Share

Bab 8

Perjalanan hidup Aruna perlahan-lahan mulai kembali seperti dulu, meski pun masih belum seutuhnya. Namun kini Aruna akhirnya mau pergi ke luar rumah, tetapi obat penenangnya masih perlu ia bawa ke mana pun ia pergi. 

Namun sayangnya senyuman Aruna kembali luntur kala mendengar kabar kurang enak tentang keuangan keluarganya. Perusahaan sang ayah mengalami penurunan drastis yang mengakibtkan menumpuknya hutang di berbagai tempat. 

Alasannya adalah karena salah satu karyawan yang paling dipercaya oleh Yuda membawa kabur uang dengan jumlah yang sangat besar, sekitar lebih dari 50 milyar. 

Ayahnya terduduk lemas, pikirannya kacau karena tidak tahu harus berbuat apa, uang sebanyak itu tidak mungkin bisa ia temukan secepatnya. 

Lagi-lagi kepercayaan yang sudah dibangun bertahun-tahun disalah gunakan begitu saja, orang itu berhasil membuat keluarga Aruna menjadi kacau. 

Rania tidak henti-hentinya meneteskan air mata, masih merasa sangat shock sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih. 

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Rania dengan suara bergetar, wanita itu masih menangis tersedu-sedu. 

Berbeda dengan Aruna yang masih membaca situasi, padahal sudah jelas-jelas bahwa orang kepercayaan Yuda membawa kabur uang perusahaan dengan jumlah besar. 

Sepertinya air mata Aruna sudah mengering, ia tidak bisa meneteskan air mata meskipun di depannya ada sang ayah dan bunda yang tengah sangat bersedih. 

Dengan wajah datar perempuan itu berusaha memikiran apa yang bisa ia lakukan, tangannya bergetar hebat dan kepala kembali pusing. 

Melihat Aruna seperti itu, Rania langsung mengambil obat yang pastinya selalu tersedia di dalam tas anaknya, ia langsung menyuruh Aruna untuk menelan obatanya agar perempuan itu bisa lebih tenang. 

"Bunda.." panggil Aruna sembari memegang kepalanya yang terasa sangat pusing. 

"Ayah.." panggil Aruna lagi, kali ini air matanya tidak bisa terbendung, ia menangis sejadi-jadinya. 

Yuda langsung meraih dua perempuan itu ke dalam pelukannya, merasa sangat bersalah dengan apa yang sudah terjadi. 

"Maaf.." kata Yuda yang tanpa sadar ikut menangis. 

Kini mereka bertiga harus memikirkan cara agar bisa melunasi hutang-hutang perusahaan, jika tidak Yuda akan dijebloskan ke dalam penjara. 

"Jangan khawatir, ayah akan mencari cara." Yuda masih belum memikirkan cara apa pun, namun yang paling penting baginya adalah menenangkan dua orang tersayangnya ini. 

"Aruna jangan khawatir ya, kamu fokus pada kesehatanmu saja dulu, tidak usah memikirkan hal ini. Ini adalah tanggung jawab ayah!" ujar pria itu berusaha terlihat tenang. 

Aruna bukan anak kecil yang bisa dibohongi, ia yakin betul bahwa ayahnya hanya sedang berusaha menenangkannya saja, Aruna yakun bahwa ayahnya sedang memikul beban yang amay sangat berat. 

"Sekarang Aruna istirahat dulu ya, kan Aruna tidak boleh begadang." kalimat lembut yang keluar dari mulut Yuda benar-benar berhasil membuat Aruna semakin patah hati. 

Rasanya terlalu banyak beban yang dialami oleh keluarganya belakangan ini, segala bentuk takdir yang sudah ditentukan terasa sangat-sangat berat. Sepertinya Tuhan salah, keluarga Aruna tidak sekuat itu untuk menanggung beban yang seberat ini. 

"Ayah.." ujar Aruna dengan suara bergetar. 

Tangan besar Yuda mencoba menggenggam tangan mungil putrinya, mencoba menyalurkan tenaga yang sama, yakin bahwa mereka semua akan berhasil melewati rintangan ini semua. 

"Tuhan selalu bersama kita nak! Tuhan maha melihat segala-galanya, jangan pernah ragu dengan kebesaran Tuhan!" ujar Yuda penuh keyakinan. 

"Bunda, antar Aruna ke kamarnya ya," perintah Yuda membuat Rania mengajak Aruna untuk naik ke lantai atas. 

Persis seperti anak kecil yang selalu diselimuti sebelum tidur, Rania melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan bertahun-tahun yang lalu saat Aruna masih kanak-kanak. 

"Istrihat ya, kamu tidak perlu memikirkan apa pun, ayah dan bunda akan menyelesaikan semuanya. Percaya dengan kita ya," ujar Rania dengan sangat lembut. 

Aruna kini sudah terlelap, hal ini juga disebabkan oleh pengaruh obat yang membuat Aruna semakin cepat merasa ngantuk. 

Rania kembali menghampiri suaminya yang terlihat tidak karuan, pria yang nampak hebat itu, kini menangis sejadi-jadinya. 

Sejak tadi ia berusaha menahan tangisnya agar tidak terlihat lemah di depan anak semata wayangnya, namun saat melihat wajah Rania, wajahnya basah dengan air mata. 

Kini saatnya Rania yang mencoba untuk menenangkan Yuda, ia akan selalu mendampingi suaminya dalam keadaan apa pun. Termasuk bangkit dari kejatuhan seperti ini. 

"Semua akan baik-baik saja," kata Rania berbisik tepat di telinga suaminya. 

Keduanya sama-sama merasa bingung dengan apa yang harus dilakukan, uang sebesar itu tentunya sangat mustahil untuk didapatkan dalam waktu dekat. 

"Bunda akan mencoba untuk mencari bantuan ke teman-teman nanti, apa pun yang terjadi, kita harus melangkah bersama-sama," ujarnya berusaha tenang. 

Inilah kekompakkan dalam keluarga yang sesungguhnya, selalu mengutamakan kebersamaan mereka, meski pun dalam terpaan masalah, namun harus tetap saling melindungi. 

Yuda sangat-sangat bersyukur karena memiliki wanita sehebat Rania dalam hidupnya, yang selalu mendukung dan menyayanginya sama seperti bertahun-tahun lalu. 

Tidak pernah sekali pun ada berita miring dalam keluarga penuh kehangatan ini, bahkan dalam menghadapi masalah besar pun tidak ada yang saling menyalahkan satu sama lain. 

Hingga pukul tiga dini hari, keduanya memutuskan untuk beristirahat sebentar, Rania juga harus bertemu temannya untuk meminta bantuan. 

"Maaf ya, ayah membuat bunda kerepotan," ungkap Yuda penuh rasa penyesalan.

Rania mengelus pundak sang suami, "Tidak perlu menyalahkan diri sendiri, selagi kita bersama-sama, bunda yakin semuanya akan baik-baik saja!" 

Keduanya saling menggenggam erat tangannya, menyemangati diri mereka untuk hidup yang lebih baik lagi nantinya. Percaya bahwa mereka akan melalui rintangan ini dengan baik. 

Di dalam kamar, Aruna menangisi kehidupannya lagi, merasa tidak adil karena keluarganya terus-terusan diterpa masalah tanpa henti. 

"Tuhan, aku tahu kau mendengarku, tolong bantu keluarga kami, kuatkan hati kami dalam menghadapi ujianmu yang berat ini, perkokoh punggung kami agar tetap berdiri tegak melewati rintangan-rintangan takdir yang engaku kehendaki." Aruna memohon dengan hati yang sangat tulus. 

Berharap agar setidaknya Tuhan mau berbelas kasih dan mengurangi sedikit beban pada keluarganya. Lagi-lagi Aruna melihat dirinya yang amat sangat berantakan di depan cermin. 

Persis seperti beberapa bulan yang lalu, saat dirinya mengurung diri di dalam kamar. Wajahnya sungguh menyedihkan, seolah tidak terurus bertahun-tahun. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status