Pagi masih berembun ketika suara burung gereja mulai bersahutan di halaman rumah. Melati membuka tirai jendela kamarnya dan membiarkan sinar matahari masuk perlahan. Udara sejuk menelusup melalui celah jendela, membawa aroma rumput basah yang menenangkan. Namun, batinnya masih jauh dari tenang. Hatinya masih bising oleh suara-suara yang belum juga mereda.Ia menarik napas dalam, lalu mengambil ponsel. Tangannya sempat ragu, tetapi tetap membuka aplikasi pesan.Belum ada balasan.Pesan yang ia kirim semalam masih terlihat centang dua. Dibaca, tapi tetap dibungkam. Tak ada tanda-tanda bahwa Adam akan merespons. Melati menghela napas, lalu meletakkan ponsel di meja kecil dekat tempat tidur.Ia melangkah keluar kamar, membantu ibunya seperti biasa. Hari itu, cucian cukup banyak. Meski tubuh lelah, Melati tidak mengeluh. Justru, pekerjaan membuat pikirannya sedikit teralihkan.***Menjelang siang, saat Melati sedang menyapu halaman, ponselnya bergetar di saku celana. Sebuah nama muncul di
Mentari sudah tinggi, tapi semangat Melati seperti belum benar-benar terbit. Ia hanya duduk diam di beranda rumah, menggenggam cangkir teh yang sejak tadi tak disentuh. Uapnya sudah tak lagi mengepul, menguap seperti semangatnya pagi ini. Pikirannya masih tertinggal pada percakapan semalam dengan Adam, juga pada luka lama yang kembali menganga.“Mel, kamu kenapa, Nak?” tanya Bu Halimah yang baru saja selesai menjemur pakaian. Suaranya pelan, tapi penuh perhatian.Melati buru-buru mengangkat wajah dan tersenyum tipis. “Nggak apa-apa, Bu. Cuma pusing sedikit.”Bu Halimah memperhatikan anak gadisnya itu dengan tatapan lekat. Ia tidak sebodoh yang Melati kira. Sejak Melati pulang dari Jakarta, Bu Halimah sudah merasa ada yang aneh. Anaknya jadi sering melamun, kadang tertawa sendiri, lalu tiba-tiba murung. Ponsel yang dulu hampir tak lepas dari genggaman, kini lebih sering disimpan dan bahkan dimatikan.“Pusing karena apa? Habis mimpi buruk?” tanya Bu Halimah mencoba ringan.Melati mengan
Esok pagi, Melati mengerjap karena cahaya matahari menerobos masuk jendela. Matanya sebenarnya begitu berat untuk dibuka. Melati masih mengantuk karena semalam tidur sudah sangat larut. Napas dia embuskan dengan kasar. Dengan malas Melati bangun dan melangkah keluar kamar menuju kamar mandi.Melewati dapur untuk ke kamar mandi.“Anak gadis bangun, kok, matahari sudah tinggi. Gimana bisa cepet dapat jodoh, jodohnya dipatok ayam.” Ibu menggoda Melati ketika dia hendak masuk ke kamar mandi.Melati menoleh dan tersenyum. Ah, Ibu ... tidak tahu kalau anaknya ini sudah mendapat jodoh meskipun dia tidak lagi single.Tanpa menanggapi perkataan Bu Halimah Melati masuk kamar mandi dan menutup pintu. Melati bersender di balik pintu sambil menumpahkan kesedihan. Napas terasa sesak, cairan hangat pun mengalir membasahi pipi.Tuhan ... ampuni Hamba karena telah berbohong pada Ibu. Hamba tak berani berkata jujur kalau sudah menikah, karena hanya menikah siri dan bukan dengan pria single.Melati sege
Malam ini, Melati duduk di teras rumah bersama Bu Halimah. Menyaksikan kerlap-kerlip bintang di langit. Ya, suasana di rumah Melati ini memang tidak begitu ramai, karena rumahnya jauh dari jalan raya. Hanya jalan kampung kecil dan masih banyak pepohonan di sekitar. Jika malam, suasana hening dan terdengar suara jangkrik, yang sudah tidak terdengar di Kota Surabaya.“Melati, kapan kamu mau menikah?”Pertanyaan Bu Halimah sontak membuat Melati terkejut.Melati langsung menoleh.Aku harus menjawab apa atas pertanyaan Ibu? Aku sudah menikah meskipun hanya siri. Melati berkata dalam hati.“Melati kenapa diam? Ibu berniat menjodohkanmu dengan Rehan, anak Bi Minah yang rumahnya di pojok kampung sana.” Bu Halimah menunjuk ke arah utara.Melati masih bergeming, menunggu Bu Halimah melanjutkan perkataannya.“Dia anak yang baik, udah mapan, dan umurnya juga sudah matang. Dia juga berniat cari jodoh kata ibunya. Kamu kenal dia, ‘kan?” lanjut Bu Halimah.Melati menelan ludah, kemudian menghela nap
Keesokan harinya Melati memutuskan untuk pulang kampung sebentar. Dia ingin menenangkan diri. Selain itu juga kangen pada ibunya. Semalam Melati langsung memesan tiket kereta api secara online. Untung saja langsung ada.Pagi ini, Melati segera menuju stasiun Gubeng. Dia akan pulang menggunakan jasa kereta api.Setelah tiba di stasiun, dia berjalan menyusuri emperan stasiun. Orang-orang berlalu-lalang memenuhi emperan. Hendak pulang dan pergi. Menyatu dengan tukang asongan, penjaja koran, dan penjual makanan serta minuman. Hari masih sangat pagi saat Melati tiba di stasiun. Kereta tidak terlalu penuh, mungkin karena belum banyak orang yang hendak bepergian, mungkin juga memang bukan hari libur besar ataupun hari raya. Melati bernapas lega, karena bisa duduk santai sepanjang perjalanan. Dia bergegas masuk ke gerbong kereta.Tak lama kemudian, kereta api pun berdecit, melaju meninggalkan Kota Surabaya. Dia memandang ke luar jendela kereta. Menghirup napas dalam. Dia tidak izin pada Adam.
“Melati, Aisyah sedang sakit. Dia nggak boleh dengar kabar menyakitkan. Kalau aku cerita yang sesungguhnya di saat dia drop, aku takut dia akan tersiksa.” Adam mendekap Melati dari belakang.Mendengar pengakuan Adam, Melati hanya terdiam. Menahan isak tangis. Dada Melati teramat sesak. Kalau dia takut istrinya tersakiti, kenapa bermain api? Apakah dia tidak memikirkan Melati yang juga menderita karena hubungan tersembunyi ini? Mengapa hanya istri pertamanya saja yang perlu dijaga perasaan hatinya?“Pergi saja kamu, Mas. Jangan pernah ke sini lagi! Sebaiknya kita memang berpisah.” Suara Melati bergetar menahan amarah.“Sayang jangan pernah minta berpisah. Aku nggak mau. Sabarlah sebentar, saat ini Aisyah sedang sakit. Kondisinya benar-benar drop, karena itu aku harus menjaga perasaannya.” Adam menggenggam tangan Melati.“Memangnya sakit apa dia, Mas?” tanya Melati.“Gejala ginjal,” jawab Adam lirih.Mata Melati membelalak tak percaya. Ginjal? Begitu parahkah, sehingga Adam begitu khaw