“Anak Bunda, padahal baru tidur tapi bangun lagi. Lapar ya? Sebentar Sayang, Bunda buatin dulu.” Dengan sigap aku membuatkan susu untuk Kanza, padahal aku sangat berharap bisa memberinya ASI tapi sepertinya takdir berkata lain. Tidak papalah, setidaknya Kanza tetap sehat dan hidup bahagia bersamaku dan Mas Alvis.
“Sayang, Mas keluar sebentar mungkin pulangnya agak sorean.”
Di belakang sana Mas Alvis sudah siap dengan setelan jasnya. “Sudah mau kerja?” kagetku, aku kira dia mulainya besok.
“Harusnya kemarin tapi tertunda, hanya sebentar. Mas usahakan pulang sebelum magrib, bisa kan?”
“Bisa, hati-hati di jalan.” Karena aku sibuk mengurus Kanza, jadinya Mas Alvis yang mendekat memelukku singkat sebelum berangkat kerja.
Ku lirik jam dinding, jam 3 sore? Dan pulangnya sebelum magrib? Memangnya bisa kerja secepat itu? Tapi sudahlah, pasti Mas Alvis akan cerita pas pulang nanti. Mending aku fokus ke baby kecilku, mengganti pakaiannya barulah mengajaknya jalan-jalan keliling kompleks sekalian kenalan dengan tetangga yang lain.
Saat berganti pakaian, aku menatap lama foto pernikahan yang sudah Mas Alvis pasang di atas ranjang kami. Mas Alvis tersenyum lebar sambil merangkulku sedangkan aku menatapnya dengan senyuman juga, rambutku yang pendek dibiarkan begitu saja. Katanya sih rambutku kemarin panjang malah sampai punggung tapi karena mengganggu jadinya di potong pendek, untung sudah agak panjang melewati leher.
“Mba engga gerah gerai rambut tiap hari? Engap aku liatnya.”
“Haha, dari pada kamu. Rambutnya pendek terus, mirip laki-laki.”
Penglihatanku mendadak buram, untuk berdiri saja harus menjadikan lemari sebagai tumpuan agar tidak jatuh. Itu pasti kenanganku dengan Nadhila, ternyata dia dari dulu sukanya rambut pendek dan aku sukanya rambut panjang. Setidaknya, melalui kenangan yang perlahan ku ingat aku bisa mengingat semuanya lagi.
Di sana, Nadhila pasti sedih karena aku melupakan semua kenangan kami.
Setelah merasa mendingan, ku sisir rambutku tak lupa mengenakan bando kain agar terlihat cantik. Barulah mengambil Kanza memindahkannya ke stroller. Kami akan jalan-jalan menyapa para tetangga, setidaknya hidup di sini membuatku nyaman dan punya banyak teman tetangga.
“Kanza anaknya Bunda, engga papa kita tidak dekat lagi dengan keluarga Bunda kan kita punya Ayah. Kamu pasti kangen mereka kan? Mulai lahir sampai usia satu bulan bareng mereka terus, apalagi Bunda sibuk mempercantik diri. Bunda jahat ya? Bukannya main sama kamu malah main ke salon padahalkan waktu sama kamu singkat sekali.” doronganku pada Stroller terhenti, berdiri di depannya berbicara dengan Kanza.
Mata coklatnya menatapku dengan serius, lama-kelamaan tersenyum.
“Malah senyum, haha. Suka main di sini ya?” Kanza senyum lagi. “Mata kamu beda dengan Bunda, mata Ayah juga warnanya hitam. Apa keluarga Bunda warna matanya dominan coklat makanya kamu ikut mereka?” lanjutku.
“Sudah ah, kenapa malah memikirkan soal mata.” Aku pindah ke belakang stroller lagi, melanjutkan jalan-jalan kami.
“Engga bosen apa Mba di rumah terus?” doronganku terhenti mendadak, ingatanku ada lagi. Saking dekatnya dengan Nadhila, rata-rata ingatanku yang datang bersama dia.
“Endak lanjut Mba? Itu anaknya kena cahaya matahari.”
Teguran itu menyadarkanku dengan cepat, segera membawa Stroller Kanza ke bawah pohon besar dan ibu-ibu yang menegurku tadi ikut di belakang.
“Orang baru di kawasan sini ya?”
“Iya Mba, terimakasih sudah menyapa tadi. Maafin Bunda Sayang, kamu pasti kepanasan banget ya?” Stroller Kanza sengaja ku hadapkan padaku jadinya aku berhadapan dengan Kanza. Mengusap pipi gembulnya.
“Terimakasih kembali. Di sini kalau sore begini memang sepi Mba, paling ramenya pas pagi waktu nganterin anak-anak ke sekolahan. Bayinya lucu, matanya indah.” Senangnya, aku bahagia ada yang menyambutku dengan baik begini.
“Iya Mba, kayaknya mata baby aku ikut keluargaku makanya indah banget. Aku saja iri sama dia.” kami sama-sama tertawa.
“Namaku Laila. Tinggalnya di nomor 16 blok D, tadinya aku olahraga saja sekalian keliling siapa tahu ketemu penjual jajan di bagian depan eh engga sengaja ketemu sama Mba. Namanya siapa Mba?”
Dengan senang ku ulurkan tanganku padanya, “Namaku Nabhila Pramuditia. Tinggalnya di nomor 13 blok A. Kayaknya aku perginya jauh deh, malah sampai di blok sini. Di depan biasanya ada jajanan begitu? Wah aku bisa ikutan beli dong.” Jabat tangan kami terlepas, senyumku bahkan tidak memudar sama sekali. menyenangkan sekali punya teman baru.Kami bercerita banyak, ternyata Mba Laila sudah punya dua anak Cuman rajin olahraga saja makanya masih keliatan sehat, kalau diperhatikan memang sudah agak tua. Umurnya saja sudah 38 tahun, tapi wajahnya masih mulus, rambutnya coklat lurus habis di warnain kayaknya.“Dulu pas selesai lahiran, stretchmark Mba hilangnya makan waktu berapa lama?” tanyaku santai padahal dalam hati penasaran sekali.“Mungkin setahun sehabis lahiran? Pas anakku umur 1 tahun, itupun harus bolak balik ke spa atau ke dokter supaya perutnya bisa mulus lagi. Tapi tergantung cara kita menangani sih, ada yang berhasil di 6 bulan? 8 bulan kayaknya.”Masa sih?“Kenapa? Kamu pasti ke
Mengantar suami kerja sampai teras rumah adalah hal menyenangkan bagi ibu rumah tangga sepertiku.“Jangan kemana-mana, kalaupun mau ke suatu tempat langsung telepon Mas saja.” Itu katanya sebelum pergi.Padahal aku mau keliling Jogja, setidaknya hapal jalanan sini. Sudah seminggu di sini tapi belum tahu menahu soal daerahnya, ini di desa mana atau kacamatan. Atau jogja ini sebenarnya adalah kacamatan? Aduh, aku mendadak pening memikirkannya padahalkan ada banyak pekerjaan yang bisa aku kerjakan apalagi Mas Alvis tidak mau memperkerjakan pembantu permanen. Hanya bekerja di jam 5 pagi sampai 8.“Apa kita jalan-jalan saja tanpa memberitahu Ayah?” gumamku sambil menatap Kanza di gendonganku.“Tapi mau ke mana?” karena lelah berdiri, aku memutuskan masuk ke dalam untuk bermain dengan Kanza. Aku sudah mandi tadi pagi dan Mas Alvis yang menjaga Kanza katanya tidak baik memperkerjakan pembantu nanti malah terjadi hal yang tidak-tidak. Sarapan pun sudah, kami sarapan bersama tadi.“Kanza, Bund
“Kembaran dari Nadhila yaitu Nabhila juga meninggalkan duka mendalam untuk semua orang, pemilik N’Beauty dan N’Fashion ini bahkan langsung meninggal di tempat karena duduk di kursi pengemudi. Saat ini suami dan anaknya menghilang tanpa kabar, perwakilan keluarga Meeaz mengatakan mereka berdua memilih menenangkan diri dan menjauh dari keramaian.” Suara TV yang menggema di kamar mewah itu terus terdengar, membuat perempuan paruh baya di ranjang hanya bisa terpaku menatap gambar-gambar kedua putrinya.“Kami dari HSQnews mengucapkan turut berduka atas kecelakaan yang menimpa dua putri keluarga Meeaz. Terimakasih.”“Alvis dan Kanza belum ada kabarnya?” tanyanya dengan suara parau pada pelayan.“Sebelum menghilang 2 bulan lalu, Tuan Alvis meminta kami untuk tidak mencarinya lagi. Tuan ingin memulai kehidupan baru tanpa bayang-bayang kematian Nona Nabhila. Ingin membesarkan Nona Kanza tanpa ada yang membicarakan kematian mengerikan itu. Jadinya kami dan tim keamanan memutuskan untuk mengikut
“Jangan bilang Anda mau mencarinya dengan status dan wajah baru? Saya tahu keluarga Anda terkenal dengan keahliannya mencari orang, tapi Anda yakin mau mencari orang yang sudah terkubur?” Feira tertawa sebentar, membuka gambar-gambar hasil otopsi Nadhila.“Apa yang membuat Anda begitu yakin, mayat itu bukan Nona kami?”Tunangan dari Nadhila itu mengeluarkan ponselnya memperlihatkan foto hasil pemotretan milik Nadhila setahun lalu saat mereka jalan-jalan ke Bali. Austin memperbesar bagian lengan atasnya, terdapat bekas luka memanjang hingga pundak atas.“Anda tahu alasan Nadhi tidak pernah menyepakati brand pakaian yang terbuka kan? Atau pemotretan yang harus memperlihatkan lengan kanannya? Karena luka ini.”Feira dengan cepat memeriksa gambar hasil otopsi sebelah kanan, tidak ada. Bagian lengan kanannya hanya terbakar sedikit tapi warna kulitnya masih terlihat jelas. Sama sekali tidak ada tanda bekas luka di sana.“Saya dengan hati-hati bertanya pada pihak kepolisian, mereka tidak men
“Mas tidak ada niatan bawa aku dan Kanza jalan-jalan? Aku bosen di rumah terus, Kanza pasti bosan juga. Aku sempat baca di internet di kawasan sini banyak wisata yang bisa kita kunjungi di akhir pekan. Daripada libur kerja begini di rumah terus.” Bujukku pada Mas Alvis, suamiku sibuk membaca koran di teras ruang tamu di temani Kanza yang sibuk bermain sejak tadi.“Kamu mau ke mana Sayang?”Aku dengan wajah bahagiaku duduk di samping kirinya, menatapnya dengan senyuman paling lebar membuatnya ikut tersenyum juga.“Aku mau ke kebun binatang? Kan bisa kenalin Kanza juga hewan-hewan begitu. Kanza cantik kita kan umurnya mendekati 4 bulan, Mas. Jadi endak masalah kalau di bawa ke sana, atau ke pantai? Aku mau kenalin Kanza pantai juga. Apalagi ya?” tangan Mas Alvis terulur mengusap rambutku, aku merasa nyaman setiap kali dia memperlihatkan betapa sayangnya dia pada kami yaitu aku dan Kanza.Sebenarnya ada yang mau aku tanyakan pada Mas Alvis perihal berita yang aku liat kemarin pagi tapi a
Kupandang Mas Alvis beberapa kali, aku ingin membahas tentang siapa itu Austin atau setidaknya ada kejelasan mengapa teleponnya mendadak di matikan. Apa aku tidak pantas tahu apa-apa? Kan itu keluargaku, yaps! Aku menduga Austin adalah keluargaku. Atau bisa saja, dia adalah pacarnya adikku yang telah meninggal itu? “Nabhila, bukankah Mas berulang kali mengatakan untuk tidak melamun? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu lagi? Mas siap mendengarnya.” Kupandang Mas Alvis lama, orangnya sibuk menatap ke depan. Tidak! Jangan dulu. Aku tidak boleh buru-buru membahasnya apalagi telepon tadi hanya beberapa detik. Kalau Mas Alvis marah terus membatalkan jalan-jalan kami? Aku sendirikan yang kena. Kugenggam tangannya sambil tersenyum senang, “Aku lagi bahagia tahu, Mas. Baru saja kemarin sedih karena tidak bisa jalan-jalan eh hari ini dibawa Mas Alvis keluar. Apa ya? hatiku senang banget, makasih suamiku makin sayang deh.” Bisa prediksi bagaimana senangnya dia? Sangat senang sekali b
Suasana mendadak canggung semenjak kami pulang mendadak, Mas Alvis tidak mengajakku bicara atau setidaknya menjawab pertanyaan yang aku tanyakan kepadanya. “Kita bicarakan di rumah setelah Kanza tidur.” Hanya itu yang dia katakan saat keluar dari mobil untuk mengajakku masuk kembali dan ke rumah. Ku tatap Mas Alvis yang sibuk menyetir, aku tidak bisa begini dengannya. Maunya, kita membahasnya sampai tuntas lalu tertawa bersama. Kami adalah keluarga bahagia dan aku tahu Mas Alvis sangat menyayangiku juga Kanza jadi Mas Alvis mana mungkin berbohong apalagi merahasiakan sesuatu dariku. Karena aku sangat mempercayaiku suamiku. Orang yang tetap ada di sisiku, menerimaku bahkan mencintaiku padahal keluargaku sendiri membuangku. Tangannya kugenggam pelan, “Mas, aku tidak bisa lama-lama diam begini. Aku tipikal perempuan yang tidak bisa diam apalagi dengan suamiku sendiri. Kalau memang kalian pernah dekat pun tak akan aku permasalahkan. Aku yakin, Nadhi dan aku sudah membahas ini jauh se
Apartemennya bersih tapi pemiliknya tidak ada di sini. Hanya foto hasil pemotretannya terpasang berjejer di dinding, sangat cantik.Austin menatap ke arah dapur, ia seakan bisa melihat adanya Nadhila di sana sedang memasak omlet untuknya dengan cerita menyenangkannya. Perempuan berambut pendek itu selalu menceritakan apa pun yang dia lalui ke Austin.“Agak engga suka sih sama konsepnya cuman terlanjur kontrak, bisa saja sih aku tolak terus apa ya? Minta ortu ganti rugi? Kayaknya mereka bakal happy banget karena akhirnya aku minta uangnya. Eh! Kok liatin aku segitunya?”“Senyum kamu cantik.”“Hahhaa, My Love Austin! Kamu juga sangat tampan makanya aku bersedia bertunangan denganmu.”Ia tersenyum sendirian mengingat kenangan lamanya dengan Nadhila, tapi deringan ponselnya membuatnya buru-buru keluar dari sana.Nama Feira tertera di sana.“Bagaimana? Kamu menem