Share

Bab 9

Rania sedang bersiap-siap untuk bertemu dengan sang sahabat, wajah pucatnya ia tutupi dengan polesan bedak sehingga terlihat jauh lebih baik. 

"Bunda," panggil Yuda pelan, kantung matanya yang menghitam benar-benar terlihat sangat jelas. Wajar saja, pria itu tidak bisa tidur tenang semalaman. 

Dengan senyuman tipis, Rania menghampiri suaminya, mengerahkan segala kekuatannya berharap mereka semua dapat bertahan disegala terjangan masalah. 

"Bunda pergi dulu ya yah," ujarnya dengan suara lembut. 

Tanpa banyak basa-basi, Yuda memeluk erat tubuh istrinya, merasa sangat bersalah karena merepotkan wanitanya. "Maaf," bisik pria itu merasa sangat-sangat bersalah. 

Saat ini Rania akan bertemu dengan sahabat lamanya, permasalahan seperti ini tentu saja tidak bisa ia bereskan sendiri tanpa bantuan orang lain. 

Bagaimana pun caranya, mereka harus segera mendapatkan pinjamanan agar terbebas dari panggilan-panggilan bank yang hendak menyita segala fasilitas yang mereka punya. 

Dari dalam kamar, Aruna melihat kedua orang tuanya yang tentu saja sedang berusaha mencari jalan keluar, terlihat sang ibunda yang harus pergi mencoba mencari solusi dari sahabat dekatnya. 

"Jagain Aruna ya, bunda tidak akan lama," ujar wanita itu dengan senyuman yang tulus. 

Yuda mengangguk pelan, matanya tidak bisa berbohong, pria itu sungguh sangat sedih sekarang. Aruna lagi-lagi tidak bisa menahan air matanya, belakangan ini air matanya selalu luruh begitu saja. 

Aruna seperti anak kecil yang tidak tahu harus berbuat apa, ingin rasanya ia membantu keluarganya, namun apa yang bisa dilakukan oleh perempuan yang sedang dalam proses menyembuhkan dirinya sendiri. 

Rania kini sudah pergi, meninggalkan Yuda yang masih menatap mobil putih itu keluar dari pekarangan rumah mereka, sedangkan di belakangnya ada Aruna yang dari kejauhan menangisi takdir keluarga mereka. 

*

Janji temu sebenarnya pukul dua siang, namun Rania sudah menunggu sejak tiga puluh menit sebelumnya. Wanita itu merasa ragu, namun tidak ada cara lain yang bisa ia lakukan. 

Rania duduk di kursi paling pojok yang ada di dalam cafe, matanya menatap lesu sekitaran, beberapa kali ia menunduk lemas karena merasa tidak enak badan. 

Wanita itu terus memainkan jari-jari tangannya, menunggu sang sahabat yang belum juga kunjung datang. 

Tidak jauh dari tempat Rania duduk, seorang wanita yang berpakaian santai namun tetap terlihat sangat mewah sedang memperhatikannya. 

Yakin sekali bahwa sahabatnya sedang mengalami masalah yang serius, wanita itu langsung melangkahkan kakinya menghampiri Rania yang sudah menunggu. 

"Hai," sapa wanita yang langsung duduk di hadapan Rania. 

Dengan perasaan canggung, Rania memperlihatkan senyumannya. Wanita itu bisa melihat wajah Rania yang nampak tidak sehat, bahkan polesan bedak itu pun tidak sepenuhnya berhasil menyamarkan keadaan Rania. 

"Ada apa Rania?" tanya wanita itu sembari meletakkan tas mahalnya di atas meja. 

Rania menghembuskan nafasnya pelan, bibirnya terasa sulit untuk menjawab pertanyaan yang terdengar sangat enteng itu. 

"Aku butuh bantuanmu, Gin." kata Rania gugup. 

Ia tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya, perasaan Rania sangat gugup saat meminta pertolongan dari sahabatnya. 

Ya, wanita yang sedang duduk dihadapan Rania adalah sahabatnya yang bernama Gina, wanita yang memiliki seorang putra bernama Aris. 

"Apa yang bisa ku bantu?" tanya Gina lagi. 

Rania membiarkan keheningan menemani mereka sejenak, wajahnya tampak sedang berpikir harus mengatakannya dari mana. 

"Katakan saja, akan ku bantu sebisaku." Kalimat yang keluar dari mulut Gina tentu membuat perasaan Rania setidaknya menjadi sedikit lebih membaik. 

"Suamiku terkena musibah Gin, perusahaannya harus menanggung kerugian sebesar 50 milyar, kita dituntut untuk melunasi hutang-hutang ini dalam waktu cepat, jika tidak rumah kami akan di sita, beserta segala isinya, terlebih dia juga terancam di penjara karena dituduh menipu," ujar Rania pelan, suaranya terdengar bergetar hebat. 

Rania tidak bisa membendung lagi tangisannya, ia terisak di depan sang sahabat sambil menunduk, terlalu malu untuk memperlihatkan wajahnya saat ini. 

"Jangan khawatir Ran, aku akan membantumu, tolong berhenti menangis." 

Mendengar ucapan Gina membuat Rania kembali terisak, merasa tersentuh dengan kebaikan sahabatnya yang satu ini. 

Meski pun tidak merasakannya, namun Gina tahu betul bagaimana perasaan Rania saat ini, sahabatnya ini memang orang yang sangat pantas untuk ditolong. 

"Terima kasih banyak Gin," ujar Rania dengan suara terbata-bata. 

Gina mengelus naik turun pundah sahabatnya, masih berusaha menenangkan Rania yang semakin terisak. Dunia memang memiliki caranya sendiri untuk mempertemukan orang baik dengan orang baik. 

Rania merasa sangat bersyukur memiliki sahabat sebaik Gina yang selalu ada setiap kali dirinya membutuhkan bantuan, tidak hanya Rania yang bersyukur, Gina juga merasakan hal yang sama. Takdir memang mengikat keduanya untuk saling berpegangan. 

"Bagaimana keadaan Aruna?" tanya Gina mengganti topik, ketika Rania terlihat sudah sedikit membaik. 

Mengingat kembali anak perempuannya, Rania tersenyum singkat, saat ini keadaan anak perempuannya bisa dikatakan membaik. 

"Proses terapi masih dijalankan, Aruna masih harus bergantung dengan obat-obatan karena kesehatan mentalnya belum sepenuhnya pulih." terangnya memberikan jawaban. 

"Syukurlah, aku turut senang mendengarnya." kata Gina sambil tersenyum. 

"Sudah lama tidak bertemu dengan Aruna, aku jadi rindu dengan anak cantik itu," ujar Gina. 

Aruna dulu sangat dekat dengan Gina, bahkan wanita itu dipanggil mami olehnya. Rumah mereka bersebelahan sehingga Aruna rajin bermain ke sana. 

Namun karena keluarga Aruna harus pindah, perempuan itu juga sibuk dengan kegiatan sekolahnya, mereka jadi tidak ada banyak waktu untuk sekedar bertemu. Paling tidak mereka bertemu saat malam tahun baru atau hari-hari penting saja. 

"Aruna juga pasti sangat merindukan maminya," balas Rania. 

"Setelah Aruna sudah pulih seutuhnya, mari rencanakan pertemuan, aku sangat ingin bertemu dengannya." 

Sebenarnya Gina bisa saja mampir ke rumah Rania untuk bertemu dengan gadis kecil yang ia rindukan. Tapi ia paham, Aruna masih belum siap untuk bertemu dengan orang-orang. 

Gina mengetahui keadaan Aruna yang dikhianati oleh sahabat dan kekasihnya, tentu saja saat ini keadaan Aruna sedang tidak baik-baik saja. 

"Terima kasih banyak ya Gin," ujar Rania menatap lembut mata sahabatnya. 

"Santai saja, selama aku bisa, pasti aku bantu!" 

Kini masalah yang ada dalam pikiran Rania sedikit teratasi, pikiran-pikiran buruk sebelumnya bisa ia hilangkan sekarang agar tidak lagi mengganggunya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status