencana pernikahan yang sudah mereka susun, kini putus di tengah jalan.
“Sudah berapa lama?” tanya Aruna, mempertanyakan sudah berapa lama mereka menjalin hubungan di belakangnya.
“Sudah berapa lama ku tanya?!” teriak Aruna karena dua orang itu tak memberikan jawaban.
Hening beberapa saat, hingga suara Laras terdengar menyahut, “Dua tahun.”
Jawaban Laras berhasil membuat Aruna tak habis pikir, bagaimana bisa mereka berdua menyembunyikan hubungan gelapnya serapi ini, bahkan Aruna tak merasa curiga sama sekali.
“Dua tahun?” ulang Aruna.
Selama ini Aruna selalu menceritakan tentang hubungannya pada Laras, termasuk rencana pernikahan yang hendak mereka laksanakan tahun depan.
“Apa yang kurang dariku selama ini hah? Selama tujuh tahun ini aku selalu berusaha menjadi yang terbaik untukmu, apa yang kau lihat dari perempuan itu hah?” teriak Aruna frustasi.
Namun apapun yang Aruna lakukan, kenyataannya akan tetap sama, orang yang paling ia percaya adalah penghianat terbesar dalam hidupnya.
Aruna menghembuskan nafasnya kasar, ia memperlihatkan bahwa dirinya jauh lebih kuat dari yang mereka kira. Tak ada sedikit pun air mata yang menetes, bahunya tetap tegak seperti biasa.
“Sampah memang lebih cocok dengan sampah, perempuan pelacur sepertimu memang cocok dengan manusia tidak berakal seperti dia!” ketus Aruna dengan keras.
“Mulai sekarang tak ada lagi hubungan diantara kita, aku tidak sudi menganggap kalian pernah menjadi bagian penting dalam hidupku!” tegas Aruna dengan elegan.
Perempuan itu membuang serpihan kaca yang ia genggam, Aruna membalikkan tubuhnya dengan cepat, merasa sesak karena menghirup udara yang sama dengan dua penghianat itu.
“Aruna, tunggu!” Reno melangkah menahan tangan Aruna agar tidak pergi.
Aruna dengan cepat menepis tangan Reno, tak sudi tangannya disentuh oleh manusia tak punya hati seperti laki-laki itu.
“Plak”
Aruna menampar pipi kanan laki-laki itu sekuat tenaga, berhasil membuat Reno merasakan perih di wajahnya.
“Dengarkan penjelasanku dulu, ini semua tidak seperti yang kau pikirkan!” ujarnya enteng.
Aruna terkekeh pelan, apa yang salah paham, apa yang Aruna lihat dengan matanya sendiri sudah menjelaskan semuanya.
“Aku bukan anak kecil yang buta akan cinta, aku percaya dengan apa yang kulihat, tak perlu menjelaskan apapun, mulai sekarang kita tidak ada hubungan lagi!” tegas Aruna sekali lagi dengan suara yang keras.
Namun sebelum itu ia ingin memuaskan diri, satu tangannya kembali terangkat, menampar pipi kiri Reno dengan sekuat tenaga.
Aruna langsung berbalik badan, pergi menjauh dari keberadaan dua penghianat itu. Sampai di parkiran mobil, air matanya luruh begitu saja, Aruna bahkan tidak kuat untuk berdiri tegak.
Badannya ambruk tepat di sebelah mobil, Aruna menangis terisak, kecewa dengan semua yang terjadi pada hidupnya.
Menyesali segala yang pernah ia lalui dengan mereka, menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi saat ini.
Apa sebenarnya yang kurang dalam diri Aruna, hingga calon suaminya selingkuh dengan sahabat dekatnya.
Tangisan Aruna pecah, ia benar-benar masih berharap bahwa semua yang ia lihat hari ini adalah mimpi tidur siangnya.
Mau sampai kapan? Mau sampai kapan kamu terus-terusan seperti ini, Aris?” teriak Gina sambil melangkahkan kakinya menuruni satu per satu anak tangga.Wanita itu menghampiri Aris yang sedang duduk menikmati sarapan paginya. Aris menghela nafasnya sebentar, sebelum pelan-pelan menghembuskannya.“Bilang pada mami sekarang, perempuan seperti apa yang kamu mau?” tanya Gina pada anak semata wayangnya.“Apa yang kurang dari perempuan kemarin?” tanya Gina lagi, padahal menurutnya perempuan yang ia pilihkan sangat cocok disandingkan dengan sang putra.“Perempuan kemarin bukan tipe Aris,” sahutnya cepat, tak berminat lama-lama membahas persoalan yang sama.“Lalu, perempuan seperti apa yang menjadi tipe idealmu?” kali ini Gina melembutkan suaranya, sudah cukup merasa kesal pada Aris yang selalu membantah perintahnya.Aris terdiam sebentar, ia yakin bahwa maminya tahu perempuan seperti apa yang menjadi tipe idelanya. Ralat, maminya tentu tahu siapa perempuan yang Aris mau.“Aris akan menunggunya
Aris duduk santai di ruang kerjanya, menunggu Wira membawakan kopi yang ia pesan. terlalu larut memikirkan masalahya sendiri, laki-laki itu sampai tidak sadar dengan kehadiran Wira yang sudah duduk di sebelahnya.Meskipun jabatannya hanya sebagai asisten pribadi, Wira sudah dianggap sebagai teman dekat oleh laki-laki itu, umur yang tidak terpaut terlalu jauh membuat keduanya menjadi dekat.“Bos,” panggil Wira menyadarkan Aris dari lamunannya.Kepala Aris menoleh, melihat Wira yang sudah menyajikan kopinya di atas meja. Dengan cepat tangannya meraih secangkir kopi hitam yang ia pesan.“Menurut kamu, apa yang harus saya lakukan?” tanya Aris tiba-tiba, sembari menyeruput kopinya.Wira diam sejenak, menerka maksud dari pertanyaan yang diajukan oleh bosnya. Beberapa detik berlalu, akhirnya Wira memberanikan diri untuk memberi jawaban.“Kalau untuk pendapat pribadi saya sih, lebih baik mengikuti perintah ibu Gina,” ungkap Wira pelan, takut menyinggung perasaan Aris.Aris sama sekali tidak b
Ponsel Aris bergetar, laki-laki itu langsung meronggoh saku celananya. Menatap nama di layar beberapa detik, sebelum akhirnya ia menekan tombol hijau, tanda menerima panggilan tersebut.“Apa yang sedang kau lakukan, lama sekali menjawab panggilan mami.” baru saja menempelkan ponselnya ke telinga, laki-laki itu sudah mendengar ocehan maminya.“Ada apa mi?” tanya Aris pelan.“Kenapa kamu bertanya ada apa? Hari ini kamu ada janji temu dengan anak teman papi!” pekik Gina karena Aris melupakan janjinya.Aris mengela nafas kasar, sungguh ia hampir lupa bahwa ada janji temu malam ini. “Ahh, baiklah,” sahut laki-laki itu secepatnya, Aris buru-buru mematikan sambungan telepon karena tak mau mendengar ocehan marah maminya.Berkali-kali Aris harus bertemu dengan perempuan-perempuan pilihan maminya, berharap ada satu perempuan yang cocok dengannya sehingga mereka bisa menikah secepatnya.Namun sayangnya pertemuan itu tidak pernah berlanjut, menurut Aris masih belum ada satu pun perempuan yang bis
Hingga kini Rania masih berusaha membujuk anaknya untuk keluar dari kamar. Sejak kejadian itu, Aruna terus mengurung dirinya sendiri dalam kesepian.Rasanya tidak ada tenaga untuk sekedar melihat dunia yang semakin hari semakin membuat dirinya takut.“Aruna…” panggilan lembut Rania terdengar hingga telinga anak perempuannya.“Keluar sebentar ya nak, bunda ingin mengajak Aruna jalan-jalan,” lanjutnya dengan suara pelan.Namun sayangnya Aruna bahkan tidak bertenaga untuk sekedar membuka pintu, tubuhnya masih terduduk di bawah ranjang sambil memeluk lututnya.Aruna berusaha menyembunyikan isak tangisnya, berharap agar suara tangisan yang keluar dari mulutnya tidak terdengar hingga telinga Rania yang saat ini sangat khwatir dengan keadaan Aruna.“Maaf, maaf..” bisik Aruna pelan, merasa bersalah karena dirinya semenyedihkan ini.Kejadian itu benar-benar membuat Aruna sangat terpuruk, kehidupannya berubah drastis dan dirinya sangat menutup diri sekarang.Seminggu ini yang Aruna lakukan hany
Aris duduk di salah satu sofa panjang seorang diri, sebelum akhirnya beberapa gadis dengan pakaian super seksi mendekat ke arahnya.Laki-laki itu meneguk segelas wine yang ada di atas meja, tidak peduli dengan sentuhan-sentuhan panas oleh perempuan-perempuan yang kini sudah duduk di sebelahnya.Aris sungguh menikmati alunan musik sembari terus meneguk wine yang dituangkan untuknya, kali ini laki-laki itu memilih untuk menikmati malam minggunya di sebuah club mewah.Matanya menatap pada sekumpulan orang yang menggoyangkan pinggulnya sembari menikmati alunan musik yang semakin keras.Sudah tiga jam sejak kedatangannya ke club ini, namun pikirannya masih tidak tenang, bahkan saat ini terasa lebih kacau.Aris melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, sudah pukul satu dini hari, namun rasanya ia masih ingin duduk di sini.Ponselnya terus bergetar, tanda panggilan masuk dari Wira yang ia minta untuk datang menjemputnya.Aris meraih ponselnya yang ada di atas meja, la
“Tidur di mana kamu semalam? Kenapa tidak pulang?” tanya Gina yang sudah menyilangkan tangannya di depan dada. Baru saja Aris menginjakkan kaki di lantai rumahnya, suara cempreng Gina sudah menggelegar di sekitar area rumah. “Aris tidur di apartemen,” sahut laki-laki itu malas. “Kenapa tidak pulang?” tanya Gina lagi. Aris terdiam sejenak, tidak mungkin ia mengakui bahwa dirinya mabuk semalam. Ia memikirkan alasan yang tepat agar sang mami tidak memarahinya. “Ehm, kemarin Aris nyelesaiin semua kerjaan supaya tidak terlalu menumpuk, lalu pulang ke apartemen karena merasa sangat ngantuk, Aris tidak bisa memaksakan keadaan untuk pulang ke rumah, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Apalagi sekarang ini banyak kasus kecelakaan akibat pengendara mengantuk di jalan kan,” ujarnya mencari alasan untuk menutupi kebohongannya. “Beneran kamu?” intrupsi wanita itu mengintimidasi. “Jangan bohong ya sama mami!” lanjutnya dengan mata mendelik tajam pada sang anak. “Kalau Aris sampai m
Perjalanan hidup Aruna perlahan-lahan mulai kembali seperti dulu, meski pun masih belum seutuhnya. Namun kini Aruna akhirnya mau pergi ke luar rumah, tetapi obat penenangnya masih perlu ia bawa ke mana pun ia pergi. Namun sayangnya senyuman Aruna kembali luntur kala mendengar kabar kurang enak tentang keuangan keluarganya. Perusahaan sang ayah mengalami penurunan drastis yang mengakibtkan menumpuknya hutang di berbagai tempat. Alasannya adalah karena salah satu karyawan yang paling dipercaya oleh Yuda membawa kabur uang dengan jumlah yang sangat besar, sekitar lebih dari 50 milyar. Ayahnya terduduk lemas, pikirannya kacau karena tidak tahu harus berbuat apa, uang sebanyak itu tidak mungkin bisa ia temukan secepatnya. Lagi-lagi kepercayaan yang sudah dibangun bertahun-tahun disalah gunakan begitu saja, orang itu berhasil membuat keluarga Aruna menjadi kacau. Rania tidak henti-hentinya meneteskan air mata, masih merasa sangat shock sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih. "Apa
Rania sedang bersiap-siap untuk bertemu dengan sang sahabat, wajah pucatnya ia tutupi dengan polesan bedak sehingga terlihat jauh lebih baik. "Bunda," panggil Yuda pelan, kantung matanya yang menghitam benar-benar terlihat sangat jelas. Wajar saja, pria itu tidak bisa tidur tenang semalaman. Dengan senyuman tipis, Rania menghampiri suaminya, mengerahkan segala kekuatannya berharap mereka semua dapat bertahan disegala terjangan masalah. "Bunda pergi dulu ya yah," ujarnya dengan suara lembut. Tanpa banyak basa-basi, Yuda memeluk erat tubuh istrinya, merasa sangat bersalah karena merepotkan wanitanya. "Maaf," bisik pria itu merasa sangat-sangat bersalah. Saat ini Rania akan bertemu dengan sahabat lamanya, permasalahan seperti ini tentu saja tidak bisa ia bereskan sendiri tanpa bantuan orang lain. Bagaimana pun caranya, mereka harus segera mendapatkan pinjamanan agar terbebas dari panggilan-panggilan bank yang hendak menyita segala fasilitas yang mereka punya. Dari dalam kamar, Aru