“Kembaran dari Nadhila yaitu Nabhila juga meninggalkan duka mendalam untuk semua orang, pemilik N’Beauty dan N’Fashion ini bahkan langsung meninggal di tempat karena duduk di kursi pengemudi. Saat ini suami dan anaknya menghilang tanpa kabar, perwakilan keluarga Meeaz mengatakan mereka berdua memilih menenangkan diri dan menjauh dari keramaian.” Suara TV yang menggema di kamar mewah itu terus terdengar, membuat perempuan paruh baya di ranjang hanya bisa terpaku menatap gambar-gambar kedua putrinya.
“Kami dari HSQnews mengucapkan turut berduka atas kecelakaan yang menimpa dua putri keluarga Meeaz. Terimakasih.”
“Alvis dan Kanza belum ada kabarnya?” tanyanya dengan suara parau pada pelayan.
“Sebelum menghilang 2 bulan lalu, Tuan Alvis meminta kami untuk tidak mencarinya lagi. Tuan ingin memulai kehidupan baru tanpa bayang-bayang kematian Nona Nabhila. Ingin membesarkan Nona Kanza tanpa ada yang membicarakan kematian mengerikan itu. Jadinya kami dan tim keamanan memutuskan untuk mengikuti keinginannya sebagai penghormatan terakhir kami pada Nona Nabhila. Beliau pasti menginginkan suami dan putrinya hidup bahagia bukan berkabung.” Jelasnya panjang lebar sambil menunduk.
“Kecelakaannya sudah diketahui? Mana mungkin kalian tidak tahu penyebabnya?”
“Saya rasa itu musuhnya Tuan Austin, Nyonya.”
Perempuan di panggil ‘Nyonya’ itu semakin menangis, kehilangan dua putrinya sangat menyakitkan untuknya. Cucunya bahkan dibawa pergi oleh menantunya dengan dalih ingin dunia baru padahal hanya cucunya itu yang ia miliki saat ini. Kedua anaknya telah tiada.
“Bukannya tidak menghormati tapi tetap cari di mana Alvis saat ini, saya perlu bertemu dengan cucu saya.”
“Baik Nyonya, saya permisi.” Ia mundur tanpa membalikkan badannya, menutup pintu dengan suara sangat pelan.
“Tante Nada masih tidak mau di ganggu?” pelayan itu di sambut laki-laki berambut coklat bermata abu-abu. Austin Abraham, tunangan dari Nadhila.
“Tidak ada Ibu yang baik-baik saja saat kehilangan anaknya apalagi ini dua-duanya secara mendadak sekali. Anda memerlukan sesautu?”
“Soal kecelakaan itu, saya ingin membahasnya karena ada yang aneh.”
Pelayan itu tidak mengatakan apapun tetapi meminta Austin mengikutinya ke ruangan khusus tim keamanan di lantai paling atas mension ini. Di sana terdapat banyak layar komputer yang menyala dan ini bukan pertama kalinya Austin kemari malah sudah di bawa berkali-kali oleh Nadhila. Tunangan cantiknya tapi dinyatakan meninggal 2 bulan lalu.
“Kamu tahu kan saya masih tidak mempercayainya.”
Pelayan bernama Feira itu menggelengkan kepalanya beberapa kali, dari 2 bulan lalu sampai saat ini Austin selalu menolak pernyataan polisi bahwasanya Nadhila sudah meninggal. Austin tidak setuju mayat itu adalah tunangannya, katanya itu bukan Nadhila-nya.
“Andaikan Nona Nadhila masih ada, lalu di mana beliau sekarang? Kecelakaan itu jelas-jelas memperlihatkan tidak ada orang yang selamat di dalamnya. Polisi sudah menyamakan DNA Nyonya Nada dan Tuan Meeaz, semuanya positif.”
Austin menggeleng, “Saya benar-benar tidak setuju, Nadhila masih ada di suatu tempat. Kami sudah pacaran selama 4 tahun, kami bahkan teleponan hari itu. Dia sangat ceria karena akhirnya bisa mempunyai waktu bersama kakaknya super sibuk itu, dia bahagia karena jalan-jalan bersama kakaknya. Nadhila, aku mengenalnya. Aku bisa merasakan dia ada di suatu tempat.”
“Lalu bagaimana dengan Tuan Alvis? Pacaran dengan Nona Nabhila selama 3 tahun dan sudah menikah selama 3 tahun juga. Sudah berapa lama mereka bersama? 6 tahun? Kita semua tahu bagaimana terobsesinya Tuan Alvis pada istrinya, Nona terluka sedikit saja langsung membawanya ke rumah sakit. Bisa Anda bayangkan? Tapi apa yang Tuan Alvis lakukan? Dia menerimanya dengan lapang dada, malah membesarkan anaknya sendiri.” Feira memperlihatkan rekaman kecelakaan, mobil-mobil saling berbenturan bahkan ada mobil yang meledak.
“Anda pikir ada orang yang selamat?” tunjuknya, “Mobil Nona bahkan terbakar juga untungnya hanya sebagian. Mana mungkin ada orang yang selamat, kalaupun Nona Nadhila selamat dari sini maka wajahnya tidak akan bisa kita kenali.”
Austin terperangah, wajah baru?
Ya, aku benar-benar mengabaikan semuanya selama beberapa minggu ini. Bahkan saat Kanza berumur 8 bulan sekalipun, otakku masih kosong dengan kenangan. Aku masih menjadi cangkang kosong tanpa memori apapun. “Sudah sampai, Neng.” Lamunanku buyar, aku bergegas membayar ongkos taksi dan keluar. Ya, semenjak tak ada pembahasan masa lalu selama sebulanan lebih. Mas Alvis mulai mengijinkanku ke kantornya bahkan memperkenalkanku ke banyak orang sebagai istrinya. Awalnya aneh, disambut bisikan dan tatapan heran beberapa karyawan tapi engga papa lah. “Jadi pengen punya istri juga atuh kalau Pak Bos dimasakin terus.” Aku tertawa kecil mendengarnya. Pak Dadang namanya, satpam kantor. Beliau bergegas memencet tombol lift untukku. “Nikah cepetan, Pak. Kasian tau jodoh Bapak lama banget nunggunya.” Balasannya, Pak Dadang tertawa. Aku bergegas masuk lift dan tersenyum sopan padanya bersamaan dengan tertutupnya lift ini. Huft! Lagi-lagi aku akan disambut tatapan aneh karyawan. Mereka sebenarnya
Ya, aku benar-benar mengabaikan semuanya selama beberapa minggu ini. Bahkan saat Kanza berumur 8 bulan sekalipun, otakku masih kosong dengan kenangan. Aku masih menjadi cangkang kosong tanpa memori apapun. “Sudah sampai, Neng.” Lamunanku buyar, aku bergegas membayar ongkos taksi dan keluar. Ya, semenjak tak ada pembahasan masa lalu selama sebulanan lebih. Mas Alvis mulai mengijinkanku ke kantornya bahkan memperkenalkanku ke banyak orang sebagai istrinya. Awalnya aneh, disambut bisikan dan tatapan heran beberapa karyawan tapi engga papa lah. “Jadi pengen punya istri juga atuh kalau Pak Bos dimasakin terus.” Aku tertawa kecil mendengarnya. Pak Dadang namanya, satpam kantor. Beliau bergegas memencet tombol lift untukku. “Nikah cepetan, Pak. Kasian tau jodoh Bapak lama banget nunggunya.” Balasannya, Pak Dadang tertawa. Aku bergegas masuk lift dan tersenyum sopan padanya bersamaan dengan tertutupnya lift ini. Huft! Lagi-lagi aku akan disambut tatapan aneh karyawan. Mereka sebenarnya
“Mas kemarin khawatir banget kamu kenapa-napa mana katanya engga bisa video call. Anaknya Ayah lagi manja ke Bundanya ya?” Aku tersenyum manis. Tau apa hal paling aku syukuri? Ditengah-tengah gilanya rasa penasaranku akan ingatanku yang aneh? Mempunyai suami bernama Alvis Pramuditia. Dia adalah suami paling pengertian, sangat percaya padaku. Sayangnya kemarin, aku malah berbohong padanya. “Kanza kayaknya mau jalan-jalan, Mas. Tapi aku bingung mau bawa ke mana. Laila kayaknya sibuk banget dari kemarin susah di hubungi.” Tuhan, betapa berdosanya diriku. Mas Alvis mendekat, mengambil alih Kanza yang terus menerus di gendong olehku sedari pagi. Mas Alvis sudah pulang, untungnya tidak curiga sama sekali. Hidupku benar-benar mirip drama yang biasa aku tonton akhir-akhir ini, karena tidak punya ingatan apapun soal buku jadi aku tidak bisa membandingkan hidupku dengan buku. “Memikirkan apa Sayang?”Ku tatap Mas Alvis lama. “Ada yang mengganggu pikiranmu lagi semasa Mas ke luar kota kem
Karena tidak bisa menunggu lagi dan muak dengan segala pertanyaan gila yang terus menerus menghantuiku. Aku memilih ke Bandung tanpa ditemani Laila, itupun kesananya naik bus berbekal keberanian. Katanya perjalanannya sangatlah panjang dan lama. Bagaimana jika pradugaku benar? Itu mengerikan bukan? Terus- sudahlah Nabhila, tidak baik menggali sesuatu yang tidak pasti. Dan aku sampai di tempat ini menjelang malam. Warna jingga dibalik kaca taksi terlihat cantik. Setelah membayar taksi, kubawa stroller Kanza mengelilingi daerah asing ini. Beberapa orang sering kali menoleh, sebagian lagi sibuk dengan urusannya sendiri. “Kemana aku harus pergi? Apa yang aku cari di kota ini? Bagaimana jika Mas Alvis tau aku kembali ke Bandung?” Dan pertanyaan ini hanya untuk diriku sendiri. Selama sejam lamanya, aku dan Kanza benar-benar bagai orang hilang. Kesana kemari tanpa tujuan, keluar masuk restoran, cafe, mall dan berakhir di taman. Memperhatikan bagaimana ramainya kanak-kanak bermain. “Apa
Setelah menjadi orang tak tau apapun selama 3 mingguan lebih, akhirnya ada kesempatan untuk membuktikan ingatanku. “Jangan kemana-mana, kalaupun mau keluar harus hubungi Mas dulu.” Hari ini dan 2 hari kedepannya, Mas Alvis harus keluar kota. “Palingan kalau aku keluar ke supermarket, Mas. Beliin Kanza pempres dan kebutuhannya yang lain, yang itu harus aku laporin juga?” Karena takut kangen, aku memeluk Mas Alvis erat. Ini pertama kalinya kami tidur berpisah semenjak pindah. Atau LDR. “Apapun itu, lapor ke Mas. Mas akan berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan pekerjaan jadinya bisa pulang cepat.” Perkataannya kubalas dengan gumaman. Aku fokus mendengarkan bagaimana menyenangkannya mendengar detak jantung Mas Alvis. 3 minggu aku menahan diri untuk tidak menanyakan perihal ingatanku, mengapa modeling? Mengapa mereka tidak mengenalku? Dan kenapa aku mulai merasa aku bukanlah aku.Tidak tau kenapa, semenjak kata ‘modeling’ terus terngiang, aku merasa ini bukan jalan yang benar. “M
“Saya akan mendapatkan masalah besar jika ada yang tau soal ini, jadi tolong lindungi saya sebaik mungkin, Pak Austin.” Katanya sembari menyerahkan selembar berkas dan foto pada Pria bule di depannya. “Mendebarkan sekali mengotak-atik berkas rahasia demi biaya kuliah anak saya.” Ya, hanya berkas itu yang tersisa. “Kamu yakin ini wajahnya?”Dokter yang ada di depannya mengangguk mantap, “Saya bukannya merendahkan diri saya sebagai dokter, apalagi melanggar sumpah kedokteran. Sudah sepantasnya anda mendapatkan data ini karena anda adalah tunangannya.” Ya, jalan yang dipilihnya tidak salah sama sekali. Harusnya pria inilah yang bersama perempuan itu, bukan pria gila itu. Ia masih ingat dengan jelas betapa posesifnya pria kaya itu setiap kali ada dokter atau suster yang datang memeriksa pasien yang dijaganya. “Hanya struktur wajahnya yang tersisa, mengenai identitas, nama barunya, umurnya sekarang atau bagaimana keadaan terakhirnya. Saya tidak tau. Sepertinya sudah di hilangkan.” Ber
Sepertinya, aku benar-benar harus melupakan nama Austin itu. Pasalnya, semakin dicari semakin tidak menemukan jawaban apapun. Mas Alvis semakin membatasi pergerakanku, arisan kemarin saja diminta tinggalkan saja. Uangnya, skip saja katanya. “Kanza tau tidak? Bunda menyayangkan uangnya, mana 15 juta lagi. Kok Ayah kamu segampang itu skip duit.” Galau sendiri kan diriku. Mana puyeng banget memikirkan siapa Austin itu, mau nonton TV eh kabelnya sudah dicabut sama Mas Alvis katanya engga baik bagi Kanza. “Kanza kan sudah 4 bulanan, Sayang. Jadi engga baik liat hal begituan mending kamu nemenin Kanza main saja.” Bosan sih tapi ada benernya juga. Ini Mas Alvis katakan seminggu lalu. Kanza engga boleh ketergantungan Nonton, apalagi kekurangan kasih sayang. Sekarang saja, dia sibuk memainkan mainannya sedangkan aku memperhatikan. Gabut parah. Yaudalah, mending keluar jalan-jalan saja. Biasanya jam segini, bagian taman akan ramai diisi orang-orang yang mau healing tapi waktunya sedikit
Tuan Meeaz menatap layar di depannya dengan pandangan sulit diartikan, bagaimana bisa wajah asing itu adalah putrinya? “Belum bisa kita pastikan, Tuan. Ini masih abu-abu karena wajahnya sangat berbeda. Tapi menurut perkataan bebe—““Jangan perlihatkan jika masih Abu-abu atau belum kamu pastikan. Jangan sampai Istri saya tau soal ini. Mari kembali ke Bandung, Alvis sangat membenci Yogya sedari dulu jadi dia mana mungkin ada di sini.” Untuk menghormati Tuannya, Fiera mengangguk paham. Memberikan intruksi untuk semua bodyguard agar ke posisinya masing-masing karena mereka semua akan kembali ke Bandung segera. Ya, Tuan Alvis memang membenci Yogyakarta karena ada masa lalu kelam di sini. Dan semua anggota keluarga Meeaz tau soal itu, mustahil Alvis kemari. Mungkin perempuan tadi namanya mirip saja, mana mungkin Alvis sebodoh itu memberikan nama yang sama kan? Itu namanya memberikan celah untuk rencana besarnya. “Berhenti memikirkannya apalagi membahasnya.” Peringat Meeaz sekali lagi.
Ternyata, masuk arisan tidak semenyenangkan itu. Aku pikir, kami akan membahas betapa indahnya keluarga, pertemanan ataukah ada pengalaman yang bisa dibagi agar rumah tangga kedepannya semakin baik. Nyatanya? Semua orang malah membahas betapa mahalnya perhiasan mereka, bajunya yang dibuat oleh desainer ternama ataukah sepatunya yang limited edition. “Arisan? Kamu dulu suka banget ikut arisan.” Masa sih? Tapi tidak mungkin kan Mas Alvis bohong sama istri kesayangannya ini? “Kalung yang Bu Nabhila pakai itu, belinya di mana? Sepertinya mahal sekali.” Sontak semua mata tertuju padaku. Aku ikut menunduk menatap kalung simple yang dibelikan Mas Alvis beberapa hari lalu. Katanya sih sebagai hadiah karena membuatnya bahagia di rumah apalagi Kanza tumbuh dengan baik. “Oh ini. Ini dikasi Mas Alvis, Suamiku. Hadiah katanya, aku kurang tau belinya di mana.” Mereka semua mengangguk paham, saling bersahutan iri karena keromantisan keluarga kami. Tentu saja aku merasa beruntung dengan hal it