Share

6 - Kebingungan

Dengan senang ku ulurkan tanganku padanya, “Namaku Nabhila Pramuditia. Tinggalnya di nomor 13 blok A. Kayaknya aku perginya jauh deh, malah sampai di blok sini. Di depan biasanya ada jajanan begitu? Wah aku bisa ikutan beli dong.” Jabat tangan kami terlepas, senyumku bahkan tidak memudar sama sekali. menyenangkan sekali punya teman baru.

Kami bercerita banyak, ternyata Mba Laila sudah punya dua anak Cuman rajin olahraga saja makanya masih keliatan sehat, kalau diperhatikan memang sudah agak tua. Umurnya saja sudah 38 tahun, tapi wajahnya masih mulus, rambutnya coklat lurus habis di warnain kayaknya.

“Dulu pas selesai lahiran, stretchmark Mba hilangnya makan waktu berapa lama?” tanyaku santai padahal dalam hati penasaran sekali.

“Mungkin setahun sehabis lahiran? Pas anakku umur 1 tahun, itupun harus bolak balik ke spa atau ke dokter supaya perutnya bisa mulus lagi. Tapi tergantung cara kita menangani sih, ada yang berhasil di 6 bulan? 8 bulan kayaknya.”

Masa sih?

“Kenapa? Kamu pasti kesusahan banget dan pusing liatnya. Nanti kalau ketemu lagi aku kasi alamat dokternya jadi bisa ke sana, pasti banyak banget karena anaknya besar begini.” Balasanku cuku[ sebatas anggukan. Apa aku menemui dokter terbaik makanya cepat hilang?

“Tapi ada kok yang menghilangkan stretchmark lewat operasi jadinya bisa langsung hilang.” Wah, mungkin jalur ini yang ku ambil makanya cepet hilang apalagi Mas Alvis bilang semua orang mendukungku ditambah ada Mama yang menjaga Kanza.

Kami berpisah pas jam 5, aku bahkan dengan semangat melambaikan tangan pada Mba Laila saking senangnya bisa bertemu dan sharing dengannya. Segera kubawa Kanza pulang sebelum Mas Alvis sampai rumah, karena aku perginya kejauhan jadinya sampai rumah agak lama. Senyumanku melebar saat melihat mobil Mas Alvis terparkir di garasi.

“Mas.” Panggilku saat melihatnya di teras.

Dia berlari ke arahku, memelukku dengan sangat erat.

“Ada apa Mas?” tanyaku heran, aku bahkan bisa merasakan betapa takutnya Mas Alvis saat ini.

“Aku kira kamu ninggalin aku.”

Aku tertawa, membalas pelukannya. Untung Kanza tertidur dengan nyaman.

“Mana mungkin aku ninggalin Mas Alvis. Tadikan sebelum Mas berangkat, aku sudah bilang mau jalan-jalan di sekitar sini sekalian cari teman. Sudah ya?” pelukannya semakin erat, tak lama aku mendengar suara tangisannya.

Mas Alvis menangis?

“Aku di sini. Sampai kapanpun aku engga akan ninggiln suami tampanku ini, memangnya aku mau ke mana kalau memang ninggalin Mas Alvis? Aku engga ingat-ingat apa, aku engga tahu nama ibuku, ayahku bahkan aku ingat tahun lahirku apa. Aku engga tahu siapa temanku, aku engga punya apa-apa andaikan mau kabur. Di dunia ini, aku hanya punya Mas Alvis dan Kanza, yang mau menerimaku dengan tangan terbuka hanya kalian jadi jangan pernah berpikiran aku ninggalin Mas Alvis.” Kataku menenangkannya.

Ku lirik ke arah Kanza, putri cantik kami.

“Mas, sekarang aku tahu kenapa garis di perutku cepet hilang.” Dia melepaskan pelukannya, menungguku mengatakannya.

“Karena operasi. Iyakan?”

Dia terdiam lama lalu mengangguk mengiyakan. “Kamu sangat tidak suka dengan garis di perutmu jadinya meminta Mas untuk mendaftarkanmu ke dokter. Mas akan melakukan apapun asalkan kamu bahagia, mau semahal apapun akan Mas lakukan. Semua orang mendukungnya.” Aku tertawa, menghapus sisa airmatanya.

“Naa. Jangan pernah ninggalin aku.” Bisiknya, kubalas dengan anggukan.

Mas Alvis dan Kanza masuk lebih dulu. Aku sedikit terganggu dengan panggilan itu ‘Naa’. Bukannya itu panggilan untuk Nadhila yang diberikan oleh orang asing? Lalu kenapa Mas Alvis memanggilku dengan nama yang sama?

“Sayang, engga masuk?”

“Iya Mas, aku masuk.”

Sudahlah, lagian nama depan kami sama. Hanya huruf D dan B yang membedakan, juga sematan nama Mas Alvis di belakang.

Mungkin panggilan itu memang untuk kami. Untukku dan untuk adikku, Nadhila.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status